Quantcast
Channel: News Berita Budhis Terkini | Buddhazine
Viewing all 1052 articles
Browse latest View live

Menyapa Umat Buddha Dataran Tinggi Dieng

$
0
0

Wonosobo merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang sebagian besar wilayahnya adalah daerah pegunungan. Bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Temanggung, terdapat gunung berapi Sindoro dan Sumbing. Daerah utara merupakan dataran tinggi Dieng dengan puncak Gunung Prau, dan sebelah selatan terdapat Waduk Wadaslintang. Kabupaten Wonosobo terbagi atas 15 kecamatan, dan kalau dipetakan di beberapa kecamatan terdapat komunitas umat Buddha.

Umat Buddha di Wonosobo pada umumnya terdapat di daerah-daerah pinggiran, yang jaraknya antar komunitas Buddha yang satu dengan yang lain cukup jauh. Kalau dijumlah secara keseluruhan, setidaknya terdapat 10 desa/dusun yang terdapat umat Buddha di seluruh Wonosobo dengan jumlah umat sekitar 600 jiwa. Dari 10 desa/dusun itu, hingga kini baru 7 yang sudah mempunyai vihara. Sementara yang lain melakukan puja, atau aktivitas vihara di rumah warga.

Beberapa daerah yang terdapat umat Buddha adalah (1) Desa Buntu Kec. Kejajar, (2) Dusun Sontonayan, Desa Kepencar, Kec. Kretek, (3) Desa Kaliputih, Kec. Selomerto, (4) Desa Kramatan, Kec. Wonosobo daerah kota, (5) Dusun Butuh, Kec. Kalikajar, (6) Desa Jlegong, Kec. Sukoharjo, (7) Desa Bangsari Kec. Selomerto, dan beberapa daerah yang terdapat perkumpulan umat Buddha namun belum mempunyai vihara, yaitu di (1) Kec. Kaliviro, (2) Desa Samabumi, Kec. Selomerto, (3) Desa Krakal, Kec. Kejajar.

Vihara Vajra Bumi Mandala Putra

Vihara Vajra Bumi Mandala Putra berada di Desa Buntu, Kecamatan Kejajar. Desa Buntu terletak di wilayah Dataran Tinggi Dieng, berjarak kurang lebih 13 km dari pusat Kota Kabupaten Wonosobo. Berada diketinggian 1.300 – 1.450 mdpl, Desa Buntu selalu berhawa sejuk, bahkan pada musim tertentu udara dingin sangat terasa.

Vihara Vajra Bumi Mandala Putra mulai dibangun sekitar tahun 1992. Berdasarkan prasasti yang tertempel di dinding vihara, pengerjaan vihara berjalan hampir dua tahun hingga diresmikan pada 31 Desember 1994 oleh mendiang Oka Diputhera, Dharmadyaksa Ring Kasogatan.

“Vihara mulai dibangun pada tahun 1992. Itu sejak awal agama Buddha ada di sini,” terang Pak Supardi, salah satu tokoh umat Buddha Desa Butuh kepada BuddhaZine, Selasa (6/10). Awal perkembangan agama Buddha di desa itu dimulai dari orang tua Bapak Sapardi, Mbah Siswanto. Sayang, Mbah Siswanto saat ini sudah tidak bisa diajak komunikasi karena faktor usia yang sudah sepuh.

Menurut penuturan Pak Supardi, sebelum menganut ajaran Buddha, Pak Siswanto adalah pengikut kepercayaan, Kejawen. Begitu juga ratusan orang yang kemudian menganut ajaran Buddha. “Sebelum menjadi umat Buddha, Bapak dan kebanyakan dari mereka yang ikut dari kepercayaan. Ada juga yang pindahan dari agama lain, tapi tidak banyak,” katanya lagi.

Namun sayang, dalam perkembangan umat Buddha Desa Buntu semakin berkurang. Pernikahan menjadi faktor utama berkurangnya umat Buddha di desa itu. Seperti yang dilansir Media Indonesia, berdasarkan tabel pemeluk agama di kantor Desa Buntu pada tahun 2017, setidaknya terdapat 60 KK masyarakat yang menganut agama Buddha. Sedangkan menurut penuturan warga saat ini tinggal 25-30 KK yang beragama Buddha.

Miniatur Indonesia

Salah satu yang menarik dari kehidupan masyarakat Desa Buntu adalah potret harmoni masyarakatnya. Karena itu, desa ini dikenal juga dengan sebutan “Indonesia Mini”. Bukan tanpa alasan, saat ini paling tidak terdapat 4 agama yang hidup rukun, berdampingan di Desa Buntu. Islam, Kristen, Katholik, dan Buddha.

Yang lebih menarik lagi, tidak sedikit keluarga dalam satu rumah yang menganut bermacam agama. Seperti yang dituturkan seorang warga umat Buddha yang mempunyai menantu beragama Islam. “Menantu saya Muslim, ia beribadah ke masjid. Kami tinggal satu rumah tapi tidak pernah ada persoalan terkait agama,” katanya.

Tak hanya dalam menjalin hubungan rumah tangga, dalam tata kelola pemerintahan juga demikian. Tidak harus mayoritas untuk menjadi pimpinan desa. Hal ini terbukti dengan terpilihnya Pak Supardi yang beragama Buddha menjadi Kepala Desa Buntu. “Di sini tidak ada mayoritas, minoritas dalam tata kelola pemerintahan desa, Mas,” tutur Supardi.

The post Menyapa Umat Buddha Dataran Tinggi Dieng appeared first on BuddhaZine.


Buntut Panjang “Ujaran Kebencian” Leo Pratama Limas

$
0
0

Pengadilan Negeri Jakarta Utara sudah dua kali menggelar sidang perkara penodaan agama Buddha melalui ITE dengan terdakwa Leo Pratama Limas. Sidang pertama dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap Leo digelar pada tanggal 24 September 2020.

Pada 2 Juni 2020, Leo Pratama Limas dilaporkan oleh elemen aktivis buddhis ke Polres Metro Jakarta atas perkara ujaran kebencian melalui media elektronik. Tak lama setelah itu, Leo ditangkap dan diamankan karena dinilai meresahkan.

Menurut keterangan para saksi pelapor pada sidang lanjutan tanggal 1 Oktober 2020, Leo Pratama Limas dianggap melakukan tindakan menodai agama Buddha. Leo Pratama Limas didakwa melakukan Penodaan agama Buddha melalui ITE Pasal 28 ayat 2 Undang Undang ITE.

“Pernyataan Leo dalam ceramah di youtube yang mengatakan Kwan Im sebagai setan air, setan cengeng. Ia juga mengatakan dewa dalam agama Buddha Maitreya sebagai Tuhan betina,” terang Sugianto Sulaiman, seorang pengacara juga pelapor dalam perkara ini.

Disampaikan pula oleh para saksi mengenai tindakan Leo yang menginjak-injak kitab suci, membakarnya, dan mencelupkannya ke dalam air. Padahal kitab- kitab itu dianggap suci oleh aliran Buddha Mahayana yaitu Sutra Maha Karuna Dharani (Ta Pei Cou) dan Sutra Intan atau Prajna Paramita Hrdaya Sutra.

Disampaikan pula oleh para saksi bahwa Leo juga menghina tokoh agama Buddha yaitu Biksu Pertama Indonesia, Bhante Ashin Jinarakkhita. Mendiang Bhante Ashin, yang bahkan memperoleh Bintang Maha Putra dari negara dikatakan Leo sebagai “pertapa dungu”.

Adapun respons terdakwa ketika ditanya oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini. Terdakwa menjawab bahwa apa yang dilakukan adalah untuk menyadarkan umat Buddha yang tersesat. Leo mengatakan bahwa kitab- kitab di atas bukan kitab suci tapi Kitab sesat. Jadi apa yang dilakukannya adalah kebenaran bukan penodaan, ujarnya.

Majelis Hakim kemudian mempertanyakan kewarasan otak terdakwa, apa yang bersangkutan tidak terganggu jiwanya dan dijawab oleh jaksa, terdakwa waras atau tidak gila. “Jika ia gila tidak mungkin bisa mem-broadcast atau menyiarkan ajarannya yang bersifat penodaan,” jawab jaksa.

Apa pun alasannya, menurut Sugianto Sulaiman sebagai pengacara pelapor, tindakan Leo Pratama itu tidak bisa dibenarkan. “Boleh saja kita tidak setuju dengan aliran atau sekte tertentu, tapi jangan kemudian kita berpandangan dengan mengatakan orang lain itu sesat, orang lain dungu, dan lain-lain. Tindakan seperti itu pasti akan membawa akibat hukum,” pesannya, kepada BuddhaZine.

Terlepas dari itu semua, Sugianto sedikit menyayangkan potensi Leo Pratama yang harusnya bisa mendukung penyebaran Buddhadharma dengan baik. “Terlepas dari itu Leo juga orang yang punya potensi, ceramahnya juga bagus, cara menyampaikan juga oke. Harusnya itu dimanfaatkan dengan baik,” pungkasnya.

The post Buntut Panjang “Ujaran Kebencian” Leo Pratama Limas appeared first on BuddhaZine.

Buddha Sulawesi: Bukti Kejayaan Maritim Agama Buddha

$
0
0

Meskipun secara historis tidak terdapat kerajaan buddhis yang berdiri di tanah Sulawesi, terdapat beberapa bukti sejarah yang mencatat kehadiran agama Buddha di salah satu pulau terbesar di Indonesia ini.

Berada di belahan timur Indonesia, Sulawesi telah lama dikenal sebagai jalur perairan yang menghubungkan nusantara. Salah satu bukti kehadiran agama Buddha di Sulawesi adalah ditemukannya arca Buddha Dipankara – disebut pula Buddha Sempaga, yang terbuat dari perunggu. Arca ini merupakan arca Buddha tertua di Indonesia yang berasal dari abad ke-2 Masehi.

Arca Buddha Sulawesi ini juga merupakan arca Buddha perunggu terbesar di Indonesia dalam posisi berdiri. Oleh pemerintah, arca ini memperoleh status sebagai benda cagar budaya tingkat nasional pada 2018. Penemuan arca Buddha Sulawesi ini membuktikan kejayaan maritim agama Buddha yang tersebar mulai dari Asia Selatan hingga Asia Tenggara.

Ini karena arca Buddha Sulawesi sesungguhnya bukan merupakan arca asli dari kerajaan di Indonesia, melainkan dibawa oleh para pelaut India hingga ke Sulawesi. Para pelaut meyakini dengan membawa serta arca Buddha Dipankara dapat melindungi pelayaran mereka. Untuk itu, arca Buddha Dipankara biasanya ditempatkan di bagian ujung haluan kapal.

Desain satu-satunya arca Buddha yang ditemukan di Sulawesi ini bercorak Amarawati yang berasal dari India Selatan. Corak ini sendiri berkembang antara abad ke-2 hingga 5 Masehi.

Arca yang ditemukan di Desa Sempaga pada satu abad silam (tepatnya 1921), kemudian dibawa ke Jakarta dan disimpan di Museum Nasional. Diantara 141 ribu koleksi patung di Museum Nasional, arca Buddha Sulawesi ini merupakan artefak paling tua usianya.

Menurut Blundell (2016), Raja Asoka mengirimkan banyak misionaris untuk menyebarkan agama Buddha di penjuru Asia. Beberapa kerajaan buddhis bermunculan dan menyebarkan Buddhadhamma melalui perjalanan laut yang menghubungkan Asia Selatan dengan Asia Tenggara.

Meskipun pengaruh buddhis terasa kuat di Indonesia bagian barat dan tengah, tetapi pengaruh tersebut sulit ditemukan di Indonesia bagian timur dengan sedikitnya rujukan sejarah terkait peninggalan buddhis era pra-Islam disini. Blundell menegaskan pentingnya studi arkeologi lebih lanjut dan mendalam untuk mengungkap pengaruh buddhis di tanah Sulawesi.

The post Buddha Sulawesi: Bukti Kejayaan Maritim Agama Buddha appeared first on BuddhaZine.

Pasang Surut Agama Buddha di Korea Utara

$
0
0

Dahulu kala, masyarakat Korea pada umumnya meyakini agama tradisional mereka (shamanisme). Sejak diperkenalkannya agama Buddha dari Kerajaan Qin awal pada 372 M, masyarakat Korea mulai menerima pengaruh buddhis dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Kala itu, semenanjung Korea terbagi menjadi tiga kerajaan besar: Goguryeo di utara, Baekje di barat daya, dan Silla di tenggara. Agama Buddha masuk ke Silla pada abad ke-5 M dan dalam waktu singkat berhasil menjadi agama resmi kerajaan pada 552 M. Sedangkan Goguryeo yang lebih dulu menerima pengaruh buddhis masih tetap didominasi oleh agama tradisional Korea.

Seiring dengan unifikasi Korea oleh kerajaan Goryeo (918-1392), agama Buddha berkembang menjadi sebuah kekuatan besar dan berpengaruh secara politik. Pada periode yang bersamaan, pengaruh paham Kong Hu Cu juga masuk ke Korea dan menjadi ideologi kerajaan selanjutnya – Joseon (1392-1910).

Kerajaan Joseon menganut paham Neo-Kong Hu Cu yang secara keras menekan agama Buddha dan agama tradisional Korea. Kuil-kuil buddhis banyak yang dihancurkan dan jumlahnya menyusut signifikan dari beberapa ratus hingga hanya menjadi 36 kuil.

Pelarangan agama Buddha ini berlangsung hingga abad 19 M. Pada masa ini agama Kristen menjadi berkembang sejak diperkenalkan pada abad 18 M. Pada akhir abad ke-19, wilayah barat laut dan Pyongyang di Korea Utara menjadi basis terkuat agama Kristen. Pyongyang bahkan mendapat julukan sebagai Yerusalem Timur.

Dengan demikian, agama Buddha hampir punah hingga hanya menyisakan sejumlah kecil kelompok biksu. Meskipun memiliki sejarah panjang dalam perkembangan budaya masyarakat Korea, namun akibat tekanan selama 500 tahun dibawah pemerintahan Kerajaan Joseon dan pengaruh Kristenisasi, agama Buddha menjadi sulit bertahan.

Di sisi lain, terbentuknya negara Korea Utara yang menganut paham komunis dan menekan ideologi agama-agama membawa perubahan tak terduga. Pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Il-sung mengkritisi agama dalam banyak tulisannya dan akibat propaganda media-media di Korea Utara, peran agama semakin diintimidasi. Banyaknya tekanan ini membuat umat Kristen di Korea Utara lari ke Selatan.

Sedangkan agama Buddha yang telah menjadi minoritas disana mulai mencoba berkembang perlahan-lahan sejak abad 20. Akibat pemisahan kedua Korea, agama Buddha Korea menjadi berbeda antara Utara dan Selatan.

Agama Buddha di Korea Utara dapat beroperasi dibawah pengawasan Federasi Buddhis Korea yang merupakan bagian dari aparat negara Korea Utara. Para biksu secara langsung bergantung pada pemerintah untuk pencaharian dan otorisasi dalam menjalankan hidup sebagai seorang biarawan.

Kini, umat Buddha di Korea Utara yang mencapai 4,5% dari total populasi hanya dilayani oleh 60 kuil buddhis di seluruh Korea Utara. Jumlah ini terbilang kecil, terlebih mengingat mereka umumnya hanya difungsikan sebagai aset budaya pemerintah daripada menjadi tempat ibadah yang aktif bagi umat Buddha.

Sejumlah usaha terus dilakukan oleh umat Buddha di sana termasuk upaya menerbitkan 25 volume terjemahan Tipitaka Korea yang disimpan di kuil di Myohyangsan. Akhir-akhir ini, kedua negara memanfaatkan agama Buddha dalam kaitan sejarah dan budaya yang erat sebagai penghubung kedua negara dalam upaya unifikasi Korea.

The post Pasang Surut Agama Buddha di Korea Utara appeared first on BuddhaZine.

Leo Pratama Limas Klaim Mahayana dan Bahasa Sanskerta Sesat

$
0
0

Sidang lanjutan perkara penodaan agama Buddha dengan terdakwa Leo Pratama Limas kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (15/10).

Sidang dibuka untuk umum. Para saksi didengarkan keterangannya di pengadilan. Sedangkan terdakwa, Leo Pratama Limas diperiksa secara online dari Polres Metro Jakarta Utara karena protokol pencegahan penyebaran Covid-19.

Dua saksi hadir dalam persidangan itu. Guntur Subekti, anggota Polres Jakarta Utara yang menangkap Leo Pratama, dan Dr. Sulaiman, M.Pd., Ph.D. (c.) sebagai saksi ahli agama Buddha.

Dr. Sulaiman, M.Pd., Ph.D. (c.) memaparkan penjelasannya terkait Leo Pratama Limas.

Memberikan keterangan dalam sidang, Guntur Subekti menjelaskan bahwa Leo ditangkap oleh dirinya bersama tim yang berjumlah lima orang. “Pada saat penangkapan, Leo berusaha menghindar dengan cara mengunci pintu rumahnya selama tiga jam. Pintu baru dibuka setelah ketua RT, satpam, dan pemilik rumahnya datang,” terang Guntur.

Sementara itu, Sulaiman sebagai saksi ahli menerangkan bahwa dalam agama Buddha, atau studi Buddhologi secara internasional mengakui bahasa Sanskerta, Pali, Mandarin, dan bahasa Tibet sebagai bahasa pengajaran agama Buddha.

“Tidak benar jika dikatakan oleh Leo bahwa agama Buddha hanya menggunakan bahasa Pali saja, sedangkan bahasa Sanskerta sesat, ini tidak benar. Karena Buddhologi menggunakan keempat bahasa itu,” jelas Sulaiman.

Mengenai konten youtube Leo, yaitu hadayacara dan hadayapabha yang mengatakan Avalokiteshvara adalah setan betina atau setan cengeng, menurut Sulaiman itu jelas penodaan terhadap agama Buddha.

“Avalokiteshvara dalam mazhab atau Guan Yin adalah tokoh yang sangat dihormati dalam agama Buddha Mahayana. Sebab melambangkan kasih sayang seorang ibu dan karena itu Guan Yin digambarkan sebagai ibu manusia,” paparnya.

“Kitab kitab suci yang diinjak-injak dan dibakar oleh Leo adalah kitab suci agama Buddha Mahayana, yaitu kitab Sadharmapundarika Sutra. Sutra Hati dan Mahakarunadarani adalah bagian dari kitab-kitab suci agama Buddha Mahayana, bukan kitab sesat seperti yang disampaikan oleh Leo,” Sulaiman menambahkan penjelasannya.

Pemeriksaan terhadap Leo juga tidak mengalami hal yang baru. Walaupun dia sudah diingatkan oleh hakim untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan apa yang ditanya, tetapi Leo tetap menyampaikan pendapat atau pandangannya.

Leo tetap menganggap kitab-kitab Mahayana dan Sanskerta itu sesat, Avalokiteshvara atau Guan Yin itu setan berwujud manusia seperti yang disampaikan dalam ceramahnya. Bahkan Leo menuding saksi ahli yang didatangkan dalam persidangan tidak qualified. Karena itu, ia menolak seluruh pendapat dari ahli tersebut.

Sidang selanjutnya akan digelar pada Kamis (22/10), dengan agenda pemeriksaan saksi ahli.

The post Leo Pratama Limas Klaim Mahayana dan Bahasa Sanskerta Sesat appeared first on BuddhaZine.

Ditemukan Sejak Zaman Belanda, Situs Watu Ambal Masih Misteri

$
0
0

Watu Ambal adalah situs arkeologis berupa susunan tangga batu yang berada di pinggiran Desa Tlahap, Kecamatan Parakan, Jawa Tengah. Tangga batu dengan orientasi arah timur laut-barat daya ini memiliki kemiringan lebih dari 45 derajat dengan panjang lebih dari 25 meter. Lokasinya di lereng bukit dengan ujung tangga langsung menuju tebing jurang.

Menimbulkan banyak pertanyaan, sebab di sekitar tempat tersebut tidak banyak di temukan peninggalan arkeologis lain. Hanya sebuah lingga semu dan sebuah kemuncak yang menyerupai yasti yang berada di lokasi ini.

Pada kiri kanan bukit tempatnya berdiri diapit oleh dua sungai, Sungai Gedol dan Sungai Galeh di kiri kanan dan kemudian bertemu menjadi satu aliran sungai atau tempuran didepannya.

Tangga batu semacam ini disebut pula dengan nama Ondo Budo yang banyak tersebar di wilayah dataran tinggi Dieng. Namun tidak seperti Ondo Budo yang ada di Dieng ataupun Wonosobo, yang terkesan ditata sekedarnya, Watu Ambal disusun sangat rapi, memiliki lebar yang konsisten, lurus, dengan potongan batu yang presisi.

Watu Ambal dilihat dari atas

Riwayat Temuan

Pada tanggal 15 April 1866 terjadi tanah longsor di sebuah bukit kecil di dekat Desa Tlahap, Parakan, Temanggung. Bersamaan dengan longsoran tanah ini kemudian terlihat 20 anak tangga yang sebelumnya tidak pernah terlihat. Laporan ini segera ditanggapi oleh pemerintah Hindia-Belanda dan memerintahkan untuk melakukan penggalian awal dan berhasil memunculkan 82 anak tangga. Tangga tersebut dilaporkan terbuat dari batu jenis kekuningan, dengan kondisi sangat utuh dan memiliki lebar 2,5 ft.

Temuan tersebut diteruskan kepada pemerintah pusat yang ada di Batavia kala itu, sehingga pemerintah kemudian mengucurkan dana sebesar 500 gulden. Hal itu dilakukan mengingat setahun sebelumnya di Desa Tlahap yang tidak jauh dari lokasi ini juga ditemukan sebuah prasasti dari batu yang terbelah menjadi dua yang berada di bawah pohon.

Penggalian kedua dilakukan pada bulan Juli 1866. Penggalian difokuskan untuk menyusuri arah anak tangga yang ternyata sampai pada tepian Kali Gendol dan memunculkan total 89 anak tangga. Dua anak tangga paling bawah atau terakhir masuk hingga dalam air Sungai Gendol.

Selain itu, para pekerja juga menemukan sebuah pisau (bandol) dan sebongkah besi yang berada dalam tanah di dekat tangga itu. Penggalian ini kemudian di akhiri, karena pemerintah berpendapat jika sudah tidak ada lagi temuan penting yang bisa ditemukan.

Sebagai penelitan lanjutan, pemerintah mengirim G.A Pet yang ketika itu sedang bertugas dan juga memimpin penggalian di Dieng untuk meneliti temuan ini. Penunjukan Pet bukan tanpa alasan, mereka menilai jika Pet sudah sering menangani dan menemui tangga batu sejenis yang ia temukan di Wilayah Dataran Tinggi Dieng.

Januari 1867, Laporan Pet diterima oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dalam laporannya Pet menggambarkan secara ringkas temuan di Desa Tlahap tersebut. Tangga berada di antara pertemuan Sungai Galeh dan Sungai Gandol yang keduanya memiliki bibir sungai yang curam. Susunan tangga berorientasi ke arah timur laut-barat daya.

Tangga secara keseluruhan terbentuk dari batuan yang terpotong sangat rapi, susunan tertata sedemikian rupa dan berbeda sekali dengan anak tangga atau lebih akrab dikenal sebagai “Ondo Budo” yang ia temukan di wilayah dataran tinggi Dieng.

Pahatan yang masih sangat rapi ini menimbulkan kecurigaan Pet jika mungkin tangga di Desa Tlahap ini sudah terkubur tidak lama setelah pembangunan. Sehingga tidak ada sedikitpun tanda-tanda bila tangga sudah pernah dipakai ataupun kerusakan serius pada permukaannya.

Pada ujung atas tangga tidak ditemukan apapun, kecuali wilayah dataran yang rata. Sedangkan pada bagian bawah sudah menyentuh bibir sungai dan ia berpendapat bahwa kemungkinan sisa anak tangga lain telah hanyut tersapu air dan tidak memberikan rekomendasi untuk melakukan galian lanjutan.

Temuan tangga ini juga pernah dikunjungi oleh P.J Veth, dan didokumentasikan dalam bukunya Java II, 1877. Di mana ia menulis bilamana mungkin saja dahulu di atas bukit tempat tangga ini berakhir mungkin pernah berdiri sebuag candi yang kini sudah tidak bisa dilihat lagi.

Dua buah kemuncak (?) yang pernah dilihat oleh Knebel

Tempat inipun tidak luput dari perhatian Knebel ketika melakukan pendataan temuan di wilayah Temanggung. Ditemani oleh Wedana Parakan ia mengunjungi Desa Telahap dan mendatangi tangga tersebut. Pada kunjungannya di tahun 1911 ia melihat terdapat dua buah benda yang mirip lingga yang berada di dekat lokasi sekitar tempat ini. Terdapat pula sebuah arca berlengan dua yang sudah tidak dapat lagi dikenali setinggi 0.58 meter.

Saat ini tangga batu di Desa Tlahap tersebut masih dalam kondisi sangat baik. Namun dari 89 anak tangga yang dilaporkan kini hanya tersisa 84 undakan. Sungai Gandol atau sekarang lebih dikenal Kali Gendol yang diberitakan sebagai ujung dari anak tangga alirannya kini telah bergerser jauh puluhan meter dan anak tanngga terakhir yang seolah terputus pada tepian tebing curam setinggi lebih dari 3 meter dari permukaan tanah di bawahnya.

Untuk apa tangga ini dibuat juga masih menjadi tanda tanya dan belum terpecahkan hingga sekarang. Dua buah batu menyerupai lingga yang pernah dilihat Knebel masih ada di lokasi, salah satu batu ini patah menjadi tiga bagian. Batunya diukir sederhana, bagian atas lonjong membulat sedangkan pada bagian pangkal berbentuk persegi. Salah satunya hampir mirip dengan lingga patok namun memiliki ukuran yang jauh lebih besar.

Tidak ditemukannya komponen batuan candi lain ditempat ini menyulitkan untuk sekedar identifikasi, mungkinkah benda ini merupakan sebuah lingga patok yang biasa digunakan sebagai batas tanah sima atau sebuah kemuncak candi.

Lokasi yang berada di antara dua pertemuan sungai Kali Gendol dan kali Galeh juga cukup menarik untuk diperhatikan. Dimana “tempuran” biasanya memang sering kali dipilih sebagai tempat bangunan suci “Di tempat inilah paradewa selalu bermain”, (Bhrat Samhita, LVI. 4). Tetapi seperti yang kita temukan sekarang, di sekitaran lokasi yang berdekatan tidak ditemukan sisa bangunan apapun. Mungkinkah bangunannya terbuat dari bahan organik? Namun bila bahan organik batu menyerupai lingga yang bisa juga sebagai kemuncak yang kita kemukan berukuran cukup besar dan sangat kecil kemungkinannya digunakan sebagai puncak sebuah bangunan dengan bagian bawahnya dari kayu.

Atau seperti dugaan Pet, bila bangunan utama ditempat tersebut telah hilang tidak lama setelah tangga dibuat? Untuk sekedar kembali mengingat, legenda yang beredar pada masyarakat setempat mengatakan apabila “watu ambal” ini tadinya akan dibuat sebuah masjid di waktu malam hari, namun karena terdengar suara ayam dan lesung masjid yang dimaksud tidak pernah dibuat karena waktu yang di syaratkan telah habis.

Mungkinkah legenda ini adalah sebuah ingatan samar dari masyarakat yang masih terekam? Tetapi dugaan ini akan kontras apabila dicocokkan kepada yang di sampaikan oleh Hoepermans 1867, apabila tangga batu ini tidak pernah ada yang menyadari sebelum terjadi longsor pada April 1866.

Mengenai kenyataan tangga yang menuju aliran sungai juga tidak serta merta bisa kita lupakan. Mungkinkah tangga ini dahulu adalah sebuah akses dari atau akan kesungai atau mata air? Cerita dari Brummund mengenai Bimo Lukar mungkin dapat memberikan gambaran. Dimana dahulu terdapat tangga curam nan sempit yang digunakan oleh penduduk guna menuju sebuah mata air (Brummund, 1854).

Keberadaan sungai juga digunakan sebagai sarana transportasi seperti halnya yang diceritakan dalam prasasti Telang 825 S dan juga relief pada Candi Borobudur dan lain-lain. Mungkinkah tangga ini adalah akses dari sungai (perahu) guna menuju daratan?

Memang banyak sekali pertanyaan yang harus dijawab tentang tujuan dan fungsi pembangunan Watu Ambal pada masanya dahulu. Mungkin prasasti yang pernah disinggung oleh Hoepermans dapat memberikan petunjuk, mengingat prasasti inilah yang berada di lokasi paling dekat dengan keberadaan Watu Ambal. Namun sayang keberadaan “saksi kunci” tersebut sekarang entah di mana rimbanya.

The post Ditemukan Sejak Zaman Belanda, Situs Watu Ambal Masih Misteri appeared first on BuddhaZine.

44 tahun Sangha Theravada Indonesia, Membangun Keluhuran Bangsa

$
0
0

Keluarga Buddhis Theravada Indonesia (KBTI) menggelar serangkaian acara peringatan 44 tahun berdirinya Sangha Theravada Indonesia (STI) secara daring. Acara digelar selama dua hari, Kamis – Jumat (22-23/10), dan disiarkan langsung melalui chanel youtube Medkom Sangha Theravada Indonesia dan Media Dhamma Chanel.

Dengan mengangkat tema Sangha Theravada Indonesia: Membangun Keluhuran Bangsa, kedua chanel youtube tersebut menyiarkan pelbagai kiprah STI bersama mitra dhamma; Astinda, Maghabudi, Wandani, dan Patria dalam melakukan pembinaan umat.

“Peringatan 44 tahun STI semula mau diselenggarakan secara umum yang dipusatkan di Jawa Tengah. Tapi karena pandemi yang tak kunjung reda maka cukup diselenggarakan secara live streaming,” tutur Bhante Subhapannyo, ketua umum Sangha Theravada Indonesia.

Meskipun diselenggarakan secara daring, menurut bhante tak mengurangi esensi dari peringatan itu sendiri. Malahan menurutnya, acara yang dimulai dari pukul 06.00 – 21.00 WIB itu memungkinkan umat Buddha bisa mengikuti dari berbagai daerah.

“Karena ini direkam, jadi memungkinkan umat Buddha di mana pun berada bisa menyaksikan. Bahkan bagi yang tidak bisa melihat secara langsung bisa memutar ulang rekamannya”.

Lebih lanjut, Bhante Subhapannyo juga berpesan agar umat Buddha tetap mengedepankan disiplin diri dalam situasi pandemi seperti sekarang.

“Kami berharap umat Buddha tetap memakai masker ketika keluar ruangan, jaga jarak bila diluar ruangan, serta tidak pergi ke tempat keramaian, dan membatasi menghadiri undangan yang jauh,” pungkasnya.

Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang turut memberi sambutan dalam pembukaan peringatan ulang tahun STI mengatakan bahwa, sejak lahir STI telah memancarkan spirit dhamma dan vinaya. “Spirit dharma dan vinaya itu yang menjadi kepribadian nasional. Semoga kita tidak menyia-nyiakan warisan leluhur kita itu,” kata Ganjar.

Menyinggung potret toleransi kehidupan masyarakat Temanggung, Ganjar bercerita saat kunjungannya ke Desa Kalimanggis, Kec. Kaloran. Kedatangannya itu untuk menghadiri acara sedekah bumi di Desa Kalimanggis tahun lalu.

“Karena acaranya santai, saya datang mengendarai sepeda motor biar bisa tlusap-tlusup. Setelah memarkir sepeda motor, saya diantar beberapa anak muda ke lokasi acara. Di sana saya melihat bapak-bapak ada yang memakai peci, blangkon, udeng. Ibu-ibu ada yang pakai kebaya, gamis.

“Di bagian depan duduk semua pemuka agama, dan ternyata acara diadakan di depan vihara. Dari sebuah vihara di Temanggung itu, kita melihat Pancasila benar-benar menancap sedalam-dalamnya di sanubari masyarakat. Setelah saya tanyakan ke kepala desa, kondisinya ya seperti itu. Masyarakat tidak ada yang membeda-bedakan agamanya apa, semuanya guyup.

“Jika ada yang Kristen punya gawe, yang Buddha, Khatolik, Islam, bahkan penghayat ikut membantu. Bahkan ketika perayaan Maulid, panitianya terdiri dari umat Buddha, Khatolik, Kristen, dan penghayat. Keluhuran bangsa kita itu dibangun dari guyup semacam itu, dan saling menghargai,” tutur Ganjar bercerita.

Acara puncak peringatan 44 tahun Sangha Theravada akan dilaksanakan pada hari Kamis, 23 Oktober 2020 dengan Dhammadesana yang akan disampikan oleh Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera.

The post 44 tahun Sangha Theravada Indonesia, Membangun Keluhuran Bangsa appeared first on BuddhaZine.

Sarasehan Kebangsaan untuk Persatuan dan Kemajuan Indonesia

$
0
0

Menyambut Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 2020 yang merupakan tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, Young Buddhist Association (YBA) menghadirkan sebuah acara kolaborasi dengan semangat dan tekad memajukan dan mempersatukan Bangsa Indonesia, yaitu Sarasehan Kebangsaan.

Acara berupa talkshow bertemakan “Indonesia Prasetya Jagaddhita” yang artinya Sumpah Persatuan Indonesia yang diselenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting pada Jum’at (23/10). Acara ini terselenggarakan berkat kolaborasi YBA dengan Universitas Surabaya (UBAYA) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dari berbagai universitas di Surabaya.

Sarasehan Kebangsaan mengolaborasikan dua tokoh inspirasional Indonesia yaitu Inaya Wulandari Wahid (anak alm. Gus Dur) dan Dr. Ahmad Zainul Hamdi M. Ag., serta Guru Besar agama Buddha yaitu YM. Bhante Dhammasubho yang dimoderatori oleh David Santoso, S. Ak., alumni UBAYA yang merupakan entrepreneur muda dan founder dari SMA Selamat Pagi Indonesia dan Bee University.

Inaya Wulandari Wahid sebagai salah satu pendiri organisasi Gusdurian Indonesia menyampaikan nilai-nilai pluralisme yang diwariskan oleh almarhum ayahnya sebagai satu kekuatan untuk persatuan Indonesia yang lebih kuat.

“Masyarakat itu memegang kendali yang sangat besar dalam sebuah negara. Masyarakat bisa menjadi pegawas dalam pergerakan demokrasi. Oleh karenanya perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat Indonesia ini mesti mendapatkan perlakukan yang sama,” jelas dia.

“Kekuatan Indonesia berada pada keragamannya, itulah yang diusahakan oleh Gus Dur. Itu bisa menjadi modal untuk kemajuan Indonesia. Keragaman bukan hanya tentang agama, tapi banyak hal perbedaan yang ada di Indonesia baik ras, suku, budaya dan lain sebagainya,” sambungnya.

Nilai-nilai lainya yang disampaikan Inaya adalah kecintaan terhadap budaya bangsa sendiri sebagai identitas suatu bangsa. “Belajar dari almarhum Gus Dur bahwa beliau mau belajar apa saja sekalipun itu hal dari luar negeri, akan tetapi Gus Dur tetap menjadi orang Indonesia.”

“Nilai toleransi terhadap apa yang datang dengan tetap menjaga budaya sendiri sebagai identitas bangsa Indonesia inilah yang patut kita teladani dari almarhum Gus Dur. Karena tidak selalu apa yang dari luar itu bagus, kita sudah punya begitu banyak nilai untuk kita pahami dan kita pegang,” imbuhnya.

Sementara itu Bhante Dhammasubho yang medapatkan kesempatan kedua untuk berbicara menyampaikan nilai-nilai Buddhis yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Semangat kebangsaan adalah semangat yang dialiri nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan. Berkebangsaan berarti berbicara persaudaraan dan kesatuan juga. Manusia berbahan baku yang sama (4 unsur) yaitu tanah, api, air dan udara. Karena itu kita mengenal satu kata saudara, bahwa kita ini berasal dari satu udara yang sama. Makanya kalau sudah kumpul tidak ada sekat, sekat itu bisa muncul tergantung usaha masing-masing,” katanya.

“Kalau yang rajin bekerja menjadi orang kaya biasanya juga bertemu dengan orang-orang yang sama, yang rajin belajar menjadi orang intelektual juga ketemu dengan orang-orang intelek, itu contohnya bagaimana sekat itu muncul. Tapi pada dasarnya semua manusia tetap berbahan baku sama, ini dasarnya yang harus kita pahami kalu berbicara kebangsaan,” tuturnya.

Lebih lanjut Bhante menjelaskan bagaimana persatuan dan keutuhan sebuah negara tetap terjaga. “Negara akan utuh apabila bangsannya tidak melupakan sejarah, rakyatnya tidak melupakan seni sastra dan budaya bangsa sendiri, para pemimpin malu berbuat jahat dan takut akan akibat perbuatan jahat. Manusia akan selamat bukan karena pagar berduri, tapi keselamatan akan terwujud dengan pagar hati,” imbuhnya.

Menurut Bhante, negara Indonesia sudah mewarisi suatu formula dari para nenek moyang yang sudah teruji dan terbukti sejak 200 tahun SM sebagai kekuatan untuk kemajuan suatu bangsa.

Sejak dahulu menurutnya negara kita telah mempunyai lima butir sabuk pengikat masyarakat yaitu ideologi nasional namanya Pancasila, mempunyai kebangsaan nasional bangsa Indonesia, mempunyai bahasa kesatuan/ bahasa nasional, memiliki budaya kearifan lokal, memiliki budaya taat spiritual (wilayah batiniah, wilayah kebudayaan).

“Pemimpin-pemimpin di Indonesia tidak hanya butuh pandai secara intelektual tapi juga secara spiritual. Inilah yang menjadi kekuatan serta modal untuk pertahanan dan kemajuan Indonesia,” pungkas Bhante.

Pembicara ketiga adalah seorang pencetus intisari nilai-nilai Gusdurian yaitu Ahmad Zainul Hamdi yang menjelasksn nilai-nilai kemanusiaan yang diteladankan oleh alm. Gus Dur sebagai penguat persatuan bangsa serta kehidupan berbangsa sesuai asas-asas ideologi Pancasila.

“Gus Dur hadir dengan membawa nilai-nilai kemanusiaan berupa pembelaan terhadap orang-orang tertindas, orang yang di bawah, kelompok minoritas. Ini saya dapatkan dari Gus Dur,” ungkapnya.

Tahun 1998 menurutnya Gus Dur menjadi tokoh penting dalam melawan sistem otoriter di bawah rezim pemerintahan waktu itu. Bahkan waktu itu kalau mau mengundang Gus Dur harus berhadapan dengan aparat. Tapi Gus Dur tidak pernah kehilangan akal sehat tentang Indonesia dan Pancasila, payung ideologi yang mengayomi bangsa yang majemuk.

“Gus Dur begitu menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Gus Dur pernah berkata pada waktu gencar isu tentang PKI ‘lha wong sama PKI saja kok takut,’ dengan santainya beliau berkata seperti itu. Lha sementara kita yang terpelajar malah hancur-hancuran karena isu PKI. Bagaimanapun keadaan kita tapi jangan sampai kehilangan nilai-nilai kemanusiaan kita. Ini yang saya tangkap dari apa yang telah dilakukan oleh almarhum Gus Dur demi kemajuan Indonesia,” tandasnya.

The post Sarasehan Kebangsaan untuk Persatuan dan Kemajuan Indonesia appeared first on BuddhaZine.


44 Tahun STI, Bhante Sri Pannyavaro Ucapkan Terima Kasih Kepada Umat Buddha

$
0
0

Sangha Theravada Indonesia (STI) lahir di Vihara Maha Dhammaloka (sekarang menjadi Vihara Tanah Putih), Semarang, pada tanggal 23 Oktober 1976. Lima orang bhikhu yang tercatat sebagai pendiri STI adalah: Bhante Aggabalo, Bhante Khemasarano, Bhante Sudhamo, Bhante Khemiyo, dan Bhante Nyanavutto. Dengan disaksikan oleh dua orang Bhikkhu Dhammaduta Thailand: Bhante Suvirayan dan Bhante Sombat Pavitto.

Karena itu, tanggal 23 Oktober ditetapkan sebagai hari ulang tahun STI, dan diperingati oleh Keluarga Buddhis Theravada Indonesia (KBTI) setiap tahunnya.

Meskipun tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini peringatan 44 tahun Sangha Theravada Indonesia tetap digelar. Peringatan nasional digelar secara virtual selama dua hari Kamis – Jumat (22-23/10).

Bhante Sri Pannyavaro Mahathera, dalam pesan dhamma puncak peringatan 44 tahun STI menyampaikan rasa terima kasih kepada umat Buddha yang telah memberi dukungan penuh kepada sangha dalam menjalankan tugas membimbing umat.

“Mewakili Sangha, saya mengucapkan anumodana kepada para segenap umat Buddha yang telah dengan ketulusan hati memberikan dukungan kepada sanga kita. Sehingga para bhikkhu mampu melatih diri dengan tenteram. Dan kalau para bhikkhu mau melatih diri dengan tenteram, umat juga bisa melatih diri dengan baik lagi untuk melakukan kebajikan kepada sangha,” ucap Bhante.

Bhante juga berharap sangha mampu tetap menjadi lembaga sesuai dengan tujuan mulia yang diberikan oleh guru agung Buddha Gotama. “Menyelesaikan penderitaan dengan sempurna, mengabdi kepada semua orang, tentu kepada bangsa dan negara ini untuk keluhuran semua orang,” pungkas Bhante.

Tak hanya digelar secara virtual, vihara di beberapa daerah juga menggelar peringatan 44 tahun secara offline dengan mematuhi protokol pencegahan penyebaran Covid-19. Vihara Dhammacakka Jaya Jakarta misalnya yang menggelar syukuran berbagi kasih, Jumat (23/10) dengan dana makanan kepada bhikkhu sangha, dan dilanjutkan dengan membagi makanan kepada pengguna jalan.

“Nasi kotak kami bagikan ke jalan untuk saudara-saudara kita. Senyum dan doa syukur mereka mendapatkan makan dari kita memberikan rasa bahagia buat kita juga,” ungkap Aylie, salah seorang umat penyelenggara kegiatan tersebut, seperti yang ditulis di akun facebook Medkom STI.

Vihara Muladharma, Samarinda memperingati 44 tahun STI dengan mengadakan kegiatan Sanghadana pada Minggu, (25/10). Juga masih dalam penerapan protokol kesehatan, acara itu dihadiri oleh 6 bhikkhu sangha. Antaranya: Bhante Sri Subhapannyo, Ketua Umum STI, Bhante Adhikusalo, Bhante Tithaviryo, dan lain-lain.

Sanghadana Kathina dan peringatan 44 tahun STI juga digelar umat Buddha Getasan Timur, Salatiga. Acara yang digelar di Kebun Samadhi Santighosa itu juga digelar pada tanggal hari Minggu, (25/10).

Tak hanya umat Buddha, peringatan 44 tahun STI juga mendapat perhatian dari tokoh bangsa. Salah satunya adalah Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur yang ikut memberikan ucapan selamat. Melalui sebuah video, Alissa yang juga koordinator jaringan Gusdurian, menyampaikan harapan bisa bersama-sama merawat Indonesia menuju masyarakat yang adil makmur.

The post 44 Tahun STI, Bhante Sri Pannyavaro Ucapkan Terima Kasih Kepada Umat Buddha appeared first on BuddhaZine.

Menuju Sang Sevaka Dharma (Menjadi Pelayan Kebaikan)

$
0
0

“Sang Sevaka Dharma senantiasa mempersembahkan kebaikan pada alam semesta.”

Pada Selasa, 3 November 2020. 19.00 WIB melalui platform Zoom, acara diprakarsai oleh Bumi Dharma Nusantara dan Bumi Dega Sunda Academy, berlangsung dengan menarik.

Bahasan Menuju Sang Sevaka Dharma (Menjadi Pelayan Kebaikan) diikuti oleh 100 orang peserta. Adapun kelas Zoom diisi materinya oleh HE. Kyabje Dagri Rinpoche (Tibetan Lama) dan I. Hendrawan/Abah Uci (Budayawan).

Pemapar pertama, Dagri Rinpoche memulai kelas dengan doa. Baginya, Indonesia merupakan negara yang istimewa. Ada banyak tempat suci yang mana Lama Serlingpa dan Lama Atisha pernah di Indonesia.

“Melestarikan tradisi-tradisi lama yang telah ada di Indonesia akan banyak berguna bagi masyarakat. Kita semua menginginkan hal yang sama, yakni kebahagiaan. Kebahagiaan itu bisa berwujud cinta kasih ataupun welas asih,” terangnya.

Cinta kasih merupakan kualitas manusia yang sangat penting, hal ini sudah lama dimiliki oleh manusia sejak zaman dahulu kala.

Sebagai contoh, rasa benci dan iri hati tidak akan membawa kondisi yang bahagia, namun sebaliknya, penderitaan. Saat kita marah, seketika itu juga akan menghancurkan kedamaian dalam pikiran kita, apabila hal tersebut mengendalikan kita, akan berdampak buruk bagi kita.

Cinta kasih bertujuan agar orang lain bahagia. Kasih sayang mengejawantah dalam bentuk tidak menginginkan orang lain menderita. Hal itu membantu meningkatkan kualitas kehidupan kita. Dagri Rinpoche memaparkan materi Delapan Gatha Transformasi Pikiran, yang memuat tentang laku welas asih dan cinta kasih.

Sesi tanya jawab:
– Apakah transendensi bisa dicapai oleh semua manusia?
Konsep diri itu ada, namun merupakan sebuah konsep yang kurang tepat. Kita tidak bisa hidup sendiri.

Dengan pemahaman bahwa semuanya saling terhubung. Ilmuwan telah membuktikan hal itu, ada banyak penelitian bahwa segala sesuatu yang tergantung antara satu dengan yang lain.

Dengan pola pikir seperti itu, membuat diri kita menjadi sedikit lebih rileks. Apabila kita punya kecenderungan egois, hal itu sama sekali tidak akan banyak membantu pertumbuhan spiritual kita.

– Jika dahulu Lama Atisha pernah di Indonesia, apakah Lama Atisha pernah terlahir di Indonesia?
Saya tidak punya data yang spesifik. Lama Atisha bisa terlahir di mana pun, yang terpenting adalah tujuan dan kehidupannya telah membawa kebaikan pada alam.

Pelajaran mengenai cinta kasih dan welas asih yang diajarkan oleh Lama Serlingpa, beliau merupakan orang Indonesia, kemudian muridnya, Lama Atisha membawanya ke Tibet. Diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Tibet.

Adalah Dalai Lama, pemimpin spiritual masyarakat Tibet yang senantiasa mengajarkan cinta kasih dan welas asih pada dunia, hingga Dalai Lama mendapatkan penghargaan nobel perdamaian dunia.

– Jalan menuju moksa, bagaimanakah caranya?
Kita perlu memahami bahwa segala sesuatu adalah saling terkait atau saling terhubung.

Lamrim yang disusun oleh Lama Atisha. Merupakan sebuah pegangan dalam buddhis. Saat Lamrim ditulis, praktik Vajrayana tidak bisa dilakukan bersama-sama dengan praktik mazhab yang berbeda di Tibet, Lama Atisha menjelaskan melalui Lamrim, bahwa seseorang perlu melatih diri secara umum dan secara khusus.

Acara dimoderatori oleh Arleti M. Apim. Ven. Stephen Carlier menerjemahkan apa yang dipaparkan oleh Dagri Rinpoche dari bahasa Tibet ke dalam bahasa Inggris, sementara Herry Agung menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Dalam sesi selanjutnya materi yang dipaparkan oleh I. Hendrawan/Abah Uci (Budayawan). Abah Uci merupakan seorang penulis, budayawan, dan pendiri Bumi Dega Sunda Academy.

Sevaka Dharma berisi tentang bagaimana menjadi seorang pelayan di dalam kebaikan, bahwa kita tak bisa lepas dari sebuah ruang yang saling melayani dan saling memberi. Abah Uci memaparkan bahwa alam ini akan terus mengalami perubahan, kita seyogianya saling membantu, karena manusia merupakan bagian dari sambung daya semesta.

Banyak masalah terjadi karena kata-kata, dan hal itu berpengaruh pada pikiran kita. Apa yang disampaikan pada orang lain, selayaknya adalah keselarasan antara apa yang dituturkan dengan apa yang dilakukan.

Mendengar adalah yang mudah, namun yang sulit adalah kemampuan menerjemahkan dengan bijak. Ada satu pepatah, “Menjaga ucapan dan menjaga apa yang kita dengar”. Hal yang diutamakan adalah kejernihan pikiran kita untuk menjadi sang Sevaka Dharma, atau pelayan kebaikan.

Sesi tanya jawab:
– Bagaimana caranya agar dapat bertutur dan mendengar dengan baik?
Dalam pikukuh Sunda, mulai menggunakan vibrasi yang lembut, pilihan kata-kata yang lembut, ucapan kita coba direnungkan apakah nyaman untuk kita sendiri? Kita perlu menyusun nada frekuensi apa yang akan kita tuturkan. Saat kita berbicara pada anak-anak jangan menggunakan pilihan kata-kata yang tajam. Agar tidak menambah penderitaan.

– Bagaimana menjadi sang Sevaka Dharma di tengah lingkungan yang heterogen?
Kita semua tidak bisa berdiri sendiri. Baik manusia dengan manusia, manusia dengan alam raya. Otak manusia memiliki gelombang, ucapan pun merupakan sebuah gelombang. Jika gelombang yang keluar dari manusia melalui tutur adalah gelombang yang baik. Maka hal itu pun akan sampai ke alam.

Aku adalah engkau, engkau adalah aku.

– Pada awalnya pendekatan apa yang dilakukan dalam menjalankan Sevaka Dharma?
Semua diawali dengan langkah pertama, banyak mendengar. Kemudian, belajar berbicara yang baik.

Dalam sesi penutupnya Abah Uci kembali mengingatkan semoga kita semua dapat membawa kebaikan pada bumi, rahayu sagung dumadi, semoga kedamaian melingkupi segala penjuru semesta.

The post Menuju Sang Sevaka Dharma (Menjadi Pelayan Kebaikan) appeared first on BuddhaZine.

Prajna Dwipa Loka, Vihara Bagi 3 Dusun

$
0
0

Berjumpa dengan kawan se-dharma dari vihara lain bisa memberi semangat kepada umat Buddha di perdesaan. Melalui ruang-ruang perjumpaan seperti pada kegiatan anjangsana vihara, peringatan hari raya keagamaan Buddha, dan pertemuan-pertemuan rutin, umat Buddha di perdesaan bisa termotivasi.

Begitu yang diungkapkan Sri Hartati (52), umat Buddha Desa Ngabeyan, Kec. Candiroto, Kab. Temanggung. Sejak usia belia, Ia sudah aktif dalam kegiatan umat Buddha. “Dulu sering ke Kaloran, ikut kegiatan-kegiatan umat Buddha. Dulu kan ada pertemuan rutin ibu-ibu ke Vihara Cemara, ke Desa Celapar, Bulu, Kaloran, dan banyak lainnya,” katanya kepada BuddhaZine, Selasa (26/10) lalu.

Jarak tempuh bukan penghalang bagi Sri Hartati untuk menghadiri perayaan, atau anjangsana vihara. Tak jarang ia berpindah-pindah angkutan umum dan jalan kaki untuk menuju suatu vihara bila terpaksa. “Pernah dulu pulang dari mengikuti acara Waisak di Borobudur ikut teman-teman ke Vihara Dharma Surya, Dusun Janggleng, Kaloran. Kami naik angkot sampai Pasar Kaloran, dari sana jalan kaki sampai vihara” lanjutnya.

Meskipun begitu, Sri Hartati mengaku senang karena bisa bertemu dengan sesama umat Buddha. Bahkan ia mengaku tidak pernah absen mengikuti peringatan Waisak di Candi Borobudur, “Kalau acara Waisak di Candi Borobudur ambil air di Jumprit. Setelah ambil air saya langsung bablas ke Borobudur. Bisa sampai 3 hari, 3 malam di Borobudur. Ya senang saja. Kalau Waisak tahun ini tidak ada karena Korona ya,” tuturnya.

Cerita kegembiraan mengikuti kegiatan-kegiatan umat Buddha juga dirasakan oleh Kunyaenah (56), istri tokoh umat Buddha Desa Ngabeyan. Ibu dari 5 anak ini mengaku tak pernah ketinggalan dalam mengikuti kegiatan vihara. “Kalau Waisak saya pasti ke Candi Borobudur,” katanya.

Kondisi berbeda sangat dirasakan oleh Sri Hartati dan Kunyaneah sekarang. Jumlah umat Buddha yang semakin berkurang juga berpengaruh terhadap aktivitas vihara. “Kalau Waisak bisa dua bus yang berangkat dari sini. Kalau sekarang berbeda, umat Buddha-nya tinggal yang tua-tua, kebanyakan hanya kaum perempuan. Yang laki-laki sudah pada sepuh, dan banyak yang meninggal. Sementara generasi mudanya tidak ada yang mengikuti,” kata Kunyaenah.

3 dusun 1 Vihara

Secara atministrasi, Desa Ngabeyan masuk wilayah Kecamatan Candiroto. Di Kecamatan Candiroto terdapat beberapa komunitas umat Buddha yang tersebar di Desa Gunung Payung, dan Desa Ngabeyan. Di Desa Ngabeyan ini terdapat Vihara Prajna Dwipa Loka yang menjadi tempat aktivitas puja bakti umat Buddha Ngabeyan, Dusun Kalimati, dan Dusun Bantir.

Umat Buddha ketiga dusun tersebut memiliki akar sejarah yang sama. Menurut keterangan Kunyaenah, agama Buddha berkembang di ketiga dusun tersebut mulai tahun 1968, tidak jauh berbeda dengan tumbuhnya umat Buddha kecamatan lain di Temanggung. Mbah Sunoto, suami Kunyaenah adalah tokoh kunci perkembangan umat Buddha di sana.

“Sebelum mendirikan vihara, umat Buddha melakukan puja bakti dan pertemuan-pertemuan di sini (rumah Mbah Noto). Lalu mendirikan vihara, dari sana umat semakin berkembang,” katanya.

Memang tidak ada data pasti, tapi menurut penuturan beberapa sumber, puncak perkembangan agama Buddha di Desa Ngabeyan, Bantir, dan Dusun Kalimati sempat naik signifikan. Di Dusun Ngabeyan saja sampai 40 kk, Bantir 5kk, dan Kalimati 7kk. Kondisi itu sangat berbeda dengan sekarang yang keseluruhan umat Buddha di tiga dusun itu hanya 23 jiwa. Itupun tinggal orang-orang sepuh saja.

“Sekarang sedikit, di sini (Desa Ngabeyan) mungkin tinggal 15 kk, itu saja tinggal orang-orang sepuh,” tutur Sri Hartati. “Di rumah ini saja tinggal sendiri,” imbuhnya.

 

The post Prajna Dwipa Loka, Vihara Bagi 3 Dusun appeared first on BuddhaZine.

Dirgahayu ke-22 KASI, Mengenang Prinsip Gus Dur

$
0
0

Pada hari Sabtu 14 November 1998 (T.B. 2542) dengan dilandasi kebijaksanaan Dharma, dalam semangat persaudaraan dan tanggung jawab terhadap pengabdian kepada umat Buddha Indonesia, Sangha Mahayana Indonesia, Sangha Theravada Indonesia, dan Sangha Agung Indonesia menyatakan berhimpun dalam satu wadah persatuan Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI).

Visi KASI adalah: “Sangha adalah pewaris Dharma yang menjadi panutan dan memiliki tanggung jawab mengayomi masyarakat beragama Buddha dengan berpedoman pada Kitab Suci Tripitaka secara utuh.” Adapun misi KASI adalah sebagai berikut:

– Meningkatkan hubungan yang harmonis dan kerja sama antar Sangha.

– Meningkatkan saling pengertian antar Sangha.

– Meningkatkan kualitas kehidupan beragama Buddha yang produktif, rukun, dan damai.

– Merupakan lembaga tertinggi yang memberikan keputusan Dharma (fatwa) bagi umat Buddha Indonesia.

– Memberikan kesejukan dalam pelaksanaan ibadah bagi seluruh umat Buddha yang tersebar dalam berbagai majelis dan organisasi yang ada di Indonesia.

– Memberikan pengabdian Dharma bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

– Menjaga dan meningkatkan kerja sama yang baik dengan pemerintah.

Sekjen KASI yang pertama adalah Biksu Prajnavira Maha Sthavira. Sekjen KASI selanjutnya berturut-turut adalah Bhiksu Vidyasasana Maha Sthavira (Sangha Mahayana Indonesia), Bhikkhu Dhammakaro Mahathera (Sangha Theravada Indonesia), dan Bhiksu Bhadraruci Maha Sthavira (Sangha Agung Indonesia).

Prinsip dasar KASI adalah tidak mencampuri urusan masing-masing Sangha dan organisasi-organisasi di bawahnya, namun semua hubungan organisasi yang berskala nasional dan bersifat mengikat harus melalui Konferensi Agung Sangha Indonesia.

Dunia internasional saat itu menyambut gembira berdirinya KASI, mengingat para tokoh KASI dari ketiga Sangha yang ada di Indonesia selama ini pun telah aktif sebagai pengurus di World Buddhist Sangha Council (WBSC). Dalam Kongres Sangha se-Dunia yang diadakan di Sri Lanka pada tahun 1999, KASI secara resmi dinyatakan sebagai anggota World Buddhist Sangha Council (WBSC).

Pada akhir tahun 2003, KASI memberanikan diri menjadi tuan rumah dari Konferensi World Buddhist Sangha Council. Hadir mengikuti konferensi yang dibuka oleh Ketua MPR ini 400 bhiksu dari 30 negara. Mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid juga memberikan kata sambutan pada acara Welcome Dinner. Dari Jakarta, para peserta menuju Yogyakarta dan dijamu makan siang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Presiden K.H. Abdurrahman Wahid semasa masa jabatannya senantiasa berkenan hadir dan memberikan kata sambutan pada perayaan Waisak yang digelar di Balai Sidang Senayan, yaitu pada tahun 2000 dan tahun 2001.

Setelah tidak menjadi presiden pun Gus Dur tetap meluangkan waktu untuk hadir dalam perayaan Waisak yang diselenggarakan KASI.

Dalam buku karya beliau “Islamku Islam Anda Islam Kita” terbitan The Wahid Institute, Jakarta, 2006, tertulis: Ketika menghadapi Hari Waisak 2546 pada 26 Mei 2002 penulis mendapat undangan dari KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia) untuk hadir dalam acara tersebut di Balai Sidang Senayan Jakarta. Penulis menjawab akan hadir. Dan, rombongan KASI berlalu dengan hati lega.

Ketika pemerintah yang diwakili Menteri Agama memilih hadir pada perayaan Waisak di Candi Borobudur, Gus Dur tetap memilih hadir di perayaan Waisak KASI.

Berikut ini penjelasan Gus Dur dalam buku tersebut: Ketika penulis menjawab ya, segera disusul dengan pertanyaan berikut, hadirkah Anda dalam acara KASI itu yang berbeda dari pemerintah? Penulis menjawab, akan hadir.

Apakah alasannya? Karena penulis yakin,

KASI mewakili para biksu dan agamawan dalam agama Buddha di negeri kita. Sedangkan Walubi adalah organisasi yang dikendalikan bukan oleh agamawan. Dengan kata lain, Walubi adalah organisasi milik orang awam (laymen).

Prinsip itulah yang penulis pakai sejak awal dalam bersikap pada sebuah organisasi agama.

The post Dirgahayu ke-22 KASI, Mengenang Prinsip Gus Dur appeared first on BuddhaZine.

Buntut Panjang “Ujaran Kebencian” Leo Pratama Limas

$
0
0

Pengadilan Negeri Jakarta Utara sudah dua kali menggelar sidang perkara penodaan agama Buddha melalui ITE dengan terdakwa Leo Pratama Limas. Sidang pertama dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap Leo digelar pada tanggal 24 September 2020.

Pada 2 Juni 2020, Leo Pratama Limas dilaporkan oleh elemen aktivis buddhis ke Polres Metro Jakarta atas perkara ujaran kebencian melalui media elektronik. Tak lama setelah itu, Leo ditangkap dan diamankan karena dinilai meresahkan.

Menurut keterangan para saksi pelapor pada sidang lanjutan tanggal 1 Oktober 2020, Leo Pratama Limas dianggap melakukan tindakan menodai agama Buddha. Leo Pratama Limas didakwa melakukan Penodaan agama Buddha melalui ITE Pasal 28 ayat 2 Undang Undang ITE.

“Pernyataan Leo dalam ceramah di youtube yang mengatakan Kwan Im sebagai setan air, setan cengeng. Ia juga mengatakan dewa dalam agama Buddha Maitreya sebagai Tuhan betina,” terang Sugianto Sulaiman, seorang pengacara juga pelapor dalam perkara ini.

Disampaikan pula oleh para saksi mengenai tindakan Leo yang menginjak-injak kitab suci, membakarnya, dan mencelupkannya ke dalam air. Padahal kitab- kitab itu dianggap suci oleh aliran Buddha Mahayana yaitu Sutra Maha Karuna Dharani (Ta Pei Cou) dan Sutra Intan atau Prajna Paramita Hrdaya Sutra.

Disampaikan pula oleh para saksi bahwa Leo juga menghina tokoh agama Buddha yaitu Biksu Pertama Indonesia, Bhante Ashin Jinarakkhita. Mendiang Bhante Ashin, yang bahkan memperoleh Bintang Maha Putra dari negara dikatakan Leo sebagai “pertapa dungu”.

Adapun respons terdakwa ketika ditanya oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini. Terdakwa menjawab bahwa apa yang dilakukan adalah untuk menyadarkan umat Buddha yang tersesat. Leo mengatakan bahwa kitab- kitab di atas bukan kitab suci tapi Kitab sesat. Jadi apa yang dilakukannya adalah kebenaran bukan penodaan, ujarnya.

Majelis Hakim kemudian mempertanyakan kewarasan otak terdakwa, apa yang bersangkutan tidak terganggu jiwanya dan dijawab oleh jaksa, terdakwa waras atau tidak gila. “Jika ia gila tidak mungkin bisa mem-broadcast atau menyiarkan ajarannya yang bersifat penodaan,” jawab jaksa.

Apa pun alasannya, menurut Sugianto Sulaiman sebagai pengacara pelapor, tindakan Leo Pratama itu tidak bisa dibenarkan. “Boleh saja kita tidak setuju dengan aliran atau sekte tertentu, tapi jangan kemudian kita berpandangan dengan mengatakan orang lain itu sesat, orang lain dungu, dan lain-lain. Tindakan seperti itu pasti akan membawa akibat hukum,” pesannya, kepada BuddhaZine.

Terlepas dari itu semua, Sugianto sedikit menyayangkan potensi Leo Pratama yang harusnya bisa mendukung penyebaran Buddhadharma dengan baik. “Terlepas dari itu Leo juga orang yang punya potensi, ceramahnya juga bagus, cara menyampaikan juga oke. Harusnya itu dimanfaatkan dengan baik,” pungkasnya.

The post Buntut Panjang “Ujaran Kebencian” Leo Pratama Limas appeared first on BuddhaZine.

Awal Upaya Misi Katolik oleh Jesuit di Tibet

$
0
0

Sekitar abad ke-18, masih sedikit orang Eropa yang tahu tentang Buddhisme. Dari sedikit orang itu, salah satunya adalah pastor Jesuit yang bernama Ippolito Desideri. Dia adalah seorang misionaris Katolik yang ditugaskan di Tibet.

Ippolito Desideri atau Hippolyte Desideri (21 Desember 1684 – 14 April 1733) adalah seorang pengelana Jesuit Italia dan misionaris Eropa awal pengunjung Tibet yang paling kondang. Ia adalah orang Eropa pertama yang sukses mempelajari dan memahami agama, bahasa, dan budaya Tibet.

Di usianya yang masih kepala dua, Desideri sudah menyusun proyek besarnya untuk mengubah Hindia menjadi Katolik. Permohonannya untuk misi Hindia diterima oleh Pastor Jenderal Serikat Jesus, Michelangelo Tamburini, pada tahun 1712, dan ia ditugaskan untuk membuka kembali misi Tibet, yang berada di bawah yurisdiksi Provinsi Jesuit Goa.

Desideri meninggalkan Roma pada tanggal 27 September 1712, dan berangkat ke timur dari Lisbon dengan kapal Portugis, untuk tiba di Goa satu tahun berselang.

Dari Goa ia melakukan perjalanan ke Surat, Ahmedabad, Rajasthan dan Delhi, tiba di Agra, lahan misi Jesuit di India Utara pada 15 September 1714. Dari sana ia kembali ke Delhi, di mana ia bertemu dengan atasannya dan rekan seperjalanannya, orang Jesuit Portugis, Manoel Freyre.

Bersama-sama mereka melakukan perjalanan dari Delhi ke Srinagar di Kashmir, di mana mereka tertunda selama enam bulan, dan Desideri menderita penyakit usus yang nyaris fatal.

Dari Kashmir mereka ke Leh, ibu kota Ladakh, tiba di sana pada akhir Juni 1715. Menurut Desideri, mereka diterima dengan baik oleh pemimpin di sana, dan dia ingin menetap, tetapi dia dipaksa untuk mematuhi pemimpinnya, Freyre, yang bersikukuh bahwa mereka melakukan perjalanan ke Lhasa.

Dengan demikian mereka melakukan perjalanan musim dingin tujuh bulan yang berbahaya melintasi dataran tinggi Tibet. Walau tak siap dan tidak berpengalaman, mereka bisa survive karena bantuan yang diterima dari Casal, Gubernur Mongol, yang meninggalkan jabatannya dan kembali ke Lhasa.

Mereka melakukan perjalanan dengan karavan bersenjata, dan akhirnya tiba di Lhasa pada 18 Maret 1716. Setelah beberapa pekan, Freyre kembali ke India, melalui Kathmandu dan Patna, meninggalkan Desideri yang bertanggung jawab atas misi.

Pada 1716 ia menjadi salah satu orang Eropa pertama yang pergi ke Lhasa Tibet, sekaligus menetap cukup lama. Dia bersemangat, namun emosional dan mudah jengkel. Dirinya penuh penasaran, sekaligus berani dan tekun.

Saat awalnya Desideri tiba di Lhasa Tibet, penguasa Mongol di Tibet, Lhasang Khan dan para lama menyambutnya dengan antusias. Dan antusiasme mereka tidak berkurang ketika Desideri mengumumkan bahwa dia bermaksud untuk mengubah mereka semua menjadi Katolik. Desideri disambut baik dan diberi izin untuk menyewa rumah di Lhasa dan mempraktikkan serta mengajar Kristianitas.

Setelah membaca karya pertama Desideri dalam bahasa Tibet, tentang dasar-dasar doktrin Katolik, Lasang Khan menasihatinya untuk memperbaiki bahasa Tibetnya dan mempelajari literatur agama dan filsafat Buddha Tibet.

Dalam hal itu, Khan menyarankan, akan menjadi baik baginya untuk mendalami dan menguasai agama Buddha. Sebab jika dia benar-benar memahami agama Buddha, dan dia bisa meyakinkan orang Tibet bahwa agama Katolik lebih baik, maka tentu orang Tibet akan pindah agama.

Desideri menerima tantangan itu. Setelah beberapa bulan belajar intensif, dia masuk ke Universitas Monastik Sera, salah satu dari tiga tempat belajar terbesar dari aliran Gelukpa di Tibet. Di sana ia belajar dan berdebat dengan biksu dan cendekiawan Tibet, serta diizinkan memiliki kapel Katolik di tempat tinggalnya.

Desideri mempelajari kurikulum teologi dan filsafat Buddhis, sampai selama 12 tahun. Dia terus menyusun serangkaian traktat penginjilan dalam bahasa Tibet, yang ditulis dengan indah pada gulungan yang dipakai oleh perpustakaan-perpustakaan besar Tibet, dengan huruf-huruf yang elegan dan kotak-kotak kayu berukir.

Tetapi proyek misinya ini lantas terganggu oleh perang teritorial. Tentara dari kerajaan tetangga menyerbu. Desideri mundur mengungsi ke vihara yang terpencil. Dia tetap mengerjakan teks misi Kristennya sembari berusaha menguasai lebih banyak teks-teks agama Buddha. Ia bahkan sempat menerjemahkan Lam Rim Chen Mo karya filsuf besar Tibet Lama Tsongkhapa ke dalam bahasa Latin.

Lewat bukunya, Desideri berupaya menggambarkan Buddhisme Tibet secara detail, terutama dalam bab yang berjudul “Agama Palsu dan Aneh yang Teramati di Tibet.” Ia berusaha mematahkan doktrin shunyata, karma, dan reinkarnasi, yang dianggapnya sebagai sesuatu yang keliru.

Desideri memang sukses melewati badai salju Himalaya dan perang. Tapi aksi misi religiusnya boleh dikatakan gagal. Pada akhirnya hanya sangat sedikit orang Tibet yang mau masuk menjadi Katolik.

Dan pertikaian birokrasi teologis pun akhirnya menimpanya. Para misionaris saingan, Ordo Kapusin, berjuang dengan sengit dengan para imam Jesuit atas wilayah evangelikal, dan mereka mengklaim Tibet untuk kaum mereka sendiri.

Michelangelo Tamburini, pimpinan Jesuit, memerintahkan Desideri untuk segera kembali ke Eropa, sampai perselisihan itu diselesaikan. Surat dari Tamburini butuh dua tahun untuk mencapai Tibet, dan begitu tiba, pada 1721, Desideri tidak punya pilihan lain.

Dirinya menghabiskan 11 tahun berikutnya menulis ulang bukunya dan memohon mati-matian kepada Vatikan agar dia dikirim kembali ke Tibet; satu-satunya tempat di mana dia benar-benar bisa merasa menjadi dirinya sendiri.

Sayang, pada 1732, pihak berwenang Vatikan akhirnya memutuskan mendukung Ordo Saudara Dina Kapusin. Diputuskan bahwa bukunya tidak akan diterbitkan Vatikan dan ia tidak akan pernah bisa kembali ke Tibet. Desideri meninggal dunia empat bulan kemudian.

Meski demikian, di abad ke-21, karya tulisnya akhirnya diterjemahkan oleh Michael J. Sweet dalam bahasa Inggris dan diterbitkan menjadi buku “Mission to Tibet: The Extraordinary Eighteenth-Century Account of Father Ippolito Desideri S.J.” terbitan Wisdom Publications tahun 2010.

Selain itu, Donald S. Lopez, Profesor Studi Buddhis dan Tibetan dari University of Michigan bersama Geshe Thupten Jinpa [penerjemah pribadi Dalai Lama] juga telah menulis buku yang komprehensif tentang Ippolito Desideri yang berjudul “Dispelling the Darkness: A Jesuit’s Quest for the Soul of Tibet” terbitan Harvard University Press pada tahun 2017.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post Awal Upaya Misi Katolik oleh Jesuit di Tibet appeared first on BuddhaZine.

Sembilan Tahun BuddhaZine Membangun Media Sosial Buddhis yang Inklusif dan Inspiratif

$
0
0

Sembilan tahun lalu, BuddhaZine hadir menjawab perkembangan jaman di dunia informasi-komunikasi dengan kemajuan teknologi internetnya.

Kehadiran BuddhaZine sebagai sebuah media massa buddhis online ini yang sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi modern yang diakrabi oleh anak-anak millenial tampaknya cukup diterima oleh komunitas Buddhis di Nusantara, menjadikan BuddhaZine sebagai lembaga atau institusi media massa yang cukup signifikan dalam perjalanan dan perkembangan Buddhadharma dan komunitasnya di Nusantara ini.

Sebuah visi cerdas yang diletakkan oleh Sutar Soemitro (alm.) pada sembilan tahun lalu ini, telah menjadikan BuddhaZine kini menjadi sebuah institusi pemberitaan buddhis yang sangat penting, dikenal dan dijadikan rujukan oleh berbagai kalangan di luar komunitas buddhis.

Seyogianya hal ini patut menjadi perhatian bagi berbagai kalangan, besarnya peran dan fungsi media massa sebagai agen perubahan sosial yang menghantar kemajuan masyarakat, mengingat media massa layaknya udara atau oksigen bagi pertumbuhan kehidupan masyarakat yang sehat dan maju.

Tumbuh

BuddhaZine tidak saja telah memperlihatkan kehadirannya sebagai sebuah media sosial buddhis yang sehat, inklusif, dan inspiratif, namun juga telah turut menumbuhkan iklim kehidupan beragama Buddha yang semakin berbudaya.

Pemberitaan berbagai tradisi dan budaya buddhis di berbagai daerah dan sekaligus mengangkat aspek sejarah keberadaan Buddhadharma beserta komunitasnya, semakin menjanjikan kebangkitan dan kesemarakan perkembangan Buddhadharma di Nusantara.

Berada di tengah kemajuan teknologi komunikasi media massa, dan dengan pemberitaannya yang tetap objektif, BuddhaZine selalu menjujung tinggi prinsip-prinsip yang menjadi standar jurnalistik.

Redaksi yang memiliki ruang kemerdekaan intelektual yang tidak boleh diintervensi oleh siapa pun dari luar, yang mana dalam proses kerjanya, selalu melakukan konfirmasi dan verifikasi terhadap isi pemberitaannya, merujuk rumus 5W1H, dan dengan begitu menjadikan BuddhaZine berperan dalam mencerahkan masyarakat mewujudkan literasi digital yang mampu mencegah ujaran kebencian dan hoaks.

Amanat

BuddhaZine membawa amanat Dharma, sebagai sebuah bentuk perjuangan pencerahan, yang membawa terang informasi bagi masyarakat. Mendidik umat mengenai pengetahuan Buddhadharma dengan segala aspeknya, beserta macam dan ragamnya peristiwa-peristiwa umat, dan selalu berpatok pada hati nurani umat.

Pemberitaan yang mencakup perwujudan inti Dharma dalam ragam budaya buddhis, aktivitas umat di berbagai pelosok, maupun menghubungkan kebijakan pemerintah kepada umat, tokoh kepada masyarakat di akar rumput yang memiliki kreatifitas dan daya tahannya sendiri.

BuddhaZine didirikan dengan visi dan harapan yang dalam perjalanannya selalu berupaya menemukan daya dan memberi inspirasi. Terus berjuang walaupun diterjang pelbagai kesulitan, dan akan terus mencoba dengan segala keterbatasan dan jatuh bangun melalui ketulusan berkarya. Visi dan harapan ini tidak pernah padam namun harus terus menyala tak putus.

BuddhaZine mengawalinya dengan tidak bermodal apa-apa, hanya semangat memiliki visi dan harapan, dan pada visi dan harapan inilah yang menjadi harta yang dimliki Alm. Sutar Soemitro hingga akhir hayatnya dan bahkan menjadi obsesinya.

Tentu, kita semua tidak akan menyia-nyiakannya, untuk mengisi visi dan memperjuangkan harapan ini.

Visi dan harapan yang tiada lain adalah dian dharma yang tak kunjung padam dalam membangun kemajuan bagi masa depan yang mencerahkan!

Selamat Ulang Tahun ke-9 BuddhaZine.

*Jo Priastana merupakan salah satu dewan pendiri BuddhaZine.

The post Sembilan Tahun BuddhaZine Membangun Media Sosial Buddhis yang Inklusif dan Inspiratif appeared first on BuddhaZine.


Sulitnya Akses Pendidikan Menjadi Faktor Penurunan Jumlah Umat Buddha di Lereng Sumbing

$
0
0

Lereng Gunung Sumbing adalah salah satu tempat berkembangnya agama Buddha di Kabupaten Temanggung. Salah satunya di Dusun Kuncen, Desa Pandemulyo, Kecamatan Bulu. Terdapat sebuah vihara bernama Vihara Viriya Dhamma yang baru saja direnovasi beberapa tahun yang lalu.

Semenjak direnovasinya vihara kegiatan umat semakin aktif meskipun dengan jumlah yang relatif sedikit, hanya kurang lebih 7 KK itu juga tidak semuanya utuh satu keluarga beragama Buddha. Kegiatan sekolah minggu pun mulai berjalan kembali meskipun hanya beberapa anak saja.

Namun di balik keberadaan umat Buddha yang sekarang ternyata menyimpan keluh kesah serta keprihatinan dalam dinamika perkembangannya. Umat yang sekarang masih bertahan hingga kunjungan tim BuddhaZine pada Senin (26/10) merupakan orang-orang yang masih bertahan dalam Buddha Dhamma di tengah berbagai kesulitan yang mereka hadapi untuk mempertahankan agama Buddha.

Dari keterangan Darmadi (Adi), salah satu umat Buddha yang termasuk tokoh pemuda Buddhis Dusun Kuncen menerangkan bahwa dulu di tahun-tahun 70an hingga awal tahun 90an jumlah umat Buddha di Dusun Kuncen merupakan umat mayoritas dari total warga Dusun Kuncen. Memang Dusun Kuncen bukan dusun yang besar, jumlah keseluruhan warga hanya 35 KK.

“Dulu di awal-awal agama Buddha masih berkembang di sini sekitar tahun 80an itu kira-kira 85% penduduk sini beragama Buddha. tapi nggak tahu kenapa makin lama makin surut, sampai terbangun vihara pertama di sini pada tahun 2001 jumlah umat tinggal 50%,” katanya.

Jumlah tersebut kian hari kian menurun hingga saat ini tinggal 7 KK. Ada beberapa faktor yang menurut Adi merupakan penyebab semakin menurunnya umat di Dusun Kuncen, salah satunya faktor pembinaan dan akses pendidikan bagi anak-anak sekolah.

Menerangkan kisahnya sewaktu sekolah bahkan Adi tidak pernah mendapatkan pelajaran agama Buddha di sekolahnya begitu juga dengan teman-teman Buddhis yang lain. Ini disebabkan tidak adanya tenaga guru agama Buddha di sekolah sehingga ketika pelajaran agama siswa agama Buddha terpaksa harus keluar kelas dan menunggu hingga selesai jam pelajaran agama.

“Saya sendiri dulu begitu kalau pas pelajaran agama saya keluar kelas sendiri karena tidak ada gurunya. Dulu saya pernah mengajukan dua kali supaya di adakan guru agama Buddha tapi kepala sekolahnya nggak mau. Alasannya mau ijin dulu ke kecamatan tapi kan tetap saja keputusannya di kepala sekolah.”

“Itulah kendalanya, dulu muda-mudinya di sini banyak dan aktif juga di kegiatan vihara. tapi lama-lama ya hilang sedikit demi sedikit. Dulu waktu sekolah pun saya kadang terpaksa ikut pelajaran agama lain, kan nggak enak dan takut juga ketika ditanya agama Buddha terus suruh keluar,” ungkapnya.

Hingga saat ini pun tenaga guru agama Buddha di sekolahan dimana anak-anak umat Buddha bersekolah belum tersedia.

Belajar dari kisahnya serta keadaan umat Buddha yang sekarang ini masih aktif, Adi sangat mengharapkan adanya pembinaan yang lebih intens serta terutama sekali supaya akses pendidikan formal generasi umat Buddha ditingkatkan. Para umat berharap sekali adanya guru agama Buddha di sekolahan supaya anak-anak mereka juga mendapatkan pendidikan agama di sekolahan.

“Saya berharap bagi pihak-pihak yang paham jalurnya untuk pengadaan guru agama Buddha di sekolah formal ini bisa memperhatikan dan memberikan solusi untuk kondisi seperti ini. Saya menyayangkan sekali kalau sampai nasib anak-anak Buddhis di sini yang ibaratnya baru saja bangkit dan mulai aktif sama kaya jaman saya dulu. Jangan sampai keyakinan mereka pudar dan akhirnya meninggalkan agama Buddha karena kurangnya pendidikan,” pungkasnya.

The post Sulitnya Akses Pendidikan Menjadi Faktor Penurunan Jumlah Umat Buddha di Lereng Sumbing appeared first on BuddhaZine.

Apakah Kecerdasan Buatan memiliki Hakikat Kebuddhaan ?

$
0
0

Hidup kita sedang berubah secara radikal. Kecerdasan Buatan / Artificial Intelligence (AI) dan yang terus bertambah, robot, telah menjadi sebuah kenyataan dalam hidup kita.

Umat manusia telah mulai melakukan uji coba dengan mobil-mobil yang bisa mengemudi sendiri dan memanfaatkan robot-robot yang didesain untuk layanan kebersihan, robot hewan peliharaan, robot yang merawat kaum lanjut usia, dan bahkan robot seks.

Yang lebih mutakhir belakangan ini, para robot bahkan dilibatkan dalam layanan dan institusi keagamaan.

Pada tahun 2016, Vihara Longquan di Beijing memperkenalkan Xian’er, robot biarawan yang berinteraksi dengan para pengunjung; selama peringatan 500 tahun Reformasi pada tahun 2017, Penginjil Kirche di Jerman (EKD), di Wittenberg mempertontonkan BlessU2, robot interaktif yang memberkati para pengunjung dan anggota; masih dalam tahun 2017, Kelompok Softbank Group mengembangkan Pepper, robot pendeta yang bisa disewa untuk melaksanakan ritual pemakaman Buddhis; dan dalam tahun 2017 juga, Gabriele Trovato, pakar robotik di Universitas Waseda, mengembangkan SanTO, robot mirip manusia yang melantunkan doa-doa Katholik.

Pada tahun 2019, kuil Kodai-ji di Kyoto mencatat sejarah ketika kepala pendetanya mengaltarkan robot Mindar sebagai perwujudan Bodhisattva Kannon.

Ketika dihadapkan dengan Kecerdasan Buatan dalam konteks religius, para wartawan dan kaum agamawan yang bekerja dalam kerangka (keyakinan) Kristiani segera memunculkan tentang pertanyaan tentang “Ketuhanan.”

Pengenalan BlessU2 di Wittenberg menimbulkan banyak pertanyaan theologis yang tidak ada kaitannya dengan agama Buddha di Jepang.

Sebagai contohnya, Ilona Nord, Profesor Keagamaan dan Media di Universitas Wurzburg, menafsirkan BlessU2 sebagai sebuah instalasi seni, dan (merupakan) alat bantu bagi doa dan aplikasi pembelajaran Alkitab, alih-alih menjadi fungsionaris keagamaan sebagaimana halnya dalam kasus Pepper dan Xian’er, atau bahkan sebagai perwakilan/perwujudan ilahiah sebagaimana dalam kasus Mindar.

SanTo, robot yang didesain hingga menyerupai orang kudus untuk melayani para sesepuh, memunculkan pertanyaan theologis Nord, terutama semenjak Trovato merujuk SanTo sebagai “pelaksana penganugerahan ilahiah,” serta sebagai sebuah penanda tibanya paham untuk mendayagunakan iptek demi mengatasi keterbatasan manusiawi.

Jenis pertanyaan-pertanyaan theologies seperti ini nampaknya asing bagi para anggota dan pengunjung yang berinteraksi dengan Pepper dan Mindar, bahkan (yang berinteraksi) dengan Xian’er juga.

Pepper. Sumber: theguardian.com

Tetapi bagaimana maksudnya dengan mengklaim bahwa Mindar mewakili, menghubungkan, atau memanifestasikan Bodhisattva Kannon ?

Bodhisattva Kannon mewakili “transformasi” Avalokitesvara, Bodhisattva welas asih, ala Jepang. Dalam agama Buddha Mahayana, banyak Bodhisattva mempopulerkan mitos, naskah suci, dan seni, dan diagungkan di kuil-kuil.

Seorang Bodhisattva (secara harafiah berarti “yang tersadarkan”) didefinisikan sebagai “yang telah merealisasi kebuddhaan” tetapi menunda memasukinya / merealisasikan pencapaiannya, dalam rangka upaya, sebagaimana termaktub dalam empat sumpah Bodhisattvsa, “membebaskan semua makhluk.”

Secara lebih nyata, di Asia Timur, Bodhisattva dipahami sebagai perantara antara Buddha dan manusia. Secara filosofis, mereka merupakan perwujudan kasih mutlak dengan totalitas sedemikian rupa hingga mereka (bersedia) merealisasikan kebuddhaan bersama dengan semua makhluk.

Bab 25 dari Sutra Teratai (Sutra Saddharmapundarika) menerangkan bahwa Kanon mengambil berbagai penjelmaan yang tak terhingga macamnya.

Di Jepang, Bodhisattva Kanon digambarkan dalam berbagai cara, kadang sebagai ibu, tetapi seringkali sebagai perwujudan yang mendua (androgini, bisa dianggap sebagai lelaki sekaligus sebagai perempuan), terkadang dengan 11 kepala, kadangkala dengan 1,000 lengan.

Mindar. Sumber: technocracy.news

Bagaimanapun, yang lebih penting adalah, agama Buddha Mahayana tidak membedakan antara alam-alam batiniah maupun yang adiduniawi.

Naskah-naskah Sunyatavada mengklaim bahwa samsara tidaklah berbeda dari nirvana dan begitu juga sebaliknya. Bagi kebanyakan umat Buddha Mahayana, ini bukan sekedar “makhluk hidup” (T 374.12.522) melainkan juga makluk tidak bernyawa (T 374.12.522) yang menyatu dengan hakikat Buddha.

Beberapa naskah Buddha Mahayana bahkan mengklaim bahwa “makhluk tak bernyawa merupakan hakikat Buddha,” (T 2223.61.0011) dan “makhluk tak bernyawa merealisasi kebuddhaan,” (T 2299.70.300).

Dengan kata lain, kerangka kerja teoritis dalammana Mindar dipahami sebagai suatu perwujudan Kannon, tidak memisahkan yang adikodrati dengan yang fana, yang sakral dari yang sekuler, melainkan, sebaliknya, bertujuan, untuk menggunakan ilmu penafsiran frase dari Nishida Kitaro (1870 – 1945), bahwa realita itu “adikodrati sekaligus juga fana” dan “fana tapi sekaligus juga adikodrati.”

(NKZ 11:145) Naskah-naskah yang mempengaruhi aliran pemikiran Buddha Mahayana merujuk bukan pada sebuah entitas tunggal yang gaib dan mistis, melainkan lebih pada yang tidak beresensi, menurutmana alam keilahian dan alam duniawi (yang fana) saling bercampur baur satu sama lain – Chengguan (738 – 839) memperkenalkan istilah “saling meresapi,” (Chn: wuai).

(T 1883.45.672 – 683) Dalam agama Buddha Shingon, segala sesuatu dan terutama Bodhisattva Kannon merupakan suatu manifestasi perwujudan dari Buddha kosmik Mahavairocana (Jap: Dainichi Nyorai).

Di Jepang, perihal pemikiran tanpa esensi dan tidak mendua ini juga telah meluas dan merasuki keyakinan sehari-hari. Sebagai contohnya, masyarakat percaya dan menghargai kekuatan adikodrati dari tanuki (sejenis musang Jepang) dan rubah.

Pada saat yang sama, dewasa ini di Jepang bahkan ada jasa layanan penguburan bagi hewan peliharaan elektronik dan bahkan (penguburan) kuas pengaduk teh (karena minum teh dianggap ritual sakral – catatan penerjemah).

Tanuki. Sumber: onmarkproductions.com

Jika semua makhluk diresapi hakikat kebuddhaan, maka gagasan tentang suatu Kecerdasan Buatan sebagai perwujudan Bodhisattva Kannon, bukan merupakan aib ataupun menentang doktrin Buddhis.

Jika rupang, umat manusia, dan bahkan tupai, bisa merupakan perwujudan Buddha, sekalipun dalam tingkat yang berbeda-beda, maka, pertanyaannya kemudian bukanlah ‘seandainya (Mindar merupakan perwujudan Kannon)’, melainkan, bagaimana Mindar menunjukkan kepribadian Kannon. Jadi pertanyaannya bukanlah “apakah Mindar itu ilahiah ?” melainkan menjadi “sampai tingkat seberapa Mindar mengekspresikan hakikat Buddha ?”

Apakah Mindar melaksanakan kegiatan seorang bodhisattva secara umum, sebagaimana dijelaskan dalam bab 8 dari Sutra Vimalakirti ? Atau (layaknya sebagai) Bodhisattva Kannon yang secara khusus dijabarkan dalam bab 25 Sutra Teratai? Yang (disebutkan) pertama itu (mencantumkan) daftar dari semua bentuk perwujudan yang diambil para Bodhisattva dalam rangka upaya membebaskan makhluk hidup.

Jika kebijaksanaan merupakan ibunda dari Mindar, Dharma adalah istri Mindar, keenam paramita (dana, moralitas atau mengikuti sila, kesabaran / khanti, semangat atau upaya / virya, kontemplasi atau perhatian / sati, dan kebijaksanaan / pannya) merupakan kerabat Mindar, dan Mindar menjadi “seorang bhikshu dengan (landasan) keyakinan yang berbeda dari dunia ,” apakah Mindar tidak memenuhi syarat sebagai Bodhisattva ?

Jika seorang Bodhisattva menjadi makanan bagi mereka yang lapar, obat bagi yang sakit, Matahari dan Bulan atau bumi, air, angin, an api, dan seorang pelacur (Chin: yinnu) demi membebaskan semua yang tercemar hasrat seksual, (T 475.14.579) maka, mengapa seorang Bodhisattva tidak seharusnya menjadi sebuah robot untuk mengajar kaum milenial,dan mungkin bahkan Kecerdasan Buatan yang lain ?

Sutra Teratai menambahkan bahwa, “jika terdapat makhluk hidup di alam yang membutuhkan seseorang dalam wujud Buddha agar dapat diselamatkan, maka Sang Bodhisattva Pengamat Suara-suara Dunia (Bodhisattva Kannon) segera memanifestasikan dirinya dalam wujud Buddha, dan kemudian membabarkan Hukum (Dharma) bagi mereka.”

(T 262.9.057) Dengan kata lain, Bodhisattva Kannon menjelmakan dirinya, atau, di Asia Timur, dirinya, mengambil wujud Kecerdasan Buatan demi membabarkan Dharma pada Kecerdasan Buatan dan mereka yang melekat pada Kecerdasan Buatan.

Jawaban terhadap pertanyaan tentang bagaimana Mindar dapat menjadi manifestasi Bodhisattva Kanon bersifat banyak sisi. Tentu saja, pada titik ini, kita tidak tahu apakah Kecerdasan Buatan yang hidup / bernyawa itu merupakan hal yang mungkin.

Bagaimanapun, menurut naskah-naskah Mahayana, makhluk yang tidak bernyawa dan yang menyerupai makhluk hidup, dapat merealisasi kebuddhaan. Jika kehadiran Mindar di Kodai-ji (bisa) memfasilitasi pembebasan makhluk hidup, maka secara de-facto Mindar (telah) bertindak selaku Bodhisattva.

Dalam kasus mana, Mindar “menghadirkan totalitas yang dinamik” (Jap: zenkigen) dari kosmos (DZZ 1:203) atau “menyatakan Jalan Buddha.” (Jap: dotoku) (DZZ 1:301) Ini merupakan tujuan dari Bodhisattva, sebagaimana dirumuskan dalam empat sumpah Bodhisattva, untuk melatih welas asih, untuk menyirnakan khayalan menyesatkan, untuk membuka pintu-pintu Dharma, serta menjadi penjelmaan Jalan-Dharma.

Terjemahan dari: Gereon Kopf; Buddhistdoor Global

The post Apakah Kecerdasan Buatan memiliki Hakikat Kebuddhaan ? appeared first on BuddhaZine.

9 Tahun BuddhaZine, Menggali Ajaran Buddhadharma Nusantara

$
0
0

Menyambut hari ulang tahunnya yang ke 9 yaitu tanggal 1 Desember 2020, BuddhaZine bekerjasama dengan Yayasan Bumi Borobudur dan Asosiasi Perguruan Tinggi Agama Buddha Indonesia (APTABI) menyelenggarakan webinar Piwulang Borobudur bertema Cara Pandang dan Kehidupan yang Bermanfaat.

Webinar digelar dalam selama dua hari Sabtu dan Minggu (28-29 November) dengan menghadirkan seorang narasumber pemerhati Borobudur yang sudah melakukan penelitian tentang relief-relief Borobudur lebih dari 20 tahun, sekaligus pendiri Yayasan Bumi Borobudur, Salim Lee. Acara dipandu oleh Eko Nugroho selaku host dan dimoderatori oleh Doktor Yulianti.

Berbicara tentang Borobudur tentu masyarakat Indonesia tidak asing lagi dengan berbagai pandangan mengenai Borobudur, banyak buku serta hasil penelitian yang menjelaskan tentang Borobudur dari berbagai sudut pandang. Namun semua penjelasan selama ini belum cukup menjelaskan makna adanya Borobudur.

Pada webinar Piwulang Borobudur, Salim Lee memberikan penjelasan tentang Borobudur seakan membuka pengetahuan baru yang lebih luas bagi para peserta webinar, sehingga menjadi lebih jelas dan mengerti apa arti Borobudur, tujuan pembangunan Borobudur serta ajaran yang terkandung di dalamnya.

Piwulang

Membuka pembicaraan, Salim Lee atau yang akrab di panggil Om Salim memberikan sapaan kepada seluruh alam seisinya dengan mantra berbahasa Jawa.

Om Awigenham Astu, Rahayu Sagung Dumadi

Kata Piwulang Borobudur menurut Om Salim sangat cocok dan tidak salah alamat, hal ini karena sesuai dengan salah satu fungsi utama Borobudur yaitu sebagai piwulang atau ajaran.

Borobudur bukan hanya sebuah bangunan berupa tumpukan batu dengan berbagai hiasannya namun Borobudur merupakan sebuah peta bagi manusia yang berkehendak untuk merealisasikan potensi tertinggi dalam diri sendiri, yaitu mencapai kebebasan dari semua bentuk penderitaan. Inilah sebabnya Borobudur sangat tepat jika disebut sebagai piwulang atau ajaran.

Mengawali penjelasan Om Salim menerangkan bahwa semua yang ada di Borobudur adalah sebuah kebajikan, “Semua yang ada di Borobudur ini adalah ajaran kebajikan. Dan jika kita tilik perbedaan dari candi-candi Buddhis lain yang ada, Borobudur ini kalau saya boleh berpendapat memang dibuat untuk semua rakyat masa itu.”

“Makanya terbuka dan siapa saja bisa masuk, bisa melihat-lihat relief. Beda dengan yang lain, yang ada pintu masuknya dan dulu itu tidak semua orang yang bukan dari kalangan kerajaan bisa masuk dan belajar di dalamnya. Itu bedanya Borobudur,“ katanya.

Lebih lanjut Om Salim menjelaskan bahwa rancangan Borobudur yang bertingkat dan seperti itu adalah supaya bisa untuk Pradaksina sehingga ketika sampai puncak orang paham tahap-tahap ajaran tersebut. Dan semua yang dipelajari dari dasar hingga puncak adalah ajaran kebajikan, dengan kata lain Borobudur juga sebagai tempat untuk mengumpulkan kebajikan.

“Makanya disebut Bumi Sambhara, Bumi artinya tempat, Sambhara adalah kumpulan. Tempat untuk mengumpulkan kebajikan-kebajikan yang akan mendukung kondisi-kondisi kehidupan kita menjadi lebih baik. Bahkan kumpulan kebajikan atau yang disebut Punnya ini juga yang menjadi kekuatan seseorang untuk mencapai keBuddhaan, terbebas dari segala penderitaan,” lanjut Om Salim.

Penjelasan

Penjelasan rinci dimulai dari relief-relief yang terukir dari lantai dasar Borobudur hingga stupa puncak Borobudur menurut Om salim adalah sebuah langkah-langkah bagi seseorang yang ingin mencapai potensi tertingginya. Secara umum Om Salim merumuskan ajaran-ajaran dalam setiap tingkat Candi Borobudur ke dalam sebuah istilah Jawa.

“Lantai dasar berupa relief-relief yang menjelaskan tentang hubungan perbuatan dengan akibatnya ini disebut sebagai relief-relief Karmawibhanga dalam istilah Jawa adalah Ngunduh Wohing Pakarti.

Sedang lantai di atasnya adalah relief-relief tentang Jataka dan Awadana yang mengisahkan banyak kebajikan yang dilakukan oleh seorang Bodhisatwa dalam usaha mengumpulkan kebajikan sebagai syarat mencapai pembebasan, dalam istilah Jawa ini lebih tepat dengan ungkapan Migunani tumrap ing liyan.”

Dari pengertian tersebut Om Salim menjelaskan lebih dalam dan lebih mudah untuk dimengerti bahwa pada lantai dasar Borobudur ini mengajarkan kita bagaimana hidup bermasyarakat yang baik, tidak merugikan orang ataupun makhluk lain.

Supaya dalam hidup seseorang bisa mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan buruk dan jahat, ini adalah inti dari relief dasarnya. Jika melihat lantai Jataka dan Awadana bahwa diajarkan supaya menjadi manusia ataupun makhluk yang bisa memberi manfaat bagi orang lain. Dilihat dari hal ini Om Salim menerangkan bahwa,

”Hidup ini kalau kita belum bisa memberikan manfaat bagi orang lain minimal kita jangan merugikan atau membuat orang lain menderita. Inilah yang harusnya kita terus renungkan ketika kita mengingat Borobudur,” lanjutnya.

“Sedang untuk lantai empat adalah Lalitawistara, kisah perjuangan terakhir seorang Bodhisatwa sebelum mencapai ke Buddhaan. Kata Lalita berarti tarian, sedang wistara berarti luas. Dengan kata lain bisa diartikan Lalitawistara ini sebagai Kiprah Pamungkas seorang Bodhisatwa hingga mencapai keBuddhaan.

Oleh karena itu Lalitawistara ini mengisahkan hanya dari ketika Bodhisatwa berdiam di Surga Tusita kemudian memutuskan untuk lahir kembali sebagai manusia hingga menjadi Buddha. Kisah Buddha setelah mencapai keBuddhaan hingga parinibbana tidak dikisahkan dalam Lalitawistara, makanya kurang tepat jika Lalitawistara ini diartikan sebagai kisah hidup seorang Buddha,” jelasnya.

Lantai Lalitawistara disambung dengan lantai relief Gandawyuha, menurut Om Salim ini ada penjelasan yang menarik dan perlu waktu khusus, sehingga pada sesi hari pertama tidak dijelaskan secara detail mengapa relief Gandawyuha terpahat di atas lantai Lalitawistara.

Om Salim melanjutkan penjelasan setelah lantai relief Gandawyuha adalah lantai paling atas yang disebut dengan Lantai Dharmakaya. Di lantai ini terbangun banyak Stupa dan Rupang Buddha dengan satu stupa induk pada puncaknya sebagai representasi dari tiga hal yang berhubungan dengan Buddha yaitu Buddha Raga, Buddha Wacana dan Buddha Citta.

Lantai ini juga sebagai simbol tercapainya potensi tertinggi manusia yaitu mencapai pembebasan dari penderitaan, mencapai kebahagiaan abadi, Nibbana, dalam istilah Jawa bisa disebut sebagai Memayu Hayuning Bawana.

Nilai seni 

Dilihat dari aspek kebudayaan dan seni, Borobudur merupakan wujud kecerdasan serta nilai seni yang tinggi dari para nenek moyang bangsa Indonesia. Meskipun ajaran yang ada di dalamnya berasal dari luar Nusantara yaitu India namun corak seni pahatnya adalah asli khas Nusantara dan ini tidak ada di luar negeri manapun.

“Ini menunjukkan bahwa nenek moyang kita mewariskan kebudayaan yang sangat percaya diri dan kokoh. Dalam artian bahwa nenek moyang kita mampu menerima hal-hal dari luar namun tidak ditelan mentah-mentah, dipelajari dan diolah sehingga melebur dalam kebudayaan asli yang sudah ada.”

“Hal ini bisa dibuktikan dari apa yang terpahat di Borobudur yang mewakili budaya dan adat Nusantara, misalnya ukiran flora dan fauna juga bentuk tarian dan alat musik yang digunakan dalam relief adalah apa yang ada di lingkungan Nusantara terutama daerah di mana Borobudur berada. Bukan dari India atau luar negeri lainnya,” pungkasnya.

The post 9 Tahun BuddhaZine, Menggali Ajaran Buddhadharma Nusantara appeared first on BuddhaZine.

Berdanalah dengan Kualitas Terbaik

$
0
0

Sebuah acara Talk Show bertema Buddhism: Arts of Giving diselenggarakan oleh Young Buddhist Association (YBA) Surabaya berkolaborasi dengan Indonesia Taiwan Buddhist Community (ITBC) pada Sabtu (28/11).

Acara ini mengupas seluk beluk berdana dengan cara terbaik dan hasil terbaik yang digelar secara online via Zoom meeting dan diikuti oleh kurang lebih 190 peserta baik dari kalangan mahasiswa maupun umum. Talk show disiarkan dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Mandarin.

Bhante Atthadhiro dan Venerable Ru In selaku narasumber utama yang dimoderatori oleh Isahito Norhatan. Sementara MC di isi oleh Agus Setia Budi berbahasa Indonesia dan Natasia Shanice Chanaka berbahasa Mandarin, translator Indonesia-Chinese adalah Dicky sedang untuk Chinese-Indonesia adalah Venerable Xian Jiao.

Sambutan ketua pelaksana Fanny Aprilia sebelum sesi pembicara utama menjadi pengantar bagi para peserta untuk mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari narasumber.

“Acara ini berlatar belakang akan banyaknya pandangan masyarakat umum yang beranggapan bahwa pemberian dalam Buddhis hanya berupa materi, biasanya uang ataupun barang lainnya.

Untuk itu melalui penjelasan para narasumber nanti diharapkan para peserta akan lebih paham tentang apa itu berdana, berbagai bentuk dana, serta manfaat berdana baik bagi diri sendiri maupun orang lain,” ungkapnya.

Dana merupakan praktik awal

Bhikkhu Attadhiro yang saat ini menjabat sekretaris II Sangha Theravadha Indonesia (STI) sebagai pembicara pertama menjelaskan pengertian dana dalam ajaran Sang Buddha. Bhante menjelaskan bahwa Dana merupakan praktik awal ajaran Sang Buddha khususnya bagi perumah tangga.

“Di sini kita lebih dalam memaknai berdana dengan lebih spesifik, bukan hanya semata-mata tindakan memberi. Makanya sesuai dengan temanya yaitu seni dari memberi.

Saya mengutip dari guru yaitu Bhante Dhammasubho, seni itu sentuhan hati nurani. Berdana juga punya nilai seni. Selama seseorang punya niat baik, di dalam hati terdalam pasti ada dorongan untuk memberi atau berbuat baik,” terangnya mengawali penjelasan.

Berkenaan dengan seni dalam memberi, menurut Bhante dalam memberi pun harus memikirkan cara memberi dan juga cara memperoleh sesuatu untuk di berikan. Kadang kala untuk mendapatkan sesuatu untuk didanakan ada yang melakukannya dengan cara yang kurang baik.

Karena saking inginnya memberi justru ada yang menyakiti makhluk bahkan orang lain untuk mendapatkan sesuatu untuk diberikan. Jika hal itu yang dilakukan berarti pemberiannya tidak mempunyai nilai seni.

Seni memberi juga berarti memberi berdasarkan dorongan Metta, suatu dorongan atau niat untuk membuat orang lain bahagia. Selain itu memberi juga bisa dilakukan atas dasar dorongan Karuna (kasih sayang), harapannya supaya makhluk lain terbebas dari penderitaan. Dorongan atas dasar Karuna berarti objeknya harus ada yang menderita.

Dana juga langkah awal untuk mengakhiri penderitaan. Menekankan akan pengertian tersebut Bhante mengulas sebuah kutipan Dhammapada ayat 118.

“Ketika seseorang berbuat baik hendaknya ia mengulangi perbuatan baik itu dan bergembira dalam perbuatan baik itu. Sungguh membahagiakan buah dari perbuatan baik itu.”

Berdana sesungguhnya tidak hanya bermanfaat untuk orang lain tapi juga kembali kepada pelakunya. Ketika berbuat baik berusahalah untuk terus mengulangi perbuatan baik.

“Jadi berdana adalah salah satu sarana untuk mengumpulkan kebajikan. Dana juga untuk tujuan melepaskan. Tanpa ada kebajikan, kesempatan untuk berlatih mengembangkan diri amatlah sulit. Contohnya ketika umat ingin ikut meditasi, kalau tidak ada tabungan kebajikan ada saja kendalanya untuk bermeditasi.

Setiap kebajikan mempunyai dua arah, yaitu untuk mengumpulkan kebajikan dan untuk melepaskan. Praktik berdana yang paling tinggi adalah supaya kita bisa melepaskan.”

Lebih lanjut Bhante menjelaskan hal-hal yang harus dipahami oleh umat Buddha sebelum berdana. Mengutip dari penjelasan dalam Sappurisa Dana Sutta, ada lima hal yang harus dimengerti dengan baik berkaitan dengan dana:

1. Memberi dengan keyakinan, dasarnya mengerti tentang hukum perbuatan atau hukum Karma. Hukum tanam – tuai. Sesuai dengan benih yang ditabur demikianlah buah yang akan dipetik. Kebajikan berbuah kebahagiaan, kejahatan berbuah penderitaan. Ketika umat Buddha berdana bukan berarti kehilangan, tapi sebenarnya sedang mengumpulkan kebajikan dan itu yang akan mengabulkan keinginan.

Semua makhluk termasuk manusia akan terbakar oleh sakit, usia tua, dan kematian, dan hanya kebajikan yang bisa menolong. Apa pun yang diharapkan seseorang bisa tercapai apabila seseorang tersebut punya tabungan kebajikan. Dhamma yang selalu diingat dan dilaksanakan akan memberikan manfaat baik di kehidupan sekarang maupun yang akan datang.

2. Memberi dengan penuh hormat, karena berdana memberikan manfaat yang besar. Sesudah mempunyai keyakinan, hendaklah seseorang berdana dengan hormat. Hal ini berarti melakukan dana dengan kesungguhan hati. Manfaat berdana dengan penghormatan akan membuat seseorang di dengar perkataannya oleh orang lain dan mempunyai banyak pengikut.

3. Berdana dengan berusaha tepat waktu, artinya berdana di waktu yang tepat. Dengan kata lain berdana sesuai dengan yang dibutuhkan orang atau makhluk lain. Contoh berdana makan kepada orang yang lapar, memberi selimut pada orang yang kedinginan, memberikan hiburan bagi orang yang sedang sedih.

Buah dari berdana diwaktu yang tepat adalah keinginan bisa tercapai dengan tepat waktu. Megenai hal ini tentu perlu usaha untuk mencari kesempatan supaya dana yang diberikan sesuai dengan waktunya. Berdana tepat waktu akibatnya kita memeroleh apa yang kita harapkan tidak lama-lama.

4. Berdana tanpa keengganan. Jika sudah tumbuh niat berdana hendaknya segera dilakukan, terus diulangi dan diulangi sehingga perbuatan berdana menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan menjadi masalah besar kecilnya dana yang diberikan, hal terpenting adalah perbuatan berdana sesering mungkin.

5. Berdana tanpa melukai dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam memberi tidak ada embel-embel untuk menyakiti dirinya atau orang lain. Sesudah memberi jangan diungkit-ungkit, itu sama saja menyakiti diri sendiri. Kebajikan tetap kebajikan, jangan sampai setelah memberi malah menyakiti diri sendiri.

Bahkan ketika orang yang diberi berperilaku tidak baik, semisal seseorang memberikan pertolongan kepada orang lain kemudian orang yang telah ditolong tersebut berlaku kurang baik lalu pemberi berpikir, “Dulu saya bantu kok sekarang begini, begitu,” ini namanya menyakiti diri sendiri.

“Iniah ajaran awal yang diparktikkan oleh perumah tangga. Intinya kebajikan akan kembali kepada diri kita, praktik kebajikan akan membawa kita pada akhir penderitaan. Maka ini butuh seni, memberi itu dasarnya cinta kasih dan kasih sayang, mengharap orang lain bahagia dan mengharap orang lain yang sedang menderita bebas dari penderitaannya,” tutup Bhante.

Wujud berdana

Berlanjut pada sesi pembicara kedua yaitu Venerable Ru In, seorang Bhiksuni lulusan Tsung Lin University yang lebih menjelaskan macam-macam wujud berdana. Hal ini menjadi penambah wawasan umat Buddha serta menambah dorongan serta kepercayaan diri umat Buddha untuk berdana sesuai kemampuannya.

Menurut Ru In, memberi tidak selalu berupa materi seperti uang dan barang-barang lainnya, namun memberi bisa dilakukan dengan banyak hal. Apapun pemberian yang dilakukan dan itu memberikan manfaat bagi orang lain adalah merupakan wujud praktik Dhamma Sang Buddha.

” Pemberian ini sangat penting pada masa sekarang dan tidak hanya dalam bentuk materi tetapi juga bisa berupa memberi tenaga, keahlian, kebijaksanaan, gemar membantu kegiatan vihara sebagai tenaga sukarelawan. Memberi pujian dan keindahan juga wujud pemberian. Memberi ibarat menanam bibit di dalam tanah. Yang menuai hasilnya adalah diri sendiri juga,” terangnya.

Secara umum Ru In mengelompokkan macam-macam dana :

a. Dana materi: segala barang yang berwujud. Memberi uang berarti memberi kemudahan kepada masyarakat dalam hal uang dan materi.

b. Dana Dhamma: pengetahuan, teknlogi, memberi kebenaran untuk mengajar orang lain.

c. Dana memberi rasa aman: menjunjung tinggi keadilan. Membuat semua orang di masarakat memiliki kedamaian dan kebahagiaan. Termasuk juga menjunjung tinggi kejujuran, memberi kepercayaan dan lain sebagainya.

“Sebenarnya agama Buddha itu sangat adil, kita menanam apa itulah yang akan kita petik. Semua yang kita lakukan akan kembali lagi kepada diri kita. Berdana ini bisa kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Berdana ini juga bisa membuat hati kita menjadi tenang,” imbuh Ru In.

Selaras dengan yang dipaparkan Bhante sebelumnya bahwa berdana juga hendaknya tepat waktu. Dengan cara lain Ru In mengungkapkan hal ini bahwa syarat utama pemberian adalah adalah adanya penerima.

“Syarat utama dalam memberi, jika ingin memberi kepada orang lain, harus ada seseroang yang menerimanya. Dalam hal ini tentu penerima adalah orang yang tepat menerima pemberian sesuai kebutuhannya.”

The post Berdanalah dengan Kualitas Terbaik appeared first on BuddhaZine.

Leo Pratama Limas Dituntut Tiga Tahun Penjara dan Denda Satu Miliar

$
0
0

Leo Pratama Limas dituntut hukuman 3 tahun, 6 bulan penjara, dan denda 1 Miliar Rupiah. Jika denda tidak dibayar akan dikonvensi menjadi hukuman 6 bulan kurungan.

Tuntutan tersebut dibacakan oleh Jaksa Diova, dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, pada sidang lanjutan, Selasa (24/11/2020).

Seperti yang telah diberitakan, Leo Pratama Limas disidangkan atas perkara penodaan agama Buddha melalui media daring. Sejumlah postingan Leo di media sosial facebook dan ceramahnya di youtube dianggap melanggar undang-undang ITE Pasal 28 ayat 2. 

Menurut keterangan kuasa hukum pelapor, Sugianto Sulaiman, jalannya sidang dengan terdakwa Leo Pratama sempat mengalami beberapa kali penundaan. Hak Leo Pratama untuk mendatangkan saksi pembela tidak dimanfaatkan terdakwa secara baik.

“Leo mau mendatangkan saksi ahli dari Kanada. Tapi Ia minta sidang dilakukan sesuai waktu Kanada, ya ditolak sama majelis hakim,” terang Sugianto.

Sikap umat Buddha terbelah

Proses hukum atas tindakan Leo Pratama Limas masih menjadi perdebatan di media sosial. Banyak yang mendukung tindakan pelapor, namun juga tidak sedikit yang memilih untuk memaafkan.

Seperti dalam postingan Instagram BudhaZine 13 Oktober 2020, Leo Pratama Limas di Sidang Perkara Penodaan Agama, mempertanyakan tindakan orang-orang yang melaporkan Leo.

“Katanya ajaran Buddha mengajarkan cinta kasih universal. Dan juga menekankan pada mindfulness atau kesadaran. Sudahkan mereka yg melaporkan Leo mempraktikkan itu? Pada waktu ajaran yg kita yakini dihina, kitab suci direndahkan, siapakah yg merasa terhina, tersakiti? Ego kita sendiri kan. Sudahkah ditempuh jalan musyawarah? Di mana peran para rohaniawan di sini?” tulis @rahardjo_hartono.

Sementara pandangan yang berbeda pun muncul,

“Tidak sedikit pun saya membencinya maupun menghujatnya. Tapi balik lagi ke negara hukum, apa hal seperti ini bisa kita biarkan tanpa ada penegakan hukum yg jelas? Jika iya seperti itu maka hukum di negara kita hanya sebuah hitam di atas putih. Jika kita hanya berdalih oh lebih baik kita memaafkan saja maka di lain waktu org tsb atau benih-benih lainnya akan muncul,” tulis @candraming92.

Menanggapi perdebatan itu, Sugianto Sulaiman sebagai kuasa hukum pelapor mengatakan telah melakukan upaya lain sebelum melaporkan Leo Pratama ke polisi. “Pada waktu saya bersaksi di pengadilan, Leo juga mempertanyakan kenapa umat Buddha ini terkesan garang. Tidak mencerminkan metta karuna. Leo punya hak untuk berkata begitu. Tapi juga perlu diketahui, sebelum kami membuat laporan ke polisi, sudah ada langkah lain.

“Pertama, kami sudah sampaikan tindakan Leo kepada orang tuanya di Pontianak. Kami berharap kedua orang tua Leo dapat memberi nasihat supaya hati-hati dalam berucap dan menulis di media sosial. Namun orang tuanya mengatakan bahwa Leo sudah besar, apa yang dilakukan Leo tidak ada hubungannya dengan kedua orang tuanya,” tutur Sugianto saat kepada BuddhaZine.

“Kedua,” lanjut Sugianto, “Kami bersama pembimas Buddha DKI Jakarta, Pak Suwanto datang ke tempat Leo untuk memberi nasihat. Mengingatkan bahwa yang dilakukan itu melanggar undang-undang. Tapi tau apa jawaban Leo, dia duduk bersila seperti Buddha dan ngomong ‘demikian yang saya dengar, Dhamma telah dibabarkan mau ditolak silahkan, mau didengar silahkan, mau di simpan silahkan, dibuang pun silahkan. Demikianlah yang saya sampaikan.’ Ini kan sudah tau resiko dan dia berkeras.”

“Yang kita lakukan juga sesuai hukum, Leo tidak kita gebukin, tidak dipukuli, kita serahkan kepada instansi yang berwenang. Apakah menurut polisi salah, menurut kita juga salah. Dan dalam ceramahnya dia menantang kok, artinya dia sebagai seorang dewasa harusnya mengerti resiko,” pungkas Sugianto.

The post Leo Pratama Limas Dituntut Tiga Tahun Penjara dan Denda Satu Miliar appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 1052 articles
Browse latest View live