Quantcast
Channel: News Berita Budhis Terkini | Buddhazine
Viewing all 1052 articles
Browse latest View live

Meditasi Perlu Diperkenalkan Sejak Usia Dini

$
0
0

Ketika mendengar kata meditasi, masih banyak orang yang beranggapan hanya duduk bersila berjam-jam, memejamkan mata, dan memusatkan pikiran pada suatu objek. Anggapan ini sekaligus melahirkan persepsi bahwa meditasi hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa saja.

Anggapan semacam ini ternyata terbukti tidak sepenuhnya benar. Meditasi yang berakar dari ajaran Buddha saat ini sudah berkembang dengan berbagai metode dan bisa dipraktikan semua orang, segala usia termasuk anak usia dini.
Anak-anak Sekolah Minggu Buddhis Vihara Buddhayana Dharmavira Center (BDC), Surabaya misalnya yang secara rutin melakukan meditasi hidup berkesadaran bersama.

Sekolah Minggu Vihara BDC terdiri dari 4 kelas; (1). Kelas Metta terdiri dari anak-anak play grup dan taman kanak-kanan, (2). Kelas Karuna, anak-anak Sekolah Dasar kelas 1 – 3, (3). Kelas Mudita, Sekolah Dasar kelas 4 – 6 dan Kelas Upekkha yang terdiri dari anak-anak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jumlah keseluruhan anak Sekolah Minggu Buddhis Vihara BDC kurang lebih 150 anak.

“Kegiatan makan berkesadaran itu rutin dilakukan terutama bagi anak-anak kelas Mudita dan Upekkha. Mereka sudah terbiasa melakukannya, kadang mereka bisa meditasi makan coklat, pizza, minum milo dll,” turut Hudy Suharto, salah satu pengurus Vihara BDC Surabaya.

Baca juga: 5 Alasan Mengapa Anda Harus Mengajarkan Meditasi pada Anak-anak

Minggu, (30/9) adalah momen spesial menurut Pak Hudy. Kalau pada hari minggu-minggu biasa anak-anak melakukan meditasi sesuai dengan kelas masing-masing, kali ini seluruh kelas secara bersamaan melakukan meditasi bersama. “Meditasi makan kue bulan dan minum berkesadaran ini kita adakan untuk menyambut perayaan kue bulan yang diikuti oleh 80 anak, 11 pembina dan 20 orang tua.”

Dengan dibimbing oleh guru pembina sekolah minggu, anak-anak ini diajak untuk menyadari setiap proses menikmati makanan yang mereka makan. “Kami ingin mengajarkan kepada anak-anak bahwa meditasi bukan hanya duduk dan diam tutup mata. Tapi kita juga bisa melakukannya ketika kita sedang makan dan minum. Dengan menyadari setiap proses, mulai dari bentuk, warna, rasa, wangi dari makanan ini. Menyadari ketika makanan masuk kedalam mulut kita dan sebagainya.

“Juga dengan penuh kesadaran kita menyadari bawa kita bersentuhan dengan bumi. Mengetahui bahwa makanan dan minuman ini juga hasil jerih payah dari petani, tukang masak, dan semua orang yang berjasa dalam makanan dan minuman ini sehingga kita bisa menikmatinya. Itulah yang diajarkan kepada anak-anak sejak dini. Sehingga selain mereka bisa makan dengan sadar dan tenang, mereka juga akan menghargai setiap makanan yang meraka makan,” jelas Pak Hudy.

The post Meditasi Perlu Diperkenalkan Sejak Usia Dini appeared first on .


Gempa Bumi Palu-Donggala, Banyak Umat Buddha di Palu Ketakutan

$
0
0

Bumi Indonesia kembali diguncang gempa. Kali ini gempa bumi berkali-kali mengguncang Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018). Akun twitter resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menginformasikan bahwa salah satu gempa terbesar berkekuatan Magnitudo 7,7.

Gempa Magnitudo 7,7 terjadi pada pukul 17:02:44 WIB. Lokasi pusat gempat ada di kedalaman 10 km dan posisinya di arah 27 km Timur Laut Donggala. BMKG mengumumkan peringatan dini tsunami setelah gempa Magnitudo 7,7 itu terjadi. Peringatan tsunami itu diakhiri oleh BMKG pada sekitar pukul 17.40 WIB.

Baca juga: Vihara Veluvanna Merupakan Salah Satu Vihara yang Masih Berdiri Pasca Gempa

Gempa mengakibatkan korban jiwa, data terbaru BNPB menunjukkan, korban tewas sudah mencapai setidaknya 1347 orang, termasuk 34 pelajar yang ditemukan meninggal dunia di bawah reruntuhan gereja di Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, pada Selasa (1/10).

Jumlah korban tewas terus meningkat, dan kini mencapai 1374, dalam data yang tercatat BNPB hingga Selasa (2/10) pukul 17:00. Hal ini diungkapkan Kepala BNPB Willem Rampangile, dalam jumpa pers di posko penanganan bencana, Palu.

Vihara Karunadipa

Rumah ibadah pun tak luput dari gempa, salah satunya adalah Vihara Karunadipa yang terletak di Jl. Sungai Lariang No. 74, Palu, Sulawesi Tengah. Menurut informasi dari Bhante Cittavaro yang berada di lokasi vihara ini mengalami kerusakan di beberapa tempat.

“Pondasi ruang Dhammasala retak bagian bawah memutar hampir setengah gedung. Plafon ruang Dhammasala rontok sebagian, dinding juga mengalami keretakan. Ruang serbaguna plafonnya juga rontok termasuk kuti para bhikkhu,” jelas bhante melalui pesan singkat pada BuddhaZine.

Saat gempa, Bhante Cittavaro bersama Bhante Candakaro sedang berada di vihara. Mereka sedang melatih umat Buddha yang sedang mempersiapkan diri untuk lomba di Jakarta pada (8/10) mendatang. “Tiba-tiba bumi bergoncang, spontan saya berdiri dan rasanya nggak bisa lari, kepala pening saat bumi berguncang,” tulis bhante menggambarkan situasi saat kejadian.


Pembacaan paritta bertempat di halaman Vihara Karuna Dipa, Palu.

Sehari paska gempa, Vihara Karunadipa langsung membuka posko pengungsian. Terdapat sekitar 100 orang yang berada di pengungsian vihara ini. “Di hari pertama pasca gempa, yang mengungsi di sini berkisar 90 sampai 100 orang, berangsur-angsur menurun, karena pengungsi yang awalnya berada di vihara, sebagian lari keluar kota, ada yang menggunakan mobil menuju Toli-toli, Gorontalo, Manado, Mamuju, Makassar, ada juga yang menyewa pesawat menuju ke Balikpapan.”

Sejak hari pertama, posko Vihara Karunadipa tidak kekurangan makanan. Hanya saja, saat mendatangkan logistik dari luar kota seperti Mamuju maupun Manado harus dikawal TNI karena situasi masih tidak aman.


Bhante Cittavaro bekerjasama dengan umat Buddha Vihara Karuna Dipa menyerahkan sembako.

“Umat Vihara Karunadipa tidak kekurangan makan, tapi kami menampung dan menerima dana bantuan umat Buddha yang peduli dengan korban Gempa. Begitu ada dana bantuan masuk sesegera mungkin kami salurkan kembali. Sudah beberapa pihak yang menerima dana bantuan, termasuk sore tadi membantu dua masjid. Sampai malam hari ini, tim masih bekerja membantu korban gempa,” terang bhante.

Umat Vihara Karunadipa berjumlah kurang lebih sekitar 500 orang. Kejadian gempa membuat mereka trauma, banyak toko-toko umat Buddha yang dibongkar paksa dan dijarah massa. Kondisi ini mengakibatkan banyak umat Buddha yang ketakutan dan lari meninggalkan Kota Palu.

The post Gempa Bumi Palu-Donggala, Banyak Umat Buddha di Palu Ketakutan appeared first on .

Keelokan Dunia Buddhis di Kawasan Muslim Jambi

$
0
0

Penulis dan sastrawan asal Perancis, Elizabeth Inandiak, memaparkan keelokan dunia Buddhis di kawasan Muslim Jambi. Hal itu dilakukannya dalam presentasi bukunya yang berjudul “Dreams From The Golden Island” dalam acara Wednesday Forum CRCS and ICRS UGM, yang diadakan Rabu (3/10) siang.

Dreams From The Golden Island (Mimpi-mimpi Pulau Emas) adalah karya terbaru Elizabeth bersama beberapa pemuda Desa Muarojambi. Ia menjelaskan, lewat bukunya, ia mengungkap bahwa keelokan dunia Buddhis di Jambi bisa dilacak dari catatan biksu peziarah asal Tiongkok, I-Tsing, yang sempat mengunjungi Sumatera pada abad ke-8. I-Tsing adalah salah satu yang pertama kali mencatat perjalanan maritimnya menggunakan kapal.

Elizabeth selanjutnya bertutur bahwa keelokan Pulau Emas (Swarnadwipa) atau Sumatera juga bisa dilacak lewat kisah perjalanan Atisha Dipankara dari India yang ingin lebih banyak memahami batin pencerahan bodhicitta, jantung praktik seorang Bodhisattva, pada guru yang paling tersohor di Sriwijaya, yakni Dharmakirti, yang biasa disebut di Tibet sebagai Lama Serlingpa. Atisha berhasil menemui gurunya itu di abad ke-11 setelah menempuh perjalanan laut selama 15 bulan.

“Kisah hidup Atisha termasuk kunjungannya ke Sumatera digambarkan dalam mural di Biara Drepung di Tibet,” ujarnya.

Ia menerangkan, dari catatan yang ada, baik di Tiongkok maupun Tibet, Sriwijaya, khususnya Jambi adalah kawasan yang elok dan megah dengan tingkat budaya yang tinggi. Namun ia juga tidak mengerti, mengapa peradaban yang mulia dan masyhur itu lantas hilang bagai ditelan bumi. Dirinya menduga itu bukan karena serangan atau perang, namun karena bencana alam.

“Kemungkinan karena tsunami. Tapi ini masih misterius,” ujarnya.

Baca juga: Kerennya Jalan Becak Motor di Kompleks Candi Muaro Jambi

Elizabeth yang pertama kali datang ke Desa Muarojambi pada 2010, mengaku bahwa warga masyarakat Desa Muarojambi yang mayoritas beragama Islam ikut berjasa merawat situs terbesar di Asia Tenggara dan dulunya adalah sebuah universitas Buddhis sejak abad ke-7 hingga abad 13 itu.

Faktanya di Muarojambi memang berdiri sebuah desa yang semua warganya penganut agama Islam. Namun sisa-sisa budaya berbasis bahasa Sanskerta masih bisa ditemukan di sana. Ia mencontohkan bahwa di sana pantun disebut sebagai seloko, mirip seperti seloka dalam bahasa Sanskerta. Selain itu, ia mencontohkan adanya alat musik gong yang dipakai untuk kelompok dzikir tradisional di sana, sebagai pelengkap rebana.

“Bahkan ada seorang Muslim memberi nama anaknya nama Buddhis seperti Prajna Paramita,” terangnya.

Keunikan lain, ia menjelaskan terdapat beberapa spesies endemis pohon-pohon dari anak benua India yang tidak tumbuh di tempat lain di Sumatera, kecuali di hutan Muarojambi. Contohnya, pohon kapung atau kembang parang (meto dzambaka dalam bahasa Tibet) yang memiliki kelopak setipis ari berwarna putih.

“Ini digunakan di India dan Tibet sebagai bunga untuk ritual tantra Buddhis,” jelasnya.

Elizabeth meneruskan, dalam rentang waktu yang panjang, antara Buddha (termasuk situs peninggalannya) dan Islam di kawasan tersebut terbangun dalam relasi penuh cinta dan kasih. Hal itu didasarinya dari fakta bahwa puluhan ribu datang tiap tahun merayakan Waisak di Muarojambi, dan mampu harmonis dengan warga sekitar.

“Kalau tidak ada dialog, pasti terjadi ketidakharmonisan,” tutupnya.

The post Keelokan Dunia Buddhis di Kawasan Muslim Jambi appeared first on .

3 Umat Buddha di Vihara Karuna Dipa Meninggal Akibat Gempa

$
0
0

Gempa bumi berkekuatan Magnitudo 7,7 yang mengguncang Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9) masih menyisakan trauma mendalam bagi para korban. Gempa bumi yang disusul dengan tsunami ini menghancurkan bangunan dan menelan korban meninggal di Palu dan sekitarnya telah mencapai 1.571 orang dan sebanyak 1.000 lainnya mungkin terkubur reruntuhan rumah dan bangunan.

Data mengenai korban meninggal dikemukakan juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho. Adapun jumlah korban terkubur dipaparkan Badan SAR Nasional.

“Kami memperkirakan ada lebih dari 1.000 rumah terkubur, jadi mungkin lebih dari 1.000 orang masih hilang,” kata Yusuf Latif, Kasubbag Humas Badan SAR Nasional, M Yusuf Latif, kepada kantor berita AFP, hari Jumat (5/10).

Menurut data yang diperoleh BuddhaZine, sampai hari ini setidaknya terdapat tiga korban jiwa umat Buddha Vihara Karuna Dipa. “Sudah ketahuan dan telah dikebumikan ada 2 orang; 1 perempuan berusia 80 tahun dan 1 laki-laki berusia 70 tahun. Tetapi masih ada satu lagi yang sampai hari ini (4/10) belum berhasil dievakuasi,” terang Bhante Cittavaro.

Menurut keterangan Bhante Candakaro, umat Buddha yang meninggal tersebut karena tertimbun reruntuhan rumah. “Rumahnya empat lantai, hancur rata dengan tanah. Gempa dan tsunami itu juga menghancurkan rumah-rumah umat Buddha, hampir semua kena termasuk yang di daerah pantai,” tulis bhante melalui pesan singkat.

“Mengerikan Mas, suasana malam itu mencekam. Listrik langsung padam, kita seperti dilempar-lempar,” jelas bhante lebih lanjut. Pagi hari pasca kejadian gempa umat Buddha langsung berdatangan dan mengungsi di Vihara Karuna Dipa.


Sekolah Karuna Dipa sebelum gempa. Foto: www.sekolah.data.kemdikbud.go.id

Tak hanya itu, sekolah-sekolah juga harus diliburkan setelah kejadian gempa. Sekolah Karuna Dipa misalnya yang harus diliburkan entah sampai kapan. Sekolah Karuna Dipa merupakan sekolah Buddhis yang berada di seberang jalan Vihara Karuna Dipa. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah favorit di Kota Palu.

“Menurut Ketua Yayasan, Sekolah Karuna Dipa tidak mengalami kerusakan parah. Hanya retak-retak sedikit, kegiatan belajar harus dihentikan sementara,” pungkas bhante.

Sekolah Karuna Dipa menyelenggarakan jenjang pendidikan dari TK hingga SMA. Sekolah ini memiliki siswa didik sekitar 700 anak di semua jenjang. Hingga hari ini, Jumat (5/10) posko vihara telah menerima dan menyalurkan bantuan logistik ke berbagai posko cabang. Yayasan Buddha Tzu Chi juga telah membuka posko dan melayani para korban gempa.

The post 3 Umat Buddha di Vihara Karuna Dipa Meninggal Akibat Gempa appeared first on .

Anak-anak Korban Gempa Lombok Sudah Kembali Sekolah

$
0
0

Korban gempa bumi Kabupaten Lombok Utara, perlahan mulai bangkit. Para pengungsi kini telah kembali ke kampungnya masing-masing. Mereka membangun tempat tinggal sementara di atas reruntuhan rumahnya menggunakan tenda, ada juga yang membuat rumah dari bambu dengan atap daun kelapa.

Para warga yang awalnya tinggal di pengungsian kini juga sudah mulai beraktifitas kembali. Para petani kembali menggarap ladangnya, karyawan mulai bekerja, para mahasiswa juga sudah kembali ke kampus dan anak-anak juga sudah kembali ke sekolah.

“Anak-anak sudah mulai sekolah, bahkan saya juga sudah bolak-balik ke Mataram untuk melanjutkan kuliah saya,” tutur Budiartoyo, salah satu pemuda Buddhis dari Dusun Grenggeng, Desa Jenggala, Lombok Utara kepada BuddhaZine, Jumat (5/10).

Hal yang sama diungkapkan oleh Bhante Saccadhammo dari Posko Vihara Buddhavamsa, Dusun Lenek. Meskipun posko masih dibuka, para pengungsi juga sudah mulai kembali ke rumah dan bekerja seperti biasa. “Sekarang masyarakat telah kembali ke rumah masing-masing, tapi posko masih dibuka,” terang bhante.

Saat ini Vihara Buddhavamsa juga digunakan untuk tempat belajar sementara Sekolah Dasar Lenek. Sudah lebih dari satu bulan ini, anak-anak sekolah sudah belajar di tenda darurat yang dibuat di sawah dekat vihara.

“Baru kemarin anak-anak kelas 3 – 6 pindah di bangunan sekolah sementara yang dibangun di area Vihara Buddhavamsa. Untuk kelas 1 dan 2 masih di tenda darurat,” tulis bhante kepada BuddhaZine.

Tak hanya itu, di posko Buddhavamsa juga menyelenggarakan bimbingan belajar kepada anak-anak usia sekolah pada sore hari. Mereka mendatangkan relawan untuk membimbing dan mengajak bermain anak-anak sekitar dusun Lenek.

Tujuh mahasiswa STAB Syailendra misalnya yang saat ini bertugas menjadi relawan di sana. Mereka adalah; Khanti Adhisti, Danang Setyadi, Yuli Setyanto, Musini, Rusmiyati, Veni Ratana, dan Andrean.

“Saat ini para mahasiswa yang dikirim oleh WANDANI ini kami tugaskan untuk mengisi kegiatan seperti aneka permainan, berbagi pengetahuan Dhamma kepada anak-anak, dan mengajarkan anak-anak tampil di depan,” pungkas bhante.

Tak hanya mengajar dan mengajak bermain anak-anak, selama berada di sana para mahasiswa ini juga dikirim untuk mengisi ceramah Dhamma di posko-posko pengungsian.

The post Anak-anak Korban Gempa Lombok Sudah Kembali Sekolah appeared first on .

Perdamaian dan Toleransi Sekolah Perempuan di Desa Getas, Temanggung

$
0
0

“Salah satu yang membuat kita berada di sini adalah budaya damai masyarakat Desa Getas. Ibu-ibu dapat kumpul di sini meski dari latar belakang berbeda. Di Indonesia ini masih banyak orang-orang yang anti perbedaan,” tutur Maskur Hasan, saat mengawali penyampaian materi Menggali Nilai-nilai Lokal Perdamaian Rabu, (3/10/2018).

Materi ini disampaikan dalam acara Training Perdamaian dan Toleransi Sekolah Perempuan Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Acara yang diselenggarakan oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia selama dua hari; Rabu – Kamis (3 – 4/10/2018) di aula balai Desa Getas.

Pada sesi ini, sebanyak 30 peserta yang didominasi oleh kaum perempuan diajak untuk diskusi menggali nilai-nilai dan budaya lokal yang masih dilestarikan masyarakat Desa Getas. “Menurut data yang kami peroleh, di desa ini terdapat tiga agama; Buddha, Islam, dan Kristen. Di tengah perbedaan ini ibu-ibu bisa hidup rukun, pasti ada nilai dan budaya lokal yang membuat bapak ibu bisa hidup bersama,” kata Maskur lebih lanjut.

Sadranan, gotong royong, merti dusun, kendurian, ngendong, perayaan hari ulang tahun RI, Jumat bersih dan aneka kesenian lokal masuk dalam daftar saat peserta diminta menuliskan nilai lokal perdamaian dalam sebuah kertas. Masih dilestarikannya kesenian daerah dan berbagai budaya lokal ini menurut peserta yang membuat mereka bisa hidup bersama.

“Saat ada tetangga yang meninggal, tidak peduli apa agamanya semua orang terlibat membantu. Mulai dari memandikan jenazah, ambil rumput untuk pakan ternak yang lagi berduka selama satu minggu secara bergantian hingga ngendong (bila yang meninggal umat Buddha, dibacakan paritta selama satu minggu di rumah duka, selesai baca paritta orang-orang akan berjaga semalaman di tempat tersebut),” terang salah satu peserta.

Baca juga: Pendidikan dan Perempuan

Lestarinya berbagai kesenian daerah juga dinilai sebagai salah satu sarana pemersatu masyarakat Desa Getas. “Kalau sudah berbicara soal kesenian, masyarakat sini sudah melampaui nilai-nilai materi. Kesenian kuda kepang, warok, topeng ireng, soreng, koncer masih sangat dilestarikan. Saat perayaan 17 Agustus misalnya, satu tim kesenian bisa tampil puluhan kali dalam satu bulan, mereka tidak dibayar. Dan ini hampir setiap dusun ada grup keseniannya,” terang peserta lain.

Sebagai kesimpulan, nilai-nilai ini menurut maskur yang menjadi kunci toleransi masyarakat Desa Getas. “Ini harus dilestarikan, Inilah Indonesia”.

AMAN, penggagas sekolah perempuan

AMAN merupakan Lembaga Internasional yang berpusat di Bangkok, Thailand. Lembaga ini konsen terhadap isu-isu perempuan dan perdamaian, salah satunya melalui program Sekolah Perempuan.

Di Indonesia saat ini AMAN telah membentuk tiga puluh sekolah perempuan yang tersebar di tujuh provinsi. Di Jawa Tengah saat ini baru ada di Wonosobo dan baru merintis di Temanggung, yang akan di mulai dari Desa Getas.

Terdapat tiga alasan mengapa Desa Getas dipilih sebagai tempat memulai Sekolah Perempuan. Pertama, kondisi hubungan sosial masyarakat, (interaksi, interelasi, dan interdependensi) melalui budaya lokal yang hampir setiap tahun dilaksanakan. Mereka selalu membuka ruang-ruang kebersamaan untuk saling menghargai dan menerima berbagai aktifitas keagamaan maupun sosial seperti perayaan hari-hari besar keagamaan yang saling melibatkan, melaksanakan perayaan dan penghormatan terhadap leluhur dan alam (nyadran) yang dilakukan secara bersama.

Kedua, Masyarakat Getas khususnya perempuan mempunyai peran besar dalam merawat perdamaian melalui kegiatan keagamaan. Mereka terlibat langsung dalam proses persiapan dan pelaksanaan kegiatan.

Ketiga, organisasi perempuan keagamaan cukup maju. Ini ditandai dari aktifitas rutin mereka di internal agama masing-masing yang menguatkan tingkat spiritual dan relasi agama, masyarakat, dan alam.

The post Perdamaian dan Toleransi Sekolah Perempuan di Desa Getas, Temanggung appeared first on .

Ulang Tahun ke-42 Magabudhi Luncurkan Buku Sejarah

$
0
0

Tanggal 3 Oktober 2018, Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi) genap berusia 42 tahun. Magabudhi berdiri pada tanggal 1976 di Bandung, Jawa Barat, dengan nama awal Mapanbudhi (Majelis Pandita Buddha-dhamma Indonesia).

Bhikkhu Jayamedho, dalam bukunya Menapak Pasti; Kisah Spiritual Anak Madura menyebutkan bahwa berdirinya Mapanbudhi adalah awal berkibarnya bendera Theravada di Indonesia. Beberapa tokoh yang tercatat dalam pendirian organisasi ini adalah Mahapandita Karbono, Mahapandita Vidyadharma, Mochtar Rasyid, Hudoyo Hupudio, Djamal Bakri, dan Ratna Surya Widya.

Pada tahun 1995, Mapanbudhi berganti nama menjadi Magabudhi (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia). Perubahan nama ini berdasarkan saran dari Budi Setiawan yang saat itu menjabat sebagai Direktur Urusan Agama Buddha, Kementerian Agama RI dengan alasan penyeragaman serta memperjelas identitas.

Merayakan ulang tahun 42 berkibarnya bendera Theravada di Indonesia, Magabudhi menggelar syukuran. Acara ini diselenggarakan di Wisma Narada, Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Jakarta, pada Sabtu (6/10/2018). Dalam acara yang dihadiri oleh ratusan anggota Magabudhi, Bhikkhu Sangha, dan organisasi Buddhis lain, juga digelar peluncuran buku Sejarah Singkat Agama Buddha Theravada di Indonesia; Sejak abad kedua puluh.

Buku Sejarah Singkat Agama Buddha Theravada di Indonesia; Sejak Abad kedua puluh, merekam perjalanan panjang agama Buddha mazhab Theravada di Indonesia. Theravada masuk di Indonesia sejak datangnya Bhante Narada Thera dari Ceylon, Srilanka, tanggal 4 Maret 1934.

“Bhikkhu Narada adalah bhikkhu Theravada pertama yang datang ke Indonesia sejak 450 tahun setelah agama Buddha pernah berjaya di Nusantara,” tulis Dharmanadi Chandra, Ketua Umum Magabudhi dalam kata pengantar buku tersebut.

Atas jasa Bhante Narada yang menyebarkan agama Buddha Theravada kini melahirkan tokoh-tokoh agama Buddha di Indonesia. “Jasa Bhikkhu Narada melahirkan tokoh-tokoh agama Buddha sangat besar, hingga saat ini agama Buddha Theravada telah berkembang ke seluruh pelosok Indonesia,” tulisnya.

Baca juga: Dharmanadi Chandra Terpilih Menjadi Ketua Umum Magabudhi Periode 2016-2021

Saat ini anggota dan kepengurusan Magabudhi telah menyebar ke berbagai provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. Jumlah anggota yang terdiri dari pandita dan upacarika kurang lebih mencapai 3.900 orang. Melihat perkembangan dan peran Magabudhi membantu Sangha dalam membina umat Buddha, Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia, Bhikkhu Subhapannyo memberi apresiasi tinggi kepada para pandita Magabudhi.

“Kebesaran Magabudhi bukan karena kuantitas anggotanya, namun karena kiprah nyata di masyarakat. Untuk itu kualitas anggota Magabudhi (yang terdiri dari pandita dan upacarika) harus ditingkatkan, tingkah laku harus dijaga karena anggota Magabudhi adalah teladan umat,” tutur Bhante Subbhapannyo dalam sambutannya.

Sementara itu, dr. Ratna Surya Widya yang merupakan salah satu pendiri mengatakan saat ini Magabudhi sudah diakui oleh banyak kalangan Buddhis. “Semakin banyak orang Buddhis yang mau jadi anggota, dulu hanya pegawai, petani, dan pedagang kecil yang mau jadi anggota. Sekarang manajer perusahaan, direktur, pemilik perusahaan, orang kaya sudah mau jadi anggota,” tulisnya melalui pesan singkat kepada BuddhaZine.

Meskipun cita-cita saat didirikan belum sepenuhnya tercapai namun eksistensi dan peran Magabudhi saat ini sudah sangat mewarnai perkembangan agama Buddha. “Saat ada kasus Buddha Bar contohnya, para anggota MAGABUDHI turun ke jalan berdemonstrasi bersama seluruh umat Buddha, termasuk saya sebagai ketua majelis (saat itu),” pungkasnya.

The post Ulang Tahun ke-42 Magabudhi Luncurkan Buku Sejarah appeared first on .

Mindful Project, Konferensi Kebahagiaan dan Meditasi

$
0
0

Memiliki karir cemerlang, harta melimpah, tinggal di tempat mewah dengan keluarga “sempurna” bukan jaminan memiliki hidup bahagia. Anjasmara, Avi Basuki, dan Dipha Barus adalah tiga contoh nyata para pesohor tanah air yang pernah merasakan tidak bahagia, meski menurut takaran masyarakat mereka adalah contoh orang yang sukses!

“Pada tahun 2000’an saya mendapat cobaan terindah dalam hidup saya. Saya punya segalanya, istri cantik, punya karir yang baik, bahkan banyak yang mengatakan Anjasmara adalah yang terbaik dengan berbagai penghargaan. Tetapi di saat seperti itu, saya merasa ada sesuatu yang kurang, ‘kok saya tidak beneran happy ya? lalu apa arti hidup saya? syuting, terima honor, belanja-belanja kemudian untuk apa?” kata suami Dian Nitami ini dalam acara mindful project pada Minggu (14/10) di XXI Lounge, Ciputra World, Surabaya.

Di saat kegelisahannya memuncak, berbagai pertanyaan kemudian muncul dalam batinnya. “Sebenarnya tugas saya apa di dunia ini?” Dari pertanyaan introspektif tersebut, Anjasmara mulai mengenal dunia meditasi. Berbagai metode meditasi pernah dijalaninya, tetapi yang benar-benar cocok baginya adalah meditasi Buddhis.

“Saat itu saya menghabiskan hidup di luar rumah untuk syuting. Ketika ada waktu senggang saya pergi ke toko buku, saya mendapat buku panduan meditasi Buddhis. Setelah saya praktikkan ternyata bekerja, saya mendapat pencerahan di dalam diri, saya merasakan sesuatu yang luar biasa,” jelasnya.


Anjasmara

Anjasmara sebagai seorang artis yang dituntut untuk memiliki penampilan yang bagus kemudian memadukan meditasi dengan olahraga. “Saya berpikir bagaimana caranya badan saya tetap bagus dan pernapasan saya semakin baik tapi pikiran saya juga tenang. Setelah melakukan penelitian, yoga adalah jawabanya, yoga dan meditasi ini membuat saya dapat menikmati hidup,” pungkasnya.

Anjasmara adalah satu dari sembilan narasumber acara konferensi yang membahas kebahagiaan hidup. Mereka adalah Ven. Guo Jun Fa Shi, Reza Gunawan, Dipha Barus, Avi Basuki, Nayra Dharma, Helga Angelina, Mouly Surya, dan Yasa P. Singgih.


Avi Basuki

Kisah yang hampir sama juga dialami oleh Avi Basuki. Model terkenal pada era 80’an hingga tahun 90’an ini pernah tinggal selama 18 tahun di Milan, Italia. “Kehidupan saya oke sih, hidup di kota besar, kota yang sangat indah, saya juga sangat menyukai Eropa, tetapi saya merasa masih ada yang kurang. Hanya seperti menjalani; ke kantor, kerja, bayar tagihan, saya besarkan anak saya. Setelah beberapa tahun saya baru merasa ini bukan hidup yang sebenarnya,” katanya.

Untuk merubah hidupnya Avi kemudian pindah ke Bali. “Ternyata di Bali juga tidak mudah, apalagi setelah saya bilang mau berubah. Bayangan-bayangan saya, debu-debu yang selama ini saya umpetin di Milan satu persatu keluar dan harus saya hadapi satu per satu.”

Untuk menghilangkan debu-debu keburukannya itu Avi mulai menempuh mindfulness dengan menyanyikan mantram-mantram. “Sekarang saya ketika ditanya apa kabar saya bisa menjawab ‘I am great’, dan great-nya ini benar-benar great.


Dipha Barus

Cerita Dipha Barus mengatasi rasa depresinya tak kalah menarik. Salah satu DJ dan produser musik kebanggaan tanah air ini mengaku sering tegang akibat trauma di-bully dilingkungan sejak kecil. Trauma ini memengaruhi penampilannya di atas panggung, dan membuatnya merasa selalu ada yang kurang dari setiap penampilannya.

“Dari kecil ketika di tengah keramaian saya selalu tegang, jarang punya teman. Hingga pada tahun 2010 saya ikut meditasi di Dharmavangsa Square dengan metode self feeling. Meditasi ini membawa saya ke mindfulness,” terangnya.

Setelah meditasi, Dipha Barus mulai menyadari rasa “selalu ada yang kurang” itu adalah akibat trauma di-bully sejak kecil. “Setelah rutin melakukan meditasi, trauma itu nggak pernah kambuh, nggak tegang lagi, mulai berani bersosialisasi dan nge-DJ lagi di festival,” terangnya.


Sesi meditasi bersama

Hidup bahagia 

Mindful project merupakan konferensi pertama di Indonesia yang membahas mengenai hidup dengan penuh kesadaran. Acara ini digagas sebagai upaya untuk memperkenalkan sebuah budaya gaya hidup baru yang didasarkan pada nilai kesadaran atau mindfulness untuk masyarakat Indonesia.

Tiga pengalaman dari tiga pembicara di atas merupakan contoh nyata bagaimana meditasi hidup berkesadaran membantu orang untuk bahagia di tengah kesibukan sehari-hari. “Kami percaya dengan mempraktikkan hidup yang mindful (penuh kesadaran) dalam kehidupan sehari-hari dapat membuat orang hidup bahagia dan lebih positif,” terang Hendrick Tan saat memberi penjelasan pada rekan-rekan media.

Sedangkan menurut Anthony Soehartono, salah satu penggagas acara ini berharap setelah mengikuti acara ini masyarakat yang hadir bisa lebih bahagia dalam menjalani hidup. “Seluruh kebahagiaan dan kesedihan dalam hidup dapat kita atur dengan mindful.”


Nayra Dharma

Kemasan milenial

Salah satu yang membuat acara ini berbeda dengan acara-acara Buddhis lain adalah mindful project dikemas sesuai dengan generasi milenial. Tanpa sambutan yang membosankan, sajian musik, sembilan narasumber dengan teknik penyampaian yang juga mengajak para peserta untuk prakti mindful dengan metodenya masing-masing.

“Kita mengombinasikan tidak hanya satu arah saja, kita akan banyak berinteraksi, melakukan aktifitas bersama-sama. Meditasi pernapasan bersama-sama, meditasi dengan menyanyi, jadi saya yakin acaranya tidak akan membosankan,” jelas Stanley Prayogo dalam kepada awak media.

 

Astakosala Volk membuka acara ini dengan menampilkan dua lagu, Bhanawa Sekar dan Alamkara Kakawin Hanang Nirartha, Syair Kakawin Jawa Kuno dengan iringan musik modern mampu membius para hadirin sekaligus mengondisikan atmosfer yang lebih teduh ke pemateri pertama.

Avi Basuki sebagai pembicara pertama pun tak hanya berbagi pengalamannya dalam mencari kebahagiaan hidup yang sejati. Avi juga mengajak hadirin untuk melakukan meditasi yang dilanjut dengan nyanyian mantram-mantram yang menyembuhkannya.


Sesi diskusi yang dipandu oleh Dr. Yudhi Gejali dengan narasumber Helga Angelina, Yasa Singgih, dan Mouly Surya

Sepanjang acara diikuti dengan antusias dan penuh kegembiraan oleh para peserta. Tepuk tangan dan gelak tawa membuat riuh suasana saat narasumber melontarkan humor, hening saat narasumber mengajak praktik meditasi. Seperti saat Zen Master Guo Jun sebagai pembicara pamungkas mengawali dengan praktik meditasi. Serentak seluruh peserta melakukan praktik meditasi.


Zen Master Guo Jun

Acara ditutup dengan indah oleh nyanyian Nayra Dharma, petikan gitar yang lembut dan vokal yang mampu menembus sore itu dengan kedamaian menambah suasana yang sungguh bermakna.

Kemasan milenial ini yang membuat mindful project diminati banyak orang. Bahkan saat dibuka pendaftaran, tanpa menunggu lama target 300 orang langsung terpenuhi. “Acara ini asik, sangat bagus saya berharap ini bisa dibawa ke seluruh Indonesia ya, karena ini bisa menyembuhkan banyak orang, sangat dibutuhkan untuk orang Indonesia,” tutur Dipha Barus, saat ditemui BuddhaZine di akhir acara.

The post Mindful Project, Konferensi Kebahagiaan dan Meditasi appeared first on .


Umat Buddha Temanggung Lakukan Kenduri Pattidana untuk Tutup Bulan Suro

$
0
0

Kamis (11/10/2018), Pedopo Paud Saddhapala Jaya untuk kesekian kalinya kembali dipadati oleh manusia. Menurut penanggalan Jawa, pada malam Jumat, merupakan tanggal 30 bulan Suro. Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro merupakan bulan yang dianggap sakral, pada bulan tersebut biasanya masyarakat Jawa melakukan laku spiritual seperti; tirakatan (puasa), kendurian, merawat pusaka, mewedar ilmu Jawa, dan lain-lain.

Upacara tutup bulan Suro inilah yang dilakukan umat Buddha 18 vihara dari tiga kecamatan; Sumowono, Kabupaten Semarang, Kaloran dan Pringsurat, Kabupaten Temanggung.

Umat Buddha yang tergabung dalam Lembaga Bina Manggala Sejahtera ini melakukan pujabhakti pelimpahan jasa kepada leluhur (pattidana), kendurian bersama, dan mendengar wejangan Dharma dari Bhante Dhammasubho.

“Rencana awal akan dilakukan pada malam satu Suro, tetapi katanya masih banyak yang melakukan tirakat puasa jadi kita laksanakan pada penutupan saja,” tutur Bhante Dhammakaro, saat berbincang dengan Elizabeth D. Inandiak, seorang penyair yang menafsir ulang Serat Centhini.

Acara ini diawali dengan pembacaan parita-parita. Setelah memberikan tisarana dan Pancasila, para bhante membacakan parita-parita pelimpahan jasa. Parita aradana dewata yang dibacakan oleh Bhante Cattamano mengawali pembacaan parita pelimpahan jasa menuntun umat yang hadir larut dalam keheningan.

Dalam wejangan Dharma, Bhante Dhammasubho menjelaskan makna pelimpahan jasa bagi masyarakat Buddha Jawa. “Saat ini kita berkumpul di sini untuk mengadakan Pattidana. Pattidana adalah bahasa Buddha yang artinya pelimpahan jasa, dalam istilah Jawa andum lelabet, di sini disebut nyadran. Nyadran sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Sradha atau Saddha dalam bahasa Pali, artinya keyakinan,” terang Bhante Dhammasubho mulai menjelaskan.

Sejarah asal-usul budaya Patidana atau nyadran pun dijelaskan Bhante pada pertengahan Dhammadesananya. “Dahulu kala pada zaman Buddha, masih banyak orang punya vihara dan punya banyak pohon Bodhi. Namun seiring perubahan zaman agama Buddha mulai tidak lagi dikenal, namun kebiasaan dan kebudayaannya masih diteruskan secara turun temurun. Oleh karena itu ketika tidak menemukan pohon Bodhi, masyarakat mencari pohon-pohon besar yang akhirnya dibuat atau dinamakan Punden.”

“Di Punden inilah biasanya terdapat sumber mata air sebagai kebutuhan pokok dalam kehidupan. Sebagaimana kita tahu bahwa tubuh ini 2/3 adalah unsur air, begitu juga dengan bumi ini. Untuk menjaga supaya pohon-pohon besar tetap subur dan mengasilkan sumber mata air harus dijaga, yaitu dengan cara dibuatkan tempat sembahyang atau altar di punden, supaya orang-orang bisa berkumpul dan merawat punden atau pohon-pohon besar tersebut. Dari situlah terbentuk budaya puja, yang mana puja sendiri adalah bahasa Buddha, dalam bahasa jawa Doyo yang maknanya upaya menjaga dan memelihara,” jelas Bhante.

Selepas Dhammadesana acara diteruskan dengan makan bersama yang dilakukan oleh semua umat yang hadir, nampak umat dari berbagai vihara baik laki-laki, perempuan, tua, muda sangat menikmati santapan yang dihidangkan oleh panitia penyelenggara.

Mereka terbagi menjadi kurang lebih lima banjar yang saling berhadap-hadapan dan di tengah-tengah setiap banjar disediakan makanan berupa nasi lengkap dengan lauk dan sayur untuk kenduri atau makan bersama. Acara kenduri sekaligus menjadi acara penutup pada penyelenggaraan Pattidana dan penutupan bulan Suro.

The post Umat Buddha Temanggung Lakukan Kenduri Pattidana untuk Tutup Bulan Suro appeared first on .

Produksi Gula Semut, WANDANI Ajak Masyarakat Lestarikan Pohon Aren

$
0
0

Nderes atau aktivitas mengambil nira aren merupakan salah satu pekerjaan yang masih ditekuni oleh masyarakat pedesaan Temanggung. Nira yang diambil dari dangu (tangkai bunga) setiap pagi dan sore ini kemudian diolah menjadi gula aren.

Pengolahan nira sampai menjadi gula ini dilakukan secara tradisional. Air nira direbus di sebuah pawon (tungku tradisional dengan bahan bakar kayu) selama kurang lebih 4 jam, setelah air nira mengental dicetak dengan menggunakan batok kelapa. Hasilnya, gula aren dijual dalam bentuk gula batok untuk menopang sebagian kebutuhan keluarga.

Belakangan untuk meningkatkan nilai jual gula aren, sebagian masyarakat mulai kreatif mengolah gula batok menjadi gula semut. Salah satunya mayarakat yang sudah mulai memproduksi gula semut adalah warga Dusun Cendono, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, dan Kabupaten Temanggung.

Tetapi bagi masyarakat desa yang minim jaringan dan pengetahuan mempunyai banyak kendala untuk mengembangkan gula semut. Karena itu, Wanita Theravada Indonesia (WANDANI) salah satu wadah oraganisasi umat Buddha membantu mengembangkan produksi gula semut masyarakat Dusun Cendono.

“Pada awalnya mereka hanya produski untuk dikonsumsi sendiri karena terkendala dipemasaran. Jadi kami turun tangan untuk memperbaiki kualitas produksi, mulai dari pengemasan hingga pemasaran,” kata Ibu Yogi, salah satu pengurus WANDANI pusat.

Gula semut produksi masyarakat Dusun Cendono ini kemudian dikemas dan dipasarkan oleh WANDANI ke berbagi kota di Indonesia. Gula semut mudah larut bila dicampurkan dengan minuman kopi maupun teh, selain itu gula aren lebih sehat untuk dikonsumsi karena mempunyai kandungan antioksidan dan memiliki kalori yang rendah.

Pohon aren harus dilestarikan

Tetapi persoalan gula aren ternyata tidak hanya diproduksi dan pemasaran. Masalah yang paling besar adalah terancam punahnya pohon aren sebagai bahan mentah nira. Hingga saat ini masyarakat Temanggung hanya mengandalkan pohon aren yang tumbuh secara alamiah, tidak ada penanaman ulang.

Menurut data yang diperoleh WANDANI, dusun Cendono sebagai proyek percontohan pengembangan gula semut memiliki 150 pohon yang siap dideres dan 200 pohon yang dalam masa pertumbuhan. Sementara ancaman datang dari para pedagang pohon aren mulai merangsek ke pedesaan membeli pohon aren untuk diambil sagunya.

“Saat ini, banyak pedagang dari luar Temanggung yang mengejar para petani agar menjual pohon aren dengan harga yang cukup fantastis, yaitu di atas lima ratus ribu rupiah per batang. Batang pohon aren yang ditebang, lalu digiling untuk menghasilkan tepung sagu pohon aren. Hal ini akhirnya membuat jumlah populasi pohon aren di Kecamatan Kaloran menurun drastis,” kata Sukhita Dewi.

Karena itu untuk mengatasi ancaman kepunahan pohon aren, WANDANI Temanggung bekerjasama dengan kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) mengadakan sosialisasi pelestarian pohon aren. Acara ini digelar di Aula Gedung Dhammaseka Surya Jaya, Dusun Janggleng, Selasa (16/10/2018).

Acara yang diikuti oleh masyarakat penderes ini membahas banyak hal tentang cara budidaya pohon aren, perawatan pohon aren hingga pelatihan tehnik produksi gula semut.

Cecep Khoirul Anwar, Perwakilan Menko PMK divisi Pembinaan Kerukunan Umat Beragam menyambut baik langkah yang dilakukan WANDANI dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat desa.

“Ekonomi umat sangat berpengaruh terhadap kerukunan umat. Mungkin Anda bertanya, apa hubunganya kerukunan dengan pohon aren? Sangat berpengaruh Bapak/Ibu, karena ketika ekonominya bagus orang tidak mudah untuk diadu domba,” katanya.

Kementerian PMK mempunyai komitmen untuk mendorong kementerian dibawah koordinasi Menko PMK untuk menindak lanjuti program WANDANI. “Kami hanya memberi stimulan-stimulan terkait pelestarian pohon aren kami akan mendorong kementerian pertanian untuk menindak lanjuti,” tegasnya.

The post Produksi Gula Semut, WANDANI Ajak Masyarakat Lestarikan Pohon Aren appeared first on .

3.000 Umat Buddha Hadiri Peresmian Vihara Dhammaratana

$
0
0

”Jangan hanya viharanya yang megah, namun umatnya juga harus berkualitas dalam hal moralitas, Bhante Subhapannyo.

Kalimat di atas adalah petikan wejangan Dhamma Bhante Subbhapannyo dalam acara peresmian purnapugar Vihara Dhammaratana, di Dusun Manguntosari, Desa Kalimanggis, Kecamatan Kaloran, Temanggung pada Rabu (17/10/2018). Setelah melalui proses panjang, Vihara Dhammaratana akhirnya selesai dipugar. Pemugaran vihara ini tak lepas dari peran tiga pemuda Temanggung; Mettiko Dahyono, Catur, dan Tri Madyo.

Kini Vihara Dhammaratana sudah tampil megah dengan berbagai fasilitas ruang dhammasala, dapur, toilet, dan halaman yang luas. Karena itu, sebagai wujud syukur atas dipugarnya vihara ini, umat Buddha Dusun Manguntosari menggelar peresmian purnapugar dengan meriah yang dihadiri oleh tiga ribuan umat Buddha sekitar Temanggung dan Semarang.

Tak hanya umat Buddha, yang lebih membanggakan acara ini juga turut dihadiri oleh 14 bhikkhu dari Sangha Theravada Indonesia (STI). Mereka adalah; Bhante Jothidhammo, Bhante Subbhapanno, Bhante Guthadhammo, Bhante Sujanno, Bhante Cattamano, Bhante Dhammakaro, dan beberapa bhante lainnya. Selain para bhikkhu, turut hadir pula Wakil Bupati Temanggung yang turut meresmikan purnapugar Vihara Dhammaratana.

Namun yang tidak kalah menarik atas penyelenggaraan acara peresmian ini adalah usaha keras umat Vihara Dhammaratana untuk mengumpulkan dana. “Acara ini disokong sepenuhnya oleh umat Buddha Dusun Manguntosari dibantu oleh para relawan, untuk pendanaan adalah swadaya dari umat yang dilakukan sejak Januari 2018. Mereka menabung sampai pada pelaksanaan peresmian,” tutur Pandita Mettiko.

Sejarah Vihara Dhammaratana

Menurut Pandita Mettiko Dahyono, pada tahun 1970 umat Buddha Dusun Manguntosari membangun vihara pertama mereka. Sebelum tahun 1970 umat bermukim di Dusun Jambon yang terletak di bawah Dusun Manguntosari, karena terjadi pergeseran tanah pada dusun mereka akhirnya para umat pindah dan bermukim di Bukit Gemulung yang berada di atas Dusun Jambon.

Nama Manguntosari sendiri merupakan gabungan dari tiga tokoh pembangkit agama Buddha di daerah Kaloran khususnya di Dusun Manguntosari yaitu Mbah Mangun, Mbah To Sari, dan Mbah Sari. Untuk mengenang jasa para tokoh dalam membangkitkan dan membangun kembali agama Buddha para umat memberikan nama dusun baru mereka Manguntosari. Seluruh umat Buddha Manguntosari ada tigah puluh delapa kepala keluarga.

Kemeriahan acara

Prosesi peresmian dimulai dengan arak-arak umat dari titik kumpul di kuti Vihara Dhammapanna Desa Kalimanggis sekitar pukul 08.00 WIB. Dengan urutan barisan paling depan kesenian Barongsai Dusun Lamuk, disusul dengan barisan pengusung Lambang Negara Indonesia yaitu Garuda dan pasukan pembawa bendera negara dan bendera Buddhis, urutan selanjutnya adalah pengusung hasil bumi yang dibentuk tumpeng yang menyambung dengan muda-mudi Buddhis Kecamatan Kaloran yang berpakaian adat jawa, kemudian disusul barisan para bhante dan umat sebagai barisan terakhir. Arak-arak menempuh perjalanan kurang lebih satu km hingga sampai di Vihara Dhammaratana.

Seusai prosesi umat dipersilahkan untuk istirahat dan makan siang sembari menyaksikan pertunjukan seni tari-tarian anak-anak Sekolah Minggu dan nyanyian lagu-lagu Buddhis. Pertunjukan seni berlangsung hingga sekitar pukul 13.00 WIB.

Pada pukul 13.30 WIB acara inti dimulai dengan sambutan-sambutan. Selesainya acara sambutan Bhante Subbhapanno dipersilahkan untuk memberikan Dhammadesana kepada umat. Dalam ceramahnya Bhante Subha memberikan apresiasi kepada umat atas selesainya purnapugar Vihara Dhammaratana, “Tentu kami semua merasa bersukacita dan berbahagia atas selesainya purnapugar Vihara Dhammaratana Dusun Manguntosari ini.”

“Bahwa Vihara ini dibangun sebagai wujud dari sifat, dari karakter umat Buddha Dusun Manguntosari yang bekerja keras dan juga punya kekuatan yang lain, punya semangat bergotong royong hingga vihara ini terbangun dengan baik. Vihara ini tidak akan terbangun tanpa adanya semangat gotong-royong, kerja keras, kekuatan, dan kekompakan dari segenap umat Buddha di Manguntosari ini,” tutur Bhante Subha di awal ceramah.

Selanjutnya Bhante mengingatkan kembali para umat untuk terus mengembangkan nilai-nilai luhur dalam diri umat masing-masing,“ setelah vihara ini terbangun dengan indahnya, dengan megahnya, atas segala kerja keras, kesungguhan, ketulusan, keyakinan dan gotong-royong para umat hendaknya vihara ini bisa menjadi tempat untuk mengembangkan nilai-nali luhur yang ada di dalam diri masing-masing umat. Apalah artinya vihara ini dibangun dengan susah payah, dengan megah kalau tidak diisi dengan hal-hal kebajikan.

Selain membangun vihara di luar, umat juga hendaknya harus membangun dan mengembangkan vihara di dalam diri yaitu yang pertama adalah Metta, mengembangkan cinta kasih kepada segenap makhluk hidup yang ada. Yang Kedua adalah Karuna atau kasih sayang kepada segenap makhluk hidup, kita turut merasakan kesusahan atau kesedihan orang lain sehingga timbul keinginan untuk membantu dan meringankan beban penderitaan orang lain.

Yang ketiga adalah Mudita yaitu turut merasakan kebahagiaan dan keberhasilan orang lain, sehingga tidak timbul rasa iri di dalam diri. Yang keempat adalah Upekha atau keseimbangan batin, dimana kita mengembangkan sikap dewasa, matang, dan bijaksana dalam melihat segalan sesuatu,” lanjut bhante.

Di akhir ceramah bhante memberikan penjelasan sedikit tentang relief yang terpasang di samping kanan dan kiri pintu masuk Vihara Dhammaratana. Sebelah kiri merupakan simbol kesejahteraan, kemakmuran, dan kesentosaan, sedangkan sebelah kanan pintu adalah simbol panjang umur.

Selesainya Dhammadesana, Bhante Subhapanno, acara dilanjutkan dengan sambutan Wakil Bupati Temanggung, Heri Ibnu Wibowo dan penandatangan prasasti oleh Bhante Subhapanno dan Wakil Bupati Temanggung. Dalam sambutannya Heri Ibnu Wibowo menyampaikan pesan kepada umat Buddha, khususnya umat Vihara Dhammaratana untuk mengisi vihara yang telah dibangun dengan mengembangkan baik kuantitas umat maupun kualitas moral umat Buddha di Manguntosari.

The post 3.000 Umat Buddha Hadiri Peresmian Vihara Dhammaratana appeared first on .

Perayaan Kathina di Wihara Ekayana Arama Dipadati 5.000 Umat Buddha

$
0
0

Tidak seperti hari-hari biasanya, Minggu (28/10) di Wihara Ekayana Arama, Jakarta Barat, sedari pagi hingga siang wihara dipadati oleh 5.000 umat Buddha. Kedatangan mereka adalah untuk merayakan Kathina.

Perayaan Kathina merupakan ungkapan rasa syukur dan terima kasih umat Buddha kepada anggota Sangha yang telah melewati masa retret. Kathina sendiri merupakan salah satu momen perayaan dalam agama Buddha, Sangha yang telah selesai melatih diri selama masa retret tiga bulan untuk kemudian memasuki masa Kathina.

Ada 40 anggota Sangha yang berjalan dengan penuh keheningan saat melakukan pindapatta. Wihara Ekayana Arama mengangkat tema, “Dengan Mendukung Sangha, Kita Menjaga Dharma dan Hidup Sejahtera”. Usai pindapatta, acara dilanjutkan dengan pujabhakti dan ceramah Dharma yang dibabarkan oleh Bhante Dharmavimala.

Dunia digital

Dalam pembabaran Dharmanya, Bhante Dharmavimala menyampaikan perkembangan digital dengan agama Buddha, “Sesungguhnya di era digital, kita juga bisa menjadi semakin Buddhis, dengan penuh kesadaran memilih media digital. Kita tahu jika kita terus menerus diterpa konten-konten yang buruk maka pikiran kita pun akan menjadi buruk. Pikiran buruk membuat kita menjadi orang yang berucap dan bertingkah laku buruk. Akibatnya kita menderita dan tidak merasa damai.

“Sebaliknya jika kita terus menerus diterpa konten-konten yang baik maka pikiran kita pun akan menjadi baik. Pikiran baik membuat kita menjadi orang yang berucap dan bertingkah laku baik. Akibatnya kita merasa damai dan tidak menderita.”

“Saya menyarankan jika Anda tidak punya cukup waktu untuk membaca e-book Dharma atau memirsa video rekaman ceramah Dharma, setidaknya Anda memulai dulu setiap hari Anda dengan membaca renungan Dharma di smartphone Anda.

Bhante Dharmavimala menambahkan, “Anda juga dapat menjadikan dering smartphone Anda untuk berlatih sadar-penuh. Saat smartphone Anda berdering jadikan itu sebagai bunyi genta yang mengajak Anda untuk pulang ke rumah kedamaian, yaitu dengan menyadari tarikan napas dan embusan napas Anda sebanyak tiga kali. Atau minimal sekali. Setiap kali smartphone kita berdering, itu yang kita lakukan.

“Jadi Anda yang tingkat kesibukannya dalam berkomunikasi melalui smartphone lebih tinggi, sehingga berpotensi lebih tidak damai, juga akan mendapat lebih banyak kesempatan untuk berlatih pulang ke rumah kedamaian. Akhirnya Anda juga bisa menjadi lebih Buddhis di era digital. Selamat merayakan Kathina. Dengan Mendukung Sangha, Kita Menjaga Dharma dan Hidup Sejahtera. Semoga semua makhluk hidup berbahagia,” pungkasnya.

Sementara itu dalam kesempatan terpisah, Bhante Aryamaitri selaku Pimpinan Wihara Ekayana Arama menyampaikan, “Kita semua perlu menjadi teladan untuk menerapkan kehidupan penuh kesadaran. Dengan demikian kasih Buddha terpancarkan ke sekeliling dan masyarakat.”

Sanghadana menjadi penutup rangkaian perayaan Kathina, umat Buddha yang duduk di luar mengikuti serangkaian acara disediakan tenda, kipas angin, toilet yang cukup bersih sehingga mereka menjadi nyaman, bahkan panitia memasang sebuah layar yang cukup besar, membuat umat yang duduk di luar dapat mengikuti apa yang terjadi di dalam bhaktisala.


The post Perayaan Kathina di Wihara Ekayana Arama Dipadati 5.000 Umat Buddha appeared first on .

Para Siswa Sekolah Katolik Kolese De Britto Jogja Belajar Toleransi di Desa Buddhis

$
0
0

Kolese De Britto adalah Sekolah Menengah Atas Katolik yang diasuh oleh Serikat Jesuit yang terletak di Yogyakarta. Selama tiga hari, Selasa – Kamis (23-25/10) sebanyak 40 siswa tinggal dan hidup bersama keluarga yang beragama Buddha. Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Temanggung merupakan salah satu dusun Buddhis yang digunakan sebagai tempat live In toleransi. 

“Merawat kebhinnekaan, menjaga kerukunan sebenarnya tidak banyak membutuhkan teologi atau teori yang bagus-bagus. Karena kerukunan harus dilakukan melalui tatap muka dan srawung, bukan untuk diperdebatkan di forum-forum,” Bhante Pannyavaro.

Hidup di lingkungan berbeda, tinggal bersama keluarga berbeda keyakinan hingga mengikuti segala aktivitas keluarga yang ditinggali adalah upaya yang dilakukan oleh SMA Kolese De Britto, Yogyakarta untuk mengenalkan keberagaman. Melalui program pekan toleransi, anak-anak ini melakukan live In di berbagai komunitas dan kelompok agama yang berbeda.

“Anda harus berani keluar dari zona nyaman, merasakan dan mengalami hidup di tempat berbeda dengan keluarga berbeda suku maupun agama. Kata ‘mengalami’ ini adalah hal terpenting dari live in toleransi yang akan Anda lakukan selama tiga hari ke depan,” terang Romo Mulyadi kepada para siswa.

Mereka diajak mengikuti seluruh aktivitas keluarga yang ditinggali. Mulai dari bangun pagi meditasi di vihara, mengenal lingkungan, ikut bekerja di ladang, kerja bhakti membangun rumah hingga mengikuti pujabhakti anjangsana keluarga. Meskipun tinggal di rumah keluarga yang berbeda agama, seakan perbedaan tidak memisahkan antarkeluarga dan para siswa. Mereka mampu membaur, berkomunikasi hingga melakukan pekerjaan-pekerjaan petani di desa.

“Saya merasa sangat senang bisa tinggal bersama Bapak/Ibu di sini. Meskipun kita mempunyai keyakinan yang berbeda, Bapak/Ibu tetap mau menerima kami tanpa membedakan,” tutur Otniel sebelum meninggalkan Dusun Krecek, Kamis (25/10/2018) di ruang Dhammasala.

Bisa hidup di desa, tanpa gadget dan uang memberi kesan mendalam bagi siswa kelas XI MIPA ini. “Ketika ke ladang, kami tidak banyak membantu kayaknya, malah lebih banyak merepotkan. Tapi Bapak/Ibu tetap baik kepada kami, memperlakukan kami seperti anak sendiri. Kami hanya bisa bilang terima kasih,” pungkasnya.

The post Para Siswa Sekolah Katolik Kolese De Britto Jogja Belajar Toleransi di Desa Buddhis appeared first on .

Sangharakshita, Seorang Guru Buddhis dan Penulis Meninggal Dunia

$
0
0

Urgyen Sangharakshita, penulis dan seorang guru Buddhis, serta pendiri komunitas dan Sangha Triratna Buddhist (Triratna Buddhist Order), meninggal setelah jatuh sakit, pada hari Selasa (30/10) di Rumah Sakit Hereford, Inggris, dalam usia 93 tahun.

Sangha Triratna Buddhis mengeluarkan pernyataan untuk mengumumkan berita mangkatnya Sangharakshita, sebagai berikut:

Dengan kesedihan mendalam, kami mengabarkan kepada Anda sekalian tentang wafatnya Urgyen Sangharakshita, pada hari ini, 30 Oktober 2018, kurang lebih sekitar pukul 10 pagi, di Rumah Sakit Hereford, Inggris. Beliau didiagnosa menderita pneumonia, dan pagi ini para konsultan menyatakan bahwa beliau juga mengalami sepsis yang tidak mungkin disembuhkan.

Mari bergabung bersama kami memancarkan cinta kasih kepadanya, mengenang semua kebajikannya yang tiada tara, mengingat dengan penuh terima kasih serta bersyukur atas semua yang telah beliau berikan kepada kita semua. Cabang-cabang di seluruh dunia dipersilakan menyelenggarakan puja dan meditasi harian, dan Anda sekalian boleh melaksanakan kegiatan tambahan di rumah atau lingkungan Anda.

Meminta agar mantra-mantra berikut dibacakan pada saat beliau mangkat: Shakyamuni, Tara Hijau, Manjushri, Amitabha, dan Padmasambhava.

Setelah beberapa hari, jenazahnya akan disemayamkan di Adhisthana, tempat dilaksanakannya proses penguburan sekaligus merupakan tempat pemakaman.

Terlahir dengan nama Dennis Philip Edward Lingwood, di Inggris pada tahun 1925, Sangharakshita merupakan salah satu dari praktisi Buddhis di Barat yang ditahbiskan sebagai bhikkhu Theravada pada periode pasca Perang Dunia kedua.  Sangharakshita merupakan penulis lebih dari 60 buah buku dan digambarkan sebagai, “Salah satu Buddhis yang paling produktif dan berpengaruh pada zaman kita,” (Smith and Novak, 2004) dan sebagai “Bapak pendiri aliran Buddha Barat” (Berkwitz, 2006).

Baca juga: Bagaimana Cara Melimpahkan Jasa kepada Leluhur yang Telah Meninggal Dunia?

Beliau melewatkan lebih dari 20 tahun hidupnya di Asia, beliau memiliki sejumlah guru Buddhis Tibet, dan beliau secara aktif terlibat dalam gerakan penyadaran Dalit Buddhis yang didirikan Dr. B.R. Ambedkar pada tahun 1956 di India.

Kadangkala terkesan sebagai guru yang agak kontroversial, Sangharakshita mendirikan Sahabat Sangha Buddhis Barat (Friends of the Buddhist Western Order, FWBO) di Inggris pada April 1967. Pada tahun 2010, FWBO menjadi lebih terkenal dengan sebutan Sangha Buddhist Triratna (Triratna Buddhist Order). Sangharakshita secara resmi pensiun pada tahun 1995 dan mengundurkan diri dari jajaran kepengurusan organisasi pada tahun 2000. (buddhistdoor.net)

The post Sangharakshita, Seorang Guru Buddhis dan Penulis Meninggal Dunia appeared first on .

Sangha Dana bersama Suku Dayak Maratus Kalimantan Selatan

$
0
0

Berkah yang luar biasa bagi umat Buddha di Pelosok Kalimantan karena mampu melaksanakan Sangha Dana dengan dihadiri Bhikkhu Sangha.

Pedalaman Kalimantan, mendengar kata pedalaman kalimantan, akan muncul di benak kita bahwa kondisi yang ada di sana pastinya jauh dari kenyamanan, kondisi jalan yang lumayan sulit diakses, sinyal komunikasi yang tidak semudah di perkotaan dan kondisi yang jauh dari penerangan selayaknya perkampungan modern. Demikianlah gambaran yang sebanding dengan kondisi yang mewakili wilayah Desa Rantau Buda, Kecamatan Sungai Durian, Kabupaten Kotabaru.

Lokasi yang cukup jauh dari bandara Samsudin Noor, Banjarmasin. Diperlukan perjalanan kurang lebih delapan jam untuk mencapai lokasi Desa Rantau Buda. Di desa rantau Buda terdapat sebuah vihara di bawah binaan Sangha Theravada Indonesia, Vihara Sadha Manggala.

Baca juga: Apa Keistimewaan Berdana kepada Sangha di Bulan Kathina?

Vihara Sadha Manggala, baru berdiri kurang lebih tahun 2017. Bhante Saddhaviro, dengan semangat juangnya dalam membina dan pengembangan Buddhasasana, telah menjadi pelopor utama berdirinya Vihara Sadha Manggala, Kalimantan Selatan.

Di Desa Rantau Buda, agama Buddha dianut oleh masyarakat suku Dayak Maratus. Minggu (31/10) di Vihara Sadha Manggala mengadakan perayaan Sangha Dana Kathina untuk yang kedua kalinya. Kali ini Bhante Saddhaviro membawa delapan anggota Sangha, hal ini merupakan berkah yang sangat luar biasa yang diperoleh oleh umat Buddha di pedalaman Kalimantan, karena memiliki kesempatan melakukan Sangha Dana.

Umat sangat antusias, vihara yang jarang penuh, kali ini penuh. Dalam sesi ceramah Dhamma ada tuturan yang mendalam, “Bahwa semangat berbuat baik harus dimiliki oleh umat Buddha, karena kebaikan itulah yang menjadi satu-satunya penolong dan juru selamat kita sebagai manusia.”

The post Sangha Dana bersama Suku Dayak Maratus Kalimantan Selatan appeared first on .


Bhante Pannyavaro: Saat Masyarakat “Sakit” Dhamma adalah Obatnya

$
0
0

Minggu (28/10) ratusan umat Buddha mengikuti perayaan Kathina di Vihara Mendut, Magelang. Para umat yang hadir berasal dari berbagai vihara yang ada di daerah sekitar Magelang, seperti Temanggung, Yogyakarta, Solo dan Magelang sendiri.

Acara dimulai sekitar pukul 11.30 WIB dengan pujabhakti. Seusai pujabhakti, Bhante Sri Pannyavaro memberikan Dhammadesana. Di awal khotbah bhante menjelaskan hubungan timbal baik antara umat dan para bhikkhu, sehubungan dengan perayaan Kathina.


“Di hari Kathina ini para umat melakukan kebajikan berdana, memberikan kebutuhan pokok para bhikkhu. Para Bhikkhu kemudian melaksanakan kewajiban kepada masyarakat yang telah memberikan empat kebutuhan utama untuk kelangsungan hidupnya,” tutur bhante di awal khotbah.

“Apakah kewajiban para bhikkhu itu?” lanjut bhante.

“Kewajiban para bhikkhu adalah mengajarkan Dhamma, memberikan keteladanan berperilaku yang pantas, malu melakukan kejahatan dan mengingatkan bahaya dari perbuatan kejahatan kepada masyarakat. Para bhikkhu seperti perawat, para bhikkhu seperti dokter yang menyimpan obat, obat penderitaan yang didapat dari Guru Agung Buddha Gautama. Kemudian memberikan obat penderitaan itu kepada masyarakat. Tidak semua yang sakit mau minum obat, ada yang mau minum obat meskipun pahit sekali, tetapi ada yang menolak kalau obat itu pahit. Sebagai perawat, sebagai dokter, para bhikkhu kemudian memecah-mecah obat yang pahit itu, membalut dengan gula dan membujuk masyarakat yang menderita untuk mau minum obat itu supaya sembuh. Itulah kewajiban moral semua bhikkhu sepanjang masa.”

Obat penderitaan

“Di dalam Sanghiti Sutta disebutkan, ada tiga Punnyakiriyawathu, tiga hal dari perbuatan yang sangat berharga, berguna, perbuatan yang sangat berjasa bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri. Dan kalau boleh saya mengumpamakan, menganalogikan, obat Dhamma itu adalah Dana, Sila, dan Bhavana. Sering metafora ini digunakan Guru Agung kita sebagai dokter, Guru Agung Buddha Gautama sebagai dokter, Dhamma itulah obat kehidupan untuk menyelesaikan penyakit penderitaan dan Sangha itu mereka yang mulai sembuh dan kemudian mewariskan obat itu kepada generasi kemudian.

“Ibu, Bapak, dan Saudara, sebagai umat Buddha sudah tidak asing lagi dengan ajaran dana, sila, dan bhavana. Dana, moralitas atau berperilaku baik, dan mengembangkan kebajikan. Dana, sila, dan bhavana. Tetapi sekarang yang ingin saya minta kepada saudara-saudara adalah marilah kita meningkatkan kualitas kita, kualitas berdana, kualitas sila, dan kualitas bhavana. Berdana adalah ajaran yang sangat populer bagi seluruh umat Buddha.

“Ajaran berdana sudah tidak asing lagi bagi setiap umat Buddha golongan apa pun. Tetapi ajakan saya sekarang adalah marilah kita meningkatkan kwalitas berdana kita, tidak hanya kuantitasnya, tidak hanya jumlahnya, tetapi kualitasnya. Berdanalah untuk tujuan yang tertinggi, membersihkan kotoran batin. Supaya dana itu menjadi salah satu obat untuk mengurangi penderitaan kita. Penderitaan itu muncul bukan karena kurang materi, penderitaan itu muncul bukan karena kurang sejahtera, penderitaan itu muncul bukan karena kita bukan orang kaya, penderitaan itu muncul karena batin kita dipenuhi oleh keserakahan, iri hati, kemarahan, dendam, kecongkaan, keakuan yang menggelembung luar biasa.”


“Kalau boleh dibuat perumpamaan, kalau Ibu, Bapak, Saudara berdana, memberi meskipun kecil, bukan jumlahnya tapi kualitasnya dinaikkan untuk kebersihan batin kita. Maka manfaatnya sangat besar, manfaat yang tengahan, yang bawah itu otomatis didapat. Seperti kalau saudara bisa pegang rajanya maka anak buah akan ikut semua. Kalau saudara menangkap tawon madu, tangkap rajanya semua pengikutnya akan ikut. Kalau saudara berdana dengan kualitas raja maka manfaat berdana yang tengahan, yang rendahan akan ikut semua. Memberilah untuk membersihkan kotoran batin. Kesejahteraan, kebahagiaan, nama yang baik otomatis akan ikut serta. Kalau rajanya sudah dipegang, anak buahnya atau punggawanya akan ikut semua.”

“Obat yang kedua adalah sila, tidak melakukan hal-hal yang buruk, menjaga diri. Menjaga ucapan, menjaga mulut dan juga menjaga perbuatan. Tidak hanya di lingkungan orang lain, tidak hanya di lingkungan terbatas, tidak hanya di kantor, tidak hanya di rapat. Dengan istri, dengan suami sendiri berdua berusahalah untuk mengendalikan ucapan dan perbuatan Anda. Jangan membiasakan untuk berkata-kata dan berbuat yang buruk, karena itu akan menjadi kebiasaan. “Nek ora ngomong koyo ngono kui, ora lego,” kalau yang diomongkan itu buruk, saudara akan menambah hal-hal yang buruk.

Baca juga: ‘Berdana Saat Kathina Adalah Belajar Melepas’

“Ibu, Bapak, dan Saudara-saudara, cobalah perhatikan kalimat ini, ‘kita tidak bisa memaksa orang lain untuk berbuat baik, tetapi kita tetap bisa berbuat baik kepada mereka’. Saya ingin mengulang sedikit tahun yang lalu.

“Sekarang tidak hanya menjaga ucapan, tidak hanya menjaga perilaku, hati-hatilah saudara menulis, membuat status, di facebook, di WA, di internet. Meskipun saudara mendapat kiriman benar, kalau tidak berguna jangan dilanjutkan. Kalau dahulu waktu kita SD, belajar tujuh ratus peribahasa, antara lain, ‘Mulutmu harimaumu’, sekarang ‘jempolmu harimaumu’. Hati-hati dengan jempol-jempol kita.

“Obat yang ketiga adalah bhavana. Mengembangkan hal-hal yang baik. Seperti yang di depan, saya juga ingin mengajak saudara, mari kita meningkatkan kualitas bhavana kita. Tidak sekadar menambah hal-hal yang baik, tidak sekadar memancarkan pikiran-pikiran yang positif. Tetapi marilah kita bermeditasi lebih dalam lagi. Karena tantangan kita lebih berat, tidak sekadar tenang, tidak sekadar mencari ketenteraman, tetapi lebih dari itu. Bagaimana kita bisa nggladi kesadaran kita, awareness kita, untuk menjagai perasaan dan pikiran kita.

“Guru Agung kita mengatakan berhati-hati dengan pikiranmu, karena kejahatan muncul dari pikiran. Kebaikan juga bersumber dari pikiran. Penderitaan berasal dari pikiran, kebahagiaan juga diciptakan dari pikiran. Bermeditasilah.

“Agama Buddha tanpa latihan kesadaran, hanya dana, sila. Hanya berdana, berdana, tidak berbuat buruk selesai, tidak lengkap. Bukan agama Buddha yang lengkap, bukan Dhamma yang lengkap. Dhamma yang lengkap adalah dana, sila, dan meditasi. Membersihkan pikiran, karena pikiran itulah sumber dari segala malapetaka. Tetapi pikiran adalah sumber dari semua kebahagiaan, dan pikiran yang sadar itulah obat mujarab untuk memberesken penyakit-penyakit penderitaan ini.

“Inilah tiga macam obat yang selalu dibawa oleh para bhikkhu ini ke semua tempat. Ke daerah-daerah, ke pelosok-pelosok, dengan dijelaskan, diuraikan dengan berbagai macam cara. Karena tidak semua orang mampu menangkap dengan cara yang sama,” jelas bhante.

Seusai Dhammadesana acara dilanjutkan dengan persembahan dana kepada para bhikkhu. Secara bergiliran satu per satu para umat mempersembahkan dana kepada para bhikkhu. Setelahnya para bhikkhu membacakan paritta pelimpahan jasa, umat bersikap anjali.

Menjelang akhir acara diisi dengan pemercikan tirta suci oleh para bhikkhu kepada para umat dan disambung pembacaan paritta Ethavatha. Sebagai penutup acara, para umat membacakan Namaskharapatha. Rangkaian acara secara keseluruhan selesai sekitar pukul 15.00 WIB.

The post Bhante Pannyavaro: Saat Masyarakat “Sakit” Dhamma adalah Obatnya appeared first on .

Ehipassiko Ada untuk Membawa Perubahan

$
0
0

“Ehipassiko ada untuk membawa perubahan. Keberadaan Ehipassiko di Indonesia tidak akan ada gunanya kalau tidak membawa perubahan, hanya memperkental ritual, hanya baca paritta doang, hanya banyak meeting; musyawarah daerah, musyawarah nasional, dan musyawarah-musyawarah lainnya,” tegas Handaka Vijananda dalam menyampaikan materi pelatihan nasional (pelatnas) Abdi Desa, Kamis (1/11).

Pelatnas adalah pertemuan rutin Abdi Desa Ehipassiko Foundation yang dilakukan setiap tahun. Pelatihan ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan Dharma para Abdi Desa Ehipassiko yang bertugas membina umat Buddha di berbagai pelosok desa tanah air.

Pelatnas yang ke IX ini dilaksankan selama empat hari, Kamis – Minggu (1–4/11) di Laras Asri, Resort, Kota Salatiga. Tak hanya Abdi Desa, pelatnas kali ini juga diikuti oleh Kalyanamitra (para umat Buddha yang membantu Abdi Desa dalam menjalankan tugas Dhammaduta) yang jumlah keseluruhan sekitar 100 orang.

Sebagai ujung tombak pelestari Dharma di Indonesia, para Abdi Desa dan Kalyanamitra dibekali dengan berbagai strategi pembinaan umat Buddha. “Jadi orang baik saja tidak cukup, kita harus mempunyai strategi dan visi. Visi Ehipassiko tahun ini adalah, ‘Membangun Karakter Dharma’, kenapa berbeda dengan tahun lalu? Karena kita harus terus berinovasi sesuai dengan perubahan zaman,” terang pendiri Ehipassiko Foundation dalam menyampaikan visi misinya.

Untuk menjalankan visinya, Ehipassiko menjalankan tiga misi yaitu; Studi, Aksi, dan Meditasi. “Tujuan kita adalah melestarikan Dharma dan lingkungan, jadi perlu misi nyata. Studi, Aksi, dan Meditasi. Dalam bahasa Buddha Gotama; pariyatti, patipatti, pativedha. Ini kurikulumnya komplet. Umat tidak bisa hanya sekedar studi saja, aksi saja atau meditasi saja,” tegasnya.

Menghadirkan pembicara berkualitas

Pelatnas Abdi Desa adalah momentum yang selalu dinanti oleh para Abdi Desa. Selain sebagai ajang temu kangen dan membahas perkembangan desa binaan masing-masing, pelatnas juga digunakan sebagai kesempatan untuk meng-update pengetahuan Dharma.

Karena itu, setiap pelatnas Ehipassiko selalu mendatangkan narasumber dengan berbagai kemampuan di bidangnya masing-masing. Termasuk pada pelatnas kali ini yang menghadirkan tujuh narasumber yang mengisi berbagai materi selama tiga hari penuh. Mereka adalah; Kartika Swarnacitta, Handaka Vijananda, Rudy Rachman, Agus Santoso, Yulvian, Bhante Nyanasuryanadi, dan Bhante Sujato.

Kartika Swarnacitta membawakan materi wise internet. Manajer tunggal Abdi Desa Ehipassiko ini mengajak para Abdi Desa untuk membimbing umat agar bijaksana dalam menggunakan internet. “Saat ini internet sudah merambah perdesaan, sebagai abdi desa yang membimbing umat Anda harus dapat membimbing umat agar bijak dalam menggunakan internet.”

Meskipun tidak sepenuhnya berdampak buruk, menurut Kartika bila tak diawasi dengan baik penggunaan internet bisa menjerumuskan masyarakat, terutama anak-anak. “Internet memang memudahkan untuk berkomunikasi, mencari informasi bahkan kalau bisa memanfaatkan dengan baik dapat digunakan untuk berbisnis. Tetapi kalau tidak dilakukan dengan bijak, internet dapat menjerumuskan anak-anak kita, yang paling nyata adalah dampak ketagihan handphone canggih,” terang Kartika.

Sedangkan Yulvian yang merupakan pendukung setia Abdi Desa Ehipassiko menyampaikan materi ekonomi desa. “Semua orang membutuhkan makan. Anda semua sebagai Abdi Desa yang menjemput bola menjaga Dharma juga harus peka terhadap perekonomian umat. Jadi tak hanya melulu menyampaikan Dharma, tetapi juga bisa membangun terobosan untuk memberdayakan perekonomian umat,” kata Yulvian.

Senada dengan Yulvian, Bhante Nyanasuryanadi yang menjadi narasumber di hari ketiga juga menyampaikan perlunya inovasi para Dharmaduta. “Potensi apa pun yang ada di daerah binaan Anda coba digali, karena yang dibutuhkan umat itu tak hanya sekadar meditasi. Urusan perut ini juga sangat penting, kalau perutnya kenyang meditasi juga terasa nyaman. Jadi harus ada keseimbangan antara spiritual dan kesejahteraan,” kata bhante.


Bhante Sujato

Hadirnya Bhante Sujato sebagai narasumber menjadi nilai lebih pada pelatnas kali ini. Sebagai narasumber kehormatan, ia mendapat porsi lebih, yaitu mengisi tiga sesi pelatihan. Ia membimbing dan menyampaikan materi meditasi empat unsur, metta meditasi dan membedah Buddhis mula (early Buddhism). Selengkapnya akan diulas pada artikel khusus.

Abdi desa mengabdi di pelosok negeri

Ehipassiko adalah yayasan yang bervisi membangun karakter pribadi, masyarakat, dan lingkungan melalui cara hidup studi, aksi, meditasi berdasarkan Dharma Humanistik. Dalam menjalankan visinya ini Ehipassiko menjalankan berbagai program pelayanan, mulai dari menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku Buddhis, memberikan bantuan sosial kepada masyarakat, memberikan beasiswa sekolah serta menggelar pelatihan-pelatihan meditasi.

Menurut data yang diperoleh BuddhaZine, saat ini Ehipassoko telah menerbitkan lebih dari 300 judul buku cetak dan 40 ebook, memberikan beasiswa kepada 2.712 siswa, 234 desa binaan, 340 vihara binaan dan 541 perpustakaan vihara.

Dari berbagai program Ehipassiko ini tak lepas dari peran para Abdi Desa. Saat ini Ehipassiko Foundation mempunyai 24 Abdi Desa yang mengabdi di berbagai pelosok Indonesia. Mereka adalah ujung tombak untuk melaksanakan visi dan program Ehipassiko. Mulai dari memberi pembelajaran Dharma kepada umat Buddha di vihara-vihara, memberikan bimbingan belajar kepada anak-anak sekolah, menyalurkan bantuan kemanusiaan, menyalurkan beasiswa hingga membagikan buku-buku Dharma terbitan Ehipassiko.

“Saya mengatakan Anda (para Abdi Desa) adalah Wira Dharma, prajurit Dharma. Keberadaan Anda adalah ujung tombak lestarinya Dharma di Nusantara,” kata Rudy Rachman.

The post Ehipassiko Ada untuk Membawa Perubahan appeared first on .

Bhikkhu Santacitto: Lima Hal Agar Kita Bahagia

$
0
0

Kathina, adalah salah satu hari raya besar bagi umat Buddha. Perayaan Kathina diadakan setelah para bhikkhu ber-vassa kurang lebih tiga bulan terhitung sejak bulan Juli 2018. Tujuannya adalah memberikan kesempatan pada umat untuk berdana kebutuhan pokok bhikkhu, yaitu jubah, tempat tinggal, makanan, dan obat-obatan. Biasanya Kathina dirayakan di vihara masing-masing wilayah ataupun secara gabungan.

Kesempatan kali ini BuddhaZine mengikuti perayaan Kathina di Vihara Dhamma Sundara, Surakarta pada Minggu (4/11). Bhikkhu Santacitto, Bhikkhu Jayasilo, dan ratusan umat dari berbagai daerah turut hadir menyambut Kathina Dana 2562/2018. Dalam ceramahnya, Bhikkhu Santacitto menguraikan lima hal agar seorang Buddhis bahkan seluruh umat manusia agar bahagia.

Pertama, agar bahagia harus berlindung kepada Tiratana. “Mungkin Bapak dan Ibu berpikir bahwa saya sudah berlindung dengan mengucapkan Buddham saranam gacchami, Dhammam saranam gacchami, Sangham saranam gacchami,” tutur Bhikkhu Santacitto.

“Tetapi apakah sekadar mengucapkan tisarana itu? Berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha harus dari hati kita, pengertian benar dari diri kita. Dhamma adalah sandaran, begitu pula Buddha juga sebaliknya. Begitu pula dengan kehidupan kita, kalau tidak ada sandaran maka tidak ada pengendali, kita akan liar.”

Kedua, menjadikan Dhamma sebagai prioritas juga bisa membuat bahagia. “Dhamma adalah kebenaran, ada kesabaran, cinta kasih, keseimbangan batin, perhatian, dan ada kebajikan.”

“Orang akan mudah marah ketika Dhamma tidak menjadi prioritasnya. Sebagai seorang Buddhis, dalam segala kondisi dianjurkan untuk memegang Dhamma sebagai kendaraan kita. Seandainya kita mendapat musibah, kecelakaan, pada sesungguhnya kita tidak akan menderita.”

Baca juga: Selamat Datang, Bulan Kathina..

Ketiga, dengan bersyukur akan bahagia. “Ketika kita ingin bahagia, harus bersyukur, puas dengan yang sekarang dimiliki. Kita tidak bahagia karena terlalu banyak keinginan, diperbudak oleh diri sendiri. Padahal, kekayaan, kemasyhuran tidak akan memberikan kebahagiaan sejati. Jangan mencari harta yang mengorbankan kesehatan, karena kesehatan tidak bisa diukur dengan seberapa banyak uang.”

Keempat, bahagia karena suka berbagi,suka berdana. Saat kita melekat karena kebodohan batin, maka penderitaan datang. “Berdana sesuai Dhamma akan mengikis kotoran batin. Dengan berdana keserakahan berkurang, dengan memberi akan mengikis kebencian. Berdana juga untuk mengikis kebodohan, karena kita tahu dengan berdana dapat mengikis keserakahan dan kebencian.”

Kelima, praktik meditasi membuat kita bahagia. “Meditasi yang diajarkan Buddha bukan hanya duduk diam. Melainkan seluruh aspek kegiatan kita adalah meditasi, seperti berbaring, duduk, berjalan, berbicara. Selama kita merawat diri dari kekotoran batin, itulah meditasi.”

“Orang yang tidak merawat batinnya seperti orang mati, karena tidak waspada, tidak sadar, batin mengembara. Orang yang waspada itulah orang yang hidup, karena sadar dan batin tidak mengembara. Merawat dan menjaga batin agar tetap sadar itulah meditasi, meski di awal sulit, tak mengapa, lama-lama jadi kebiasaan,” pungkas Bhikkhu Santacitto mengakhiri ceramahnya.

The post Bhikkhu Santacitto: Lima Hal Agar Kita Bahagia appeared first on .

Buddhayana Dharmawira Centre Surabaya Gelar Pentas Seni Beragam Agama

$
0
0

Lebih dari 300 orang sejak pukul 08.00 hadir di Buddhayana Dharmawira Centre (BDC) Surabaya pada Minggu (4/11). Di gedung utama lantai 2 yang berlangsung sangat apik. Kegiatan pentas seni diselenggarakan oleh Paguyuban Antar Lembaga Umat Beragama Surabaya.

Pentas seni tahun 2018 yang mengambil tema, “Bahagia dalam Kebhinnekaan” ini dimulai dengan doa bersama dan dilanjutkan dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kemudian dilanjutkan dengan parade pakaian daerah oleh lembaga umat beragama dengan diiringi lagu daerah dari seluruh pelosok Indonesia. Sesuai tema pentas seni kali ini, parade ini menunjukkan suka cita dan kebahagiaan semua pihak dalam kebhinnekaan.

Pentas seni ini dilaksanakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2018 sekaligus menyambut hari Pahlawan tanggal 10 November 2018. Selaku ketua panita pentasi seni, Ridwandi berharap kegiatan seperti dapat terus berlanjut agar persaudaaraan di antara semua umat beragama dalam tetap terjaga dengan baik.

Suasana persaudaraan sangat terasa dari berbagai atraksi seni budaya berupa nyanyian, tarian daerah, dan lain-lain disajikan dari perwakilan masing-masing lembaga umat beragama. Semoga kegiatan pentas seni budaya antar lembaga umat beragama semacam ini dapat meningkatkan persaudaraan, persatuan dan kesatuan, karena agama dan sosial adalah satu kesatuan untuk Indonesia nan damai.

The post Buddhayana Dharmawira Centre Surabaya Gelar Pentas Seni Beragam Agama appeared first on .

Perhelatan The 2nd International Conference Innovation in Religious Education and Buddhism (ICIREB) 2018 Dibuka

$
0
0

Sabtu (10/11) di Le Beringin Hotel, Salatiga, diadakan upacara pembukaan The 2nd International Conference Innovation in Religious Education and Buddhism. Konferensi ini diikuti oleh 5 negara di Asia dan Australia, yaitu: Australia, Myanmar, Thailand, China, dan Indonesia. Acara yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB) Smaratungga bersama Kementerian Agama RI, dan APTABI (Asosiasi Perguruan Tinggi Agama Buddha Indonesia) dan didukung oleh berbagai Universitas Buddhis yang ada di Indonesia ini mengangkat tema, “Building Harmony through Modern Religious Education and Buddhism”.

Konferensi yang berlangsung selama tiga hari (10-12 November 2018) bertujuan untuk menciptakan forum bagi para peneliti, Mahasiswa dan masyarakat untuk membahas tantangan terkini konflik modern dari sudut pandang pendidikan agama formal (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Penganut lain) dan studi Buddhis. Bhante Sulaiman Girivirya, yang merupakan Kaprodi Pascasarjana STIAB Smaratungga, selaku Ketua Pelaksana konferensi ini berharap agar para sarjana dan pelajar di Indonesia dapat belajar dan berbagi di bidang pendidikan keagamaan, dan Buddhis, sesuai dengan sub-tema kali ini untuk membangun harmoni dalam membangun peradaban dunia yang lebih baik.

Sejalan dengan itu, Bhikkhu Ditthisampano selaku Ketua STIAB Smaratungga menyampaikan bahwa, “Kegiatan konferensi ini dapat meningkatkan kinerja para dosen dan menjadi media untuk memperkenalkan penelitian dalam bidang ilmu agama buddha kepada dunia luar, dapat meningkatkan gairah menulis di kalangan dosen agama Buddha khususnya dosen Perguruan Tinggi Agama Buddha (PTAB).”

Supriyadi, selaku Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha pada Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama RI, menandai pembukaan konferensi dengan pemukulan gong. Pemaparan materi konferensi yang pertama di sampaikan oleh dua orang Pembicara: Prof. Dr. H. Nur Syam, M. Si., dengan tema “Pendidikan Agama sebagai metode untuk membangun keharmonisan” dan Dr. Julia Esteve dengan tema “Kuil Buddhis dari kediaman masa penghujan menuju Universitas Terkemuka”.

The post Perhelatan The 2nd International Conference Innovation in Religious Education and Buddhism (ICIREB) 2018 Dibuka appeared first on .

Viewing all 1052 articles
Browse latest View live