“Nyadran, bagi saya adalah sebuah tradisi dan saya percaya ini bukan tradisi Buddha, buka tradisi Islam juga bukan tradisi Kristen, tapi ini tradisi asli Nusantara,” kata Romo Fajar Muhammad, ketua Paroki Gereja Katolik Temanggung saat mengawali pengantar Nyadran Perdamaian Krecek – Gletuk, Selasa (10/03/2020).
Dari tradisi Nyadran itu Romo Fajar melihat Dusun Krecek seperti Borobudur yang hidup. “Semua orang ingin melihat Borobudur. Orang Amerika, Inggris, China, Arab dan sebagainnya ingin melihat Borobudur, tetapi itu hanya wujud batu, patung dan candi. Tetapi di sini, orang bisa melihat Borobudur yang hidup, karena orang dari mana-mana datang ke sini untuk melihat dan mengalami, damai.
“Walaupun ada ke tidak adilan juga, karena ketika sodara-sodara kita datang ke Borobudur, mbayar,” lanjut Romo. “Masak orang sembahyang mbayar. “Tadi saya guyonan dengan Pak Kepala Dusun dari Jambi. ‘Pak kalau njenengan salat Ied di Masjid Istiqlal mbayar ndak?’ beliau Jawab ‘ndak’ lha ini masak umat Buddha bakan bhikkhu-bhikhunya datang untuk sembahyang ke Borobudur mbayar. Jadi kita harus ikut prihatin soal ini,” Romo Fajar berkelakar disambut tepuk tangan hadirin.
Dusun Krecek tak sekedar Borobudur yang hidup, tetapi juga memperlihatkan prakti nyata pengamalan Pancasila. “Kalau mau kita urut dari kanan ke kiri, kita sama-sama duduk setara, duduk bersama, nanti juga akan makan-makanan yang sama. Jadi ada keadilan di sini, sila kelima. Dan kita bisa bermusyawarah, sila keempat, lalu kita membina persatuan sila ketiga, kalau sudah ada kesatuan orang menjadi lupa agamane opo karena ada aspek yang adil dan beradap, sehingga nanti di sini kalau pulang bisa manembah kepada Tuhan yang Esa itu. Jadi saya mengatakan ini bukan hanya Borobudur, tetapi juga Pancasila yang hidup,” tutupnya.
Ahmad Nurcholis, Wakil Direktur Eksekutif Indonesia Conference On Religion and Peace (ICRP) yang menjadi narasumber kedua, menganggap Nyadran adalah kekayaan bangsa Indonesia yang wajib dilestarikan. Menurutnya, banyak pelajaran berharga yang bisa diambil dari tradisi ini.
“Pertama, kita yang datang ke sini, hari ini berasal dari daerah dan latar belakang yang berbeda. Dari sini ada ruang perjumaan, interaksi berdialog lalu bersama-sama juga untuk gotong royong.
“Gotong royong ini adalah nilai kedua yang saya pelajari di sini. Gotong royong ini adalah nilai kearifan lokal yang penting bagi kita sebagai bangsa yang mempunyai latar belakang berbeda. Karena dari gotong royong kita bisa mewujudkan hal-hal yang kita inginkan bersama, termasuk gotong royong dalam membangun perdamaian, apapun latar belakang kita.
“Yang ketiga, tradisi seperti ini tidak asing bagi saya. Saya berasal kapung dengan tradisi pesentren. Nah, di pesantren ini kita biasa makan bersama seperti ini. Jadi nyadran ini mengingatkan saya dengan tradisi pesantren. Oleh karena itu, Nyadran Perdamaian menjadi penting karena ini bisa menjadi ruang pembelajaran bagi kita semua. Kita punya keearifan lokal yang menjadi kekayaan kita, kita perlu menjaganya,” pungkasnya.
Sedangkan Suranto, seorang cendekiawan Buddhis yang telah beberapa kali melakukan penelitian terkait tradisi nyadran mengatakan bahwa tradisi nyadran memang sangat lekat dengan orang Jawa. Menurutnya, itu adalah wujud rasa bakti yang dimiliki oleh orang Jawa.
“Sadran itu secara etimologi, secara harafia berasal dari kata srada bahasa Sansekrerta yang artinya yakin atau keyakinan. Kenapa Sadranan itu cocok dengan budaya Indonesia, itu karena sikap kita yang mempunyai rasa bakti yang tinggi, kemauan manekung atau menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai agung,” jelas Suranto.
Pembukaan acara Nyadran Perdamaian dilakukan di jalanan Dusun Krecek, Desa Getas, Kec. Kaloran, Temanggung. Acara ini dihadiri oleh perangkat-perangkat Desa Getas, Dusun Gletuk – Krecek, peserta live in Nyadran Perdamaian dan seluruh warga Dusun Krecek.
Nyadran merupakan kearifan lokal yang hampir ada di semua wilayah, khususnya di Jawa. Setiap tahun masyarakat Jawa melaksanakan tradisi Nyadran sebagai bentuk rasa syukur, melakukan bakti dan penghormatan leluhur. Banyak makna dari tradisi Nyadran yang bisa dipelajari dari tradisi Nyadran. Karena itu, untuk mempelajari nilai-nilai perdamaian dari upacara Nyadran, Aman Indonesia, BuddhaZine, ICRP, STAB Nalanda dan beberapa lembaga lain membuat kegiatan Nyadran Perdamaian.
Nyadran Perdamaian dengan tema “Menjaga Tradisi Lintas Generasi” ini digelar jelang Nyadran Krecek Gletuk dan diikuti oleh sekitar 40 peserta live in dari berbagai daerah di Indonesia. Di antaranya; Jakarta, Jogja, Semarang, Solo, Banyuwangi, Jambi juga beberapa mahasiswa dari kampus seperti, Nalanda, Syailendra, Unnes, Sekolah Tinggi Multi Media Yogyakarta dan Brawijaya Malang. Acara akan berlangsung selama 4 hari; Selasa – Jumat (10 – 13/03).
The post Melihat Borobudur Yang Hidup dalam Pembukaan Nyadran Perdamaian 2020 appeared first on BuddhaZine.