Quantcast
Channel: News Berita Budhis Terkini | Buddhazine
Viewing all 1052 articles
Browse latest View live

Umat Buddha Rayakan Asadha di Candi Borobudur

$
0
0

Keluarga Besar Theravada Indonesia (KBTI) menggelar Pujabhakti Agung Asadha 2562 BE/2018 di pelataran Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada Minggu (22/7). Merupakan puncak dari pembacaan Kitab Suci Tripitaka (Indonesia Tipitaka Chanting) yang digelar sejak Jumat pagi hingga Minggu siang di Taman Lumbini.

Sekitar 70 bhikkhu Sangha, athasilani, dan puluhan ribu umat Buddha dari dalam dan luar negeri hadir dalam acara ini. Turut hadir pula Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dan jajaran pejabat kementerian agama. Acara dimulai dengan prosesi puja dari Candi Mendut.

Para bhikkhu, petugas pembawa puja dan umat Buddha berjalan kaki dari Candi Mendut hingga tempat acara sambil melantunkan paritta-paritta suci. Sampai di pelataran Candi Borobudur, mereka disambut dengan gending-gending Jawa yang diiringi oleh tim karawitan umat Buddha Temanggung.

Tari Puja karya koreografer Buddhis, Wilis Rengganiasih yang dimainkan oleh Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Syailendra sekaligus menjadi pembuka acara ini.

Ada tiga hal menarik dalam penyelenggaraan Asadha tahun ini menurut Bhante Subhapannyo, Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia. (1), Makna Asadha sendiri yang melengkapi Tiratana, (2), Kehadiran Menteri Agama dan Gubernur Jawa Tengah, dan (3), Bertepatan dengan hari ulang tahun Bhante Sri Pannyavaro.

“Terima kasih kepada TBC yang telah menilai ITC kali ini sebagai yang terbaik dari acara-acara sebelumnya. Pada kesempatan kali ini, kami akan menyerahkan satu set lengkap kitab Suci Tipitaka kepada Pak Menteri Agama,” tutur bhante dalam sekapur sirih.

Ganjar Pranowo, dalam sambutannya menyampaikan bahwa Borobudur menjadi titik temu umat manusia. “Borobudur bukan hanya dikunjungi oleh umat Buddha, tetapi semua agama. Ini adalah kekayaan budaya kita, ini adalah cagak republik, ini adalah kekuatan bangsa yang tidak boleh digoyahkan oleh siapa pun dan oleh isu apa pun.”

Sementara Lukman Hakim Saifuddin, yang mengetahui Bhante Sri Pannyavaro berulang tahun mengucapkan selamat ulang tahun kepada bhante.

Tepat pada hari ini, Bhante Sri Pannyavaro berulang tahun, jadi pada kesempatan ini saya mengucapkan selamat ulang tahun kepada Bhante Pannyavaro. Mari kita doakan bersama semoga beliau senantiasa diberkahi umur panjang dan kesehatan. Semoga beliau terus bisa bersama kita dalam memberikan pedoman, arahan, dan bimbingan kepada kita semua,” ucapnya.

Usai meyampaikan sambutan, Menteri Agama menerima satu set kitab suci Tripitaka Pali yang diserahkan oleh Bhante Subhapannyo. “Selaku Menteri Agama dan selaku peribadi, saya sangat merasa terhormat menerima satu set kitab suci Tripitaka. Ini simbol sebagai Menteri Agama saya dituntut untuk memberi pelayanan kepada umat Buddha dalam turut menyebarkan kebajikan,” ujar Lukman Hakim usai menerima kitab suci Tripitaka.

Membalas ucapan selamat ulang tahun, Bhante Sri Pannyavaro menyampaikan terima kasih sebelum memulai uraian Dhamma. “Terima kasih atas segala doa yang sangat baik,” pesannya.

The post Umat Buddha Rayakan Asadha di Candi Borobudur appeared first on .


Ceramah Bhante Dhammadhiro ITC ke-4

$
0
0

Indonesia Tipitaka Chanting yang keempat tahun ini bertempat di Taman Lumbini kompleks Candi Borobudur, diikuti oleh kurang lebih 800 peserta dari berbagai daerah di Indonesia pada Jumat hingga Minggu (20-22/7).

Terdapat sepuluh sutta pertama dari kelompok Sīhanādavagga (Kelompok Auman Singa), Majjhimanikaya yang dibacakan. Majjhimanikāya adalah kumpulan khotbah-khotbah menengah dari Buddha kepada muridnya.

Pada malam pertama, tepatnya Jumat (20/7), Bhikkhu Dhammadhiro mengulas tentang Sīhanādavagga yang dimoderatori oleh Widiyono, seorang Dosen di Perguruan Tinggi Agama Buddha Syailendra.

“Ada sisi manfaat yang tidak kecil yang bisa dipetik dari pelaksanaan kegiatan ini. Bukan sekadar membaca syair bahasa pali dan terjemahan, melainkan juga beberapa pembahasan yang perlu.” Tutur Bhikkhu Dhammadhiro mengawali penjelasannya.

“Saya tertarik dengan sutta yang pertama, yaitu Culasihanada. Cula soalnya ada Maha, cula itu artinya kecil, maha itu artinya besar. Memang sutta relatif singkat, tapi kandungan yang ada di dalamnya, banyak hal yang perlu dijabarkan.”

Siha artinya singa, nada ini artinya seruan lantang. Sihanada artinya seruan lantang bagaikan raungan singa. Sutta ini sangat berperan penting dalam kita menumbuhkan dan memperteguhkan keyakinan kita kepada Buddha dan ajaran Beliau.”

“Secara umum Sutta ini mengumandangkan bahwa sosok Sammasambuddha dan ajaran Beliau adalah yang tertinggi di alam semesta. Oleh karena pencapaian Beliau Sammasambuddha adalah pencapaian yang tertinggi diantara pencapaian- pencapaian di dunia. Dan lebih yang lebih penting lagi adalah tidak ada pencapaian yang lebih tinggi dari itu.”

“Sutta ini disampaikan di Kota Savathi yaitu di Vihara Jetavana. Terkait dengan satu peristiwa bahwa setelah Buddha muncul, mencapai Penerangan Sempurna, ketenaran Beliau menyebar dan sangat-sangat marak. Tidak hanya kaum biasa-biasa, mulai dari para ksatria, para brahmana, termasuk juga para pedagang atau vaisya, sudra maupun kelompok-kelompok. Pada masa Buddha tidak ada orang yang dibedakan karena keluarga dan dari golongan, dari kastanya. Apalagi dari kekayaannya, melainkan dari nilai-nilai bajik. Dan setiap orang dikatakan punya potensi untuk maju.”

“Setelah agama Buddha menyebar dengan sedemikian luas, ini memberikan dampak, dampaknya adalah kepada para petapa yang lain, yang disebut titiya. Apa itu titiya? Titiya itu adalah pengikut-prngikut ajaran yang ada pada waktu itu di luar ajaran Buddha. Banyak sekali kelompok dan mereka memiliki pandangan dan pengetahuannya masing-masing. Beberapa ada kemiripan, beberapa yang lain berbeda dan bahkan bertentangan.”

“Karena pada saat itu agama Buddha sangat populer dan banyak masyarakat yang menganut ajaran Buddha. Mereka yang menganut ajaran lain merosot bahkan dikatakan sangat kekurangan. Ini juga ada terkait dengan satu sutta yang namanya kammadayadasutta, sutta tentang ahli waris.”

“Buddha karena melihat ternyata bahwa barang-barang para bhikkhu, barang persembahan, pendaoatan-pendapatan para bhikkhu melimpah, karena masyarakat menaruh keyakinan pada sangha. Buddha kemudian menyebarkan satu sutta agar para bhikkhunya memilah-milah dengan jelas. Bahwasannya brahmacariya ini dijalankan adalah demi ajaran, bukan demi peruntungan, pendapatan. Oleh karena penimbunan ini, perolehan ini, persembahan ini, kalau tidak dipilih akan mengganggu pelatihan brahmacariya, pelatihan luhur.”

Pada masa itu, kaum titiya merasa gelisah dengan munculnya ajaran Buddha “Dalam hal ini para bhikkhu setelah mendengar para petapa yang lain mengatakan kegusarannya, kegelisahannya. Mengapa masyrakat itu hanya kepada Gotama? Kalau Gotama itu seorang petapa, samana, kalaupun di ajaran Gotama ini ada murid-muridnya, kami pun juga ada murid-murid. Dhamma yang ada pada Gotama kami pun ada,” Bhikkhu Dhammadhiro melanjutkan.

“Terkait dengan perbuatan bajik yang memberikan buah, yang dilakukan oleh masyarakat diperuntukkan ke ajaran samana Gotama ini. Kebajikan itu tidak memberikan buah, jika diberikan juga pada kami. Mengapa kemudian masyarakat hanya bersujud pada samana Gotama tidak kepada kami juga?”

“Mendapatkan laporan seperti ini dari para bhikkhu, Buddha kemudian mengajari bahwasannya sesungguhnya yang namanya petapa itu tidak ada di tempat lain. Petapa itu adanya diajaranku.”

“Andai ada petapa kedua, petapa kedua ini pun tidak ada di tempat lain. Hanya ada di ajaranku, ajaran Sammasambuddha. Andai ada pertapa jenis ketiga, petapa jenis ketiga ini juga hanya ada di ajaran ini juga. Dan andai petapa jenis keempat, petapa jenis keempat itu pun hanya ada di ajaran ini juga.”

“Yang menjadi sebab, Buddha memberitahu kepada para bhikkhu, bahwasannya diajaran ini ada kesalutan kepada sang guru yang pertama, diajaran ini ada kesalutan pada Dharma, yang ketiga di ajaran ini ada pelaksanaan sila yang sempurna, yang keempat dijaran ini ada orang-orang baik petapa maupun perumah tangga yang melaksanakan Dharma, yang menarik yang menyenangkan.”

“Buddha kemudian melanjutkan, memungkinkan para bhikkhu mereka para petapa di luar sana mengatakan bahwa kami pun punya kesalutan pada guru kami, apa bedanya? Kami pun punya kesalutan pada Dharma, ajaran guru. Di sini di ajaran kami ada pelaksanaan sila yang sempurna dan memungkinkan juga para petapa para perumah tangga yang menjalankan Dharma kami adalah orang-orang yang menyenangkan yang menawan.”

“Nah, di sini kemudian Buddha memberikan alasan, dimulai dengan mengangkat pencapaian tujuan ini ada satu atau ada banyak? Mengapa Buddha mengatakan ini?”

“Oleh karena pada waktu itu ajaran titiya atau ajaran di luar agama Buddha ini sangat banyak, seperti dikatakan tadi sebagian mirip sebagian berbeda sebagian bahkan berlawanan. Tentu masing-masing punya tujuan-tujuannya sendiri. Kalau ketiga, banyak tidak mungkin satu tujuan”

“Kemudian, tujuan pencapaian itu dicapai oleh mereka yang ada nafsu ragawai atau tidak ada? Tentu tidak, pencapaian tujuan itu ada bagi mereka yang ada kesucian atau tidak? Mereka akan menjawab ‘tentu bukan’. Pencapaian tujuan ini ada bagi mereka yang memiliki kebdohan atau tidak? ‘tidak’, dan kemudian ada beberapa pengikutnya, ‘bagi mereka yang ada kegandrungan tidak? ’tidak ada, ‘bagi mereka yang kemelekatan tidak? ‘tidak ada’. Mereka yang bijaksana atau tidak bijaksana? Bagi mereka yang bijaksana. Bagi mereka yang masih ada menyenangi atau tidak menyenangi atau tidak? Mereka yang sudah tidak ada menyenangi atau tidak menyenangi. Bagi mereka yang ada kotoran nafsu tidak?”

“Di sini orang-orang yang kemudian mengerti bahwasannya pencapaian itu bukan untuk mereka yang masih banyak keburukan, melainkan bagi mereka yang bebas dari keburukan.”

“Kemudian Buddha menyampaikan pemahaman bahwa pandangan yang ada pada saat itu dinyatakan sebagai pandangan keliru. Yang pada saat itu dinyatakan sebagai pandangan mereka yang benar. Yaitu pandangan tentang kekekalan dan pemusnahan. Mereka yang punya pandangan bahwa ini kekal tentu akan memegang kukuh pandangannya sendiri dan akan menyalahkan pandangan yang lain tentang pemusnahan. Tentu juga mereka yang memegang pandangan tentang pemusnahan tentu akan membenarkan pandangan sendiri dan menolak pandangan kekekalan.”

“Ini yang mengakibatkan ketidaksalutan kepada guru, kepada Dharma, tidak ada pelaksanaan sila yang sempurna, tidak ada guru yang menarik karena kotoran batin yang ada.”

“Untuk menyatakan bahwa petapa sammasabuddha ini hanya ada di ajaran Buddha tidak ada diajaran lain yaitu mengangkat kemelekatan. Ada 4 jenisnya, pertama yaitu kemelekatan berupa kesenangan indriawi, yaitu bentuk-bentuk yang menyenangkan yang mungkin didengar oleh indra penglihatan, suara-suara yang menyenangkan, bau-bauan yang dicium oleh hidung, rasa-rasa yang dirasakan oleh indra pengrasa, sentuhan-sentuhan yang mneyenangkan yang dirasakan oleh indera penyentuh, dan fenomena-fenomena batiniyah yang memungkinkan diketahui oleh indera batin.”

“Kedua adalah kemelakatan pandangan keliru terhadap 10 hal, menganggap bahwa pemberian itu tidak ada, buah, manfaat, atau akibat dari perbuatan buruk maupun perbuatan baik tidak ada, jadi mau berbuat apa saja tidak ada dampaknya, tidak ada ibu atau ayah, alam ini tidak ada bagi makhluk-makhluk lain, menganggap bahwa makhluk spontan tidak ada, dan bahwa para petapa yang menjalankan tindakan luhur tidak ada.”

The post Ceramah Bhante Dhammadhiro ITC ke-4 appeared first on .

Ceramah Bhikkhu Rahula Anunayake ITC ke-4

$
0
0

Bhikkhu Rahula Anunayake adalah seorang Bhikkhu dari Sri Lanka. Beliau pabajja pada usia 13 tahun tepatnya tahun 1975 dan mendapat Upasampada tahun 1981. Telah bervassa selama 37 tahun. Beliau juga merupakan seorang profesor dan sebagai Direktur Pascasarjana di Kelania University, Sri Lanka.

Dhammasakacca kali ini didampingi oleh moderator Widiyono dan penerjemah Bhikkhu Santacitto.

“Pertama, Cūḷasīhanādasutta berisi tentang tiga hal penting yaitu keyakinan, pandangan, dan kemelekatan. Keyakinan itu ada amulika saddha dan akaravati saddha. Pandangan ada dua jenis yaitu pandangan tentang makhluk dan pandangan bukan tentang makhluk yang dipengaruhi oleh lobha, dosa, dan moha. Serta kemelekatan terhadap empat hal diantaranya kenikmatan indrawi, pandangan-pandangan, ritual, dan ajaran tentang keberadaan diri. Ketika sesorang mencapai Nibbana, sesorang itu telah melenyapkan kebodohan batin,” tutur Bhikkhu Rahula mengawali penjelasannya.

“Kedua, Mahāsihanādasutta tentang sepuluh Dasabhala dan empat kepercayaan diri dari Buddha. Buddha menjelaskan bahwa apabila seseorang merenungkan dengan baik ajaran Beliau dengan baik maka dia dipastikan akan mencapai pembebasan.”

“Ketiga, Mahādukkhakkhandhasutta, tentang dampak-dampak negatif yang muncul karena kesenangan indrawi. Pada sutta ini Buddha menjelaskan bahawa Raja bisa bertengkar dengan raja, ksatria bisa bertengkar dengan ksatria, teman bisa bertengkar dengan teman, anak bertengkar dengan ibunya, dan ibu bisa bertengkar dengan anaknya.”

“Keempat, Cūḷadukkhakkhandhasutta tentang beberapa hal yang harus dilakukan untuk menghancurkan keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan.”

“Kelima, Anumānasutta tentang pelanggaran dan hukuman bagi para bhikkhu. Sikap buruk yang harus dilenyapkan oleh bhikkhu seperti tidak mudah dinasihati, pemarah, dan sombong. Untuk itu, Buddha mnegjarkan bahwa kita harus mengembangkan kekuatan-kekuatan bajik.”

“Keenam, Cetokhilasutta tentang lima perbudakan batin dan lima belenggu pikiran. Jika seseorang penuh dengan keraguan, ketidakpastian, tidak bisa memutuskan sesuatu, dan tidak mempunyai kepercayaan terhadap Buddha, Dhamma, dan para bhikkhu yang lain, maka batinnya tidak terarah untuk mempraktikkan Dhamma. Dan ini juga sama dengan para bhikkhu yang tidak terbebas dari keserakahan, nafsu, kecintaan, kehausan, dan kekotoran batin karena nafsu keinginan.”

“Ketujuh, Vanapatthasutta berkaitan dengan Vinaya empat kebutuhan pokok para bhikkhu meliputi jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dibahas dengan detail dari mana mereka diperoleh kadang-kadang diperoleh dengan sulit dan tidak sulit. Seorang bhikkhu seharusnya memberikan prioritas untuk tempat tinggal seperti di hutan yang cocok dengannya untuk membawa pembebasan. Bahkan apabila ia mendapatkan itu semua, ia harus meninggalkannya apabila itu tidak membawa pada pembebasan batin. Itulah alasan Buddha mengapa beliau memilih kehidupan meninggalkan rumah apabila hanya demi mendapatkan tempat tinggal demikian.”

“Kedelapan, Madhupiṇḍikasutta mengenai akar dari kebajikan dan keburukan. Sutta ini menjelaskan dengan rinci tentang psoses psikologi yang berkaitan dengan lima indera dan obyeknya.”

“Kesembilan, Dvedhāvitakkasutta tentang ajaran Abhidhamma dan filsafat. Kesepuluh, Vitakkasaṇṭhānasutta, Buddha menjelaskan pada muridnya tentang memberikan pikiran yang suci dan bebas dari kekotoran batin.”

Bhikkhu Rahula membahas lebih lanjut mengenai sutta Vitakkasaṇṭhānasutta.

“Ketika ada pikiran jahat atau akusala masuk ke pikiran seseorang, pertama harus memahami mengapa pikiran kotor ini memasuki pikiran kita. Dan kita harus merenungi pikiran ini karena keserakahan, kebencian, atau kebodohan batin. Dan semua intoleransi kekotoran batin muncul di dalam diri seseorang selalu berakar dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin, tidak ada yang di luar itu.”

“Kemudian mengetahui pikiran akusala atau pikiran kotor maka langkah pertama adalah dengan memberikan pikiran bentuk-bentuk yang berlawan dengan pikiran itu. Metta harus dimunculkan dalam pikiran. Dan ketika yang muncul pikiran buruk, maka pikiran baik khususnya kebijaksanaan harus dimunculkan dalam batin.”

“Kita dapat mengambil contoh sederhana seperti perabotan rumah, kursi. Apabila dia rusak, maka kita bawa ke tukang kayu dan akan diperbaiki, dan kekuatan kursi tersebut akan kembali. Dan tidak perlu takut lagi duduk di kursi itu. Hal itu sama apabila pikiran-pikiran buruk masuk dalam pikiran seseorang, maka pikirannya akan lemah, kemuliannya akan berkurang. Maka pikiran-pikiran yang baik harus dimunculkan. Kita harus bisa merenungkan ketidakmanfaatan pikiran kotor.”

“Ada satu perumpamaan, ketika Anda memasuki ruangan ini dengan pakaian yang kotor, pasti tidak akan tenang, Anda akan merasa terganggu dan tidak bisa mengikuti ceremony ini dengan baik. Agar dapat mengikuti ceremony dengan baik, maka Anda harus membersihkan kotoran di pakaian Anda.”

Agar kita dapat melenyapkan pikiran kotor yang ada, Bhikkhu Rahula menguraikan lima cara untuk melenyapkannya. “Pertama, memahami pikiran-pikiran kotor yang muncul, dan kemudian memunculkan pikiran-pikiran baik yang berlawanan dengan pikiran kotor tadi; kedua ketika pikiran-pikiran buruk telah muncul kita harus menemukan bahaya-bahaya yang akan muncul; ketiga untuk bisa melenyapkan pikiran-pikiran buruk maka kita harus mengubah aktifitas-aktifitas lain; keempat adalah dengan berpikir kritis, kelima membuat pikiran-pikiran buruk yang muncul menjadi lemah dan membuat pikiran-pikiran baik menjadi kuat.”

“Saya berharap kepada Anda sekalian memperoleh berkah di dalam Nibbana,” pungkas Bhikkhu Rahula mengakhiri Dhammasakaccanya saat di Indonesia Tipitaka Chanting ke-4 di Candi Borobudur (21/7).

The post Ceramah Bhikkhu Rahula Anunayake ITC ke-4 appeared first on .

Reruntuhan Kerajaan Buddhis di Maldives

$
0
0

Maldives selama ini dikenal sebagai negara kepulauan kecil yang menjadi tempat favorit bagi para pelancong untuk berbulan madu. Dengan pantai berpasir putih, cottage-cottage unik dan privat, serta kekayaan laut yang indah membuatnya menjadi salah satu tempat tujuan wisata dunia meskipun terletak cukup jauh dan terpencil.

Negara terdekat dari Maldives adalah Sri Lanka dan India. Oleh karena itu, kekayaan budaya Maldives tidak terlepas dari pengaruh kedua negara ini.

Catatan sejarah tertua tentang sejarah Maldives menceritakan kedatangan orang-orang Sinhala dari Sri Lanka yang merupakan keturunan dari Pangeran Vijaya dari Kerajaan Magadha India yang diasingkan. Haddhunmathi Atoll, sebuah wilayah administratif di Maldives, menjadi pusat perkembangan agama Buddha pada saat itu.

Di sini terdapat banyak situs arkeologi peninggalan Kerajaan Buddhis Maldives seperti Dhanbidhoo, Mundoo, Gan dan Isdhoo. Peninggalan tersebut berupa wihara dan stupa dengan beragam ukuran.

Agama Buddha diperkirakan menyebar di kepulauan Maldives sekitar abad 3 SM. Kuil-kuil Hindu dan wihara-wihara Buddhis yang ditemukan menggunakan corak Mandala dengan gerbang utama berada di sisi timur. Stupa-stupa Buddhis disebut ‘havitta’, ‘hatteli’ atau ‘ustubu’ oleh orang-orang Maldives menyesuaikan lokasi atoll mereka.

Sejarawan lokal Hassan Ahmed Maniku (1990) menyatakan bahwa terdapat 59 pulau dengan situs arkeologi Buddhis ditemukan di Maldives. Peninggalan monumen-monumen Buddhis terbesar dan terbanyak berada di kepulauan di sisi timur Haddhunmathi Atoll.

Beberapa catatan kuno Maldives seperti Isdhu Lomafanu dan Dhanbidhu Lomafanu berisi tentang kedatangan Islam di Maldives, penghancuran monumen-monumen Buddhis, pemenggalan para biksu dan pembangunan masjid-masjid menggantikan wihara-wihara. Catatan-catatan ini diperkirakan berasal dari 1193 M. Raja Maldives pada saat itu menurut catatan ini adalah Sri Gadana Aditya Maharadun.

Cendikia seperti H.C.P. Bell, yang lama menetap di Sri Lanka, menyatakan bahwa agama Buddha tiba di Maldives dari Sri Lanka dan bahwa orang-orang Maldives kuno mengikuti aliran Theravada. Sejak itu, penemuan-penemuan arkeologi menunjukkan pula pengaruh Mahayana dan Vajrayana yang tampaknya datang dari India.

Pada Februari 2012, sekelompok ekstrimis Islam menghancurkan koleksi-koleksi patung pra-Islam yang disimpan di Museum Nasional di Male. Mereka menghancurkan hampir semua koleksi dari 30 patung Buddhis yang berasal dari abad 6-12 M. Staf museum mengatakan bahwa patung-patung tersebut kebanyakan terbuat dari koral atau limestone sehingga tidak mungkin untuk memperbaikinya, dan hanya dua atau tiga buah yang dapat diperbaiki.

Meskipun telah menjadi sejarah di Maldives, pengaruh Buddhis selama 1400 tahun telah memberikan pondasi penting dalam sejarah Maldives. Selama masa inilah budaya Maldives terbentuk dan berkembang. Bahasa Maldives, naskah-naskah pertama Maldives, arsitektur, peraturan dan adat Maldives berasal dari masa Maldives merupakan sebuah kerajaan Buddhis.

The post Reruntuhan Kerajaan Buddhis di Maldives appeared first on .

Vihara Metta Dhamma, Vihara 12 Kepala Keluarga

$
0
0

Umat Buddha Vihara Metta Dhamma, Dusun Ngasinan, Desa Kebunagung, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang kini bisa berbangga hati. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya umat Buddha yang hanya berjumlah 12 kepala keluarga ini mempunyai vihara baru.

Vihara Metta Dhamma dibangun di atas tanah seluas 13 x 12 meter, dengan luas ruang dhammasala 9 x 5 meter. Tak hanya ruang dhammasala, vihara ini juga dilengkapi dengan ruang aula, dapur, dan kamar mandi.

Rabu (24/7) Vihara Metta Dhamma pun diresmikan sekaligus merayakan pujabhakti Hari Raya Asadha. Acara ini diadakan secara bersama oleh 18 vihara yang tergabung dalam Lembaga Bina Manggala Sejahtera.

Tujuh bhikkhu hadir dalam acara ini, Bhante Subbapannyo, Bhante Dhammakaro, Bhante Siriratano, dan beberapa bhikkhu lain. Acara ini juga dihadiri oleh masyarakat lintas agama, pejabat setempat, dan 500-an umat Buddha dari Temanggung dan Semarang.

Acara dimulai dengan prosesi puja dari Vihara Kondana, Desa Kebunagung yang jaraknya kurang lebih satu kilometer dari Vihara Metta Dhamma. Para bhikkhu, umat Buddha, petugas pembawa rupang, dan sarana puja berjalan kaki berpayung kain kuning yang membentang panjang. Memasuki Vihara Metta Dhamma, peserta prosesi disambut oleh pentas seni dari anak-anak PAUD dan Dhammaseka Saddhapala Jaya.

Berbagai tarian dan pentas seni rakyat yang dimainkan puluhan anak-anak turut meramaikan acara ini. Suharnoto, Camat Sumowono menyambut baik dengan terselenggaranya acara ini. Kehadiran masyarakat dari agama lain menurutnya memperlihatkan bahwa masyarakat Sumowono menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.

“Banyak agama yang dianut oleh masyarakat Sumowono, bahkan kepercayaan di sini juga ada. Jadi kita harus saling menghormati sehingga dapat hidup harmonis dalam keberagaman kita,” tuturnya.

“Saya tadi sempat bertanya kepada bhante, arti Metta Dhamma, beliau bilang Cinta Kasih dan Kebenaran, artinya sangat bagus. Sesuai dengan keinginan saya supaya masyarakat hidup itu saling asah asih, cinta kasih, dan kebenaran sesuai dengan nama Metta Dhamma tadi,” pungkasnya.

Senada dengan Suharnoto, Bhante Subbhapannyo juga memuji nama Vihara Metta Dhamma. “Namanya sangat indah, tentu pemberian nama itu tidak sembarang. Vihara diberi nama itu supaya umat Buddhanya mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang kepada semua.”

Vihara dibangun untuk sarana pujabhakti, untuk mengolah pikiran supaya ucapan dan tindakan menjadi benar. “Selain untuk pujabhakti, vihara juga boleh digunakan untuk berkumpul ibu-ibu Wandani, diskusi Dhamma, rapat-rapat masyarakat desa. Karena vihara adalah tempat untuk kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada kebajikan,” tutur Ketua Umum Sangha Theravada ini.

Acara ini ditutup dengan penandatanganan prasasti dan dilanjutkan dengan pentas kesenian. Tak berhenti sampai di situ, pada malam hari juga digelar pentas seni rakyat Ketoprak Lembaga Bina Manggala Sejahtera.

The post Vihara Metta Dhamma, Vihara 12 Kepala Keluarga appeared first on .

SAGIN Resmikan Tempat Pendidikan Bhikkhu di Gunung Kidul

$
0
0

Sangha Agung Indonesia (SAGIN) meresmikan Vihara Dharma Surya. Vihara ini terletak di lereng Watu Payung, Desa Candirejo, Kecamatan Semin, Gunung Kidul, Yogyakarta.

Vihara Dharma Surya telah dibangun oleh umat Buddha Gunung Kidul sejak tahun 1985. Karena dirasa sudah tidak layak huni, pada tahun 2017, pengurus vihara beserta para bhikkhu pembina umat Buddha setempat memutuskan untuk merenovasi ulang vihara dan selesai selama satu tahun. Sebagai wujud syukur selesainya pembangunan, Sangha dan umat menggelar upacara peresmian purna pugar Minggu, (22/7).

Acara ini dihadiri oleh umat Buddha dari Kabupaten Gunung Kidul, Solo, dan Yogyakarta. Bhikkhu Khemacaro, Ketua Umum Sangha Indonesia (SAGIN), Bhante Sasana Bodhi, Bhante Vijananda, beberapa bhikkhu lainnya, serta pejabat kementerian agama dan daerah juga hadir dalam acara ini.

“Vihara ini menjadi tempat yang representatif untuk kegiatan keagamaan, pendidikan, dan ekonomi masyarakat Buddhis. Rencana ke depan Vihara Dharma Surya dengan seizin Bhante Sasana Bodhi akan dijadikan tempat pembelajaran bagi bhikkhu dan samanera/samaneri selain Pesantrian Kusalamitra yang ada di Gunungkidul,” tutur Bhante Khemacaro, dalam sambutannya.

Vihara Dharma Surya dibangun berciri khas Jawa, berbentuk Joglo dengan empat soko guru. Menurut Bhante Badrapalo, pemilihan model bangunan ini karena disesuaikan dengan tempat vihara yang berada di Provinsi Yogyakarta. “Umat Buddha Desa Candi Rejo berjumlah 26 kepala keluarga. Mereka orang sini, dengan bangunan seperti ini ya supaya mereka merasa lebih dekat dengan vihara.”

Sementara itu, Supriadi, Direktur Urusan Pendidikan Buddha merasa prihatin terhadap generasi muda Buddhis yang cenderung melupakan nilai-nilai kearifan lokal. “Kita prihatin atas perilaku dan sikap mental remaja kekinian yang cenderung melupakan nilai-nilai kearifan lokal. Karena itu perlu melakukan upaya perubahan bagi generasi muda Buddhis Indonesia untuk bisa lebih berjiwa mandiri, kreatif, dan yang lebih penting mau mempelajari dan mencintai budaya lokal,” tuturnya.

Bukan tanpa alasan, menurut lelaki asal Kabupaten Kudus, Jawa Tengah ini, generasi muda Buddhis juga mempunyai peran penting untuk kemajuan bangsa. “Mereka nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa, yang sangat diharapkan mampu tumbuh dan berkembang sebagai jiwa-jiwa penerus yang berkualitas, memiliki rasa nasionalisme serta menjaga martabat bangsa. Jadi dari tempat ini, vihara ini diharapkan mampu melahirkan pribadi-pribadi yang visioner yang mampu menggerakkan kaum muda lain di lingkungannya agar menjadi lebih berdaya guna, menyasar pada nilai nilai cinta tanah air dan bangsa, cinta seni, dan budaya, serta cerdas dan produktif,” pungkasnya.

The post SAGIN Resmikan Tempat Pendidikan Bhikkhu di Gunung Kidul appeared first on .

The Eighth Youth Buddhist Symposium Thailand

$
0
0

Memasuki pelataran kampus May Fua Luang University, ribuan peserta The Eighth Youth Buddhist Symposium berbaris rapi tanpa riuh gemuruh. Mereka adalah perwakilan mahasiswa dan akademisi dari 36 negara. Berlangsung dari tanggal 25 hingga 28 Juli 2018, simposium yang menelan dana lebih dari tujuh miliar rupiah, setara dengan THB 15.749.600 memang patut diajungi jempol.

Mulai dari relawan seperti MC yang berasal dari beberapa stasiun TV dan beberapa mahasiswa komunikasi, Dharmaworker yang bekerja di bagian transportasi, akomodasi, hingga teknologi panggung yang super dahsyat profesional. Kegiatan diawali diskusi panel dari beberapa tokoh/akademisi dari beberapa agama dunia seperti Sikh, Kristen, dan Islam.

 

Bagaimana produk Artificial Inteligence (Kecerdasan Buatan) seperti website yang didesain menyerupai altar virtual dapat memberikan pengaruh pada ritual tradisional dalam praktik memberi persembahan (Dana Paramitha)? Ini amat sangat menarik sekaligus menggelitik!

Topik tersebut disampaikan oleh Qi Liu, Mahasiswa Magister Buddhis Studi, Universitas Hamburg, Jerman/Pertukaran Pelajar pada Universtas Cambridge, UK. Presentasi menarik lainnya disampaikan oleh Profesor Sungchul Kim, Program Buddhis Studi dan Kultural, Universitas Dongguk, Korea Selatan, menyampaikan Buddhisme dan Kecerdasan Buatan. Dari Universitas Politeknik Hongkong, Profesor Poon Chung-kwong menyampaikan topik Sains dan Buddhisme: Eksplorasi hukum alam, melalui analisa mendalamnya menyampaikan komparasi konsep Sunyata dalam ajaran Buddha dan Quantum Fisis.

Penggunaan teknologi EEG (Elektroensefalografi) misalnya saat ini dapat membantu seseorang yang ingin mempraktikkan meditasi. Sepertihalnya EEG, brainwave Entrainment dapat pula menurunkan pola gelombang otak pada kondisi fokus. Namun, teknologi AI ini, harus dikembangkan dengan aspirasi bijaksana demi cinta kasih-kasih sayang untuk kemanusiaan dan keharmonisan dengan lingkungan.

Selain mendengarkan paparan dan berdiskusi tentang Artificial Intelligence dan Buddhisme, peserta diajak praktik. Di hari ketiga, berada di kawasan pusat meditasi, dibawah instruksi Bhikkhu Pramaha Vudhijaya Vajiramedhi melakukan praktik meditasi. Teknik meditasi yang disampaikan Bhante Medhi cukup mengena untuk praktisi pemula dan khususnya para pemuda zaman ini.

“Saya bertemu Yang Mulia, Master Thich Nhat Hanh. Ia sangat tenang. Bahkan di tengah hiruk pikuk bandara beliau tetap dapat bermeditasi,” Bhante Vajiramedhi.

Beberapa teknik yang disampaikan kepada peserta WYBS ini diadobsi dan dikembangkannya dari Master Thich Nhat Hanh. Sederhana, dan dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh semua orang.

Sebelumnya Ia menyampaikan bagaimana meditasi dapat membantu 12 bocah Thailand yang terjebak di Goa pada beberapa waktu lalu. Tidak hanya belajar teknik meditasi dari Biksu Theravada, peserta juga belajar teknik meditasi dari Guru Besar yang terkenal dengan nama Master Hai Tao.

Saat itu mereka melakukan kegiatan “Tree Ceremony” merefleksikan sikap kita terhadap lingkungan terutama pohon. Kegiatan hari itu ditutup dengan melepas hewan kembali ke habitatnya dan penyalaan ribuan lilin.

Artificial Intelligence sangat mungkin merubah peradaban manusia. Sesuai dengan hukum perubahan yang dipelajari umat Buddha, tentulah, seorang Buddhis harus menerima “perubahan” itu. Akan tetapi, patut dicatat bahwa esensi Buddhadharma tidaklah berubah, hanya saja, cara-cara yang dilakukan dalam menyampaikan dan mengajak praktik Buddhadharma seyogyanya berubuh. Apalagi kepada generasi Z saat ini dan seterusnya.

Tahun depan, panitia WYBS mengundang semua pemuda, dan akademisi Buddhis dunia untuk mengikuti award dengan tema, “The Sword of Wisdom for Thoroughly Ascertaining Reality“ yang dapat dinanti dan dibuka pada laman: wybuddhist.com/eng/index.asp Semangat kepada para pemuda Buddhis Indonesia!

Biksu Dr. Sulaiman Girivirya

Ketua II Bidang Pendidikan Sangha Agung Indonesia

The post The Eighth Youth Buddhist Symposium Thailand appeared first on .

Rayakan Asadha, Vihara Maitri Bumi Palembang Gelar Dhamma Talk 8 Hari

$
0
0

“Mendiang Bhante Nyana Jaya Bumi semasa hidupnya mempunyai cita-cita untuk menyelenggarakan acara besar di sebuah hotel mewah. Malam ini cita-cita beliau telah direalisasikan oleh umat Buddha Vihara Maitri Bumi,” tutur Bhante Badravidya dalam sambutan pembuka Dhamma Talk dan Perayaan Asadha Umat Buddha Palembang, Sabtu (28/7).

Bhante Nyana Jaya Bumi merupakan sosok penting bagi perkembangan agama Buddha di Palembang. Beliau dikenal sebagai sosok yang ulet dalam melakukan pembinaan umat Buddha, Palembang. Di mata Bhante Dharmavimala yang merupakan teman seperjuanganya, Bhante Nyana Jaya Bumi adalah sosok paripurna. “Kami seusia, Beliau adalah biksu, yang walau sederhana dan rendah hati, namun paripurna baik dalam pembinaan umat maupun pembinaan sarana,” kenang Bhante Dharmavimala.

Karena itu, untuk merealisasikan cita-cita mendiang Bhante Nyana Jaya Bumi sekaligus peringatan hari Asadha, umat Buddha Kota Palembang menggelar Dhamma Talk delapan hari penuh. “Ini adalah pelaksanaan Dhamma Talk tahun kedelapan yang diselenggarakan oleh Vihara Maitri Bumi, yang awalnya digagas oleh Bhante Jaya Bumi,” tutur Budi, ketua panitia.

Acara ini digelar di Hotel Celebriti Entertainment Center, Kota Palembang dan dihadiri oleh ribuan umat Buddha. Yang menarik, acara ini diorganisir oleh anak-anak muda Buddhis Vihara Maitri Bumi. Berbagai pentas kesenian dari muda-mudi mengawali dan turut memeriahkan acara ini.

Saat lagu Bunda dinyanyikan oleh anak-anak sekolah minggu, lampu dipadamkan, para hadirin menyalakan lampu telepon genggam dan ikut menyanyi bersama. Sambutan tepuk tangan begitu meriah saat anak-anak memberikan turun panggung dan memberikan bunga kepada orang tua sebagai wujud bakti anak terhadap orangtua. Lagu Bunda selesai, Dhamma Talk dimulai dengan bahasan Pola Asuh di dalam Keluarga; Bahasa Cinta Orangtua dan anak. Bhante Khemacaro, menjadi narasumber dalam acara ini.

Mengawali penyampaikan materinya, Ketua Umum Sangha Agung Indonesia (SAGIN) ini mengkritik pandangan sebagian besar umat Buddha Indonesia. “Banyak umat Buddha yang tidak memahami tugas dan kewajiban sebagai umat Buddha. Seluruh provinsi di Indonesia hampir saya jelajahi, tetapi hampir semua umat Buddha mengatakan tidak ada tugas dan kewajiban di dalam Buddhadharma. Inilah yang menyebabkan saya berkenan hadir pada malam hari ini untuk meluruskan kekeliruan kita semua,” tutur bhante mengawali.

“Dalam hubungan orangtua dan anak, mohon diingat dan dicatat dalam Sigalovada Sutta, Digha Nikaya, III Sutta ke-31, Buddha mengajarkan kewajiban,” tegas bhante. Dalam Sigalovada Sutta setidaknya ada lima kewajiban orangtua terhadap anak. (1). Mencegah anaknya berbuat jahat, (2). Menganjurkan anaknya berbuat baik, (3). Melatihnya hingga cakap bekerja, (4). Mencarikan pasangan yang pas untuknya, dan (5). Menyerahkan warisan yang pas sesuai waktunya.

Sedangkan tugas anak terhadap orangtua juga ada lima; (1). Mengingat jasa akan kebajikan dan tunjangannya, (2). Menjalankan kewajiban sebagai anak, (3). Membela kehormatan keluarga, (4). Memelihara warisan, (5). Melimpahkan jasa kebajikan kepada orangtua.

The post Rayakan Asadha, Vihara Maitri Bumi Palembang Gelar Dhamma Talk 8 Hari appeared first on .


Caroline Schneider Berbagi Pengalaman Menjalankan Meditasi

$
0
0

Ada yang menarik dari acara Peace Walk; Jalan Damai Umat Buddha Kota Palembang, Sabtu (28/7) yaitu kedatangan Caroline Schneider. Acara ini dilaksanakan di Taman Kota Punti Kayu dan diikuti oleh tiga bhikkhu pembina umat Buddha Palembang serta sekitar 200 umat Buddha segala usia.

Caroline Schneider adalah artistic director Impro Teater Konstanz (ITK), sebuah grup teater di Jerman. Tak hanya sebagai direktur artistik, dia juga bermain untuk Impro Teater sejak 2011. Penampilannya di atas panggung selalu menghibur dan mengaduk emosi para penontonnya dengan karakter mendalam, lucu, dan memesona. Tetapi yang lebih menarik, meskipun tidak terlahir sebagai seorang Buddhis, Caroline adalah seorang praktisi dan pelatih meditasi.

Dari praktik meditasi itulah Caroline dapat lebih menjiwai setiap karakter yang ia mainkan. “Halo semua, saya Caroline, saya dari Jerman, tapi di Jerman tidak bicara Bahasa Indonesia,” sapa Caroline dalam Bahasa Indonesia dan disambut gelak tawa hadirin. Tak hanya mengikuti peace walk, pada kesempatan ini Caroline juga berbagi pengalamannya dari mengenal hingga praktik dan menjadi pelatih meditasi.

“Terima kasih sudah bahagia bersama, saya merasa sudah mengenal sebagian dari Anda, karena tadi sudah foto-foto dengan saya. Ini membuat saya lebih semangat berjalan bersama Anda,” tuturnya. Caroline tumbuh di keluarga Protestan yang tidak mengenal meditasi. Pada usia 17 tahun dia mengalami kebingungan dengan dirinya sendiri.

“Saya pernah berpikir untuk melepaskan kepala dan meletakkan kepala entah di sudut yang mana. Akhirnya saya berpikir ‘tunggu mungkin ada tradisi kuno yang bisa membantu saya’. Kemudian saya pergi ke perpustakaan dan bertemu dengan buku meditasi. Sebuah buku yang ditulis oleh orang Eropa, tapi bukan Buddhis.”

Baca juga: Berjalan Bersama dan Menikmati Keheningan

Dari buku tersebut, Caroline mulai belajar praktik meditasi yang dilanjutkan dengan banyak mengikuti retret meditasi. “Saya mulai meditasi dengan napas masuk dan keluar dengan mengembangkan kesadaran. Dari situ saya mulai mengenal meditasi Buddhis. Kemudian saya mulai mengikuti banyak sekali retret meditasi terutama di Swiss.

“Retret yang saya ikuti itu tidak boleh berbicara, hanya meditasi duduk dan jalan. Satu jam duduk, satu jam berjalan. Pada saat itu saya merasakan sangat bahagia karena ada orang di sekeliling saya.” Latihan meditasi inilah yang membuat Caroline merasa segar dan dapat menghadapi segala persoalan hidupnya.

“Setelah retret itu di rumah saya merasa segar dan kuat untuk melakukan meditasi duduk selama satu jam setiap pagi. Dengan meditasi itu pun akhirnya saya merasa sesuatu yang kokoh. Pada saat saya mengalami sesuatu di luar diri saya tetap merasa kuat.”

Bagi Caroline, melakukan praktik meditasi berkesadaran setiap hari sama seperti membangun rumah yang bisa mendatangkan ketenangan setiap hari. “Master Thich Nhat Hanh pernah mengatakan ‘tidak bisa membangun rumah saat badainya sudah datang’. Kalau badainya sudah datang, rumahnya sudah ada kalau kita latih terus. Jadi praktik-praktik yang kita lakukan setiap hari itu akan melindungi kita setiap hari.”

Hingga saat ini, Caroline rutin melakukan meditasi, minimal 30 menit saat pagi dan malam hari. “Terkadang juga karena aktivitas saya sangat banyak, saya melakukan berkesadaran dengan bernapas saat mengantri di supermarket. Pada saat tertentu, saya juga berkumpul dan praktik meditasi bersama dengan kelompok yang terdiri dari 5 – 6 orang. Ini penting seperti yang dikatakan oleh Thich Nhat Hanh, kadang kala kita mengalami kesulitan berlatih kalau tidak memiliki teman-teman terutama Sangha untuk berlatih.”

Bersama kelompoknya ini, Caroline melakukan meditasi jalan, duduk, makan hingga bernyanyi bersama. “Saya suka bernyanyi, menyanyi bagi saya membuat bergairah. Karena itu, mengakhiri sharing ini saya mau mengajak Anda untuk bernyanyi bersama,” pungkas Caroline.

Peace Walk jalan bersama hidup berkesadaran yang dikembangkan dari meditasi jalan. Majelis Buddhayana Indonesia Kota Palembang menilai selain makna latihan praktik Dhamma, kegiatan Peace Walk juga lebih menyenangkan, bisa diikuti semua usia.

“Ini adalah sarana berkumpul umat Buddha Kota Palembang yang menyenangkan. Ke depan boleh kita laksanakan lebih sering, supaya komunitas belajar dan praktik Dhamma semakin kuat. Tadi ada usulan dari Ibu Pembimas Buddha Palembang untuk melaksanakan satu bulan sekali, bolehlah kita upayakan,” tutur Sukartek, Ketua MBI Kota Palembang.

Menurut pria yang sering disapa Ko Tektek ini, ada gairah dan semangat yang tumbuh dari pemuda Buddhis Palembang setelah perhelatan Peace Walk pertama pada tahun 2016 lalu di Palembang. “Saya lihat setelah dua tahun lalu kita membuat acara Peace Walk anak-anak muda semakin rajin ikut kegiatan di vihara.”

The post Caroline Schneider Berbagi Pengalaman Menjalankan Meditasi appeared first on .

Wihara Ekayana Arama Kirim Kontingen untuk Pecahkan Rekor Dunia Tari Poco-poco

$
0
0

Diperkirakan sebanyak 65.000 orang berkumpul di kawasan Monas hingga Jalan Sudirman-Thamrin, Minggu (5/8) pagi. Mereka mengenakan pakaian serba putih dengan hiasan pinggang dan ikat pinggang dengan corak kain songket berwarna dominan merah berbaris rapi.

Sejumlah sound system diletakkan di sejumlah sisi Jalan Sudirman-Thamrin hingga Monas. Kemarin, Indonesia mengupayakan pemecahan rekor dunia tari poco-poco dari Guinness World Records (GWR) jelang digelarnya Asian Games 2018.

Acara tersebut menjadi lebih spesial dengan kehadiran Presiden RI Joko Widodo alias Jokowi didampingi sang Istri, Iriana Jokowi. Hadir juga Wakil Presiden RI Jusuf Kalla bersama istri, Mufidah Jusuf Kalla. Tak ketinggalan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Sejumlah menteri pun hadir yakni Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Sosial Idrus Marham, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan.

Baca juga: Merawat Kebhinekaan, Wihara Ekayana Arama Gelar Bakti Sosial

“Bapak ibu sekalian, saya hanya ingin mengucapkan selamat berpoco-poco, semoga kita semuanya sehat, rakyat kita sehat, negara kita kuat, terima kasih,” ujar Jokowi, dalam sambutannya, Minggu. Selama 10 menit, para pejabat negara bersama ribuan warga yang hadir mengenakan setelan baju warna putih dengan hiasan kain dan ikat kepala merah memeragakan gerakan poco-poco.

Wihara Ekayana Arama turut berpartisipasi dalam acara ini. Setelah kerja keras latihan selama sebulan penuh, WEA mengirimkan 2 tim, total 100 orang untuk berpartisipasi dalam acara ini mewakili komunitas Lintas Agama. Kerja keras selama 1 bulan terakhir melatih peserta yang kebanyakan belum pernah menari Poco-Poco menjadi terbayarkan. (Kompas dan BZ)

The post Wihara Ekayana Arama Kirim Kontingen untuk Pecahkan Rekor Dunia Tari Poco-poco appeared first on .

Jalan Kedamaian Ada di Meditasi, Kok Bisa?

$
0
0

“Kalau kamu ingin menemukan jawaban atas kegelisahanmu, kalau kamu ingin menemukan laku spiritual, hanya seorang biksu yang bisa menjawab,” tutur Zaim. Lelaki kelahiran Kediri, 11 Oktober 1983 ini bercerita bahwa kalimat itu seperti muncul dalam batin di tengah kegelisahan hidupnya dalam pencarian spiritual.

Mohammad Zaim atau yang lebih akrab disapa Kang Zaim hadir sebagai narasumber dalam bedah buku Secangkir Teh dan Sepotong Ketupat dalam rangka peringatan hari Asadha Wihara Dharmakirti, Kota Palembang. Acara ini digelar hari Minggu (29/7) di ruang Dhammasala Wihara Dharmakirti dan diikuti oleh lebih dari 500 umat Buddha Kota Palembang.


Dok Penerbit Mizan

Buku Secangkir Teh dan Sepotong Ketupat merupakan karya Kang Zaim sendiri. “Buku ini saya tulis ketika saya merawat guru saya Master Zen, Thich Nhat Hanh. Beberapa tahun lalu Thich Nhat Hanh terkena stroke dan tidak bisa ngapa-ngapain, jadi saya terpilih menjadi salah satu monastik yang merawat beliau selama dua bulan.

“Di tengah-tengah merawat beliau, saat istirahat saya membuka laptop kemudian menulis seperti orang kesurupan. Jadi ketika saya mengetik itu enargi yang mendorong sangat kuat dalam waktu 2-3 minggu saya selesaikan buku ini yang tebalnya sekitar 200-an halaman. Saya melihat itu sebagai semangat yang diwariskan oleh Master Thich Nhat Hanh, sehingga saya bisa menulis dan menerbitkan buku ini,” tutur Kang Zaim.

Dalam buku tersebut Kang Zaim menceritakan seluruh riwayat hidupnya dalam pencarian spiritual untuk menemukan jawaban bagaimana bisa hidup selaras dengan alam. Pencarian spiritual Kang Zaim telah dimulai sejak kecil, berbagai pertanyaan tentang hidup dan kehidupan selalu muncul dalam pikirannya. “Pertanyaan saya adalah bagaimana supaya saya bisa khusyuk? Kalau dalam bahasa meditasi sekarang bagaimana saya benar-benar bisa tenang?” tuturnya.

Namun setiap jawaban yang ia dapat tidak pernah memuaskan batinnya. Kegelisahannya semakin memuncak pada saat orangtua Kang Zaim meninggal. Pada saat itulah suara batin Kang Zaim muncul, “Kalau kamu ingin menemukan laku spiritual sejati, hanya seorang biksu yang bisa menjawabnya,” katanya.

Mengikuti suara batinnya Kang Zaim mulai mencari mencari vihara untuk belajar meditasi. Guru meditasi pertamanya adalah Bhikkhu Uttamo, di Pondok Meditasi Balerejo, Blitar.

Pada usia 27 tahun Kang Zaim menempuh Pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, Jakarta. Pertemuanya dengan Master Thich Nhat Hanh dalam retret di Caringin tahun 2010 membawanya mendalami Buddhis di Plum Village, Perancis.

Di Plum Village, Zaim menjadi samanera selama lima tahun dengan nama Dai Dinh yang artinya Maha Samadhi karena Thay (panggilan untuk Thich Nhat Hanh) melihatnya sebagai murid yang khusyuk dalam meditasi. “Setelah belajar di Plum Village saya bisa merasakan apa yang dikatakan hidup selaras dengan alam,” pungkasnya.

The post Jalan Kedamaian Ada di Meditasi, Kok Bisa? appeared first on .

Dusun Grenggeng, Desa Jenggala, Lombok Utara Masih Terisolasi

$
0
0

Budiartoyo mengajak kami (Bhante Siriratano, Saya, dan Ana Surahman) mengunjungi 4 vihara yang belum masuk di data KMJ (Karuna Mitta Jaya). Vihara Giri Vana Jaya yang pertama kami kunjungi.

Setelah dari vihara ini kami lanjutkan ke Dusun Grenggeng, Desa Jenggala, Lombok Utara. Di dusun ini terdapat 1 vihara dengan jumlah umat 51 kk menurut data vihara.

Rasa sedih mengaduk perasaan kami, hampir seluruh rumah luluh lantah diterkam gempa bumi. Pada saat kami datang, masyarakat hanya meratapi harta bendanya yang rusak parah. Mereka membangun tenda-tenda darurat di tanah kosong sebelah rumah masing-masing.

Baca juga: Di Tengah Duka Mendalam Umat Buddha Tetap Khidmat Pujabhakti

Listrik mati, air mati, untuk mendapatkan air mereka harus berjalan ke ujung dusun yang letaknya lebih dari 2 km. Hingga kedatangan kami, warga dusun ini masih belum mendapatkan bantuan logistik kebutuhan sehari-hari. Melihat kondisi itu Bhante Siriratano langsung mengajak warga membangun posko bersama.

“Biar mudah pendataannya dan pengiriman bantuan kebutuhan harus membuat posko bersama. Jadi nanti kebutuhan genset, makanan, terpal dan kalau perlu dokter kita datangkan ke sini,” jelas Bhante Siriratano yang disambut warga antusias.

Dusun Grenggeng, Desa Jenggala masih terisolasi (9/8). Tidak ada akses jalan untuk kendaraan roda empat, bahkan jalan kendaraan roda dua tidak bisa sampai desa ini karena jalan terputus. Kami harus jalan kaki dari pemberhentian motor sekitar 1 jam perjalanan.

Untuk pengiriman logistik bantuan, ini menjadi kendala sendiri bagi relawan KMJ. “Sudah, siapa saja yang bisa turun ke posko Vihara Bodhidharma ambil terpal, beras dan kebutuhan lain. Saya masih harus mengunjungi vihara Dharmajaya, Dusun Bimbi Jangkar,” bhante memberi instruksi.

The post Dusun Grenggeng, Desa Jenggala, Lombok Utara Masih Terisolasi appeared first on .

Dua Posko Utama Tanggap Darurat Langsung Disiagakan di Lombok Utara

$
0
0

Minggu (5/8) Kabupaten Lombok dilanda gempa. Gempa bumi berkekuatan 7,0 SR. Ini banyak menghancurkan bangunan rumah masyarakat, terutama di Lombok Utara.

Selain menghancurkan bangunan, gempa juga memakan banyak korban luka-luka maupun korban jiwa. Karena itu, Karuna Mitta Jaya (KMJ), lembaga sosial Keluarga Besar Theravada Indonesia (KBTI) membuat dua posko utama untuk menyalurkan bantuan dan menangani korban gempa.


Vihara Bodhivamsa

“Lombok Utara dibagi menjadi lima kecamatan yang hampir semua terkena dampak gempa. Jadi supaya mudah menyalurkan bantuan kami membagi dua area, timur dan barat,” terang Bhante Saccadhammo, Padesanayakan STI Nusa Tenggara Barat dan Timur.

Baca juga: Gempa Lombok Menyisakan Trauma, Vihara dan Rumah Umat Buddha Hancur

Area timur yang meluputi sebagian Kecamatan Gangga, Kayangan dan Bayan dengan posko di Vihara Buddhavamsa, Dusun Letek, Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. Posko ini dipimpin langsung oleh Bhante Saccadhamma.

“Umat Buddha dari tiga kecamatan itu bisa mendapat bantuan logistik dari posko vihara Buddhavamsa,” terang bhante.

Di posko ini selain untuk menampung logistik berupa bahan makanan, obat-obatan beserta dokter jaga, genset, terpal, dan aneka kebutuhan lain juga dibangun tenda pengungsian. Setidaknya terdapat seribu jiwa yang menginap di posko ini.

Sedangkan posko kedua terletak di Vihara Bodhidharma, Dusun Karang Rendang, Desa Bentek, Kecamatan Gangga. Posko ini dibawah komando Bhante Uppasilo, Wakil Ketua Padesanayaka, yang mengakomodir kebutuhan pengungsi wilayah barat (Kecamatan Tanjung, Pemenang dan sebagian Gangga).

The post Dua Posko Utama Tanggap Darurat Langsung Disiagakan di Lombok Utara appeared first on .

Vihara Viriya Dharma Satu-satunya Vihara di Lombok Utara yang Masih Utuh

$
0
0

Minggu (5/8), saat itu pengurus vihara dan pemuda Vihara Viriya Dharma, Dusun Jrenggeng, Desa Jenggala sedang melalukan rapat koordinasi untuk menyalurkan bantuan korban gempa di Kecamatan Bayan, Lombok Utara yang terjadi pada Minggu (29/7).

Saat rapat itulah gempa susulan berkekuatan 7,0 SR datang. Suasana hangat berubah menjadi mencekam, listrik padam dan teriakan-teriakan terdengar. Para peserta rapat langsung berhamburan keluar untuk menyelamatkan anggota keluarganya yang di rumah.

“Pak Mulyadi langsung tancap motor melewati jembatan Mas. Ngeri sekali waktu itu,” jelas Supriyanto, 25 tahun, pemuda Dusun Jrengggeng, Kamis (9/8).

Baca juga: Dusun Grenggeng, Desa Jenggala, Lombok Utara Masih Terisolasi

Surpiyanto bersama beberapa warga datang ke Posko Karuna Mitta Jaya untuk melaporkan kondisi 4 vihara di Desa Jenggala yang masih belum mendapat bantuan logistik pasca gempa.

Mendapat laporan itu, Bhante Siriratano mengangkat Budiartoyo menjadi sebagai koordinator di empat vihara yang dilaporkan dan langsung memutuskan untuk mengirimkan beberapa terpal, air, makanan, dan aneka kebutuhan lain. Tak hanya itu dengan dibonceng motor, Ketua Umum Karuna Mitta Jaya (KMJ) ini langsung berkunjung dan mendata setiap kebutuhan korban gempa.

Vihara Viriya Dharma mungkin satu-satunya vihara di Lombok Utara yang hampir masih utuh setelah diterjang gempa bumi. Vihara ini terpencil, akses jalan masih belum bisa dilalui kendaraan roda empat. Material untuk bangunan vihara harus dibawa pakai motor atau dipikul. Vihara ini adalah pintu masuk ke perkampungan umat Buddha di pegunungan Desa Jenggala.

The post Vihara Viriya Dharma Satu-satunya Vihara di Lombok Utara yang Masih Utuh appeared first on .

Di Tengah Duka Mendalam Umat Buddha Tetap Khidmat Pujabhakti

$
0
0

Hampir 90% umat Buddha Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat menjadi korban gempa bumi berkekuatan 7,0 SR pada Minggu (5/8). Rumah mereka hancur menyisakan puing-puing bangunan. Kondisi ini membuat mereka harus mengungsi di tenda-tenda pengungsian.

Di tengah duka mendalam dan dihantui oleh gempa susulan yang tak kunjung berhenti, mereka tetap melakukan pujabhakti. Pujabhakti dilakukan setiap malam dipimpin oleh bhikkhu sangha. Dalam pujabhakti para bhikkhu dan umat juga melakukan pelimpahan jasa kepada para korban yang meninggal dunia.

Pujabhakti dilakukan oleh umat Buddha Dusun Lenek, Desa Bentek, Kecamatan Gangga yang berada di tenda pengungsian Vihara Buddhavamsa. Mereka melakukan pujabhakti pelimpahan jasa di halaman vihara, mengingat viharanya rusak parah.

Di Dusun Lenek, Desa Bentek, Kecamatan Gangga terdapat 5 korban yang meninggal dunia akibat gempa.

The post Di Tengah Duka Mendalam Umat Buddha Tetap Khidmat Pujabhakti appeared first on .


Relawan Gempa Lombok Hadapi Lokasi yang Sulit dan Gempa Susulan

$
0
0

Proses penyaluran bantuan untuk korban gempa Lombok harus menghadapi tantangan yang berat karena lokasi yang sulit dijangkau. Bahkan keadaan kadang menjadi mencekam karena gempa susulan masih terus terjadi yang sewaktu-waktu bisa mengancam nyawa.

Seperti yang dialami dua jurnalis BuddhaZine, Ngasiran dan Ana Surahman ketika ikut tim relawan Karuna Mitta Jaya (KMJ) menyalurkan bantuan ke umat Buddha di Dusun Grenggeng, Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara pada Kamis (9/8).

Umat Buddha di desa tersebut kebanyakan berada di pegunungan yang terisolir. Rumah-rumah hampir semua luluh lantak. Belum ada bantuan logistik yang masuk karena tidak bisa diakses kendaraan roda empat, motor pun sulit untuk lewat karena longsor di mana-mana.

“Akhirnya kami jalan kaki seharian dari desa ke desa melalui hutan. Dan yang paling mengerikan saat kami sedang jalan melalui hutan belantara dan jalanan tebing berbatu, tiba-tiba ada serangan gempa 6,2 SR,” cerita Ngasiran yang mengaku panik saat itu. Keadaan mendadak menjadi mencekam. Tanah dan pohon goyang, bunyi gemuruh dari batuan yang longsor terdengar mengerikan. Bhante Siriratano dan para relawan secara spontan berpegangan pada pohon sekenanya.

“Kami berlindung di bawah pohon kelapa, suara batuan turun dari tebing bergemuruh. Mengerikan sekali,” tutur Ngasiran.

Tim relawan baru bisa keluar pada sore hari setelah perjalanan satu jam melewati longsor dan tebing berbatu.

“Kebanyakan jalan terhalang batu-batu longsor akibat gempa. Jadi ketika jalan di tebing berbatu kami harus lari, karena takut ketika gempa datang batuan longsor dan menimpa kami,” Ngasiran menggambarkan.

“Setelah berjalan lebih dari satu jam dari Dusun Bimbi, kami baru sampai jalan beraspal. Meskipun begitu kami belum bisa langsung mendapat jemputan karena tidak ada sinyal untuk minta jemputan. Jadi kami harus berjalan lagi dalam rintik hujan sekitar 3 km hingga dapat tumpangan,” tambah Ngasiran.

“Hari yang sangat melelahkan dan mengerikan,” ujar Ngasiran. Bahkan sampai beberapa hari berlalu, Ngasiran dan Ana Surahman masih trauma dan tidak bisa tidur nyenyak karena gempa susulan terus terjadi. Apalagi posko tempat mereka tinggal hanya berjarak 1 km dari pantai, yang artinya bukan tempat yang aman jika sampai terjadi tsunami.

The post Relawan Gempa Lombok Hadapi Lokasi yang Sulit dan Gempa Susulan appeared first on .

Gempa Lombok Menyisakan Trauma, Vihara dan Rumah Umat Buddha Hancur

$
0
0

Seluruh umat Buddha di Lombok Utara khususnya daerah Kecamatan Gangga dan sekitar termasuk kecamatan Tanjung terkena dampak gempa yang terjadi pada Minggu (5/8).

Dari posko Lenek Kecamatan Gangga kami ikut membantu menyalurkan logistik pada Kamis (9/8) ke beberapa daerah dan kami pun melihat hampir seluruh rumah umat rusak parah, yang terparah yang kami lihat mereka umat Buddhha yang bermukim di daerah perbukitan akses jalan menuju permukiman sulit dan melewati perkebunan lebat.

Begitu juga dengan umat Buddhayana yang berada di daerah kecamatan Gangga dan sekitar, “Kondisi umat Buddha Buddhayana sama dengan umat-umat Buddha lain yang ada di Lenek. Hampir semua rumah warga runtuh, termasuk di daerah Tebangau dan Tebanyak pun hampir semua rumah warga rusak berat. Para umat pun saat ini kondisinya berada di pengungsian semua,” tutur Bhante Nyanasila saat kami temui di posko Budhhayana Lenek, Jumat (10/8).

“Umat Buddhayana yang berkumpul di posko Lenek ada 175 KK, itu untuk bagian yang bawah, secara keseluruhan yang ada di Lenek ada 200 KK lebih, yang di bawah 175 KK lainnya berkumpul di tempat lain,” jelas Bhante Uddhiko.

Sementera menurut Bhante Uddhiko untuk data umat Buddhayana di seluruh Lombok Utara baru sehari sebelum kami temui pihak KBI meminta untuk didata semua, data KK dan juga vihara-vihara yang mengalami kerusakan. Sejauh ini belum ada laporan.

Menurut Bhante Nyanasila jumlah vihara Buddhayana di sekitar posko Lenek ada kurang lebih sepuluh dan hampir semua roboh hanya ada sekitar tiga saja vihara yang masih terselamatkan dari yang lainnya runtuh semua. Sementara korban meninggal, Sabtu (11/8), tercatat ada delapan orang.

Posko Lenek, logistik untuk umat Buddhayana sudah cukup merata ke seluruh umat, “Untuk Logistik sampai saat sudah cukup kondusif, dari KBI terus mendukung logistik kami, kami terus mendistribusikan, ada beberapa yang sudah dapat dari pemerintah dan juga dari luar KBI. Terutama kami KBI berposko di Vihara Jaya Vijaya terus mendistribusikan logistik setiap pagi, setiap jam lima pagi kami mendistribusikan logistik jadi untuk saat ini sudah tercukupi logistiknya,” papar bhante.

Berdasarkan keterangan bhante terdapat lima posko besar yang mendistribusikan logistik ke posko-posko lain yang berdasarkan info terakhir sementara ada 17 tempat, karena masih menambah posko-posko yang lain.

“Tinggal yang memang masih kami pikirkan adalah kelanjutan dari ini adalah rumah mereka para umat. Pertama pembangunan kembali rumah umat pasca gempa, yang kedua memotivasi mereka. Karena beberapa trauma sekali dengan bencana ini, terutama yang saya lihat itu di Dusun Sempak itu sangat histeris sekali mereka, apalagi kejadian siang kemarin gempa susulan berkekuatan Magnitudo 6,2. Mereka sangat depresi sekali, kalau yang lain masih cukup kondusif karena didampingi oleh bhikkhu-bhikkhu, masih ada bhikkhu yang di samping mereka,” tutup bhante di akhir cerita.

The post Gempa Lombok Menyisakan Trauma, Vihara dan Rumah Umat Buddha Hancur appeared first on .

Dhamma Asadha di Vihara Dhammapala Deplongan Semarang

$
0
0

Asadha adalah salah satu hari raya umat Buddha untuk memperingati pembabaran Dhamma dari Buddha, atau bisa disebut dengan Dhammacakkapavatannasutta.

Sama halnya dengan Asadha di Vihara Dhammapala, Deplongan, Wates, Getasan, Kab. Semarang pada Kamis (9/8). Asadha ini dihadiri oleh Bhante Cattamano, Bhante Dhammamitto, Samanera Sacca, Atthasilani Cittakalyani, Atthasilani Metta Nurcahya, dan umat Buddha Dusun Deplongan dan juga mahasiswa STAB Syailendra.

Kebaktian kali ini terlihat rapi dan khidmat. Setelah pembacaan paritta suci dilanjutkan Dhammadesana oleh Bhante Cattamano.

“Kalau Buddha tidak membabarkan Dhamma pada bulan Asadha, kita tidak akan bertemu dengan agama Buddha,” uraian tersebut mengawali Dhammadesana Bhante malam itu.

“Ada tiga hal yang menjadi peringatan Asadha, pertama pemutaran roda Dhamma, terbentuknya Sangha, dan lengkapnya Tiratana,” tegas Bhante.

“Apa yang diajarkan Buddha kala itu kepada lima bhikkhu? Buddha membabarkan persoalan yang dialami umat manusia di dunia ini. Kesunyataan yang diajarkan Buddha akan tetap dialami. Pertama, hidup tidak akan lepas dari dukkha penderitaan, jangan memaknai dengan sempit artinya.

“Buddha menyampaikan bahwa kelahiran itu penderitaan. Kita dapat merenungkan ketika ada bayi lahir langsung menangis. Hal itu menandakan bahwa dia hidup. Kalau tidak menangis maka dokter dan bidan yang stres. Mereka memasukkan bayi ke air hangat lalu ke air dingin supaya bayi kaget lalu menangis. Itu menandakan bahwa hidup adalah penderitaan.

“Kedua, ada banyak faktor yang menyebabkan manusia mengalami penderitaan, di antaranya karena perubahan, batin serta jasmani yang tidak ada inti yang sebenarnya, dan yang paling inti adalah karena nafsu keinginan dan kemelekatan.

“Kita beruntung dapat lahir sebagai manusia, dapat mengerti Dhamma. Tapi tidak terlepas dari penderitaan, tidak lepas dari penyakit, usia tua, dan sakit. Semua bisa mengalami sakit, tidak hanya umat Buddha saja.

“Ketiga, lenyapnya penderitaan adalah dengan menghilangkan kotoran batin yang meliputi keserakahan, kebencian, dan iri hati.

“Keempat, jalan menuju lenyapnya penderitaan atau biasa disebut jalan arya berunsur delapan yang diawali dengan pandangan benar (menyadari hukum kesunyataan, sadar bahwa hidup tidak kekal, dan semua hal pasti ada akibatnya); pikiran benar (bebas dari iri hati, kebencian, dan keserakahan); ucapan benar (ucapannya baik); usaha benar; mata pencaharian benar; daya upaya benar; konsentrasi benar; dan samadhi benar (meditasi),” pungkas bhante mengakhiri Dhammadesananya.

The post Dhamma Asadha di Vihara Dhammapala Deplongan Semarang appeared first on .

12 Samanera “Terjebak” Gempa Lombok

$
0
0

Minggu (29/7) Lombok diguncang gempa bumi berkekuatan Magnitudo 6,4 pada pukul 05:47:39 WIB dari kedalaman 10 Km. Gempa mengakibatkan vihara dan rumah-rumah warga mengalami kerusakan cukup parah, terutama di Kabupaten Lombok Timur.

Untuk meringankan penderitaan korban gempa Padepokan Dhammadipa Arama, Batu, Malang, mengirim 12 samanera guna menjadi relawan. Mereka berangkat Rabu (1/8) dengan menggunakan 2 mobil vihara. Desa Bayan, Lombok Timur salah satu titik gempa menjadi tujuan pertama mereka.

Dikoordinir oleh Bhante Saccadhammo, padesanayaka NTB, kedua belas samanera sehari-hari membantu umat Buddha membersihkan rumah dan vihara. Pada Sabtu (4/8), mereka bergotong royong merapikan tembok Vihara Rinjani Dhamma Giri yang retak parah akibat gempa.

Siang hari para samanera membantu umat membersihkan puing-puing bangunan, sedangkan pada malam hari mereka disebar ke beberapa vihara dan desa untuk memimpin pujabhakti atau menghadiri perayaan Asadha.

Hingga malam itu, Minggu (5/8) saat gempa kedua datang dengan kekuatan lebih besar yakni berkekuatan Magnitudo 7,0. Panik di mana-mana, hanya itu yang tergambar dari suasana malam itu. Beberapa samanera ada yang terjebak di desa karena jalan terputus, yang lain gabung dengan para pengungsi, yang lain lagi ikut dengan masyarakat lari ke perbukitan.

“Awalnya kami datang untuk membantu korban gempa. Dua hari kemudian datang gempa yang lebih besar, jadi beda misi lagi, delapan samanera terjebak selama 3 hari di sana nggak bisa pulang karena jembatan roboh. Akhirnya kami juga menjadi korban di sini, ngabisin beras sembako,” tutur Samanera Cittasarano

Ditambah lagi mereka ditinggal salah satu sopir yang membawa mereka ke Lombok. “Sopir satunya panik, mobilnya ditinggal kemudian dia minta diantarkan ke bandara oleh warga untuk langsung terbang kembali ke Malang,” samanera bercerita.

Kondisi ini membuat 12 samanera harus tinggal di Lombok untuk beberapa waktu lagi. Sehari-hari para samanera ini membantu di Posko KMJ kadang juga disebar untuk membantu korban gempa di pelosok-pelosok desa.

The post 12 Samanera “Terjebak” Gempa Lombok appeared first on .

Kesederhanaan Perayaan Asadha di Vihara Dhammasundara Solo

$
0
0

Perayaan Asadha di Vihara Dhammasundara Solo, pada Sabtu (11/8) dihadiri oleh Bhante Santacito, Bhante Jayasilo, Samanera Adhiseno, dan Attahasilani, serta dihadiri oleh umat sekitar Solo, Wonogiri, serta mahasiswa STAB Syailendra dan STABN Raden Wijaya.

Kebaktian dimulai dengan namakarapatha, pradaksina mengelilingi Candi Putih, pujabhakti, dan meditasi. Setiap umat membawa satu paket bunga, lilin, dan dupa untuk pradaksina. Setelah pujabhakti, dilanjutkan pembacaan Dhammacakkapavatana Sutta.

Bhante Santacito dalam Dhammadesana menjelaskan, “Beberapa hal penting yang terjadi saat perayaan Asadha adalah tiga ratana muncul di dunia, yaitu Buddha, Dhamma, Sangha. Ketika Bhante Annakondanna ditahbiskan, maka muncul Sangha. Dengan Dhammacakapavatana Sutta, maka kita bisa mengenal Dhamma,” terang bhante mengawali ceramahnya.

“Dhamma yang telah Buddha capai sangat dalam, punya makna yang sangat dalam. Buddha awalnya enggan membabarkan Dhamma, karena Dhamma yang beliau capai memiliki makna yang sangat dalam. Kemudian ada Brahma Sahampati yang mengatakan bahwa meski Dhamma sulit dipahami, bagi makhluk-makhluk yang memiliki sedikit debu akan memahami Dhamma itu sendiri.

“Dhamma yang beliau realisasi adalah Empat Kebenaran Mulia. Ada dua jalan yang harus dihindari oleh mereka yang menjalani kehidupan sebagai pabajjita dan perumah tangga. Pada saat itu, lima petapa praktik mengejar kesenangan indriawi dan praktik menyiksa jasmani. Karena anggapan jalan itu untuk mencapai Nibbana.”

Bhante menambahkan, “Seseorang menderita karena batinnya. Saat kita menginginkan sesuatu dan mendapatkannya maka kita bahagia. Tapi kebahagiaan itu sementara, dan di situ terdapat kekotoran. Mengejar kekayaan dalam kehidupan itu tidak membawa kepada pencerahan. Melekat pada kenikmatan juga tidak membawa pada pencerahan. Oleh karena itulah Buddha melarang 5 petapa untuk menghindari dua jalan ekstrim.

“Kalau ada jalan yang bisa membawa pencerahan dan pembebasan, yaitu Jalan Tengah. Bukan jalan tengah antara penyiksaan diri dan kenikmatan indrawi, tapi jalan untuk meninggalkan hal ekstrim tersebut.”

Bhante Santacito menguraikan, “Buddha kemudian mengajarkan tentang empat kebenaran mulia. Inilah inti ajaran Buddha. Empat kebenaran mulia tentang penderitaan, sebab penderitaan, akhir penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan. Untuk mengatasi hal itu diajarkan jalan mulia berunsur delapan.

“Berpisah dengan yang dicinta, berpisah dengan kenyamanan, itu semua hanya keinginan kita yang menyebabkan penderitaan. Ketika ada keinginan menolak penderitaan, tidak ingin membenci, maka penderitaan akan lenyap.”

Bhante menegaskan bahwa penderitaan datang ketika kita merespon dengan tidak bijaksana. Merasa tersakiti dengan peristiwa yang terjadi, menolak peristiwa yang terjadi, membenci peristiwa yang terjadi, itulah yang menyebabkan kita menderita. Sama seperti saat kita bermeditasi, banyak pikiran muncul, merasa terganggu, apabila dihadapi dengan bijaksana, tidak ada keakuan, maka penderitaan tidak muncul.

“Yang membuat kita menderita adalah keinginan yang terbentuk dalam lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (ketidaktahuan), keinginan menolak adalah kebencian, keinginan melekati adalah keserakahan, kebencian keserakahan muncul karena ketidaktahuan,” oleh sebab itu, penderitaan dapat diatasi dengan melenyapkan kekotoran batin (lobha, dosa, dan moha). Juga tanha (keinginan untuk melekati hal-hal yang disenangi harus dihindari).

“Memahami dan melihat penderitaan adalah jalan yang benar, maka ucapan, perbuatan, upaya, samadhi, dan konsentrasi akan menjadi benar. Itulah satu-satunya jalan yang diajarkan Buddha agar terbebas dari penderitaan,” pungkas Bhante.

The post Kesederhanaan Perayaan Asadha di Vihara Dhammasundara Solo appeared first on .

Viewing all 1052 articles
Browse latest View live