Quantcast
Channel: News Berita Budhis Terkini | Buddhazine
Viewing all 1052 articles
Browse latest View live

Unik! Tradisi Potong Rambut Gombak di Dusun Buddhis

$
0
0

Bagi masyarakat Dusun Krecek, gombakan dimaknai sebagai harapan akan masa depan anak.

Seperti yang dituturkan Sukoyo (67), “Tradisi potong rambut merupakan sebuah harapan dari orangtua supaya anaknya lepas dari halangan dalam menjalani hidup. Biasanya pada saat anak lahir, rambutnya pernah dipotong tapi si anak rewel, sakit-sakitan, orangtua langsung berniat nanti rambutnya di-ingu (dirawat/tidak dipotong) sampai usia tertentu. Ada juga yang dari lahir memang tidak dipotong,” jelas sesepuh dusun yang juga sebagai pemimpin upacara gombak.

Dusun Krecek, salah satu dusun Buddhis di Desa Getas, Temanggung, masih melestarikan tradisi potong rambut gombak. Selasa (5/2), upacara potong rambut gombak dilaksanakan oleh keluarga besar Bapak Walyono (46).

Eka Santida Nugraha (6), adalah putra tunggal dari pasangan Walyono dan Harmuntanti yang sejak lahir hingga usia 6 tahun, rambutnya belum pernah dipotong. Upacara pemotongan rambut Eka Santida, inilah yang disebut sebagai upacara gombak, atau oleh masyarakat Krecek disebut gombakan.

Perekat persaudaraan

Proses upacara gombak terbilang cukup panjang. Tiga minggu sebelum upacara digelar, para sanak saudara, dan tetangga gotong royong (sinoman) mengambil kayu bakar, memotong bambu untuk membuat loteng, amben, dan pawon (tungku).

Proses tersebut, kebanyakan dilakukan oleh kaum laki-laki, sementara perempuan bertugas untuk menyiapkan makanan. Beberapa hari setelah persiapan dapur selesai, giliran ibu-ibu yang sinoman napeni beras (membersihkan beras).

Empat hari sebelum upacara dilaksanakan, para laki-laki maupun perempuan mulai berdatangan ke rumah Waliyono. Meminjam segala kelengkapan upacara dilakukan oleh para laki-laki. Sedangkan perempuan tetap melakukan pekerjaan dapur. Persiapan ini setidaknya membutuhkan waktu selama dua hari.

Malam kedua persiapan, yang punya hajat memberi sesaji di pelbagai tempat; sumber mata air, perempatan jalan, tempat keramat, dapur, dan pojokan-pojokan rumah. Selesai itu, para tetangga yang tidak ikut sinoman diundang untuk menjadi saksi kendurian babah dalan dengan harapan semua proses menjadi lancar.

Baca juga: Di Temanggung Ternyata Ada Juga Tradisi Potong Rambut Gimbal ala Buddhis

Kendurian berakhir, para sinoman berkumpul membahas pembagian tugas selama acara berlangsung. Mulai dari penerima tamu, juru ladi (menyuguhkan makanan kepada tamu), petugas loteng, mengambilkan nasi, hingga mencuci piring, semua dibahas hingga hal-hal terkecil.

Gombak, antara tradisi dan Buddhadharma

Hingga saat ini, seluruh penduduk Dusun Krecek menganut agama Buddha. Agama Buddha berkembang “kembali” di dusun ini sejak tahun 1966, tidak jauh berbeda dengan desa-desa lainnya di Kecamatan Kaloran. Jauh sebelum itu, tradisi gombakan sudah dilakukan secara turun temurun masyarakat Krecek.

Agama Buddha yang dinilai sesuai dengan tradisi Jawa tak lantas menghilangkan tradisi yang berkembang di masyarakat. Lebih dari itu, tradisi dan budaya leluhur ini bahkan berkembang bersama, mengalami akulturasi. “Dulu upacara dilakukan berdasarkan tradisi Jawa dan secara Islam, termasuk ada tahlilan, tapi setelah tahun 1966, ketika masuknya agama Buddha di daerah Temanggung, masyarakat semua memeluk agama Buddha. Dari situ, semua tradisi yang dijalankan, selain didoakan dengan doa Jawa juga dibacakan parita-parita suci,” kata Sukoyo.

Usai upacara potong rambut, selanjutnya para saksi yang terdiri dari keluarga besar dan para tetangga melakukan pujabhakti. Upacara selesai, juru ladi kembali berperan untuk membagikan makan malam kepada seluruh hadirin. Selesainya upacara ini ditandai dengan kendurian bersama yang diikuti oleh warga Dusun Krecek. Pesta potong gombak tak selesai malam itu. Esok harinya digelar pentas seni rakyat, Wargo Turonggo Jati, dari Dusun Krecek sendiri dan Kudo Taruno Karyo Bahagiya, dari Dusun Kandangan.

The post Unik! Tradisi Potong Rambut Gombak di Dusun Buddhis appeared first on .


Riset Membuktikan, Mantra Manjusri Tingkatkan Kecerdasan Kognitif

$
0
0

Penelitian oleh seorang penduduk asli Uttarakhand India telah menunjukkan bahwa latihan “silat lidah” mampu meningkatkan fungsi kognitif. Untuk tesis PhD-nya di Universitas Amity, Noida, India, Deepika Chamoli Shahi melakukan penelitian tentang efek penggunaan mantra Manjushri bagi kecerdasan.

Dalam tradisi Buddhis Mahayana maupun Vajrayana, Manjushri dikenal sebagai seorang bodhisatwa yang dikaitkan dengan kualitas kebijaksanaan Buddha. Di Jawa Tengah, pada abad ke-8, Manjushri adalah salah satu sosok spiritual yang banyak dipuja, terbukti dengan dibangunnya Manjushrighra atau yang kini dikenal sebagai Candi Sewu, candi yang berjarak hanya delapan ratus meter di sebelah utara Candi Prambanan.

Yang diteliti Deepika dalam tesisnya adalah Manjushri dalam versi Buddhis Vajrayana yang berwarna oranye, berwujud pria tampan muda berornamen ningrat, memegang pedang di tangan kanannya. Wujud Manjushri semacam ini di Nusantara salah satunya bisa dilihat pada Prasasti Manjushri yang ditemukan di Candi Jago di Desa/Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, berangka tahun 1265 Śaka (sekitar 25 Januari 1343-14 Maret 1344 M). Saat ini arca Manjushri tersebut tersimpan di Museum Ethnology Berlin, sedangkan duplikatnya tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

Dalam menguraikan mantra Manjushri, Deepika memulai menjelaskan tentang Saraswati, yang telah dipuja sebagai Dewi kebijaksanaan dalam berbagai tradisi spiritual Asia.

Menurutnya, bentuk laki-laki Saraswati adalah Manjushri atau Vakeshwar. Menurut Abhidharma Pitaka (Sanskerta), dan beberapa tulisan suci lainnya, mantra Manjushri “Om Ara Pa Cha Na Dhi” dianggap sebagai suku kata magis. Ini dikenal untuk sarana latihan lidah dan digunakan untuk memurnikan lidah lewat pengulangan terus menerus selama 15 menit setiap hari.

Adalah rutin di biara-biara Buddhis Vajrayana bahwa ketika seorang biksu diterima, jenis “chanting” pertama yang dilakukan olehnya adalah pelafalan mantra Manjushri. Kitab-kitab suci Buddhis kuno telah menyebutkan pentingnya Manjushri dalam meningkatkan berbagai fungsi mental.

Baca juga: Hubungan Mantra Jawa-Bali dan Tiongkok

Untuk penelitiannya, Deepika menggunakan tiga kelompok anak berusia 8-13 tahun. Kelompok pertama terdiri dari siswa sekolah yang meneriakkan “twister lidah” non-spiritual sebagai intervensi, kelompok kedua terdiri dari anak-anak sekolah yang meneriakkan “twister lidah” spiritual tanpa pemahaman sementara kelompok ketiga terdiri dari kelompok bhiksu yang sudah berlatih “twister lidah” spiritual (mantra Manjushri) dengan pemahaman, selama satu tahun.

Percobaan dilakukan di empat ketinggian berbeda: Delhi-NCR (100-169 kaki di atas permukaan laut), Dehradun (1457-2200 kaki), Leh (11.000-12.450 kaki) dan Sachukul Ladakh (14000-17.000 kaki). Deepika memang juga mengaitkan ketinggian terhadap efek penggunaan mantra.

Statistik menunjukkan bahwa fungsi kognitif tingkat tinggi lebih meningkat pada ketinggian tinggi dengan latihan “twister lidah”, dibandingkan dengan di ketinggian lebih rendah.

Juga, “twister lidah” spiritual dengan pemahaman, jauh lebih efektif daripada latihan “twister lidah” spiritual tanpa memahami maknanya.

Selain itu, “twister lidah” non-spiritual juga mampu meningkatkan fungsi kognitif, tetapi lebih rendah efeknya dari twister atau mantra lidah spiritual.

Di Dehradun para siswa menunjukkan lebih banyak peningkatan dalam semua fungsi mental lainnya, kecuali waktu reaksi dan elaborasi dalam kreativitas, dibandingkan dengan anak-anak di Delhi-NCR. Anak-anak dari Delhi-NCR kurang fokus walaupun mereka memiliki banyak informasi.

Berdasarkan penelitian, Deepika Shahi mengatakan bahwa mantra Manjushri adalah “twister lidah” tingkat tinggi yang dapat meningkatkan fungsi mental melalui 15 menit latihan selama 30 hari dibandingkan dengan “twister lidah” lainnya.

Tak heran bila banyak guru besar dari tradisi Buddhisme Mahayana atau Vajrayana menganjurkan praktek Manjushri. Dalai Lama Kelima misalnya, sangat merekomendasikan praktik ini, dan menulis sadhana khusus untuk Manjushri. (Buddhaweekly.com)

The post Riset Membuktikan, Mantra Manjusri Tingkatkan Kecerdasan Kognitif appeared first on .

Umat Buddha Wihara Giri Kusala, Kudus, Menyambut Ramah Perwakilan Umat Gereja Katholik ST Yohanes Evangelista

$
0
0

Minggu (17/02), umat Wihara Giri Kusala, Kudus, berkumpul di halaman wihara. Ada pemandangan yang berbeda pada hari itu. Karena biasanya hanya anak-anak yang datang untuk Sekolah Minggu. Sekitar pukul 10:30 WIB, empat mobil dan beberapa motor datang dan parkir di jalan samping wihara.

Mereka adalah seorang suster bersama rombongan umat Gereja Katholik ST Yohanes Evangelista. Umat wihara bergegas menyambut tamu. Keramahan dari kedua pihak menjadi pemandangan yang menyejukkan hati dan menambah hangat suasana.

Terlihat tamu duduk menikmati suasana pegunungan yang disuguhkan di luar Wihara Giri Kusala. Setelah cukup beristirahat dari perjalanan panjang, tamu dan umat wihara makan bersama di halaman wihara yang telah disiapkan oleh ibu-ibu wandani sejak pagi.

Setelah acara ramah tamah selesai, kemudian semua berkumpul di dalam dan teras vihara untuk mendengarkan  sambutan dari perwakilan umat Gereja Katholik ST Yohanes Evangelista, Ketua Wihara Giri Kusala, dan Kepala desa Rahtawu yang turut hadir dalam acara ini. Kegiatan ini juga melibatkan dua orang Babinsa dan seorang Polisi.

Dalam sambutannya, pihak umat Gereja Katholik ST Yohanes Evangelista menyampaikan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk menjalin hubungan kekeluargaan antara umat Katholik dan Buddha di Kota Kudus. Namun, tujuan utamanya adalah untuk melakukan bakti sosial dengan memberikan bantuan bibit pohon alpukat kepada umat Buddha dan warga Desa Rahtawu.

Desa Rahtawu dipilih karena desa ini berada di daerah pegunungan, sehingga pemberian bibit dimaksudkan untuk melestarikan lingkungan dan mencegah terjadinya bencana alam. Bakti sosial yang dilakukan merupakan salah satu rangkaian kegiatan menyongsong ulang tahun Gereja Katholik Santo Yohanes Evangelista yang ke 80 tahun.

Pitono selaku Ketua Wihara Giri Kusala menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan. Pitono juga menyampaikan bahwa umat Buddha wihara Giri Kusala juga ikut berkontribusi dalam menjaga kelestarian alam dengan cara melepas hewan berupa ikan dan burung (Fangshen).

Sugiyono selaku Kepala Desa Rahtawu juga turut menyampaikan rasa terima kasihnya. Ia sangat bangga karena walaupun semua yang hadir berasal dari agama berbeda, namun dapat bersatu secara harmonis dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.

Selanjutnya  penyerahan bibit secara simbolis kepada Kepala Desa dan Ketua wihara serta foto bersama. Bibit ditanam secara simbolis di beberapa lahan warga. Bibit lainnya dibagikan kepada umat Wihara Giri Kusala dan warga sekitar.

Kegiatan penanaman bibit secara simbolis menjadi akhir dari rangkaian kegiatan bakti sosial. Rombongan umat Gereja ST Yohanes lalu berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas sambutan yang sangat hangat dari umat Buddha Wihara Giri Kusala. Kedua pihak juga menyampaikan harapan agar hubungan kerjasama tidak hanya berhenti pada kegiatan ini saja melainkan dapat terus berlanjut dan dapat melakukan kegiatan bersama lagi.

The post Umat Buddha Wihara Giri Kusala, Kudus, Menyambut Ramah Perwakilan Umat Gereja Katholik ST Yohanes Evangelista appeared first on .

Geliat Seni Kuda Kepang Kudo Taruno Karyo Bahagiyo, Temanggung

$
0
0

Sebanyak 13 laki-laki dewasa berpakaian layaknya prajurit kerajaan menari lincah diiringi gamelan dari atas panggung Lapangan Bola Dusun Krecek, Desa Getas, Rabu (6/2). Tak lama berselang, muncul sesosok dewi berpenampilan anggun menjadi pusat perhatian penonton. Dia adalah penggambaran dari Dewi Songgolangit, kekasih Prabu Klono Sewandono seorang raja di Kerajaan Jenggala dalam pementasan seni rakyat kelompok kesenian Kudo Taruno Karyo Bahagiyo (KTKB) acara potong gombak Eka Santida Nugraha.

“Pada pentasan ini menceritakan perjuangan Prabu Klono Sewandono untuk mempersunting kekasihnya, Dewi Songgolangit,” tutur Rahman, salah satu pentolan KTKB.

Diceritakan, Prabu Klono bersama serombongan prajurit istana (prajurit kuda kepang) berangkat melamar Dewi Songgolangit ke Kerajaan Kediri. Tetapi ditengah jalan, Prabu Klono dihadang oleh raksasa yang digambarkan sebagai buto. Akhirnya terjadi pertempuran sengit antara Prabu Klono dan pasukannya dengan buto raksasa (Muyadi).

Dengan senjata cemetinya, Prabu Klono dapat mengalahkan buto raksasa yang merupakan perwujudan Prabu Lodaya. Kalah sebagai buto, Prabu Lodaya berubah wujud menjadi singo barong, tetapi lagi-lagi dapat ditaklukkan oleh Prabu Klono, kali ini dengan senjata gunungan KTKB. Akhir cerita, meskipun dikalahkan oleh Prabu Klono, Prabu Lodaya tak lantas sakit hati, tetapi mereka menjadi sahabat baik.

“Perjuangan yang tulus dengan niat baik, meski mendapat halangan sebesar apapun dapat diatasi dan dengan kebaikan, kejahatan dapat dikalahkan. Itu adalah inti pesan yang ingin kami sampaikan kepada penonton,” imbuh Rahman yang merupakan penabuh gamelan juga pencipta koreografi KTKB.

Perjuangan melestarikan kesenian rakyat

Kabupaten Temanggung merupakan salah satu tempat lestarinya kesenian, terutama seni rakyat kuda kepang. Berdasarkan data dinas pariwisata Temanggung, saat ini tercatat sekitar 750 kelompok kesenian rakyat yang sudah terdaftar, salah satunya adalah Kudo Taruna Karyo Bahagiya (KTKB).

Kelompok kesenian KTKB telah berdiri sejak tahun 1977, oleh warga Kampung Mranggen, Dusun Kandangan, Desa Tempuran, Kecamatan Kaloran. Saat ini, KTKB menjadi salah satu grup kuda kepang yang paling digemari bila dibandingkan dengan grup-grup lainnya, terutama yang dari Kecamatan Kaloran.

Koreografi yang terus berkembang, gending-gending garapan yang selalu dikembangkan, cerita narasi penuh pesan moral dan totalitas anggota adalah kelebihan dari grup ini. Tetapi dibalik kesuksesannya, ternyata membutuhkan perjuangan panjang.

“Dulu, untuk membeli properti, gamelan, seragam dan lain-lain masyarakat membentuk kelompok nyangkul (mencangkul). Ketika ada warga dusun yang membutuhkan tenaga mencangkul dilahannya, kelompok ini yang mengerjakan dan upahnya digunakan untuk membeli gamelan, badong, seragam tari dan kebutuhan kesenian lain,” kenang Rahman.

Bahkan tidak hanya mencangkul, pekerjaan-pekerjaan kasar yang membutuhkan banyak orang juga dikerjakan demi menyalurkan jiwa seni. “Tidak hanya mencangkul tetapi pekerjaan lain yang melibatkan banyak orang seperti proyek pembangunan pun pernah dilakukannya. Upah buruh yang diterima ini dikumpulkan untuk mempertahankan grup KTKB, khususnya untuk properti yang setiap tahunnya terus mengalami perkembangan. Selain dari cara buruh, mereka pun mendapatkan pemasukan dari tanggapan pentas dari dusun-dusun lain,” katanya.

Pasang surut grup sudah tidak lagi menjadikan penghalang mereka untuk terus bertahan, ada satu masa ketika KTKB sangat kekurangan dana dan tidak bisa melengkapi properti yang lebih modern, hingga ketika pentas pun mengenakan properti apa adanya. “Rasa nervous sudah pasti mereka alami ketika menghadapi persaingan dalam pentas, namun mereka menyadari bahwa keadaan seperti itu tidak akan selamanya. Kurang lebih lima tahun terakhir hingga saat ini KTKB mulai bangkit dari keterpurukan, dengan banyaknya undangan pentas pemasukan pun mulai cukup untuk membeli perlengkapan. Dari pentas ke pentas KTKB mengumpulkan dana yang bisa digunakan untuk mengejar ketertinggalan,” imbuh laki-laki yang juga awak BuddhaZine ini.

Demi sebuah totalitas

Salah satu faktor kuat yang membuat KTKB tetap bertahan dan bisa berkembang hingga saat ini adalah totalitas. Rasa memiliki yang tinggi atas terhadap KTKB membuat para anggota rela melakukan apa pun demi mempertahankan dan mengembangkan kesenian.

Tanpa imbalan, bahkan kadang harus merogoh kantong pribadi ketika diundang untuk pentas mereka tetap melakukannya. “Ketika jadwal pentas padat, mereka seakan tak pernah lelah untuk pentas. Beberapa kali mereka bahkan melayani undangan yang sangat berdekatan jarak, hanya selang semalam sehingga kadang harus menginap di tempat penanggap. Dan itu semua mereka lakukan tanpa ada imbalan secara materi bagi setiap anggota, mereka bahkan tidak jarang merogoh kocek sendiri untuk transportasi ketika pentas di dusun lain,” tutur Weny, penabuh gendang KTKB kagum.

Semakin berkembangnya KTKB jadwal pentas pun semakin padat. Mereka diundang pentas diberbagai acara mulai dari orang punya gawe, perayaan Agustusan, nyadran, sedekah dusun, hingga pentas-pentas seni rakyat massal di Kabupaten.

“Sekarang, satu bulan kita rata-rata mendapat undangan pentas 5 – 10 kali. Kalau musim sadranan, perayaan 17 Agustus dan sedekah desa lebih gila lagi, satu minggu kadang bisa pentas 5 kali. Jadi saat ini lumayan, sudah tidak perlu mencangkul untuk membeli alat. Dari tanggapan-tanggapan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan perlengkapan pentas meski belum bisa membayar anggota,” imbuhnya.

Bagi warga Kampung Mranggen, seni mampu menyatukan segala perbedaan baik ras maupun agama, juga sebagai perekat persaudaraan antarwarga. Di sisi lain dengan adanya kegiatan berkesenian ini diharapkan akan mengalihkan perhatian terutama bagi kalangan anak muda kepada hal-hal yang positif, sehingga tidak mudah terseret arus dalam pergaulan yang kurang sehat.

The post Geliat Seni Kuda Kepang Kudo Taruno Karyo Bahagiyo, Temanggung appeared first on .

Melacak Mitos, Borobudur Dibangun oleh Sangha?

$
0
0

Banyak sekali legenda atau mitos terkait Candi Borobudur. Kini berbagai pihak mencoba melacak mitos-mitos tersebut, guna semakin membuat Borobudur populer. Salah satunya adalah apa yang dilakukan Kementerian Pariwisata RI, yang menggelar seminar berjudul “Legenda Borobudur”, Jumat (15/2) di Royal Ambarukmo Yogyakarta.

Staf Ahli Menteri pariwisata Bidang Budaya, Taufik Rahzen yang menjadi salah satu pembicara seminar mengatakan, ada mitologi terkait kenapa Borobudur dibuat di sekitar Kabupaten Magelang. Ini terkait dengan adanya konsep tempat yang terberkati. Menurutnya, Jawa disebut sebagai salah satu tempat yang terberkati. Sementara Gunung Tidar dahulu dianggap sebagai pusatnya pulau Jawa, bahkan pusatnya dunia (axis mundi).

“Ini hampir sama dengan apa yang diyakini di Gunung Arunachala atau Arunagiri di Tamil Nadu (India Selatan),” terangnya dalam sesi pemaparan berjudul, “Legenda, Nilai-nilai Strategis Borobudur dan Pemanfaatannya untuk Kesejahteraan dan Kemanusiaan.”

Ia menerangkan, kawasan Karesidenan Kedu, Magelang, dan sekitarnya, (termasuk Tidar) telah dipakai sebagai orientasi spiritual orang-orang Jawa masa lampau. Ini membuat, akhirnya, pada abad ke 7-11, pusat dunia bagi banyak orang bergeser ke Jawa, kala berbagai kelompok agama Buddha baik dari India Tiongkok maupun daerah lain datang ke Nusantara, ke sekitar Borobudur.

“Dan harus diingat, dari data-data yang ada, Borobudur tidak dibangun oleh sebuah kerajaan. Borobudur dibangun oleh sebuah persaudaraan para Buddhis, yang melakukan dengan kreativitasnya. Raja hanya memberikan tempat itu, bahwa [tempat] itu tidak diambil pajak. Itulah yang ada di Prasasti Kamulan Bhumi Sambara,” terangnya.

Ia meneruskan, sebenarnya yang menciptakan Borobudur justru diduga adalah kalangan yang sangat globalis, dari berbagai kawasan di dunia. Kerajaan hanya memberikan tempat.

“Karena tidak ada tanda-tanda, bahwa raja yang memerintah itu kepercayaannya sama dengan apa yang dibangun oleh para pembangun dari Borobudur,” ujarnya.

Ia meyakini, Borobudur kedudukannya dahulu sama dengan Silicon Valley pada saat ini. Bedanya, bila Silicon Valley adalah pusatnya teknologi, Borobudur adalah pusatnya spiritualitas.

Yang unik, menurutnya hampir semua para pendatang Borobudur mengembangkan tradisi kepercayaannya ke dalam bentuk yang baru. Ia mencontohkan Atisha yang datang dari India ke Nusantara yang lalu mereformasi Buddhis di Tibet.

“Begitu juga tradisi Zen yang berkembang di Jepang, Chan di China, dan kemudian gamelan di Jawa. Jadi semuanya mengambil inspirasi dari Borobudur ini. Ada kepercayaan di situ bahwa Borobudur itu dianggap sebagai suatu terrestrial paradise, itu suatu surga yang ada di kahyangan, tapi hadir di dalam kenyataan ini,” katanya.

Selanjutnya, pada masa abad ke-11 hingga ke-17 hingga, di Jawa Tengah muncul kepercayaan Agartha, kepercayaan bahwa sebuah kota itu hilang dan masuk ke bumi. Pusat dunia bagi orang Jawa pun bergeser ke timur, ke Gunung Penanggungan, Jawa Timur. itulah yang disebut dalam teks Tantu Pagelaran. Pada era inilah, Majapahit yang bernapaskan Siwa-Buddha mencapai puncak kejayaannya.

Selanjutnya pada abad 19 sampai 21, konsep Agartha lalu menurutnya berubah menjadi Nagara. Muncul tokoh Pangeran Dipanegara (Diponegoro) yang memimpin Perang Jawa, era ketika Borobudur baru saja ditemukan. Perang Jawa ini menurutnya membatasi masa lampau dan masa depan Indonesia. Diponegoro sendiri mencoba membuat kekuasaan baru di luar Kesultanan Ngayogyakarta, dengan memusatkan wilayah kekuasaan di daerah Jawa Tengah Selatan, daerah Kedu.

Selanjutnya, tahun 1948, Jenderal Sudirman, yang sesudah menghadiri kongres kebudayaan di Borobudur, memperlihatkan kepada dunia, fotonya dengan para tentara di Borobudur. Ini menunjukkan ke dunia bahwa Indonesia yang sebelumnya dianggap bangsa barbar, mampu mewarisi warisan dunia.

“Ini lalu mengubah posisi Indonesia di internasional,” katanya.

Mitos terkait Borobudur yang pernah ada dan bisa diangkat menurutnya adalah mitos “Seribu Ksatria dalam Kurungan”. Sebab, Borobudur zaman dahulu dianggap sebagai tempat pembuangan, tempat yang dihindari. “Ini tercatat dalam Babad Tanah Jawa,” ujarnya.

Sementara, kisah dari Candi Borobudur sangat menarik untuk diangkat adalah kisah relief Gandavyuha, yang mengisi sekitar sepertiga Borobudur. Relief ini mengisahkan perjalanan pemuda Sudhana yang berguru pada banyak orang, dari berbagai kalangan dan kepercayaan, guna menemukan kebijaksanaan tertinggi. Cerita Gandavyuha yang berasal dari India menurutnya mencapai puncaknya di Jawa, karena di pulau inilah kisah itu dibuat tiga dimensinya di relief candi.

“Saya membayangkan bahwa jika cerita ini masuk ke dalam satu games atau dalam kisah virtual reality akan menjadi menarik untuk generasi millenial,” katanya.

Pembicara lain dalam seminar ini, Dr. Djoko Dwiyanto, dosen arkeologi UGM mengatakan, sejak tahun 70-an, ia sudah bekerja untuk restorasi Borobudur. Yang menarik, dan bisa diangkat menjadi legenda, menurutnya adalah temuan banyak batu akik saat dilakukan penggalian di Borobudur. Oleh para penggali, batu-batu akik itu menurutnya diserahkan kepadanya, karena takut terjadi apa-apa. Batu-batu itu pun menurutnya dipelihara sejauh ia mampu.

“Itu di setiap diagonal, di setiap titik [Borobudur] itu ada batu akik, dan itu bagus-bagus semua,” ungkap mantan Kepala Dinas Kebudayaan DIY ini.

Sementara, pembicara selanjutnya, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, Guru Besar Antropologi UGM menyampaikan, Borobudur saat ia kecil sungguh berbeda suasananya dengan saat ini. ketika ia kecil dahulu, masih ada beberapa desa di sekitar Borobudur. Desa-desa ini lalu pada masa Orde Baru diberikan ganti rugi untuk pindah, karena diubah menjadi taman wisata Candi Borobudur. Yang  menarik, menurutnya sebelum diberikan ganti rugi, warga berbondong-bondong menanam banyak pohon pisang, pohon yang cepat tumbuh, agar nilai tanahnya naik.

“Dahulu masih ada desa-desa, masih ada pasar. lalu terjadi bedol desa, dua desa seingat saya,” ungkapnya.

The post Melacak Mitos, Borobudur Dibangun oleh Sangha? appeared first on .

Bhikkhu Jayasilo Merayakan Magha Puja di Klaten, Jawa Tengah

$
0
0

Minggu (17/2), perayaan Magha Puja di Vihara Bodhivamsa, Klaten, Jawa Tengah, dihadiri oleh berbagai umat dari Klaten, Kabupaten Semarang, Wonogiri, dan Temanggung. Turut hadir pula Bhikkhu Jayasilo, empat Samanera, dan Atthasilani Metta Nurcahya.

Dalam ceramah Dhamma-Nya, Bhikkhu Jayasilo mengawali dengan kisah dua sahabat Buddha. Sahabat ini memiliki banyak perbedaan. Namun, ada satu hal yang sama yaitu jenuh terhadap kematian. Lalu mereka mencari cara untuk bebas dari kematian. Mereka membuat janji, siapa pun yang duluan menemukan guru atau hasil dari praktik bebas kematian harus memberitahu.

Salah satu dari mereka, bertemu Bhante Assaji. Uniknya, ia memiliki dibbacakkhu (kekuatan mata dewa), dan mencapai tingkat sotapanna. Kemudian memberi tahu pada temannya, temannya juga mencapai tingkat sotapanna. Kedua sahabat ini menemui Buddha dan ditahbiskan menjadi bhikkhu. Karisma dari kedua sahabat yang menjadi bhikkhu ini membuatnya memiliki banyak pengikut. Para pengikutnya ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Buddha dan mencapai arahat.

Tetapi kedua bhikkhu tersebut belum mencapai arahat. Dalam Mahapadana Sutta, Digha Nikaya, kedua sahabat ini dulunya adalah Bhante Sariputta dan Moggalana, bertemu saat bulan purnama Magha Puja. Magha Puja adalah peringatan satu hal dengan 4 ciri, yaitu (1) Hadirnya 1250 Bhikkhu, (2) Bhikkhu yang hadir mencapai arahat dengan penahbisan ehi bhikkhu upasampada langsung oleh Buddha, (3) Mereka hadir tanpa diundang, (4) Pada pertemuan tersebut, Buddha membabarkan Ovadapatimokkha.

“Buddha memberi pemahaman baru tentang keyakinan. Seseorang memiliki keyakinan karena mengalami sendiri. Kalau saya katakan air itu rasanya manis, percaya nggak?” tanya Bhikkhu Jayasilo pada umat.

“Tidak,” jawab umat.

“Iya, karena Anda semua sudah pernah mencoba air putih ini. Seperti itulah keyakinan dalam agama Buddha.”

Ovadapatimokkha, ovada artinya instruksi atau petunjuk. Merupakan intisari dari ajaran Buddha. Loh Bhante, bukannya ajaran inti buddha adalah 4 kebenaran mulia? Iya betul, tapi itu adalah ajaran filosofis. Ovadapatimokkha adalah praktiknya,” ujar Bhante.

“Ada 12 poin dalam Ovadapatimokkha, tapi saya hanya akan membahas poin 5, 6, dan 7,” tutur bhante.

Poin kelima adalah sabbapapassa akaranam, untuk tidak melakukan perbuatan buruk. “Mengapa seseorang masih suka melakukan keburukan? Seseorang melakukan keburukan karena di situ ada perangkap yang sama-sama tidak kelihatan. Karena perangkap itu adalah kenikmatan.”

Terperangkap dalam kenikmatan ini diilustrasikan dalam sebuah kisah yang dituturkan oleh Bhikkhu Jayasilo. Saat Ibu/Bapak merasakan kenikmatan menjual narkoba dengan imbalan yang besar dan tidak tertangkap aparat kepolisian. Maka, secara tidak langsung Ibu/Bapak akan terus menjualnya. Baru, di saat Ibu/Bapak tertangkap, di sanalah ada penyesalan dan baru sadar.

“Kadang kita berpikir bahwa melakukan keburukan apabila melanggar 5 sila. Padahal tidak sesederhana itu. Saya pernah lihat iklan bertuliskan ‘jangan biarkan ponsel Anda membunuh Anda’. Ketika seseorang menyeberang jalan dengan bermain Whatsapp, pasti akan terjadi keburukan. Keburukan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.”

Poin keenam Kusalassupasampada, yaitu berbuat kebajikan. “Sering kali orang mengatakan kalau berbuat baik sangat susah. Dalam Vaca Sutta, Anguttara Nikaya, kalau seseorang membuang sisa makanan di saluran air dengan bertekad ‘semoga masih ada binatang yang makan dari sisa makanan di saluran air ini’, ini bisa disebut perbuatan baik. Perbuatan baik dalam agama Buddha dilakukan melalui hal-hal yang sederhana. “

Poin ketujuh adalah Sacittapariyodapanam. “Sacittapariyodapanam, bersihkan batin sendiri. Bagaimana cara membersihkan batin sendiri? Dengan meditasi, tidak ada cara lain, harus meditasi. Dengan meditasi dapat membersihkan perilaku jelek dari habit (kebiasaan).”

Hari-hari yang bahagia dapat diawali dengan bermeditasi. “Ada satu penelitian, endorfin (hormon penenang dan penghilang rasa stres) yang dihasilkan tubuh sendiri akan bertambah, jika pagi dimulai dengan mood yang bagus, maka hari-hari akan bagus, tapi kalau dengan mood yang buruk maka hari itu akan buruk.”

Meditasi itu bukan sekadar duduk diam saja. “Bapak ibu sekalian, bermeditasilah selagi masih bisa bermeditasi. Sederhana, melihat apa yang terjadi dengan apa adanya, tidak harus melulu duduk, apalagi duduk berjam-berjam. Gampangnya, meditasi adalah melihat matahari timbul di timur, tenggelam di barat, kodok melompat masuk ke kolam bunyi ‘pluk’. Itu meditasi, melihat apa adanya tanpa ikut campur di situ,” tutupnya. Pada akhir acara adalah persembahan buku Visuddhimagga dari umat kepada Bhikkhu Jayasilo.

The post Bhikkhu Jayasilo Merayakan Magha Puja di Klaten, Jawa Tengah appeared first on .

Selamat Jalan Sutar Soemitro

$
0
0

Sabbe sankhara anicca

Turut Samvegacitta atas wafatnya

Sutar Soemitro
8 Mei 1980 – 3 Maret 2019

Keluarga BuddhaZine sangat kehilangan atas wafatnya pendiri BuddhaZine.

Selamat jalan dan terima kasih atas dedikasi terhadap pengembangan Buddhadharma di Indonesia.

Jenazah akan dikebumikan di Desa Purwodadi, Kebumen, Jawa Tengah, pada Senin (4/3).

The post Selamat Jalan Sutar Soemitro appeared first on .

Gambar Buddha Terbesar di Rusia

$
0
0

Gambar Buddha Sakyamuni terbesar di Rusia dapat disaksikan di Buryatia, salah satu daaerah Federasi Rusia. Gambar tersebut dilukis di Karang Bayan Khongor dekat desa Bayan Gol di Distrik Khorinsky – sebuah distrik otonom dan administratif di jantung Rusia, satu dari 21 distrik dalam Republik Rusia. Setelah pembuatan gambar pada tahun 2016, wilayah ini menjadi pusat wisata dan ziarah agama (dharmayatra) yang terkenal.

Karang Bayan Khongor telah dianggap sebagai sebuah tempat suci oleh Khorinsky Buryats sejak zaman dahulu kala.  Para penduduk Bayan Gol berkumpul di karang suci dua kali dalam setahun – sekali pada musim panas dan sekali pada hari kedua Sagaalgan (istilah dalam bahasa Buryat: “Bulan Putih”), pada tahun baru Buryat, yang menurut kalender lunar biasanya dirayakan pada bulan Februari. Banyak munkhan (tempat-tempat peribadatan kecil) dibangun di seputaran karang.

Secara tradisional, tempat-tempat suci kecil ini menyimpan gambar-gambar burkhan (Dewa-dewi Buddhis), khurde (gendang untuk berdoa/damaru ), lampu-lampu, serta berbagai perlengkapan lainnya. Pada tahun 2015, sebuah rupang Buddha serta tiga stupa muncul di area ini.


Yang Mulia Yelo Rinpoche.

Gagasan tentang gambar Buddha datang dari kalangan penduduk setempat. Mereka memohon Guru Tibet senior Yang Mulia Yelo Rinpoche, yang juga dikenal sebagai Yeshe Lodoy Rinpoche, untuk membantu, karena beliau telah memperoleh mimpi yang sama sejak waktu yang lama.

Guru Gelug yang mulia ini dilahirkan di Tibet, yang mana ia dikenali sebagai inkarnasi keempat dari Yelo Rinpoche, dan bergabung dengan Biara Drepung, bagian dari aliran Gelugpa dalam agama Buddha Tibet. Pada tahun 1959, beliau melakukan perjalanan ke India, yang mana pada tahun 1963, beliau mengambil sumpah sebagai biksu (dalam bahasa Tibet disebut Gelong) dari Yang Mulia Dalai Lama.

Mengikuti saran dari Yang Mulia, pada tahun 1993 Yelo Rinpoche pindah ke Buryatia dan membangun Datsan Rinpoche Bagsha, pusat Buddhis Tibetan di Lysaya Gora, salah satu dari sekian banyak tempat yang tertinggi dan seindah lukisan di ibukota Ulan Ude. Guru akar dari Yelo Rinpoche, Dulva Hambo Thupten Chokyi Nyima, berasal dari Buryatia, yang memastikan hubungan karma beliau dengan dataran Siberia.


Gambar jarak dekat dari gambar Sakyamuni Buddha.

Gambar Buddha Sakyamuni telah dibuat dengan pengaruh minimal terhadap lingkungan alam. Gambar ini tidak sepenuhnya dipahat, hanya lapisan teratas dari bebatuan yang dibuang untuk menampilkan bentuk dari sosok Buddha. Buddha digambarkan tengah mengenakan jubah biarawan tradisional, duduk dengan kaki bersilang dalam postur teratai. Tangan kanannya menggantung dengan membentuk mudra pencerahan, mudra bhumisparsha (mudra memanggil bumi untuk bersaksi), sementara tangan kirinya menggambarkan mudra dhyana (mudra meditasi), sambil memegang patra untuk pindapatta.

Sosok ini dibuat setinggi 33 meter, karena dalam agama Buddha angka 33 dianggap sakral.  Angka ini terkait dengan surga Trayatrimsa, kediaman surgawi dari 33 Dewa. Sesungguhnya, jumlah para dewa yang hidup di alam surga kedua dari ke enam alam surga dalam kosmologi Buddhis ini, jumlahnya jauh lebih banyak, tetapi angka 33 ini diwarisi dari numerologi Vedic, yang mengimplikasikan gagasan tentang keseluruhan wilayah Para Dewa.

Buddha Sakyamuni naik ke surga Trayatrimsa untuk memberikan ajaran demi kemaslahatan semua Dewa yang hidup di sana, dan kepada ibundanya Maya Dewi, yang setelah meninggal terlahir di surga Trayatrimsa ini.


Dharmayatra Buryat pada saat penyucian.

Dalam sebuah wawancara dengan Infopol, pengikut Yelo Rinpoche, Tenzin Lama, menjelaskan arti luhur dari gambar Buddha menyatakan, “Altar Buddhis, seperti vihara, stupa, dan rupang, pada umumnya dibangun menghadap ke Selatan. Bagaimanapun, kami dengan sadar ingin sedikit bergeser dari tradisi ini dan mengarahkan wajah Buddha menghadap Moscow serta kota-kota besar Rusia lainnya.

“Dalam waktu yang sulit seperti sekarang, hal ini perlu dilakukan demi kemaslahatan seluruh negara serta semua makhluk hidup. Pada segala zaman, pembuatan vihara atau gambar Buddha selalu dipandang sebagai perbuatan yang sangat berpahala.

“Di tempat-tempat mereka muncul, segalanya menjadi selaras. Segala jenis bencana alam terhenti, dan muncul kesepahaman dalam hubungan antarmanusia. Lebih sedikit orang yang sakit, dan jumlah kematian akibat kecelakaan menurun. Makhluk hidup menemukan kedamaian dan ketenangan.”

Pada tanggal 10 September 2016, Yelo Rinpoche beserta para Lama yang lain dari Datsan Rinpoche Bagsha, mengadakan sebuah ritual penyucian (dalam bahasa Tibet disebut rabne) terhadap gambar yang unik ini.  Selanjutnya, digelar konser dari beberapa grup musik serta kompetisi olah raga nasional dalam bidang gulat, lompat, serta memanah.


Persembahan jutaan bunga.

Sekitar 4.000 peziarah dari berbagai daerah di Buryatia serta beberapa kota besar Rusia, mengikuti peristiwa bersejarah ini. Pada akhir ritual, para lama beserta kaum peziarah mempersembahkan sejuta bunga pada gambar Buddha.

Bebungaan, bahan makanan berwarna putih, manisan, buah-buahan, serta lilin, merupakan persembahan tradisional dalam agama Buddha. Semakin mewah dan semakin indah persembahannya, maka pahala yang dikumpulkan juga semakin besar. Pahala yang agung juga diperoleh saat sebuah gambaran Buddha dibuat, terutama gambar yang besar – pahala dari kebajikan ini sungguh tanpa banding. (Lyudmila Klasanova/Buddhistdoor.net)

The post Gambar Buddha Terbesar di Rusia appeared first on .


Bodhisattwa Kwan Im Menjelma Menjadi Robot Android di Jepang

$
0
0

Kodai-ji, sebuah kuil Zen di Kyoto, Jepang, menampilkan sesuatu yang agung, unik, sekaligus canggih pada hari Sabtu (23/2). Kuil tersebut memperkenalkan kepada dunia ke versi robot android dari Kannon Bosatsu (Bodhisattwa Avalokiteshvara/Kwan Im). Dewi Welas Asih dalam bentuk robot humanoid itu dirancang untuk menjelaskan ajaran Buddha dalam bentuk ceramah yang sederhana dan diharapkan mampu menarik audiens yang baru dan lebih muda.

Di aula yang remang-remang di kuil berusia 400 tahun itu, sebuah android yang bernama Mindar memberikan pengajaran pertamanya tentang Sutra Hati dan kemanusiaan kepada hadirin yang merupakan para anggota Sangha dan perwakilan media. Ini adalah ceramah percobaannya sebelum memulai ceramahnya yang resmi kepada publik di bulan Maret.

Robot tersebut adalah produk kolaborasi antara kuil Zen dan Hiroshi Ishiguro, seorang profesor robotika cerdas dari Universitas Osaka. Kodai-ji — dibangun oleh istri Toyotomi Hideyoshi, panglima perang abad ke-16 yang menyatukan Jepang — mendekati Ichiguro dan timnya dengan permintaan untuk membangun robot humanoid atau android yang dapat berbagi ajaran Buddha dengan cara yang mudah dimengerti. Diharapkan, sang robot mampu membantu membawa ketenangan pikiran bagi orang-orang yang bermasalah yang datang ke kuil untuk meminta bimbingan.

Kuil itu juga berharap keajaiban teknologi dapat membantu orang-orang yang biasanya memiliki sedikit keterhubungan dengan agama Buddha untuk menaruh minat pada agama.

“Agama Buddha melihat penyebaran fenomenal di dunia dengan munculnya citra-citra Buddhis,” kata Tensho Goto, seorang pendeta di kuil di Higashiyama Ward Kyoto. “Kami berharap bahwa android Kannon akan membantu ajaran Buddha menjangkau hati orang-orang zaman ini.” (Asahi Shimbun)

“Kami ingin banyak orang datang untuk melihat [robot] untuk memikirkan esensi ajaran Buddha.” (The Japan Times)

Kwan Im memang dikenal sebagai Dewi yang mampu mengubah perwujudan dan menjelma dalam berbagai bentuk untuk membantu meringankan penderitaan manusia. “[Dan] kali ini, Kannon berubah menjadi android,” kata presentasi di kuil itu. (The Asahi Shimbun)

Midar, yang berharga sekitar 100 juta yen (US $ 909.000) untuk pengembangannya, memiliki tinggi sekitar 195 cm dan beratnya 60 kg. Ia mampu menggerakkan torso, lengan, dan kepalanya, dan memiliki kamera yang terpasang di mata kirinya, memungkinkan untuk berinteraksi dengan audiens.

Android dibuat terutama dari aluminium, namun tangan, pundak, dan wajahnya ditutupi dengan silikon yang dirancang agar terlihat seperti kulit manusia, memungkinkan penampilan yang lebih “manusia”, terutama saat mengenakan jubah.

Masyarakat umum akan dapat melihat Midar dari 8 Maret – 6 Mei, ketika robot ini dijadwalkan untuk berceramah kepada publik. Meskipun robot diprogram untuk menyampaikan ceramah-ceramah dari Sutra Hati dalam bahasa Jepang, versi-versi ceramah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Mandarin akan diproyeksikan ke layar di sebelah android untuk pengunjung asing.

Meskipun sekitar 67 persen dari 127 juta orang di Jepang mengidentifikasi sebagai Buddhis, sebagian besar jarang terlihat bagian dalam kuil kecuali selama upacara tradisional untuk menandai Tahun Baru dan upacara pemakaman untuk anggota keluarga yang meninggal.

Agama Buddha mungkin mendekati titik krisis di Jepang, dengan 27.000 dari 77.000 kuil di negara itu diperkirakan akan ditutup selama 25 tahun ke depan. Ini mencerminkan semakin menyusutnya populasi di komunitas pedesaan kecil, serta hilangnya kepercayaan pada agama yang terorganisasi di antara populasi negara itu, secara menyeluruh. (Dari berbagai sumber)

The post Bodhisattwa Kwan Im Menjelma Menjadi Robot Android di Jepang appeared first on .

Pemakaman Sutar Soemitro, Pendiri BuddhaZine

$
0
0

“Ini berkat buah karma baik Sutar selama hidupnya, mulai sejak di rumah sakit sudah banyak bantuan yang datang, baik dari administrasi rumah sakit hingga pas ketika Sutar tiada dan dibawa ke kediamannya di Kebumen semuanya lancar tanpa ada halangan,” tutur salah satu keluarga yang enggan disebutkan namanya, saat ditemui BuddhaZine pada Minggu (3/3).

BuddhaZine sebagai salah satu situs berita yang memberikan layanan informasi Buddhis, merupakan buah karya seorang anak muda asal Kebumen, Sutar Soemitro. Minggu (3/3) seluruh keluarga besar BuddhaZine harus menerima kenyataan duka, setelah cukup lama menderita penyakit beratnya Sutar meninggalkan BuddhaZine, keluarga, serta para sahabat untuk selama-lamanya.

Dalam keadaan duka seluruh keluarga besar BuddhaZine turut menghadiri upacara pemakaman Sutar di rumah yang beralamatkan di Desa Purwodadi, Kecamatan Gombong, Kebumen. Kedatangan jenazah pada pukul 01.00 WIB dini hari disambut oleh hujan semalaman yang seakan ikut dalam duka.

Pagi harinya sekitar pukul 10.00 WIB upacara pemakaman dimulai dengan pembacaan paritta suci serta doa-doa kepada mendiang menjelang diberangkatkan ke makam. Seusai pembacaan paritta, jenazah dipersiapkan di halaman rumah dengan dikelilingi oleh keluarga dan warga sekitar.

Beberapa pesan singkat sebelum keberangkatan disampaikan oleh pihak keluarga mendiang dan juga dari perwakilan BuddhaZine. “Selama hidupnya mendiang selalu banyak membantu terutama umat Buddha di Desa Purwodadi ini, dan saya mewakili mendiang memohonkan maaf kepada semuanya apabila selama hidupnya mendiang ada kesalahan-kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Beliau juga telah berkarya untuk perkembangan umat Buddha melalui BuddhaZine.

“Oleh karena itu pada saat ini beliau meninggalkan kita semua dan saya harap karya beliau ini terus dijaga dan dikembangkan sebagai tanda penghormatan kepada mendiang. Semoga seluruh tim BuddhaZine bisa melanjutkan perjuangan beliau dengan terus berjuang untuk keberlangsungan dan perkembangan BuddhaZine,” terang Pak Dalimun selaku perwakilan keluarga.

Sambil menahan kesedihannya Andre Sam selaku penyunting BuddhaZine menyampaikan rasa kehilangannya, “Sutar ini sudah hampir satu setengah tahun lebih menderita penyakit berat, dan hari ini, Sutar harus meninggalkan kita semua. Kita merasa sangat kehilangan sosok pemuda yang cerdas, gigih, serta idealis. Selain sebagai sahabat, ia juga sebagai guru bagi tim BuddhaZine, dan hari ini kami mengajak semua yang hadir untuk turut mendoakannya. Semoga Sutar terlahir di alam bahagia,” pesan Andre Sam.

Sementara itu, Jo Priastana, sebagai salah satu pendiri BuddhaZine menyampaikan rasa dukanya melalui facebook, “Rest In Peace. Sutar Soemitro The Founder of BuddhaZine. We wish you the greatest inner self, and happiness on your path. Svaha!”

Ucapan belasungkawa banyak yang disampaikan di pelbagai media sosial karena tidak bisa turut hadir saat pemakaman.

Sebelum pemberangkatan ke makam, pihak keluarga mendiang dipersilakan untuk berjalan mengelilingi peti jenazah sebanyak tiga kali sebagai simbol penghormatan terakhir kepada mendiang.

Sekitar pukul 11.00 WIB jenazah diberangkatkan ke pemakaman dusun yang terletak sekitar 300 meter dari rumah duka dengan diiringi keluarga, sahabat, serta tim BuddhaZine. Selamat jalan Sutar, semoga terlahir di alam bahagia dan semoga Triratna senantiasa melindungimu di mana pun dan kapan pun.



The post Pemakaman Sutar Soemitro, Pendiri BuddhaZine appeared first on .

Dengan Cara Jawa, Umat Buddha Temanggung Rayakan Maghapuja

$
0
0

Aneka tumpeng nasi kuning, nasi putih lengkap dengan lauk-pauknya ini adalah hasil karya dari 18 vihara yang tergabung dalam Lembaga Bina Manggala Sejahtera dari Kecamatan Kaloran, Temanggung, dan Sumowono, Semarang. Sebanyak 18 tumpeng ditata rapi di Pendopo Paud Saddhapala Jaya, Dusun Krecek, Getas, Kaloran, Selasa (26/2) sejak pagi hari.

Jelang siang, ratusan umat Buddha yang didominasi kaum perempuan mulai berdatangan. Mereka disambut oleh puluhan laki-laki berpakaian Jawa; surjan dan blangkon. Lagu-lagu Buddhis kelompok paduan suara Wandani memberi hiburan tersendiri bagi para tamu yang hadir. Tak membutuhkan waktu lama, kursi-kursi yang disediakan panitia terisi penuh oleh umat Buddha.

Lima ratusan umat Buddha, bhikku Sangha, para tokoh agama dan tokoh masyarakat yang hadir ini adalah peserta tumpengan peringatan Maghapuja dan 4 tahun terbentuknya Wanita Theravada Indonesia (Wandani) Lembaga Bina Manggala Sejahtera. Magha adalah nama bulan purnama ketiga dalam kalender India masa Buddha Gotama.

Dalam sejarah Buddhadharma, pada saat purnama di bulan Magha, Buddha Gottama Membabarkan ovada patimokkha di Veluvana Arama, yang dihadiri oleh 1250 bhikkhu arahat (khinasaya) yang memperoleh ehi bhikkhu upasampada langsung oleh Buddha. Dalam petemuan tersebut, Buddha Gotama juga melakukan visudhi uposatha. Karena itu, menurut Bhante Dhammakaro, penting bagi umat Buddha Temanggung melakukan peringatan Magha Puja.

“Sebuah berkah bagi kita semua saat ini bisa berkumpul, merayakan Maghapuja juga peringatan 4 tahun terbentuknya Wandani Lembaga. Tumpeng-tumpeng yang disediakan oleh vihara-vihara ini adalah wujud syukur kita. Berkumpul, makan bersama, membicarakan hal-hal yang baik demi kemajuan Buddhadharma adalah tujuan sesungguhnya dalam acara ini,” kata bhante.

Bagi Wandani, acara ini juga digunakan untuk melakukan sosialisasi program-program yang sudah dan sedang dijalankan saat ini. Pemberdayaan umat melalui pembentukan prema mart, pengolahan gula semut, beasiswa bagi anak-anak sekolah di Temanggung adalah beberapa program andalan yang sedang dijalankan oleh Wandani Jawa Tengah saat ini.

“Wandani meluncurkan prema mart (prema dari bahasa Sanskrit artinya cinta kasih) sedangkan mart itu dari bahasa Inggris yang artinya pasar. Jadi kurang lebih artinya ‘pasar cinta kasih’. Saat ini Wandani Jawa Tengah membuat 2 proyek percontohan (Prema mart) di Semarang dan Temanggung, bekerja sama dengan kementerian agama Buddha,” jelas Kustiani, Ketua Pengurus Daerah Wandani Jawa Tengah.

Karena itu, Kustiani berharap mendapatkan dukungan dan partisipasi dari seluruh anggota Wandani dan umat Buddha untuk memajukan Prema mart. “Prema mart ini kita buat bukan bermaksud untuk menyaingi atau mematikan warung-warung kecil, tapi kami berharap dapat berkolaborasi. Jadi ibu-ibu yang punya olahan makanan atau apapun bisa dijual melalui Prema mart,” katanya.

The post Dengan Cara Jawa, Umat Buddha Temanggung Rayakan Maghapuja appeared first on .

Guru-guru Sekolah Triratna Jakarta Awalnya Ogah-ogahan Retret

$
0
0

Retret merupakan jenis aktivitas manusia yang berupaya untuk sedikit mundur dari kehidupan sehari-hari, sedikit mundur dari rutinitas untuk menemukan kejernihan pikiran, kejernihan hati, maupun menemukan hal-hal kecil yang luput dari perhatian sehari-hari seperti canda, senyum, dan rasa kebersamaan.

Sekolah Triratna Jakarta mengadakan retret satu hari, di Wihara Vaipulyasasana, Mangga Besar, Tamansari, Jakarta Barat pada Sabtu (16/3). Retret diikuti oleh enam puluh guru dan beberapa karyawan TK, SD, SMP, SMU, SMK. Tradisi retret yang digunakan mengacu pada tradisi Plum Village yang diajar oleh Zen Master Thich Nhat Hanh.

Retret dimulai dari pagi hari (08.00 WIB) hingga senja hari (17.00). Ada beberapa kegiatan di dalamnya seperti, meditasi duduk, meditasi jalan, sesi kepemimpinan, relaksasi, sesi manajemen, sesi meditasi minum teh. Meskipun retret dilaksanakan di wihara, beberapa guru Sekolah Triratna yang berlatar belakang keyakinan berbeda merasa nyaman-nyaman saja.


Sist Ong

Sister Ong selaku pembimbing retret menjelaskan, “Dengan acara ini, kita ingin membantu para guru untuk merasakan hening, dengan meditasi. Segala sesuatu jika dilandasi oleh keheningan, dilakukan dengan penuh arti, penuh kesadaran, maka sampah-sampah emosional sehari-hari dapat kita olah untuk dijadikan pupuk pertumbuhan diri kita.”

Sembari menyiapkan beberapa bunga untuk acara meditasi minum teh, Sister Ong menambahkan, “Pada awalnya guru-guru agak ogah-ogahan ikut retret, itu karena konsep retret yang baru. Belakangan para guru malah menilai, bahwa kegiatan ini penting. Karena itu tadi, manfaatnya. Banyak kok yang terbuka secara pemikiran,” ujarnya.


Miko Raharja, Direktur Sekolah Triratna

Sekolah Triratna telah ada sejak 1982 hingga sekarang. Sebuah perjalanan yang panjang bagi sekolah Buddhis di tanah air. Miko Raharja, memberi penjelasan berkaitan dengan retret, “Aset sekolah yang berharga adalah guru. Kegiatan ini sangat berguna untuk para guru dan karyawan. Seperti apa? Pengendalian emosi. Apabila kemampuan mengendalikan emosi baik, kita mampu berpikir jernih, dengan kemampuan berpikir jernih, saat menghadapi para siswa, tentunya akan sangat membantu.

Baca juga: Ke Tempat Retret Meditasi? Itu kan Horor!

“Dalam agama Buddha, ajaran yang paling mendasar adalah mengenai kesadaran. Sehingga dengan kualitas kesadaran yang baik, keputusan yang dihasilkan bisa mencakup beberapa aspek yang lebih utuh.”

Para guru dan beberapa karyawan mengenakan pakaian yang longgar dan nyaman, tidak ada yang sibuk melihat sosial media, berita online di handphone. Kegiatan retret kadang dibagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk berbagi pengalaman, dalam sesi selanjutnya digabung lagi untuk kelas bermain.

Menurut Surono, guru desain grafis SMP Triratna, “Sesi permainan berkesadaran adalah yang paling seru. Kemudian pengemasan retret ini sangat ringan. Sehingga dengan adanya retret ini makin membuat erat ikatan para guru dalam kebersamaan.”

“Pengemasannya tidak membosankan, di sekolah kegiatan belajar pun dikemas dengan cara-cara yang kreatif, jika hanya teori saja, anak-anak bisa lebih antusias. Kegiatan bersama menjadi penting, karena itu membantu para guru,” terangnya.


Rudi Kurniawan, guru agama Buddha SMP dan SMK Triratna

Sementara itu, Rudi Kurniawan seorang guru yang telah mengabdi di Sekolah Triratna selama 12 tahun menilai, “Kegiatan seperti ini sangat berguna dalam keseharian mengajar, seperti saat kita menangani beberapa siswa yang nakal. Contohnya, kadang kan ada anak bandel, ketika kita nasihatin sekali dua kali masih aja bandel. Kita kalau tidak memiliki kesabaran, kan kita bisa emosional. Apalagi jika emosi kita tak terkendali, bisa viral.

“Meditasi membantu mengendalikan batin kita. Sangat berguna dan bermanfaat,” pungkasnya.

The post Guru-guru Sekolah Triratna Jakarta Awalnya Ogah-ogahan Retret appeared first on .

Dalai Lama Menyampaikan Rasa Simpati pada Korban Penembakan di Masjid Christchurch, New Zeland

$
0
0

Di Amerika, Persekutuan Damai Buddhis menyatakan sebuah surat terbuka yang menyampaikan solidaritas terhadap umat Muslim di seluruh dunia.

Dalam sebuah surat yang ditujukan pada Perdana Menteri New Zealand, Jacinda Ardern, Dalai Lama menyampaikan doa dan simpatinya terhadap penembakan di Masjid Christchurch. Dalam penembakan tersebut, seorang pria bersenjata menyerang dua masjid dan menyebabkan lima puluh orang meninggal pada Jumat (15/3).

Baca juga: Dalai Lama: Terorisme Tidak Dapat Diselesaikan Hanya dengan Doa

Dalam suratnya, Dalai Lama menulis,

“Saya mempersembahkan doa setulus hati bagi semua korban, dan menyampaikan rasa simpati kami. Kemana pun saya pergi, saya menganggap diri saya hanya sebagai seorang manusia di antara tujuh milyar manusia yang hidup saat ini.

“Sangat tak terpikirkan, bahwa hari ini kita menyaksikan orang-orang saling membunuh satu sama lain atas nama agama, atau melakukan kekerasan bersenjata terhadap keyakinan lain. Inilah sebabnya kita perlu berkomitmen untuk menciptakan kepedulian dan kesadaran yang lebih besar terhadap kemanusiaan.”

Surat tersebut ditutup dengan memuji kepemimpinan Perdana Menteri Ardern dan pemerintah New Zealand untuk mereformasi hukum kepemilikan senjata. Minggu lalu pemerintah New Zealand melarang kepemilikan senapan otomatis dan semi otomatis berjenis militer.

“Keputusan pemerintah Anda untuk mereformasi hukum tentang kepemilikan senjata akan memberikan kontribusi bagi keamanan dan kedamaian,” demikian lanjut isi surat tersebut, “Tetapi sama pentingnya, adalah meredam ketakutan dan kebencian dengan membina kehangatan hati sebagaimana yang telah Anda tunjukkan.”(Lionsroar.com)

The post Dalai Lama Menyampaikan Rasa Simpati pada Korban Penembakan di Masjid Christchurch, New Zeland appeared first on .

Candi Palgading, Tempat Pemujaan Avalokiteshvara di Jogja

$
0
0

Candi Palgading adalah sebuah situs purbakala yang berada di Dusun Palgading, Sinduharjo, Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Situs ini adalah salah satu peninggalan Buddhis dari era Kerajaan Mataram Kuno di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Candi tersebut berada di permukiman warga yang ditemukan pada tahun 2006. Luas situs tersebut sekitar 1 hektar.
Situs ini diperkirakan berasal dari abad ke 9-10 Masehi. Arca Avalokiteshvara dan Akshobhya yang ditemukan di kawasan ini membuktikan bahwa ini adalah candi Buddhis. Peneliti menduga bahwa kawasan ini dahulu adalah pusat pemujaan Bodhisattwa Avalokiteshvara.

Pada bagian sisi utara candi, terdapat stupa berukuran besar yang semakin membuktikan bahwa ini adalah kawasan Buddhis. Sayang, stupa yang sudah direkonstruksi tersebut tidak utuh. Bagian chatra atau ujung atasnya yang menyerupai payung sudah tidak ada.

Prasasti yang bisa menjadi petunjuk informasi candi, sampai sekarang belum ditemukan.

Baca juga: Siapakah Avalokiteshvara?

Proses ekskavasi Candi Palgading telah dilakukan sejak Juni 2011. Kendala utama yang dihadapi pada proses ekskavasi adalah keterbatasan dana untuk membeli atau menyewa lahan. Sebab, beberapa areal candi merupakan bagian dari pekarangan warga, atau ada di bawah rumah warga.

Tahun 2016, pemugaran situs Candi Palgading selesai dilakukan. Tersingkaplah bentuk kawasan candi yang terdiri dari tiga buah candi. Candi di bagian utara yang memiliki stupa berukuran 8,85 meter x 8,85 meter. Candi di bagian tengah yang tidak utuh berukuran 8,6 meter x 6,35 meter, dan di bagian selatan berukuran 13,23 meter x 17 meter.

Untuk menuju candi ini cukup mudah. Dari depan Kantor Kecamatan Ngaglik, selepas lampu lalu lintas di Jl. Kaliurang km 9 ada sebuah pertigaan kecil di sisi timur jalan. Ikuti jalan di pertigaan itu untuk menuju Dusun Palgading.

Kalau ingin lebih gampang lagi, tinggal ikuti saja jalur peta Google Map. Namun jalur untuk menuju titik candi tidak cukup dilalui kendaraan roda empat. Pengunjung dengan mobil harus memarkirkan kendaraan beberapa ratus meter dari candi dan berjalan kaki ke sana.

The post Candi Palgading, Tempat Pemujaan Avalokiteshvara di Jogja appeared first on BuddhaZine.

Keindahan Toleransi dan Kesejukan dari Dusun Buddhis

$
0
0

“Pertama saya datang ke sini itu seperti shock culture gitu, seperti menemukan Indonesia yang diceritakan di buku-buku. Gotong royongnya dapet, kerukunannya dapet, orang-orangnya ramah, menerima siapa pun tamu yang ada,” kata Elvan Dhaneswara, salah satu peserta peserta Live in Nyadran Perdamaian; Menggali Nilai-Nilai Perdamaian dari Budaya Lokal.

Acara yang dimotori oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN), Peace Leaders Indonesia dan BuddhaZine ini dilaksanakan di Dusun Krecek, Temanggung. Acara berlangsung selama 4 hari Rabu – Sabtu (27 – 30/3) dan diikuti oleh sekitar 15 pemuda dari pelbagai daerah di Indonesia seperti; Temanggung, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, Jember, Kediri, Bodowoso, dan Kalimantan. Mereka tinggal di rumah-rumah warga dan mengikuti segala aktivitas keluarga yang ditinggali layaknya masyarakat desa.

Hidup dan tinggal di rumah masyarakat desa dengan latar belakang berbeda agama dan budaya memberi kesan tersendiri bagi Elvan. “Yang lebih penting apa yang selama ini saya pikir dan saya rasa ini hanya sebagai budaya Islam, ternyata itu bukan hanya budaya Islam, tetapi itu juga budaya Nusantara. Contohnya adalah sarung sama songkok, saya kira itu adalah budaya muslim ternyata itu adalah budaya Nusantara. Sebagai contoh umat Buddha di sini juga memakai songkok atau sarung.

“Nyadran juga seperti itu, ternyata Nyadran itu bukan hanya tentang budaya agama tetapi betul-betul wujud dari identitas sebuah bangsa. Dari situ juga terlihat bagaimana budaya itu menghargai sesama, baik itu manusia maupun mahkluk lain. Dapat saya simpulkan mengapa akhir-akhir ini Indonesia mengalami degradasi moral atau intoleransi, saya rasa itu karena degradasi budaya. Karena menurut saya, budaya itu merupakan simpul perdamaian di negeri ini,” pungkasnya.

Tak jauh berbeda dengan Elvan, Ana Intaning peserta lain dari Kabupaten Kediri Jawa Timur mengikuti acara ini karena penasaran dengan Upacara Nyadran. “Saya datang ke sini karena penasaran dengan Nyadran. Saya dengar dan baca-baca di internet Nyadran itu semacam kendurian bersama dan uniknya diikuti oleh semua agama, ada Buddha dan Muslim makan bareng, menjadi satu, dengan doa dari masing-masing agama,” katanya kepada BuddhaZine.

Setelah mengikuti acara ini, perempuan yang akrab disapa Intan ini merasa ada kebhinnekaan di Dusun Krecek. “Saya merasa kebhinnekaan di Dusun Krecek ini hidup, karena di tengah-tengah perbedaan ternyata persatuan itu masih bisa diwujudkan. Jadi menurut saya, PR kita kedepan bagaimana melestarikan yang seperti ini. Kita tidak mungkin kalau hanya menggandrungi style-style modern sementara kita melupakan kebudayaan kita sendiri itu menurut saya akan membuat Indonesia semakin melemah, jangan sampai itu terjadi,” katanya.

Nyadran perdamaian; upaya menggali nilai perdamaian dari budaya setempat

Nyadran merupakan salah satu budaya Nusantara yang masih lestari dan dilaksanakan turun-temurun oleh masyarakat Jawa. Di perdesaan Temanggung, upacara Nyadran dilaksanakan masyarakat dengan totalitas setiap tahunnya, ini juga yang terlihat dalam upacara Nyadran makam masyarakat Dusun Krecek dan Dusun Gletuk Desa Getas.

Selain dimaknai sebagai bentuk rasa bakti terhadap leluhur, bagi masyarakar Krecek dan Gletuk upacara Nyadran juga dijadikan sebagai sarana silaturahmi, srawung, dan kumpul keluarga. Karena tak hanya saat hari raya Lebaran atau Waisak, saat Nyadran sanak saudara yang sedang merantau biasanya juga pulang kampung untuk berziarah ke makam dan berkumpul dengan keluarga.

“Nyadran adalah sarana untuk mendoakan para leluhur yang sudah mendahuluinya. Selain itu banyak nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Nyadran tersebut salah satunya adalah menjaga kerukunan di antara masyarakat setempat. Nyadran dilaksanakan secara turun temurun, namun apakah narasi nyadran juga masih diserap oleh anak-anak muda?” kata Maskur Hasan, Koordinator Jogja dan Jawa Tengah AMAN Indonesia, penggagas acara ini.

“Secara umum, tujuan kegiatan Live In dan Nyadran Perdamaian ini adalah untuk mendorong anak-anak muda mengambil peran sebagai agen perdamaian dalam upaya promosi perdamaian; Memberikan pemahaman tentang kepemimpinan pemuda dalam pembangunan perdamaian dan menggali nilai-nilai perdamaian, kerukunan, dan saling menghargai dalam tradisi Nyadran,” pungkas Maskur.

Baca juga: Para Siswa Sekolah Katolik Kolese De Britto Jogja Belajar Toleransi di Desa Buddhis

Selain itu, peserta juga diperkenalkan dengan aneka budaya yang masih dijalankan masyarakat Dusun Krecek. Seperti saat pembukaan, panitia, peserta, tokoh agama, perangkat desa dan semua warga melakukan gendurian bersama di rumah kepala dusun. Seakan tak ada jarak, mereka melebur menjadi satu dalam obrolan ringan dan makan bersama dengan alas daun pisang.

Kesan mendalam hidup dengan keluarga baru

Hidup dan tinggal dengan keluarga baru, mungkin bagi sebagain orang akan merasa tidak nyaman. Tetapi tidak bagi para peserta Live in Nyadran Perdamaian. Meskipun pada awalnya mereka merasa canggung, tetapi setelah menjalani selama empat hari mereka mendapat kesan tersendiri.

Seperti yang dialami oleh Ferry Fitrianto, salah satu peserta dari Yogyakarta. Pada awalnya, Ferry merasa canggung, tetapi setelah merasakan keramahan tuan rumah yang ditinggali dia merasa nyaman. “Ini adalah pengalaman pertama saya, melihat perbedaan yang sangat luar biasa. Pertama saya merasa asing ya, melihat patung Buddha di taman-taman, depan rumah. Tapi ternyata lama kelamaan, saya terbiasa dan merasa nyaman dengan keramahan yang punya rumah dan keluarga,” katanya.

Mohammad Afifi menuturkan pengalamannya, “Dari sekian pengalaman saya ada sebagian kelompok orang yang ingin membenturkan budaya dan agama. Agama dan budaya itu harus bersentuhan dan saling melengkapi.  Mengapa begitu? Karena datangnya agama bagi saya itu tidak lepas dari budaya. Sejatinya budaya itu di atas agama itu sendiri. Karena agama itu nilai sementara budaya itu adalah cara berpikir dan hasil dari gerak bepikir maka dua hal ini harus berjalan beriringan.

“Pengalaman saya di desa ini, sampai dua tiga hari tinggal di rumah orang yang berbeda agama saya merasakan ini sebenarnya pernah saya alami ketika saya kecil dulu. Kebersatuan, penguatan nilai budaya dan Indonesia akan maju bila kita bersatu.”

The post Keindahan Toleransi dan Kesejukan dari Dusun Buddhis appeared first on BuddhaZine.


Ada di Zaman Nyinyir?

$
0
0

Apa pun yang kita lakukan, baik atau tidak, tetap dinyinyir orang lain.

Kebiasaan nyinyir, mengkritik, dan nyindir sudah menjadi hal yang lumrah dilakukan orang. Kadang, kita semua menganggap tiga kata tersebut adalah sama. Nyatanya, ketiga kata tersebut memiliki maksud yang berbeda.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, nyinyir artinya mengulang-ulang perintah atau permintaan, dan juga nyenyeh, cerewet. Jadi, orang yang suka nyinyir adalah orang yang banyak bicara tanpa tujuan dan sering mengulang kata sebagai orang yang cerewet.

Kritik dalam KBBI adalah kecaman atau tanggapan yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya maupun pendapat. Biasanya, kritik diuraikan berdasar data dan fakta yang diakhiri dengan saran atau solusi.

Sedangkan nyindir dalam KBBI adalah celaan, ejekan, mencela seseorang. Nyindir hampir mirip dengan mengkritik, tetapi perkataan yang digunakan untuk menyindir lebih pedas dan tanpa solusi serta bersifat subjektif.

Sabtu (30/3), Pemuda Buddhis Theravada Indonesia cabang Kabupaten Semarang mengadakan acara diskusi Ngopi: Ngobrol Penuh Inspirasi dengan tema “Nyiyir atau mikir, mau ngapain nih? Ngopi bareng yuk!” bersama Denny Alfian Arta, BPO DPP Patria. Wihara Buddha Bhumika, Thekelan, Getasan, Semarang menjadi tempat acara tersebut berlangsung. Pesertanya terdiri dari wilayah Semarang dan Temanggung.

Alasan seseorang senang nyinyir

Media yang sering digunakan orang saat ini untuk nyinyir adalah media sosial, karena melaluinya maka komentar, disukai, dan jempol akan mudah diperoleh. Dan tidak dipungkiri juga dapat memicu perdebatan tidak sehat.

Menurut BPO DPP Patria, nyinyir dalam sisi psikologis merupakan bentuk ketidaksukaan terhadap orang lain, persaingan, ungkapan tidak setuju, bertujuan mempermalukan, dan wujud penghinaan.

Dari sisi psikologis tersebut, dua hal yang mendasari seseorang untuk nyinyir adalah karena tidak berhadapan langsung dengan obyek nyinyir serta iri yang tidak terkontrol. Karena iri melihat kelebihan orang lain, maka seseorang akan mudah nyinyir. Terlihat baik saat di depan, dan membicarakan keburukan saat di belakang.

Dampak dari senang nyinyir

Bisa jadi tidak sedikit orang yang menganggap nyinyir tidak berdampak pada kehidupan sosial orang lain. Tetapi, ada kemungkinan seseorang yang hobby nyinyir juga mengerti dampak bagi subjek nyinyirannya. Nyatanya, ada dampak yang cukup mengganggu kehidupan sosial orang.

Pertama, suka nyinyir dapat merusak nama baik orang. Mulanya seseorang dikenal pandai dan santun tiba-tiba memperoleh nyinyiran dari orang yang tidak menyukainya, jadilah rusak nama baiknya. Karena dianggap tidak santun akibat dari ulah orang yang tidak suka padanya. Biasanya, dalam kasus seperti ini dilakukan oleh orang terdekat dari subyek nyinyiran.

Kedua, nyinyir dapat merusak hubungan orang lain. Akibat membicarakan keburukan orang lain yang belum jelas faktanya, membuat kerabat dari subyek nyinyiran menghindar darinya.

Baca juga: Belum Ada Judul

Ketiga, nyinyir dapat menyinggung perasaan orang lain. Secara umum, tipe manusia berbeda-beda, sehingga, ada manusia yang berperasaan lembut dan keras. Bagi orang-orang yang berperasaan lembut, nyinyiran adalah hal yang menyakitkan. Namun sebaliknya, bagi orang yang berperasaan keras, nyinyiran adalah hal yang seharusnya tidak ditanggapi.

Keempat, nyinyir menyebabkan perasaan dendam. Biasanya, seseorang yang tidak suka direndahkan akan memunculkan dendam kepada orang yang merendahkannya. Meskipun orang yang nyinyir itu adalah keluarga sendiri.

Kelima, nyinyir dapat membuat pelakunya dijauhi orang terdekat. Karena kebiasaan seseorang nyinyir, orang lain tentu bosan mendengarkan. Karena setiap berjumpa selalu nyinyir tidak ada hal lain yang pantas dibicarakan.

Cara menghadapi nyinyiran

Pertama, bungkam dengan karya. Orang yang iri dengan kita, sebaiknya dibalas dengan karya terbaik kita, bukan dibalas dengan nyinyiran juga.

Kedua, jadikan itu sebagai bahan tertawaan. Jangan menganggap nyinyiran seseorang adalah sesuatu yang serius, anggap saja itu sebagai bahan tertawaan. Karena tidak mungkin orang lain mau mengurusi pekerjaan kita. So, don’t worry.

Ketiga, buatlah ucapan iri dari seseorang sebagai pemicu semangat. Orang yang iri adalah orang yang tidak dapat melebihi kita. Jadi, berkarya lebih baik adalah solusinya.

Keempat, abaikan saja, tidak pantas untuk dibalas. Orang yang suka nyinyir apabila dibahas pasti nyinyiran akan semakin menjadi-jadi. Ada kalanya kita diam saja melihat apa yang dia katakan.

Kelima, bersikap baik. Orang yang suka nyinyir, apabila dibalas dengan perbuatan dan sikap baik, pasti nyinyirannya akan luntur pula.

Kalau tidak hati-hati dengan mulut kita, nyinyiran akan berujung pada sel tahanan maupun denda. Karena sudah ada UU yang mengatur, yakni UU ITE No. 11 tahun 2008 Pasal 20. Untuk pidana maksimal enam tahun dan atau denda maksimal satu milyar.

Apa kata mereka yang ikut acara ngopi?

“Acaranya enjoy, tapi bermakna dan bermanfaat. Manfaat buat aku sendiri bisa mengerti tentang cara menghadapi nyinyiran dari orang lain. Dan kita diajarkan untuk berfikir sebelum berbicara.” Tutur Aat Lisnawati, salah satu peserta pada BuddhaZine. Bukan hanya Aat yang memperoleh manfaat demikian, peserta lain juga mengungkapkan pernyataan yang sama.

The post Ada di Zaman Nyinyir? appeared first on BuddhaZine.

Rakernas XI HIKMAHBUDHI Gagal Kuorum

$
0
0

Rakernas (Rapat Kerja Nasional) XI HIKMAHBUDHI kali ini terselenggara di Pangkal Pinang dengan tuan rumah HIKMAHBUDHI cabang Bangka. Berlangsung tanggal 29-31 Maret 2019. Bertempat di Gedung Setia Bakti, Studium Generale dan pembukaan dihadiri Staf Khusus Menteri ESDM, Direktur Direktorat Urusan dan Pendidikan Agama Buddha Dirjen Bimas Buddha Kemenag RI Supriyadi, Sekda Provinsi Bangka Belitung mewakili Gubernur, dan Bhikkhu Dhammasubho.

Sebelumnya juga tertera Yudi Latief, mantan kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) dan Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna selaku perwakilan DPD-RI pada undangan acara, namun tak dapat hadir dalam pembukaan acara. Stadium Generale cukup dipenuhi oleh para kader HIKMAHBUDHI, tamu undangan, dan umat Buddha provinsi Bangka Belitung. Bahkan muncul juga di headline koran lokal dengan judul “1000 Millenial Hadiri Pembukaan Rakernas XI HIKMAHBUDHI di Pulau Bangka”.

Kesuksesan pembukaan ternyata tak sejalan dengan substansi acara yaitu Rapat Kerja Nasional untuk merumuskan program kerja dua tahun ke depan sesuai kepengurusan 2018-2020. Forum Rakernas tak dihadiri 2/3 cabang yang ada. Sehingga forum menjadi tidak kuorum dan tak bisa menghasilkan apa-apa. Sebab aturannya forum akan sah setidaknya dihadiri 2/3 cabang yang ada di seluruh Indonesia.

Jika rakernas tidak menghasilkan apa-apa maka akan menghambat roda organisasi atau bahkan mengalami stagnansi. Sebab program kerja sampai akhir kepengurusan tidak akan berjalan karena tidak dirumuskan apa-apa. Sampai tulisan ini dimuat belum ada satu pun pernyataan resmi dari Presidium Pusat HIKMAHBUDHI terkait kegagalan forum rakernas ini. Kegagalan forum yang melibatkan keorganisasian secara nasional pasti akan menjadi momok untuk perkembangan organisasi ke depan.

Ditambah lagi HIKMAHBUDHI sebagai satu-satunya organisasi kemahasiswaan Buddhis yang terwadahkan secara nasional menjadi ujung tombak dalam meregenerasi kader-kader Buddhis. Juga HIKMAHBUDHI menjadi representasi intelektual Buddhis sebagai gerakan mahasiswa yang aktif ikut serta membahas atau menyikapi isu-isu kebangsaan. Jika HIKMAHBUDHI “mandek” dalam gerakan maupun aktivitasnya maka harapan untuk mencetak kader-kader Buddhis yang mempunyai intelektualitas dan integritas akan jadi isapan jempol belaka, sedangkan jumlah umat setiap tahun kian makin merosot.

The post Rakernas XI HIKMAHBUDHI Gagal Kuorum appeared first on BuddhaZine.

Salim Lee Membabar Ajaran Borobudur pada Masyarakat Desa

$
0
0

“Selama hidup, saya belum pernah mendengar ajaran tentang Borobudur yang selengkap ini. Apa yang disampaikan Om Salim kemarin benar-benar baru dan menarik, hanya secuil ukiran saja ternyata banyak cerita dan kaya makna,” kata Sulis (57) setelah mengikuti Belajar Bersama (Belabar) Borobudur Kawedar kepada BuddhaZine, Selasa (2/4).

Menurut Sulis, pengetahuan tentang Borobudur ini sangat bermanfaat bagi dirinya, sebagai umat Buddha. Bahkan, Ketua RW 9, Desa Getas ini berharap suatu saat akan digelar lagi acara serupa. “Nek ono meneh kok matuk, seneng ngrungokno (kalau ada lagi bagus, senang sekali mendengarkannya),” paparnya.

Tak berbeda dengan Sulis, Ardian Permana (28), asal Wonosobo, juga merasa terkesan dengan materi yang disampaikan oleh Salim Lee. “Saat mendengarkan materi yang disampaikan Pak Salim, bagi saya ini kesempatan langka,” terang Ardian.

Meskipun begitu, Ardian merasa menyesal karena tidak bisa mengikuti acara sampai selesai. “Menyesal tidak bisa ikut full gara-gara ada undangan lain yang ternyata itu tidak terlalu penting. Pokoknya kalau ada acara belajar Borobudur (bersama Om Salim) lagi, saya harus ikut. Kalau bukunya sudah terbit, saya juga sangat berminat,” imbuhnya.

Belabar; Borobudur Kawedar digelar di Pendopo Paud Saddhapala Jaya, Dusun Krecek, Temanggung. Acara yang diikuti sekitar 70’an orang dari pelbagai daerah seperti; Yogyakarta, Jakarta, Wonosobo, Semarang, Jepara berlangsung selama tiga hari, Jumat–Minggu (29–31/3).

Memahami ajaran Borobudur

Candi Borobudur seakan tidak ada habisnya. Monumen kebanggaan Nusantara ini selalu mengundang kekaguman akan kejeniusan nenek moyang bangsa Nusantara. Ratusan pakar arkeologi dari seluruh dunia telah melahirkan ribuan buku dan makalah tentang Candi Borobudur, tetapi seolah masih mentok, belum bisa menerangkan secara utuh nilai ajaran dari bagian bawah sampai atas.

“Para pakar ini melihat Borobudur dari sudut macam-macam, tetapi sampai sekarang belum pernah ada makalah yang menerangkan secara keseluruhan, dari bawah sampai paling atas. Mengapa Borobudur dibuat, sebenarnya apa  fungsinya Borobudur itu, ceritanya bagaimana sih?” terang Om Salim.

Upasaka Salim Lee, telah belajar ajaran Buddha dengan guru-guru besar seperti; Yang Mulia Dalai Lama ke-14, Lama Zopa Rinpoche, Kirti Tsenshab Rinpoche. Pada tahun 1999, Om Salim diminta oleh Lama Trubten Zopa Rinpoche untuk mengajar dan memberikan bimbingan Dharma di Indonesia. Sejak itu, beliau menjadi pengajar tetap di Potowa Center, Jakarta hingga kini.

Om Salim berdomisili di Perth, Australia Barat. Ia memiliki pelbagai bidang usaha, di antaraya sebagai arsitek, konsultan, kontraktor, pengembangan dan pengelolaan panti jompo. Karena kecintaanya terhadap ajaran Borobudur, dalam kesibukannya mengelola berbagai usaha, Om Salim rela meluangkan waktu untuk membagikan pengetahuan Borobudur ke berbagai komunitas di Indonesia meskipun harus bolak-balik Australia – Indonesia. Termasuk kepada umat Buddha perdesaan Temanggung yang digelar di Dusun Krecek.

Om Salim tertarik mempelajari Candi Borobudur sejak menjadi mahasiswa S1 Universitas Diponegoro (Undip), Semarang 50 tahun lalu. Selain intensif mempelajari dan meneliti teks-teks Candi Borobudur dan Muarajambi, ia juga serius mempelajari filosofi agama Buddha dan perkembangan sejarah Buddhadharma di Nusantara dan Dunia.

“Saya rasa Borobudur ini kok luar biasa sekali ya, semakin kita pelajari, semakin dimengerti akan semakin jatuh cinta. Borobudur ini dibuat ada maksudnya, bukan untuk pamer atau gagah-gagahan raja pembuatnya,” jelasnya.

“Jadi, di Dusun Krecek ini pertama kali kita akan mempelajari secara lengkap ajaran Borobudur. Mulai dari panel-panel relief paling bawah sampai atas. Kita akan melihat Borobudur ini pentingnya apa sih keberadaannya, apakah ada bukti-buktinya? Apakah sampai sekarang masih ada efek-efeknya dan kegunaan buat kita-kita ini. Artinya, apakah warisan nenek moyang kita ini masih tetap kita nikmati, kalau ada seperti apa?” jelasnya.

Karena itu, Om Salim mengajak kepada umat Buddha terutama anak muda untuk lebih serius mempelajari Borobudur. Mempelajari dan mamahami pengetahuan Borobudur menurutnya merupakan salah satu upaya untuk melestarikan Candi Borobudur. “Candi Borobudur adalah bangunan fisik, sekeras apa pun kita menjaga dan melestarikan, batu-batu candi itu suatu saat pasti akan aus dan lama-lama akan hilang. Jadi saya sendiri punya pamrih di sini, pamrihnya supaya ajaran Borobudur ini bisa kita mengerti, kita lestarikan kemudian diteruskan kepada anak cucuk kita,” paparnya.

The post Salim Lee Membabar Ajaran Borobudur pada Masyarakat Desa appeared first on BuddhaZine.

5 Kisah Inspiratif dari Candi Sojiwan (Bagian Pertama)

$
0
0

Banyak artefak peninggalan sejarah di Indonesia yang mampu menjadi inspirasi bagi umat manusia. Salah satu contohnya adalah bangunan Candi Sojiwan di wilayah Prambanan, Klaten, Jawa Tengah.

Candi Sojiwan bercorak Buddhis. Hal ini dibuktikan dengan bentuk candi yang memiliki beberapa stupa. Candi ini dibangun kira-kira pada pertengahan abad ke-9 Masehi. Menurut beberapa prasasti yang sekarang disimpan di Museum Nasional, Sojiwan kurang lebih dibangun antara tahun 842 dan 850 Masehi. Candi ini dibangun pada saat yang sama dengan Candi Plaosan dibangun.

Candi Sojiwan memiliki daya tarik tersendiri karena relief-relief di candi ini kebanyakan menggambarkan ajaran moral dalam bentuk cerita binatang (fabel) atau yang berhubungan dengan cerita-cerita Jataka atau Pancatantra yang berasal dari India. Cerita-cerita tersebut dapat menjadi renungan sehari-hari agar kehidupan manusia menjadi bijaksana.

Dari 20 relief ini, tinggal 19 relief yang sekarang masih ada. Sebanyak 15 relief di antaranya menceritakan ajaran moral, yang kesemuanya memiliki makna kebijaksanaan dan dapat dijadikan teladan bagi kehidupan kita. Dari belasan cerita itu, inilah cerita pilihan yang sangat inspiratif:

1. Relief Seorang Prajurit dan Pedagang

Relief ini merupakan cerita Dhawalamukha yang terdapat pada Kathasaritsagara, kitab dongeng abad ke-11 yang dikarang oleh Somadeva. Isinya tentang seorang punggawa kerajaan yang memiliki dua orang sahabat yaitu seorang prajurit dan seorang pedagang atau saudagar. Si prajurit siap melindungi bila punggawa mengalami gangguan. Demikian juga saudagar yang siap menolong dengan hartanya sewaktu-waktu bila punggawa itu memerlukan bantuannya.

Punggawa itu ingin menguji mereka. Ia berpura-pura sedang mengalami kesulitan yang tak terampuni oleh raja dan hal itu disampaikan kepada dua sahabatnya. Mendengar hal tersebut, sang saudagar berkata tak dapat berbuat apa-apa, tetapi si prajurit menyatakan siap dengan pedang dan tamengnya untuk membela si punggawa. Hal ini menunjukkan betapa sang prajurit memiliki rasa kesetiakawanan dan persaudaraan yang besar terhadap punggawa.

2. Relief Buaya dan Kera

Relief ini menggambarkan cerita Jataka mengenai seekor kera yang merupakan Bodhisattwa yang duduk di tepi sungai Gangga. Seekor buaya betina melihatnya dan berkeinginan memakan hati si kera, maka ia menceritakan maksud tersebut kepada buaya jantan dan menyuruhnya untuk menangkap si kera.

Buaya jantan menemui si kera dan menceritakan bahwa di seberang sungai terdapat pohon buah-buahan yang sedang berbuah dan memiliki rasa yang lezat. Buaya bersedia menyeberangkan si kera ke tempat tersebut bila ia ingin mengambil buah-buahan tersebut.

Si kera menyetujuinya dan naiklah si kera di atas punggung buaya. Sesampainya di tengah sungai buaya jantan berterus-terang mengatakan kepada si kera bahwa ia akan menangkapnya dan akan mengambil hatinya untuk makanan buaya betina. Maka si kera mengatakan kepada si buaya bahwa ia rela hatinya dimakan. Tapi sayangnya hatinya tertinggal di atas pohon di seberang sungai.

Maka diajaklah si buaya untuk mengambil hatinya tersebut dan buaya menyetujuinya dan mengantar si kera mengambil hatinya yang tertinggal di pohon seberang sungai. Sesampainya di pinggir sungai si kera langsung meloncat ke daratan dan melarikan diri dengan selamat. Buaya tidak dapat memakan hati si kera karena kecerdikan si kera untuk meloloskan diri dari maut.

3. Relief Perkelahian Banteng dan Singa

Relief ini menggambarkan sebuah cerita yang terdapat pada Pancatantra dengan judul usaha memisahkan persaudaraan. Banteng bernama Syatrabah semula bersahabat dengan singa tetapi karena fitnah seekor serigala bernama Dimnah.

Keduanya saling mencurigai dan terjadilah perkelahian antara keduanya. Akhirnya sang banteng dan singa, kedua-duanya tewas akibat hasutan dan fitnah dari serigala.

4. Relief Seorang Wanita dan Seekor Serigala

Relief ini menggambarkan kisah seorang wanita muda yang cantik. Dia merupakan istri dari seorang petani tua kaya. Ia merasa tidak bahagia dalam hidupnya. Lalu ia berjalan-jalan dan bertemu dengan seorang penyamun yang dengan licik memuji-muji kecantikannya.

Berbanggalah wanita itu dengan pujian dari sang penyamun dan menyetujui untuk membawa seluruh harta suaminya dan mengikuti penyamun itu. Ketika tiba di sebuah sungai dan akan menyeberang, si penyamun menyarankan agar harta dan pakaian wanita tersebut diseberangkan terlebih supaya tidak basah. Sang wanita tersebut setuju serta menyerahkan harta dan pakaiannya untuk diseberangkan oleh sang penyamun.

Setelah ditunggu-tunggu sang penyamun tidak datang kembali malah pergi dengan harta serta baju milik sang wanita tersebut. Ia merasa tertipu dan duduk termenung. Lantas muncul seekor serigala betina membawa daging di moncongnya. Karena melihat ikan yang amat banyak di sungai maka ia melepaskan daging dari mulutnya dan berharap mendaptkan banyak ikan.

Tetapi kesialan menimpa sang serigala betina tersebut. Ikan yang diharapkan tidak dapat tertangkap dan daging yang dilepaskannya pun hilang diambil oleh burung gagak. Baik sang wanita dan serigala betina mendapatkan pelajaran bahwa hidup harus disyukuri dengan apa adanya dan tidak mudah terlena oleh pujian.

5. Relief Pemburu dan Serigala

Relief ini menggambarkan sebuah kisah bagaimana ambisi yang berlebihan akan menyengsarakan. Di sebuah negeri bernama Kalyanakataka tinggallah seorang pemburu yang bernama Bhairawa. Suatu ketika ia pergi berburu di pegunungan Windhya dan mendapatkan seekor rusa.

Dipikullah hasil buruannya pulang. Sesampainya di tengah jalan bertemulah ia dengan babi hutan yang amat menakutkan. Segera ia menurunkan pikulannya dan mengambil anak panah beserta busur dan membidik babi hutan sampai terkena. Tetapi babi hutan itu belum mati. Kemudian terjadi perkelahian yang sengit antara pemburu dan babi hutan hingga kedua-duanya tewas dengan pemburu bersandar di sebuah pohon.

Selang beberapa saat datang serigala yang kelaparan ke tempat tersebut dan mendapatkan makanan yang berlimpah yaitu daging rusa, babi hutan, dan manusia. Tetapi ia tidak ingin tergesa-gesa dengan makanan tersebut. Ia memilih usus yang dipakai sebagai tali busur untuk dimakan.

Sial menimpa serigala tersebut. Ketika memakan tali busur tersebut maka meluncurlah panah yang telah dipasang oleh pemburu tepat mengenai rahang sang serigala dan tewas pula serigala tersebut.

The post 5 Kisah Inspiratif dari Candi Sojiwan (Bagian Pertama) appeared first on BuddhaZine.

5 Kisah Inspiratif dari Candi Sojiwan (Bagian Kedua)

$
0
0

Candi Sojiwan bercorak Buddhis. Hal ini dibuktikan dengan bentuk candi yang memiliki beberapa stupa. Candi ini dibangun kira-kira pada pertengahan abad ke-9. Menurut beberapa prasasti yang sekarang disimpan di Museum Nasional, Sojiwan kurang lebih dibangun antara tahun 842 dan 850 Masehi.

Dari 20 relief, tinggal 19 relief yang sekarang masih ada. Sebanyak 15 relief di antaranya menceritakan ajaran moral, yang kesemuanya memiliki makna kebijaksanaan dan dapat dijadikan teladan bagi kehidupan kita. Dari belasan cerita itu, inilah cerita pilihan yang sangat inspiratif:

1. Relief Ketam Membalas Budi

Relief ini merupakan sebuah kisah bagaimana perbuatan baik akan mendapatkan kebaikan berupa keselamatan dan hidup harus dipenuhi perbuatan saling tolong menolong antarsesama. Tersebutlah seorang brahmana penyayang binatang bernama Dwijaiswara dari negeri Patala.

Pada suatu saat ia berada di gunung dan melihat seekor ketam bernama Astapada yang sekarat hendak mati karena kekeringan. Dipungutlah ketam itu lalu dibawa ke sungai untuk dilepaskan di sana. Karena kelelahan, berhentilah brahmana di dekat sungai dan tertidurlah sang brahmana bersandar pada sebuah pohon.

Sementara itu, seekor ular bersahabat dengan seekor gagak dan tengah berbincang untuk mencari mangsa manusia dan mengetahui sang brahmana yang sedang tertidur. Sang ketam dengan tidak sengaja mengetahui rencana tersebut dan mengkhawatirkan sang brahmana yang telah menolongnya.

Akhirnya ia memiliki siasat untuk bersahabat dengan kedua makhluk jahat tersebut dan mengutarakan ide bagaimana cara membunuh sang brahmana. Ular dan gagak setuju dengan rencana si ketam yaitu bila ingin memangsa sang brahmana harus dengan menjulurkan leher mereka sepanjang-panjangnya. Tetapi ular dan gagak tidak tahu caranya. Maka ketam menyuruh mereka untuk berusaha menjulurkan leher mereka tepat pada capitannya.

Ketika leher mereka berdua tepat berada di capitan si ketam, dengan cepat si ketam mencapit leher ular dan gagak sekuat tenaga hingga keduanya tewas. Dengan tewasnya ular dan gagak maka nyawa sang brahmana terselamatkan. Dan ketam telah membalas budi baik sang brahmana.

2. Relief Seekor Burung Berkepala Dua

Relief yang agak rusak ini mengisahkan sebuah cerita mengenai seekor burung berkepala dua yang bernama Bharanda. Pada suatu ketika salah satu kepala mendapatkan makanan yang lezat dan enggan berbagi dengan kepalanya yang satunya.

Ketika ia ditanya oleh kepalanya yang sebelah selalu menjawab nanti akan masuk ke dalam perut yang sama pula. Karena jengkel maka mulut yang satunya memutuskan memakan makanan beracun walaupun sudah diingatkan bahwa tindakannya berbahaya tetapi ia tidak peduli. Karena memakan makanan beracun maka Bharanda akhirnya tewas.

3. Relief Kambing dan Gajah

Relief ini menggambarkan usaha kambing untuk kembali menemukan kelompoknya karena ia telah terpisah. Ia bertemu dengan seekor gajah dan dengan segala daya upaya meminta sang gajah untuk mengantarkannya menemukan kelompoknya. Akhirnya gajah bersedia mengantarkan sang kambing dengan menggendongnya di punggung sang gajah.

4. Relief Lelaki dan Seekor Singa

Relief yang satu ini menceritakan tentang mimpi seorang menteri bernama Bhimaparakrama yang akan diserang singa. Namun melihat Bhimaparakrama bersiap melawan dengan pedang dan perisai, singa itu pun lari dan terus dikejar oleh Bhimaparakrama yang pemberani.

5. Relief Lembu Jantan dan Serigala

Dikisahkan seekor serigala jantan memiliki istri yang ingin sekali memakan buah zakar lembu. Meski di hutan banyak makanan tetapi sang istri bersikukuh ingin memakan makanan tersebut maka serigala jantan menyanggupinya. Dan ia bertemu dengan lembu jantan dan selalu mengikuti kemana pun lembu tersebut pergi dengan harapan bahwa kantung zakar si lembu akan terjatuh dan ia akan membawanya untuk sang istri.

Tetapi apa yang diharapkan tak kunjung terjadi, dengan hati resah ia pulang dan mengabarkan bahwa ia tak bisa memenuhi keinginan istrinya. Relief ini menggambarkan sebuah cerita mengenai bagaimana segala sesuatu harus berusaha diwujudkan dengan kemampuan tidak hanya berharap tanpa bertindak.

The post 5 Kisah Inspiratif dari Candi Sojiwan (Bagian Kedua) appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 1052 articles
Browse latest View live