Dalam Dharma, Buddha tidak pernah membatasi siapa pun yang mendengar, baik pria maupun perempuan, baik dari kasta tinggi maupun kasta bawah. Siapa pun boleh mendengar Dharma.
Minggu (22/7), Megawati Santoso menyampaikan pandangannya terkait politik, emansipasi, dan agama Buddha. Wihara Ekayana Arama, Jakarta Barat, dipadati oleh anak muda, ada sekitar 600 anak muda yang antusias menyimak pemaparannya.
Dengan penuh keakraban, ia mengawali pembicaraannya mengaku sebagai anggota PDIP, Partai Dosen Indonesia Penuh perjuangan. Karena kalau jadi dosen itu gajinya kecil sekali.
“Apabila merunut pada ajaran Buddha, pada intinya apabila ada orang mengajarkan Dharma, harus telah melakukannya terlebih dahulu. Misalkan, dosen harus disiplin, dia sendiri tidak disiplin. Mahasiswa harus jujur, tapi dianya sendiri, absen saja nitip. Gimana itu?”
Megawati Santoso merupakan seorang Doktor dari The University of Iowa, USA. Lektor Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Institut Teknologi Bandung.
Politik
“Pernah mengalami pernyataan-pernyataan yang diskriminatif?” tanyanya pada anak-anak muda.
“Dibilang Cina,” salah satu hadirin menyahut.
“Ya memang saya Cina, saya chinese, itu label apa diskriminasi? Jika itu label, era sekarang kita perlu mengubahnya, orang-orang chinese cakep-cakep,” sahutnya.
“Sekarang kita masuk ke ranah emansipasi. Emansipasi itu masuk di ranah perjuangan politik. Dasar adanya emansipasi adalah karena adanya diskriminasi.
“Pernah nggak mendalami pendidikan? Misalkan, Anda sebetulnya cerdas, pintar, tapi nggak bisa masuk sekolah yang dimaui, karena faktor agama yang kita anut, nah itu salah satu contoh diskriminasi.”
Megawati Santoso menambahkan, “Diskriminasi, bahwa anak perempuan tidak memiliki banyak peran dalam perkembangan di masyarakat, saya punya teman, hanya anak laki-lakinya yang disekolahkan hingga jenjang yang lebih tinggi. Sementara anak perempuannya tidak. Hingga akhirnya anak perempuan tersebut, mampu sekolah tinggi karena usahanya. Jadi, praktik diskriminasi di sini, bermula dari keluarga.
“Dalam hal budaya, contohya adalah warisan, pria selalu mendapat bagian lebih banyak. Kemudian, laki-laki yang bisa meneruskan nama marga, sementara nama marga perempuan hilang. Padahal perempuan yang melahirkan anak-anak. Itu diskriminasi budaya. Hak politik, bagaimana? Contohnya adalah biasanya hanya laki-laki yang bisa menentukan politik. Peran wanita di Indonesia masih perlu diperjuangkan,” terangnya saat menjelaskan pemaparannya.
Agama Buddha dan diskriminasi
Tarkait agama Buddha dan diskriminasi, ia menjelaskan, “Karena saat itu, posisi perempuan lebih banyak mengurusi urusan keluarga. Jika perempuan berlatih spiritual, lantas siapa yang akan mengurusi keluarga? Buddha merenungkannya lama sekali, kemudian Buddha membentuk komunitas sangha bagi para bhikkhuni, dan peraturan disiplinnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan para bhikkhu. Disiplin tersebut mengapa lebih banyak? Apakah itu karena praktik diskriminasi? Tentu bukan, disiplin yang lebih banyak itu agar para bhikkhuni dapat berkembang lebih baik.
“Pernah melihat seorang bhikkhuni yang jauh lebih senior diminta menghormat pada seorang bhikkhu muda yang baru saja ditahbis. Nah, barangkali ada yang bertanya, loh kok gitu ya? Ini tentu perlu kita telaah dengan lebih jernih, terkait bagaimana sifat dasar perempuan dan sifat dasar pria. Ada perbedaan.
“Buddha tidak pernah mensyaratkan, kamu harus jadi pengikut saya dulu, baru saya kasih Dharma, tidak begitu. Zaman dahulu mana ada KTP? Oh Anda Buddhis, oh Anda bukan Buddhis. Ndak ada begituan. Jadi sangat non diskriminatif sekali.
“Anda tahu? Saat itu ada sistem kasta. Apa yang Buddha lakukan? Sistem kasta ini juga banyak yang salah mengerti, di sana ada yang berperan sebagai ulama (brahmana), ksatria yang berperan dalam pemerintahan, waisya yang berperan dalam perniagaan, sudra yang berperan dalam pelayanan, paria yang berperan di luar kategori tersebut.
“Oleh banyak orang, sistem panca warna atau catur warna tersebut digunakan untuk menyerang Hindu. Padahal bukan demikian maksudnya. Mau Anda Hindu, mau Anda brahmana, mau Anda ksatria, hal tersebut dipengaruhi oleh karma masa lampau. Sehingga yang lebih utama adalah berlatih mempraktikkan Dharma, itu yang lebih penting.
“Buddha mengajarkan, ada beberapa pekerjaan yang sebaiknya dihindari, seperti berjualan hewan, senjata, yang beracun serta bersifat menghancurkan. Semua makhluk bisa merealisasikan Nibbana. Semua intisari kehidupan ada di dalam diri manusia, tinggal kita, apakah mau atau tidak mempraktikkan Buddhadharma? Terakhir terkait politik, umat Buddha, setiap umat Buddha merupakan duta bagi perdamaian, di mana pun ia.
“Politik itu tidak kotor, politik itu penting karena di sana adalah ruang untuk memperjuangkan kepentingan umat Buddha, menjadi kotor adalah karena caranya. Di sana dilarang, umat Buddha tak boleh menyebarkan berita palsu yang menambah kebencian. Jangan berbuat jahat, tambahlah kebajikan,” tutupnya.
The post Megawati Santoso: Politik, Emansipasi, dan Agama Buddha appeared first on .