Quantcast
Channel: News Berita Budhis Terkini | Buddhazine
Viewing all 1052 articles
Browse latest View live

Mitoni, Upacara Tujuh Bulanan Kehamilan Buddhis

$
0
0

Api pawon (tungku tradisonal Jawa) tak pernah berhenti menganga, memanasi penanak nasi yang berukuran besar. Dapur berukuran 3 x 6 meter milik yang punya rumah tak mampu menampung banyaknya ibu-ibu memasak.

Pemandangan tak jauh berbeda terlihat di rumah sebelah, tungku-tungku berjajar dengan api menyala, melahap tumpukan kayu kering. Sementara kaum perempuan membuat aneka makanan di dapur, para lelaki sibuk membuat ancak (anyaman bambu), ketupat, memotong dan membelah kayu bakar hingga membersihkan jalan menuju sendang.

Rabu (12/4) mungkin menjadi salah satu hari terpenting dalam hidup Waltiyah dan Pujiyanto, warga Dusun Krecek, Temanggung. Hari itu, usia kandungan Waltiya telah mencapai tujuh bulan. Sebagai masyarakat Jawa pelbagai upacara slametan digelar saat hari-hari penting, termasuk upacara peringatan tujuh bulan kandungan, oleh warga Dusun Krecek disebut sebagai upacara mitoni atau tingkeban.

Mitoni

Bagi masyarakat Dusun Krecek, upacara mitoni tak jauh berbeda dengan orang punya gawe. Semua dilakukan dengan totalitas, melibatkan sanak saudara dan tetangga. Prosesnya juga dilakukan dengan sakral, hal-hal tersebut dimulai dari beberapa rangkaian prosesi.

Pertama; Nyajeni (memberi sesaji). Pada umumnya, masyarakat perdesaan hidup menyatu dan selaras dengan alam. Sumber mata air, tanaman, perempatan jalan, pawon, atap rumah, sendang merupakan bagian dari pemberi kehidupan. Saat punya gawe seperti pernikahan, khitan, gombak, sedekah dusun dan lain-lain, tempat-tempat seperti ini akan beri sesaji.

“Sebelum saya memangku Dusun (Krecek) ini, para pendahulu juga melakukan ini. Memberi sesaji sebagai bentuk rasa syukur atas kehidupan ini, juga pelimpahan jasa kepada mahkluk-mahkluk yang ada di situ,” kata Sukoyo, sesepuh Dusun Krecek.

Kedua; Memandikan orangtua calon jabang bayi. Dengan memakai jarik (ibu), sarung (ayah) kedua orangtua calon jabang bayi diarak dari rumahnya menuju sendang. Dengan membawa sapu dan batok berisi bunga, uang koin dan air dukun bayi berada di barisan terdepan diikuti oleh pasangan suami istri dan pengiring. Upacara mandi pasangan ini adalah inti dari upacara mitoni. Setelah upacara mandi pasangan selesai, para pengiring melakukan kendurian dengan rebutan makanan yang dibawa dari rumah.

Ketiga; Pujabhakti. Sebagai umat Buddha apalagi tinggal di dusun dengan mayoritas penduduk beragama Buddha, pujabhakti membacakan parita-parita suci selalu dilakukan setiap acara. Pujabhakti diikuti oleh semua warga dusun (laki-laki). Selesai pujabhakti, yang punya rumah memberi suguhan makanan. Saat itu juga terlihat guyub rukunnya warga dusun Krecek.

Keempat, Kendurian. Bagi masyarakat Dusun Krecek, gendurian adalah proses yang tidak bisa ditinggalkan dalam setiap gawe, termasuk saat acara mitoni. Daun pisang dijajar memanjang, seluruh warga dusun (laki-laki) duduk berhadapan mengelilingi tumpeng dan aneka makanan. Manggalia (pemimpin ritual Buddha), membacakan doa bahasa Jawa dan parita-parita suci. Makan bersama dengan alas daun pisang menjadi penutup acara pada malam hari.

Tetapi acara tak berhenti sampai di situ. Keesokan harinya, mulai dini hari, para perempuan sudah sibuk kembali masak di dapur. Masakan ini digunakan untuk ater-ater (memberi makanan) kepada sanak saudara dan seluruh warga dusun.

The post Mitoni, Upacara Tujuh Bulanan Kehamilan Buddhis appeared first on BuddhaZine.


Belajar Kasunyatan dari Oblok-Oblok Singkong dan Mbayung

$
0
0

Oblok-oblok adalah makanan tradisional khas Jawa Tengah. Sayuran ini biasanya berbahan dasar daun singkong, dan diberi kuah parutan kelapa, yang menjadikannya gurih. Namun bisa saja berbahan dasar lain.

Salim Lee, seorang pakar Buddhis yang menjadi pengajar di Potowa Center menggunakan contoh sayuran itu, untuk menjelaskan Keshunyataan, atau yang dikenal dalam bahasa Jawa sebagai Kasunyatan, kebenaran yang tak terjelaskan.

Om Salim, begitu biasa ia disapa, menerangkannya pada puluhan warga desa di hari terakhir rangkaian acara Belajar; Borobudur Kawedar, yang digelar di Dusun Krecek, Desa Getas, Kaloran, Temanggung, Minggu (31/3).

Ia berdialog dengan Pak Koyo? [aku dengere koyo, bener gak?] salah seorang warga desa, bertanya tentang oblok-oblok apa yang paling enak. Menurut Pak Koyo, yang paling enak adalah oblok-oblok daun singkong. Sementara, menurut Om Salim, yang paling enak adalah oblok-oblok daun mbayung (lembayung).

Salim menjelaskan, bahwa semua orang bisa mengklaim kebenarannya masing-masing, termasuk mengklaim bahwa oblok-oblok singkong atau mbayung-lah yang paling enak. Namun pandangan seperti itu menurutnya sebenarnya keliru. Disebut paling enak karena ada si “aku’ di situ yang merasa bahwa oblok-oblok tertentu yang paling enak.

“Selama masih ada sosok ‘saya’ di latar belakang, masih ada subjeknya, akan selalu timbul saya senang itu, ndak senang ini,” terang Salim.

Ia menerangkan, konsep yang lebih pas adalah misalnya, “Oblok-oblok singkong adalah yang paling enak, menurut saya.” Jadi meskipun secara teori, kedua pihak bisa saling menghargai pendapat masing-masing, toh di hati kecil tiap-tiap orang masih ada pendapat oblok-oblok tertentulah yang paling enak. “Masih tetap ada aku-nya,” sambung Salim.

Salim lalu melanjutkan penjelasan, berpijak pada relief Gandawyuha di Borobudur. Relief ini hingga ke atas menuju stupa puncak menurutnya menjelaskan tentang realitas tertinggi.

Ia kembali mengajukan pertanyaan pada Pak Koyo. Kali ini dua pertanyaan. Yang pertama, dua tambah dua hasilnya berapa. Pertanyaan kedua, di Desa Getas, ada berapa dusun. Setelah kedua pertanyaan dijawab dengan benar, Om Salim kembali mengajukan pertanyaan, “Kebisaan untuk ngerti dua tambah dua sama dengan empat, dan di Desa Getas ada sembilan dusun, kebisaannya lho, ini sama atau tidak?”

Warga pun terdiam sesaat memikirkan pertanyaan ini. Beberapa mencoba menjawab dengan jawaban yang berbeda dan alasan yang berbeda pula.

Sampai akhirnya Salim memberikan petunjuk bahwa sebenarnya, menurut ajaran Buddha, kemampuan untuk bisa berpikir, kebisaan untuk mengetahui dan mengingat, adalah sama antara seorang manusia dengan manusia lain. Begitu pula misalnya kebisaan untuk masak oblok-oblok atau masakan lain, tetap sama, meski hasil masakannya bisa berbeda-beda rasanya antara seorang dengan yang lain.

“Tapi kita selalu menganggap ini beda, karena ini kebisaan saya, itu kebisaan kamu. Ternyata lho kebisaannya, kebisaannya ini sama,” tegas Salim.

Salim lantas meminta Pak Koyo membayangkan hadirnya gajah merah jambu yang berkaki enam, dengan kebisaan mental yang sudah dibahas itu. “Bisa,” kata Pak Koyo. Salim meminta semua warga membayangkan ada hujan durian yang buahnya tanpa duri. “Bisa,” kata Pak Koyo lagi. “Ini yang diajarkan di Gandawyuha Sutra,” ungkap Salim.

Ia memaparkan, kebisaan untuk tahu itu tidak terbatas. Apa saja bisa dibayangkan melalui pikiran. Pertanyaan selanjutnya dari Salim adalah, apakah kebisaan berpikir ini muncul terus? Bisakah kita melihat dan mendengar tanpa ada kebisaan itu?

Warga pun terdiam dengan pertanyaan yang mendalam ini. Salim pun mengubah pertanyaannya, “Pernah nggak kita merasakan sesuatu, mikir sesuatu, merasa iri hati, mau masak segala macam, tanpa kebisaan ini?”

“Iya bisa,” jawab Pak Koyo. “Bisanya di mana? Kalau nggak ada kebisaannya, bisa apa?” tanya balik Salim. “Ya menurut pola pikiran hati,” timpal Pak Koyo. “Ya tapi dari pola pikiran hati pun harus punya kebisaan tadi,” sanggah Salim.

Kebisaan yang tidak bisa disebut satu atau banyak inilah yang lalu disebut Salim sebagai Dharmakaya. Kebisaan ini tidak memiliki jenis kelamin, tidak terikat konsep saya dan kamu, tidak terbatas ruang dan waktu, selalu ajeg, tak berubah dan terus ada.

“Coba dipikir, kita semua dilandasi dengan kebisaan seperti ini sebenarnya, yang memungkinkan kita hidup. Di luar itu, mulai pakai kerangka, saya, kamu, perempuan, laki, dan sebagainya,” urai Salim.

Salim menjelaskan pula, semua Dharma (pengalaman) terkait kebisaan berpikir dan merasakan itu terjadi di Dharmadhatu. Menurutnya, Dharmadhatu tidak bisa ditunjuk, karena memang tidak ada tempatnya. Tapi tidak bisa juga dikatakan tidak ada, karena pengalaman batin itu ada.

“Ini yang disimbolkan dengan stupa-stupa [berjumlah] 32, 24, dan 16 di teras-teras Borobudur. Ini Dharmadhatu, di mana Dharmadhatu ini semuanya kemungkinan kejadian ada di situ bisa. Dua tambah dua sama dengan empat, gajah merah jambu, semua kejadiannya di Dharmadhatu,” paparnya.

Ia lantas mengajak hadirin untuk berlatih mengembangkan kualitas batin sehari-hari sesering mungkin di level Dharmakaya, dimana tidak ada aku-kamu, tidak ada kemarin-besok, hanya sekedar tahu.

“Tentunya di sini lho, berakhirnya dukkha.” Intinya Gandawyuha.

The post Belajar Kasunyatan dari Oblok-Oblok Singkong dan Mbayung appeared first on BuddhaZine.

Borobudur yang Hidup, Kehidupan Umat Buddha

$
0
0

Candi Borobudur seolah tidak ada habisnya kita kupas. Nilai ajaran, kemegahan arsitektur serta pahatan bangunan candi yang sarat nilai filosofis mengundang tafsir banyak kalangan tentang kecanggihan dan kehebatan nenek moyang Nusantara pada masa lalu. Wajar apabila monumen Buddhis terbesar dan terlengkap di dunia ini masih menjadi andalan pariwisata Indonesia.

Menurut data Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (disparpora) Kabupaten Magelang, pada tahun 2018 saja, Candi Borobudur dikunjungi oleh 3.663.054 wisatawan dalam dan luar negeri. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya, apalagi saat ini pemerintah Indonesia sedang gencar melakukan promosi, memperbaiki akses, penyediaan jalur khusus untuk wisatawan mancanegara, termasuk pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA).

Meningkatnya wisatawan ke Candi Borobudur tentu menjadi kabar baik, terutama bagi warga sekitar, dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi, hanya mengandalkan Candi Borobudur tanpa memperhatikan kapasitas dan kelestariannya juga dinilai kurang bijak. Karena itu, menurut Salim Lee.

“Coba dihitung, jam bukanya Borobudur dibagi jumlah orang pengunjung, enggak akan cukup. Mas Yudi (salah satu pejabat Borobudur) bilang hari kedua Idul Fitri Borobudur itu paling ramai. Tahun lalu hampir 40 ribu, enggak bisa gerak, enggak bisa naik, nggak bisa turun. Menakutkan malah. Semua teras Borobudur penuh manusia, dari atas sampai bawah, bayangin,” katanya kepada BuddhaZine, disela acara Borobudur Kawedar, Sabtu (30/3).

“Saya kira kok mbok diatur, pakai karcis, karcismu dari jam 8-10 hanya mengeluarkan berapa karcis. ‘tapi kan Om Salim, semua turis kan datangnya pagi’. Biarkan kalau perlu pagi hari karcisnya dijual 3 kali lipat dari harga biasa. Kalau sekolah mungkin ada konsesi, dan saya kepinginnya grup-grup semacam itu ada pemandu. Pemandunya di atas tidak hanya menjelaskan, tetapi juga ikut njagani candi,” imbuhnya.

Ajaran Borobudur 

Candi Borobudur adalah salah satu bukti nyata kebesaran peradaban agama Buddha Nusantara. Peradaban agama Buddha memang sudah lama runtuh, tetapi nilai ajaran Buddhadharma masih lestari, terukir dalam relief-relief Candi Borobudur, menyatu dengan tradisi, budaya dan kearifan lokal masyarakat sekitar. Salah satunya yang terlihat di Dusun Krecek.

“Yang Anda sebut sebagai Nyadran, ini juga berasal dari kebudayaan Buddhis yang telah menyatu dengan kearifan lokal. Ini kan indah sekali, karena sudah menjadi kebudayaan lokal yang masih dilakukan bahkan tidak hanya umat Buddha. Tetapi Nyadran yang berasal dari kata Sraddha memang benar-benar dari ajaran Buddha,” jelas Om Salim menunjukkan foto-foto Nyadran warga Dusun Krecek.

“Juga gendurian limolasan (gendurian purnama atau uposatta) yang kemarin baru anda laksanakan. Ternyata uposatta ini juga dijalankan pada abad ke-7 dan hampir sama dengan yang Anda lakukan di sini, seperti yang tertulis dalam catatan I-Tsing. Ini luar biasa sekali kan, ternyata apa yang kalian anda disini sudah dilakukan pada abad ke tujuh. Jadi budaya-budaya seperti ini kalau kita jaga dan teruskan dari generasi ke generasi ini berharga sekali. Dusun atau desa yang punya budaya, pasti langgeng, orang-orangnya lebih teteg, karena ada pegangan, karena ada landasan,” imbuhnya.

Sedangkan Elizabeth D. Inandiak, seorang penyair, wartawan, dan penulis buku asal Perancis merasa terkesan setelah tinggal di Dusun Krecek selama empat hari. Ia berpendapat suasana perdesaan, tumbuh-tumbuhan, keramahan warga dengan segala aktivitasnya seperti yang ia jumpai dalam ukiran relief-relief di Borobudur. “Melihat tanaman, sawah, sayur, dan pohon-pohon ini saya merasa seperti melihat relief di Borobudur.”

Dusun Buddhis

Krecek, merupakan salah satu dari sembilan dusun di Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Dusun Krecek berada di daerah pegunungan Temanggung Timur, berjarak sekitar 4 km. dari kantor kecamatan atau 8 km dari kantor kabupaten. Berdasarkan data kependudukan, dusun Krecek dihuni sekitar 70 kepala keluarga. Mereka rata-rata berpenghidupan sebagai petani dengan komoditas utama kopi.

Hingga saat ini, 99% masyarakat Dusun Krecek memeluk agama Buddha sebagai pedoman hidup sehari-hari. Karena itu, Dusun Krecek kerap menjadi pusat kegiatan umat Buddha Kabupaten Temanggung Timur dan Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. Selain itu, keramahan masyarakat, kentalnya tradisi, adat, dan budaya memberi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa, anak-anak SMA, berbagai komunitas dan orang-orang kota datang dan menghabiskan waktu di dusun ini.

The post Borobudur yang Hidup, Kehidupan Umat Buddha appeared first on BuddhaZine.

Kearifan Umat Buddha Jawa dalam Merawat Alam, Tribuana Manggala Bhakti

$
0
0

Selain umat Buddha dan juga relawan lintas agama, upacara Tribuana juga mendapat dukungan penuh dari pemerintah yaitu seluruh jajaran Pemda Kulon Progo. Dengan keterlibatan berbagai pihak upacara Tribuana mampu mengaplikasikan umat beragama.

Umat Buddha Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta kembali menggelar Upacara Tribuana Manggala Bakti. Acara digelar di Ekowisata Taman Sungai Mudal, Lereng Gunung Kelir, Minggu (28/4).

Upacara unik ini memadukan nilai religius dengan kearifan lokal sehingga memiliki nilai yang universal. Ide dasar upacara adalah pengambilan tirta suci untuk Waisak di mata air tertinggi perbukitan Menoreh yaitu Taman Sungai Mudal yang terletak persis di kaki kaki Gunung Kelir. Berbeda dengan prosesi pengambilan Tirta Suci Waisak di tempat lain, nilai lebih dari Tribuana adalah mengambil air sucinya sekaligus melestarikan dan merawat alamnya.

Pengambilan air suci Waisak atau tirta suci dengan menggunakan adat Jawa dan pada tahun ini pengambilan air suci dipimpin oleh Bhikkhu Sangha dengan diiringi gending sakral Tribuana yang diracik khusus oleh tim budayawan dari Yavastin.

Tribuana Manggala Bhakti memiliki makna bahwa ketika menusia memiliki kepedulian atau bakti maka diharapkan akan memberikan berkah (Manggala) bagi semesta (tribuana). Kepedulian dalam upacara ini diwujudkan dalam tiga matra kepedulian pelestarian alam, yang secara simbolik dilakukan dalam rangkaian acara yaitu: peduli terhadap pelestarian matra bumi (penanaman pohon penyangga mata air berupa pohon Bodhi, Mahoni, Jati, Sengon, serta tanaman produktif seperti Manggis, Durian, Matoa, dan Pete); kepedulian terhadap pelestarian matra udara atau cahaya (pelepasan satwa burung endemik seperti Kutilang, Perkutut, dan Trotokan); kepedulian terhadap pelestarian matra air (pelepasan satwa ikan di sungai Mudal serta sungai sekitar lokasi vihara).

Dengan upacara simbolik pelestarian alam yang dilakukan di Taman Sungai Mudal diharapkan memotivasi dan memberikan spirit kepada masyarakat atau mengedukasi masyarakat tentang betapa sangat pentingya alam yang lestari. “Selama tiga tahun ini saya ikut terus dan saya sangat senang dengan acara ini karena bisa memotivasi kami dan anak-anak supaya bisa membantu melestarikan lingkungan. Acara ini sangat bermanfaat bagi kami, karena memang acara ini dikemas untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pola hidup yang baik, yang penuh kebajikan,” kata Sularno peserta dari Vihara Giri Dharma, Dusun Sukomoyo Desa Jatimulyo.

Hal serupa pun diungkapkan oleh Yuli Astuti peserta dari Vihara Giri Surya Dusun Sunyo Desa Jatimulyo, ”Kegiatan Tribuana ini sangat menginspirasi bagi masyarakat agar dapat menjaga kelestarian lingkungan sekaligus memberikan bimbingan kepada anak-anak vihara untuk juga menjaga lingkungan sekitar. Kegiatan ini juga mengingatkan kembali kepada masyarakat untuk merawat pepohonan di alam dan tidak merusak apa pun yang ada di alam sekitar,” papar peserta yang masih duduk di bangku SMA.

Tidak hanya sebagai acara religius namun upacara Tribuana juga memberikan dampak positif bagi perkembangan Taman Wisata Sungai Mudal. Dari pengemasan acara tidak jauh berbeda dengan acara di tahun-tahun sebelumnya, namun ditahun ini penampilan taman Wisata Sungai Mudal nampak lebih lengkap dan lebih ramai pengunjung.

Perkembangan tersebut merupakan bagian dari pengaruh diadakannya kegiatan tahunan Tribuana Manggala Bhakti, seperti yang diungkapkan oleh salah satu pengelola Taman, “Oh untuk pengaruh banyak sekali, dengan adanya kegiatan ini ternyata menarik banyak pengunjung untuk datang kemari. Acara ini menjadi semacam ikon di Kulon Progo layaknya kalau di Bali ada festival ogoh-ogoh lha kalau di sini ya ini ruwatan,” ungkap Tiyok.

Dengan penggabungan acara religi dan budaya, acara Tribuana diharapkan juga menjadi perekat kerukunan umat beragama dan mampu menjadikan kawasan Sungai Mudal menjadi kawasan toleransi umat beragama.

Upacara yang biasanya dilaksanakan tujuh hari sebelum Waisak dimajukan untuk menghindari bulan puasa sebagai simbol saling menghargai. Begitu juga dengan sesama umat Buddha supaya terjalin komunikasi dan persaudaraan umat, dalam acara ini mengundang umat dari berbagai vihara di luar Kulon Progo seperti Purworejo, Magelang, Temanggung, Sleman, Kota Yogyakarta, dan Gunung Kidul.

The post Kearifan Umat Buddha Jawa dalam Merawat Alam, Tribuana Manggala Bhakti appeared first on BuddhaZine.

Menjadi Orangtua Tidak Menjamin Memahami Karakter Anak, Benarkah?

$
0
0

“Berceritalah padaku dan aku akan lupa. Ajari aku dan aku akan mengingatnya. Libatkan aku maka aku akan belajar,” Benjamin Franklin.

Menjadi orangtua tidak ada sekolahnya. Menjadi orangtua seperti dua mata koin, koin pertama bisa menjadi berkah dalam kehidupan. Koin sebaliknya menjadi musibah, mengapa? Tidak semua orangtua siap menjadi orangtua.

Sabtu 4 Mei 2019, di Aula STABN Sriwijaya, Kompleks Edu Town BSD City Serpong, Tangerang. Penerbit Karaniya bekerja sama dengan Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis Indonesia (BKPBI) dan Sekolah Tinggi Negeri Agama Buddha Negeri Sriwijaya (STABN Sriwijaya) menyelenggarakan seminar parenting dengan tema, “How Big is Your Love? Understanding Your Children’s Character.

Acara dimoderatori oleh Edi Ramawijaya Putra dengan narasumber Fidelis Waruwu (Education Training Consulting Jakarta) dan Prajna Dewi (Kepala Akademik Sekolah Narada) dihadiri oleh 200’an peserta.

Sebagai pemapar materi yang pertama, Prajna Dewi yang memiliki latar belakang lulusan Master Pendidikan dari Universitas Pelita Harapan dan telah mengabdi di dunia pendidikan selama lebih dari dua dasawarsa. Ia menyampaikan, “Sebagai orangtua kita sering tidak memberi perhatian pada anak-anak. Misalnya kita sebagai orangtua lebih sering membanding-bandingkan dengan orang lain.

Ia menambahkan, “Kita terlampau sering menuntut pada anak, tanpa benar-benar memahami karakter anak. Pola asuh tidak tegaan. Anak menangis sedikit mamanya tidak tegaan kemudian mamanya akhirnya yang mengerjakan tugas si anak. Bagaimana anak akan belajar tanggung jawab jika sedikit-sedikit mamanya yang ambil alih?”

Sementara itu, sebagai pemapar kedua Fidelis Waruwu, seorang Master in Science of Education dari Universitas Pontificia Salesiana, Roma, Italia. Founder dari Education Training and Consulting, Fidelis mendalami formasi kepribadian, MBTI, DISC Profile, Corporate Culture, Character Building dan Team Building.

“Pemahaman terhadap karakter anak menjadi sangat penting karena hal ini akan berdampak pada pola asuh yang tepat. Karakter anak merupakan bawaan dasar, dan hal ini akan terus dibawa hingga ia tutup usia. Tugas sebagai orangtua adalah mengarahkan dan fokus pada kekuatan karakternya. Anak-anak merekam semua yang dilakukan oleh orangtua, apa pun itu, dan itu akan dicontoh,” paparnya.

Fidelis mengimbuhkan, “Kebutuhan paling mendasar dari anak adalah, ia merasa bernilai, merasa aman, merasa dicintai, merasa berharga, dan merasa mendapat perhatian. Apabila ada salah satu yang kurang, ia akan memenuhinya dengan caranya sendiri, bisa jadi nakal, bisa jadi asosial, dan lain sebagainya.”

The post Menjadi Orangtua Tidak Menjamin Memahami Karakter Anak, Benarkah? appeared first on BuddhaZine.

Mengenal Umat Buddha Yamatitam Maluku

$
0
0

Umat Buddha Yamatitam adalah salah satu suku Alifuru, suku di pedalaman Pulau Seram, Maluku. Pola kehidupan mereka masih sederhana dan hidup tidak menetap, mereka berpindah-pindah di tiga gunung yang ada di pulau tersebut. Mereka juga tidak bisa berbahasa Indonesia.

Menurut Rama Sugianto, pertemuan suku pedalaman dengan agama Buddha tidak terlepas dari peran Pak Aseng, salah satu umat Buddha Maluku. Suatu ketika, anak-anak Yamatitam turun gunung, menjual atau menukarkan hasil kebun mereka dengan orang-orang tertentu untuk dibawa ke atas. Dalam keterbatasan komunikasi, akhirnya anak-anak ini berjumpa dengan Pak Aseng.

“Meskipun terkendala komunikasi, Pak Aseng memperkerjakan mereka di kebun Kobisonta. Cerita berlanjut saat Pak Aseng dikenalkan dengan Pak Sabeo (kepala suku Yamatitam). Melihat kondisi masyarakat pedalaman yang mengalami ketertinggalan dalam berbagai hal, Pak Aseng kemudian menghubungkan dengan Sangha Theravada Indonesia (STI). Malah mereka memohon pembinaan secara tertulis kepada STI,” tutur Rama Sugianto.

Permohonan itu ditanggapi secara positif oleh STI yang menunjuk Bhante Siriratano sebagai pembina umat Buddha Yamatitam. Pada tanggal tanggal 20-26 Mei 2014, Bhante Siriratano bersama rombongan umat Buddha Ambon berkunjung ke Yamatitam.

“Memang mereka sangat asing dengan kita, saat diajak bicara saja mereka tidak berani menatap kita. Mungkin juga karena tidak pamaham dengan yang kita katakan dan mau ngomong apa mereka juga tidak tau,” Bhante Siriratano berkisah kepada BuddhaZine.

Meskipun begitu, kedatangan bhante dan rombongan disambut dengan baik. Bhante dan rombongan adalah tamu orang luar pertama yang benar-benar diterima oleh mereka. “Saat kami sampai, semua orang seperti mengalami kesurupan, sampai di dapur menjerit-jerit. Kita sih takut waktu itu, tetapi mau ke mana? Wong di tengah hutan. Belakangan saya baru tau kalau itu adalah tanda kita diterima di sana,” kata bhante lanjut.

Rupang Buddha yang bhante bawa sebagai kenang-kenangan mereka terima. Mereka juga merasa cocok dengan agama Buddha dan menyatakan ikut dengan bhante. Kesediaan mengikuti bhante dan alasan kemanusiaan ini kemudian yang mendorong Bhante Siriratano dan STI mempunyai komitmen untuk membina masyarakat Yamatitam.

“Pertama saya kaget dan prihatin ketika ke sana ‘kok masih ada masyarakat Indonesia yang kehidupannya masih seperti itu’, kedua ketika mereka menyatakan memang mau ikut bhante sepertinya susah ditolak meskipun dengan berbagai resiko. Perjalanan yang saya kira hanya satu sampai dua jam ternyata saya harus jalan selama dua hari. Saya tidak bisa janji seperti apa, tetapi mau tidak mau saya harus bertanggung jawab dan mengatakan walaupun hanya Tete dan Pak Sabio saya akan tetap ke sana. Tetapi meskipun mereka tidak ikut saya akan tetap berkunjung dan bersahabat dengan mereka.

“Tapi ketika mereka mengatakan ikut, saya merasa ada ikatan dan mendorong kepedulian. Dari kita sebagai komunitas umat Buddha saya melihat ini sebagai salah satu kontribusi umat Buddha untuk ikut membangun bangsa ini. Saya sebagai bhikkhu mengajak ayo peduli kepada masyrakat ini karena mereka percaya kita sebagai penyambung dengan dunia baru,” ajak bhante.

Sejak saat itu, Sangha Theravada Indonesia mulai rutin membina umat Buddha pedalaman Yamatitam. Pembinaan tak sekadar membabar ajaran Buddha tetapi juga menyangkut kehidupan sosial, pendidikan, administrasi kependudukan dan ekonomi.

Pernikahan massal

Dua puluh tiga pasang pengantin masyarakat pedalaman Pulau Seram, Provinsi Maluku akan melangsungkan perkawinan massal secara agama Buddha. Mereka adalah umat Buddha suku Alifuru yang bermukim di Gunung Yamatitam, Mainkiem, dan Von. Secara administratif tiga gunung tersebut masuk wilayah perbatasan Kabupaten Maluku Tengah dengan Kabupaten Seram bagian timur.

Upacara perkawinan akan digelar saat peringatan Waisak bersama umat Buddha Provinsi Maluku, Minggu 19 Juni 2019 mendatang. Menurut informasi dari Tim Khusus Pembinaan Umat Buddha Pedalaman Keluarga Buddhis Theravada Indonesia (KBTI), acara akan digelar di Kebun Kelapa, di kaki Gunung Namirang, Negri Atiahu, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur dan diperkirakan lebih dari 300 umat Buddha Yamatitam akan hadir.

“Lima tahun berlalu, kini mereka berharap dapat merayakan Waisak bersama. Keluarga Buddhis Theravada Indonesia (KBTI) yang sejak awal mempunyai komitmen melakukan pembinaan umat Buddha membentuk tim khusus untuk mengakomodasi keinginan mereka menyelenggarakan Waisak bersama sekaligus upacara perkawinan massal secara Buddhis,” Kata Rama Sugianto, salah satu tim pembina.

Kabar baik ini disambut antusias oleh umat Buddha Maluku. Mereka akan turun gunung dengan berjalan kaki dan tinggal selama dua hari di kebun kelapa. “Karena itu kami mengajak seluruh umat Buddha Indonesia untuk terlibat dan mendukung kegiatan ini,” ajak Rama Sugianto.

The post Mengenal Umat Buddha Yamatitam Maluku appeared first on BuddhaZine.

Tulang Rahang Berusia Ribuan Tahun Ditemukan oleh Seorang Biksu

$
0
0

Seorang biksu memberikan fosil tersebut pada Lama di vihara yang berdekatan dengan lokasi ditemukannya tulang rahang ribuan tahun, kemudian menyerahkannya pada para peneliti.

Tiga puluh sembilan tahun yang lalu, seorang biksu memasuki sebuah gua terpencil untuk berdoa dan bermeditasi. Di dalam gua, ia menemukan separuh tulang rahang manusia.

Tulang rahang tersebut mengguncangkan dunia ilmu pengetahuan. Sebuah analisa terhadap mandibula (bagian tulang rahang bawah), yang dipublikasikan dalam jurnal Nature, mengungkapkan bahwa tulang tersebut milik seorang Denisovan – sekelompok manusia pra-sejarah, yang ada hubungannya dengan kaum Neanderthal – hidup 160.000 tahun yang lalu.

Mandibula tersebut adalah fosil Denisovan terbesar yang pernah ditemukan sekaligus merupakan satu-satunya yang ditemukan di luar gua tertentu di Siberia, 1.000 mil jauhnya dari tempat ditemukannya tulang rahang tersebut.

Gua tempat fosil tersebut ditemukan, gua sungai bawah tanah (Karst) Baishiya, merupakan sebuah tempat suci, yang populer di kalangan peziarah dan turis. Ketika biksu tersebut menemukan tulang, ia mengenali bahwa tulang tersebut bukan tulang rahang manusia pada umumnya, dan berpikir bahwa itu terlihat seperti “setengah tulang, setengah batu.”

Karena penemuan itu terasa istimewa, maka beliau menyerahkannya pada Lama Gungtang keenam, seorang guru penting di Wihara Labrang yang terletak di dekat lokasi, yang merupakan satu dari enam vihara agung aliran Gelugpa dalam Buddha Tibet.

Lama Gungtang merupakan ketua terdahulu dari Vihara Labrang, dan baru saja dibebaskan setelah 21 tahun dipenjarakan pihak Tiongkok. Lama Gungtang menyerahkan tulang tersebut pada para ilmuwan di Universitas Lanzhou.


Pintu masuk Gua Karst Baishiya. Sumber foto: Dongju Zhang/Universitas Lanzhou.

Para ilmuwan sangat sedikit yang mengetahui tentang kaum Denisovan. Manusia purba ini dianggap telah punah sekitar 50.000 tahun yang lalu, dan keberadaan mereka baru diketahui pada tahun 2010. Mereka merupakan sub-species manusia pertama dan diidentifikasi semata-mata berdasarkan genetikanya, alih-alih menggunakan peninggalan jasad. Hingga hari ini, hanya segenggam fosil Denisovan yang bisa ditemukan, secara harafiah – begitu sedikitnya hingga muat tertampung dalam mangkuk bubur sereal. Itu termasuk gigi, sekeping kecil tengkorak, serpihan tulang, dan secuil bagian jari.

Para ilmuwan mengembangkan (teori) bahwa kaum Danisovan melakukan kawin silang dengan Homo Sapiens. Beberapa orang dewasa ini memiliki sampai sekitar 5% DNA kaun Denisovan. Riset menemukan bahwa bangsa Tibet sepertinya mewarisi gen kaum Denisovan yang membantu mereka bertahan hidup di ketinggian. Setelah menemukan tulang rahang – di ketinggian 10.000 kaki di dataran tinggi Tibet – para ilmuwan kini memiliki gagasan yang lebih baik tentang mengapa kaum Denisovan memiliki gen tersebut. (Lionsroar.com)

The post Tulang Rahang Berusia Ribuan Tahun Ditemukan oleh Seorang Biksu appeared first on BuddhaZine.

Pesan Waisak di Wihara Ekayana Arama Teduhkan Tensi Politik

$
0
0

Rekapitulasi nasional Pemilu 2019 telah dituntaskan oleh KPU pada Selasa (21/5) dini hari. Tensi politik yang tinggi, berpotensi membuat disharmoni sosial di masyarakat.

Wihara Ekayana Arama, Duri Kepa, Jakarta Barat, Minggu (19/5) dipadati oleh ribuan umat Buddha. Acara diawali dengan pindapatta. Kemudian dilanjutkan dengan pujabhakti.

Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy yang menghadiri peringatan Waisak di Jakarta Barat, turut mengucapkan Waisak dan berpesan, “Pencoblosan sudah selesai, perbedaan yang ada dulu ayo kita satukan kembali, apalagi di Hari Raya Waisak ini kita jadikan momentum bersama-sama,” pesan Gatot.

Selain itu, hadir juga Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Syafruddin,  ia menyampaikan, “Ajaran agama merupakan pondasi perdamaian. Intisari agama adalah menyejukkan. Kebaikan menuntun kita untuk mencintai tanah air, Indonesia.”

Umat Buddha sadar bahwa merayakan Waisak bukan sekadar merenungkan kembali tiga peristiwa dalam kehidupan Buddha, yaitu kelahiran, penerangan sempurna, dan kemangkatan Buddha. Umat Buddha menjadikan Buddha sebagai teladan, mengikuti jejak-Nya dan mengamalkan ajaran-Nya.

Dalam pesan Waisaknya, Bhante Dharmavimala selaku Wakil Pimpinan Wihara Ekayana Arama menyampaikan, “Kita, apa pun sukunya, apa pun agamanya. Perlu mencintai tanah air kita. Kita dapat melakukan cinta itu dengan menerapkan agama Buddha dengan sebaik-baiknya.

“Menjaga persaudaraan, saling mengasihi. Kasih Buddha atau metta bersifat universal. Marilah kita semua mengembangkan persaudaraan yang sejati,” pesannya.

Bhante Dharmavimala menambahkan, “Tujuan dari semua itu, adalah mengharapkan semua makhluk hidup bahagia. Kita tidak boleh kehilangan cinta kasih. Karena kasih Buddha tidak membeda-bedakan,” pungkasnya.

The post Pesan Waisak di Wihara Ekayana Arama Teduhkan Tensi Politik appeared first on BuddhaZine.


Vesak Festival 2019 Surabaya, Ajak Masyarakat Refleksi Diri

$
0
0

Vesak Festival 2019 resmi dibuka oleh Bhikku Sukhito, Pembina Umat Buddha Jawa Timur pada Rabu (15/5) di atrium Tunjungan Plaza 6, Surabaya. Festival yang dimotori oleh Young Buddhist Association (YBA) bekerja sama dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM) beberapa universitas di Jawa Timur ini berlangsung selama lima hari, yaitu 15 – 19 Mei 2019. 

Ini adalah perhelatan Vesak Festival keempat yang digelar di Surabaya. Sebelumnya, pameran Waisak terbesar se-Jawa Timur ini telah dilaksanakan pada 2013, 2016 dan 2017. Meskipun sempat absen selama satu tahun, panitia merasa optimis penyelenggaraan kali ini akan berhasil mendatangkan pengunjung lebih dari 12 ribu orang, seperti yang dicapai pada tahun 2017.

 “Yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kini kita didukung oleh tenaga-tenaga baru dari UKM – UKM, jadi kami yakin rasanya bisa mendatangkan 15 ribu pengunjung,” kata Limanyono Tanto, ketua panitia acara ini.

Menurut Liman, menyelenggarakan acara Waisak di mall sangat efektif untuk mengenalkan makna Waisak dan ajaran Buddha yang universal. Selain itu, juga menghindarkan dari vihara yang terkesan eksklusif. “Perayaan Waisak kalau di wihara terkesan eksklusif. Jadi, kita menggunakan mall untuk menyampaikan ajaran Buddha yang universal kepada masyarakat. Semua orang boleh hadir dan berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan kita. Cukup efektif untuk mengenalkan ajaran Buddha pada masyarakat,” katanya.

Untuk mengawali Vesak Festival, diadakan acara pembukaan pada Rabu, 15 Mei 2019 resmi dibuka dengan pemukulan gong oleh Bhikkhu Sukkhito yang juga dihadiri oleh Bhikkhu Jayamedho, Bhikkhu Dhammavicayo, Bhikkhu Tejapunyo, Bhikkhu Khemadharo, rektor berbagai universitas di Surabaya, Direktur Marketing Tunjungan Plaza, Wandani, dan berbagai umat Buddha dari Surabaya dan Sekitarnya.

Dalam pameran ini juga menampilkan diorama utama unik yang terbuat dari anyaman bambu yang dikerjakan oleh seniman asal Bali bernama Made. Diorama utama itu antara lain: Kelahiran Pangeran Siddharta Gotama, Pencerahan Sempurna oleh Pangeran Siddharta Gotama dengan tinggi 5 meter, dan Parinibbana Buddha sepanjang 4,5 meter. Bambu dipilih sebagai bahan yang dianggap dapat mengangkat serta mengenalkan kembali kesenian masyarakat kepada publik.

Tema yang diusung untuk Festival Waisak kali ini adalah Pandangan Benar (samma ditthi). “Pandangan benar adalah salah satu unsur dari delapan unsur yang diajarkan oleh Buddha. Untuk melakukan sesuatu itu harus berdasarkan pandangan benar dulu. Dalam praktiknya dengan cara intropeksi dan refleksi diri dalam mengenali tiga akar penderitaan: keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha),” tutur Limanyono Yanto.

Ada tampilan unik lainnya dari pameran ini, yakni berupa Ecobrik berbentuk stupa dan diorama gapura serta pohon pengharapan dari botol plastik yang merupakan hasil kerja sama antara panitia dengan Bank Sampah Induk (BSI) Surabaya.

Pembuatan Ecobrik bertujuan untuk mengurangi sampah dan botol plastik menjadi bata yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Penggunaan berbagai sampah dan botol plastik ini juga disesuaikan dengan tema sosial yang diangkat oleh panitia berkaitan dengan lingkungan. Di dunia, permasalahan lingkungan pun menjadi bahasan yang penting.

Dalam pembuatan Ecobrik dan diorama gapura serta pohon pengharapan, panitia tidak membeli botol plastik dari BSI Surabaya. “Kita menggunakan botol plastik bukan beli, tapi kita datang ke BSI untuk memilah botol, terus dibersihkan, dicuci, dan diolah menjadi diorama-diorama. Waktu pengerjaan hampir dua bulan untuk 3.700 sampah botol plastik,” terang Limanyono Yanto.

Selain itu, pameran ini juga menampilkan Eco Vending Machine yang bertujuan untuk mengajak pengunjung agar berpartisipasi dalam menjaga lingkungan dengan cara menukar botol plastik bekas minuman mereka dengan souvenir menarik khas Vesak Festival 2019.

The post Vesak Festival 2019 Surabaya, Ajak Masyarakat Refleksi Diri appeared first on BuddhaZine.

Didi Nini Thowok Jadi Bintang Waisak 2019 di Candi Sewu

$
0
0

Waisak Nasional 2563 BE/2019 Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) di Candi Sewu, Klaten, Jawa Tengah pada Kamis (18-19/5) berlangsung semarak. Ribuan umat Buddha hadir, sebagian besar berasal dari DIY dan Jawa Tengah.

Perayaan malam Waisak dimulai sejak sore hari dengan prosesi dari Candi Plaosan menuju Candi Sewu. Arak-arakan budaya membawa api abadi dan air suci dari tujuh mata air.

Api abadi diambil dari Mrapen, Grobogan, Jawa Tengah. Sedangkan air suci diambil dari tujuh mata air, yaitu Umbul Jumprit (Temanggung), Umbul Pikatan (Temanggung), Candi Umbul (Temanggung), Umbul Senjoyo (Kabupaten Semarang), Umbul Jalatundo (Klaten), Umbul Pengging (Boyolali), dan Sendang Pitutur (Gunung Kidul).


Malam harinya, digelar perayaan di pelataran Candi Sewu, yang dihadiri oleh beberapa tokoh nasional, seperti Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Mahfud MD. Setelah itu, pada tengah malam digelar pradaksina mengelilingi candi, sebelum dilakukan meditasi pada detik-detik Waisak pukul 04:11:00 WIB.

Salah satu momen yang mencuri perhatian hadirin adalah tampilnya maestro tari Indonesia, Didi Nini Thowok. Ia tampil membawakan Tari Topeng Walang Kekek, yang menggambarkan dua karakter yang berbeda, dari tradisi Jepang dan Indonesia. Tariannya yang khas ini lantas disambung dengan tari tradisi beberapa budaya di Nusantara. Gerak komedi yang menjadi ciri khasnya membuat gelak tawa hadir dari deretan penonton.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang datang usai menghadiri peringatan Waisak di Candi Borobudur berharap, berkah Trisuci Waisak mampu menjadikan kedamaian dan kebahagiaan bagi semua umat manusia. Ia mengajak semua umat beragama di Indonesia pesan penting,

“Jika setiap warga negara sadar memiliki bangsanya, maka negara akan kuat,” kata Lukman Hakim Saifuddin.

Ia mengajak umat beragama untuk beragama secara moderat. Artinya, umat beragama dapat memahami teks dalam konteks yang tepat. Jangan sampai fanatisme agama membentuk individu yang eksklusif yang berpotensi menimbulkan konflik antar umat beragama. Lukman juga mengutip Dhammapada Syair 197, yang menyatakan bahwa orang akan hidup berbahagia, jika bisa hidup tanpa membenci.

“Teladanilah perjalanan hidup Buddha Gotama yang merupakan figur perdamaian,” katanya.

Sementara Mahfud MD dalam sambutannya mengatakan, Indonesia bukan negara agama, artinya Indonesia tidak berdasar pada satu agama tertentu. Namun Indonesia juga bukan negara yang tidak peduli agama, atau negara sekuler.

“Indonesia adalah negara yang berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda warga negaranya dalam urusan beragama, tetapi bersatu untuk kehidupan bernegara,” tegasnya.

Karena itu, ia menegaskan, semua pemeluk agama di Indonesia harus diperlakukan secara sama, dan dilindungi dengan setara. Ia mengajak umat Buddha agar tidak takut pada agama mayoritas.

“Beragama itu adalah hak asasi yang paling dasar,” sambungnya.

Ketua Panitia Romo Suroso Sadewa Putra menyampaikan, tema “Mencintai Tanah Air Indonesia” dipilih berdasarkan fenomena bangsa saat ini. Tema tersebutlah yang menjadi spirit umat Buddha dalam menyikapi keadaan dan bangsa.

“Melalui perayaan diharapkan sebagai momentum untuk memperkuat tekad kita dalam mempraktekkan Buddha Dharma,” pungkasnya.

The post Didi Nini Thowok Jadi Bintang Waisak 2019 di Candi Sewu appeared first on BuddhaZine.

Umat Buddha Suku Tengger Waisakan di Kota Surabaya

$
0
0

Dengan pakaian adat khas Suku Tengger, mereka melakukan pujabhakti dalam tradisi Buddha Jawa Sunyata. Pujabhakti dimulai dengan sesembahan, yaitu mempersembahkan sarana puja; dupa, bunga, dan buah serta aneka sesaji pada Buddha.

Ada sajian menarik di Vesak Festival 2019, Tunjungan Plaza 6, Surabaya Kamis (16/5), yaitu hadirnya 63 umat Buddha Suku Tengger. Mereka hadir langsung dari Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.

“Tadi kita mulai dengan melakukan sesembahan, yaitu mempersembahkan dupa, bunga, buah dan sesajian itu adalah hormat kita kepada Buddha, Para Buddha dan Sanghyang. Ini juga yang kita lakukan kalau di Ngadas, kita mempunyai hasil bumi seperti kentang dan sebagainya kita persembahkan sebagai bentuk rasa syukur,” kata Supriyasih (41) salah satu umat Buddha Ngadas kepada BuddhaZine.

Setiap tahap pujabhakti dilakukan dengan penuh makna. Bagi umat Buddha Suku Tengger, sembahyang dimaknai sebagai wujud syukur atas segala berkah yang diterima. “Tadi diawal, kita manembah 7 kali, yang artinya kita bersyukur kepada tuhan atas berkah kesehatan. Selanjutnya, kita tadi juga melakukan penghormatan ke empat arah mata angin; utara, selatan, barat, dan timur,”  jelas Mistono, sesepuh umat Buddha Suku Tengger, Ngadas.

“Kita juga bersimpuh kepada bumi. Karena ibu bumi ini yang memberi segalanya, bumi tidak pernah mengeluh ketika kita kasih kotoran, kita injak dan kadang kita rusak. Tetapi lebih dari itu bumi ini yang memberi rezeki kepada kita, seperti yang kita rasakan di Ngadas sendiri.

“Kita menanam kentang, bawang, kubis, dan sebagainya. Kita tanam satu butir biji kentang mungkin bisa berlipat menjadi sepuluh biji kentang. Ini adalah berkah yang telah kita terima, kalau kita tidak merasa syukur dan sungkem kepada bumi ini seperti pepatah jawa ‘sasat kalah karo asu pangartine‘.”

Asu (anjing) kalau kita diberi makan, itu ekornya pasti kibot (bergerak), itu adalah wujud terima kasih asu kepada yang memberi. Lha kalau kita manusia sudah diberi berkah tetapi kalau tidak mau bersyukur, bersujud, sungkem kepada bumi ya seperti itu. ‘sasat kalah karo asu pangertine’,” lanjut Pak Mistono.

Pakaian adat khas Suku Tengger, pujabhakti memakai bahasa Jawa dengan segala gerakannya menjadi daya tarik sendiri bagi pengunjung Mall Tunjungan Plaza 6, terutama pengunjung Vesak Festival. Wajar saja, banyak pengunjung yang minta foto bersama mereka.

Trah Majapahit

Ngadas merupakan salah satu nama desa di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa ini berada di ketinggian 2200 mdpl dengan luas wilayah sekitar 395 hektar. Desa Ngadas terbagi menjadi dua dusun, yaitu Dusun Jarak Ijo dan Dusun Ngadas. Di Dusun Ngadas inilah tempat bermukim umat Buddha Suku Tengger.

Menurut cerita sesepuh umat Buddha Ngadas, agama Buddha telah ada sejak berdirinya Desa Ngadas tahun 1774. “Leluhur kami, pendiri Desa Ngadas berasal dari Majapahit yang mendirikan desa di hutan rimba pegunungan Tengger. Jadi bisa dikatakan umat Buddha Ngadas telah ada secara turun-temurun sejak tahun 1774,” cerita Pak Mistono.

Saat ini, setidaknya terdapat 229 kepala keluarga dengan 700 jiwa umat Buddha desa Ngadas. Mereka menjalankan ajaran Buddha Jawa Sunyata dengan pedoman kitab Adam Makno. “Dalam kebaktian, sesembahan dan meditasi yang tadi kami lakukan semua ada di kitab ini (sembari menunjukkan kitab kuning yang dimaksud). Ini kitab yang diturunkan oleh Sanghyang Ismaya yang dipercaya sebagai perwujudan Semar,” jelas Supriasih.

The post Umat Buddha Suku Tengger Waisakan di Kota Surabaya appeared first on BuddhaZine.

Penuh Kesederhanaan dan Sakral, Waisakan di Krecek

$
0
0

Dimulai dengan Nyekar (tabur bunga di makam leluhur) pada pukul tiga sore, seluruh umat Buddha Dusun Krecek mengikuti upacara mengambil tirtha dari tiga sumber mata air dusun.

Setiap tahun seluruh umat Buddha merayakan Hari Raya Waisak. Tahun ini, detik-detik Waisak jatuh pada Minggu (19/05) pada pukul 04.11 WIB. Simak yuk, Waisak umat Buddha Dusun Krecek, Temanggung.

Diawali dengan bernamaskara dan pengarahan dari sesepuh umat, selanjutnya umat melakukan pembagian dupa serta penyalaan obor kemudian mengatur barisan di halaman Vihara Dhammasarana sebagai persiapan ke sumber mata air.

Mereka menggunakan obor bambu sebagai penerangan jalan, sehinggga ketika barisan sudah mulai tertata dan mulai berjalan menghadirkan kesyahduan tersendiri ditambah dengan mulai hadirnya bulan purnama dari balik bukit dan harumnya dupa yang dibawa setiap peserta.

Sunyinya malam nan damai pun sangat terasa ketika menyaksikan barisan obor.

Setibanya di sumber mata air, mereka mempersembahkan tumpeng dan penyalaan dupa, selanjutnya diadakan pembacaan paritta serta doa bagi kelangsungan dan kelestarian sumber mata air. Penaburan bunga di area sumber pun dilakukan sebagai penutup ritual pengambilan tirta suci untuk kemudian prosesi dilanjutkan menuju sumber mata air selanjutnya.

Setibanya di vihara sebelum peletakan tirtha suci, umat langsung diarahkan untuk terlebih dahulu mengelilingi vihara sebanyak tiga kali. Seusai Pradaksina umat memasuki vihara dan meletakkan tirta suci di altar vihara. Sebagai penutup prosesi, setelah peletakan tirtha suci umat melakukan puja dengan namaskara.


Bagi umat Buddha Dusun Krecek prosesi pengambilan tirtha suci di tahun ini merupakan yang pertama kali dilakukan, tentunya menghadirkan kesan yang sangat berbeda dibandingkan dengan perayaan Waisak sebelumnya.

Sukiman, salah satu umat Buddha Dusun Krecek, menyatakan kebahagiaannya saat mengikuti Waisak, “Kami sangat terkesan dengan adanya prosesi ini, kami bisa belajar bahwa sangat penting untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan kita supaya kehidupan kita pun bisa sejahtera dan nyaman.”


Tepat pukul 04.11 WIB dini hari umat melakukan meditasi detik-detik Waisak yang merupakan puncak perayaan Tri Suci Waisak 2563 BE/2019.

The post Penuh Kesederhanaan dan Sakral, Waisakan di Krecek appeared first on BuddhaZine.

Nasib Vihara Usang di Sudut Kota Batu, Jawa Timur, Ditinggalkan Umatnya

$
0
0

Menyusuri gang yang berukuran tak lebih dari dua meter. Hanya ada tulisan kecil sebagai penanda di bibir gang.

Di belakang rumah-rumah kaveling yang berjejer rapi, ada sepetak bangunan tua dengan kondisi kayu-kayu yang sudah lapuk bertuliskan Vihara Buddhayana Sanggar Pamujaan Grahadharmaloka.

Bangunannya tak besar, berukuran 4 x 6 m dengan satu kuti. Konon katanya bangunan ini menjadi saksi bisu perkembangan agama Buddha di daerah Batu, Jawa Timur. Bangunan mulai berdiri sejak 1950, bangunan ini menjadi tempat pembinaan ajaran Buddha di kota apel tersebut. Tak mewah, hanya sederhana, sangat menggambarkan ajaran Dharma yang penuh dengan kesederhanaan dan simple.

Di dinding bangunan yang catnya sudah mulai mengelupas, ada sketsa foto pendiri vihara tersebut. Adalah Romo Dayama yang mendirikan sekaligus membina vihara tersebut atau warga sekitar lebih sering menyebutnya sebagai sanggar.

Menurut pengakuan anaknya, Pak Ngatimin, dulu ketika Romo Dayama masih hidup sanggar selalu penuh dipadati umat-umat yang belajar Dharma. Hingga tahun 2000 Romo Dayama meninggal dunia, kemudian digantikan dengan muridnya Pak Karnoto.

Pak Karnoto pun membina sanggar tak lama, juga tidak maksimal. Karena pada waktu itu kondisi Pak Karnoto yang sudah agak sepuh dan mengalami sakit-sakitan menurut cucunya. Pak Karnoto menjadi pembina hanya selama sekitar 3 tahunan, kemudian meninggal pada tahun 2004. Sejak itu pula banyak umat yang tidak terbina dan lama kelamaan kondisi sanggar tak lagi seramai dulu.

Tak ada satu pun keluarga Romo Dayama dan Pak Karnoto yang juga mewarisi ajaran Dharma. Bahkan ketika Pak Karnoto meninggal, jenazahnya tak dimakamkan secara Buddhis, karena anak dan cucunya tak mempelajari agama Buddha.

Di tahun 2006, menurut Pak Ngatimin, ada bhikkhu yang menetap di sanggar ini. Meski Pak Ngatimin tak lagi mengenal agama Buddha, namun kebutuhan dan urusan vihara/sanggar masih diurusnya. Karena menurutnya, ini merupakan warisan dari orangtuanya. Sewaktu ada bhikkhu yang menetap di vihara pun Pak Ngatimin yang mengurus segala kebutuhannya, meski dalam kondisi yang terbatas.

Walaupun ada bhikkhu saat itu, umat yang datang rata-rata dari luar Kota Batu. Untuk sekadar sembahyang atau mengunjungi bhikkhu guna berdana. Bhikkhu tersebut juga sering keluar untuk mengisi ceramah di tempat lain. Sehingga vihara sering kosong.

Bhikkhu yang diketahui bernama Slamet Raharjo itu sejak 2017 tak lagi menempati vihara tersebut. Sekarang ia berada di salah satu panti jompo di kawasan Lawang, Kabupaten Malang, karena kondisinya yang sudah sepuh dan tidak ada lagi ada yang mengurus. Sanggar itu pun menjadi sunyi senyap, tak ada lantunan-lantunan suci yang terdengar dari balik pintu kayu usang vihara.

Akhir-akhir ini, terbersit kabar bahwa vihara/sanggar ini akan dijadikan sebagai Tempat Pendidikan Jawa (TPJ) oleh warga sekitar. Inisiatif ini muncul dari tokoh-tokoh masyarakat di sekitar Jl. Sareh-Batu tempat vihara tersebut berdiri. Otomatis sanggar tak lagi difungsikan sebagai vihara karena selama hampir beberapa tahun tak lagi aktivitas kerohanian yang dilakukan secara kolektif oleh umat Buddha.

Warga menilai akan sangat disayangkan jika ada ruang serta tempat tapi tidak terfungsikan dengan baik. Ditambah semakin lama bangunan akan mengalami kerusakan karena tidak dirawat dan digunakan.

The post Nasib Vihara Usang di Sudut Kota Batu, Jawa Timur, Ditinggalkan Umatnya appeared first on BuddhaZine.

Romo Komang Gede Susena Dharma, Tokoh Agama Buddha di Lombok Tutup Usia

$
0
0

Romo Komang Gede dikenal sebagai sosok sederhana yang gigih dalam memperjuangan umat Buddha, terutama di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Beliau adalah tokoh kebangkitan sekaligus perintis pembangunan vihara hampir di seluruh pelosok-pelosok desa di NTB.

Umat Buddha Indonesia kehilangan sosok pahlawan kebangkitan Buddhadharma. Romo Komang Gede Susena Dharma meninggal dunia di usia 93 tahun pada Sabtu, 1 Juni 2019 di RSUP NTB, sekitar Pukul 16.20 WITA.

Romo Komang Gede lahir di Dusun Karang Siluman, Lurah Cakra Timur, Kec. Cakranegara, Kota Mataram pada tahun 1926. Beliau lulus pendidikan setara Sekolah Rakyat, kemudian bergabung dengan Pasukan Trikora dan turut merebut Bukit Barisan, Pulau Sumatera dari tangan penjajah.

Pada masa awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, Romo Komang Gede pernah bertugas di istana negara sebagai pengawal Presiden Soekarno. Pada masa itu, beliau juga turut mengawal pembangunan Monumen Nasional (Monas) di Jakarta.

Romo Komang Gede menikah dengan Ni Nyoman Ati Suriati pada tahun 1965 dan dikaruniai 6 orang putri yang salah satunya menjadi biksuni. Mereka adalah (1). Nengah Nani, (2). Made Amitarini (sekarang Bhikkhuni Nyana Pundarika), (3). Nyoman, (4). Ketut, (5). Wayan Wiriani, (6). Nengah Budhiani.

Sebagai seorang ayah, Romo Gede Komang dinilai sebagai sosok yang mempuyai integritas tinggi. Kejujuran, kedisiplinan, dan kesederhanaan adalah ajaran yang selalu ditekankan kepada anak-anaknya.

“Kami sangat bangga kepada Bapak, beliau adalah orang yang sederhana dan penuh integritas. Cinta kasihnya sangat luas kepada sesama, peduli kepada semua orang terutama bagi perkembangan agama Buddha,” kata Wayan Wiriani (47), salah satu putri Romo Komang Gede kepada BuddhaZine.

Bertemu dengan agama Buddha

Saat bertugas sebagai anggota Brimob di Cipanas, Bogor, Romo Komang Gede sering berkunjung ke Vihara Sakyawanaram, Pacet. Seringnya mendengarkan cermah Dharma dari Bhante Ashin Jinarakkhita, membuat hati Romo Komang Gede tergugah dan tertarik pada agama Buddha. Kemudian beliau ditahbis menjadi upasaka pandita oleh Bhante Ashin Jinarakkhita sekitar tahun 1970’an. Penahbisannya menjadi upasaka pandita menjadi awal pengabdian beliau pada agama Buddha.

Pada tahun 1972 Romo Komang pindah tugas ke Polda NTB. Di tanah kelahirannya itu, Romo Komang kemudian menelusuri keberadaan umat Buddha. Dari ujung Barat Kampung Sekotong Ganjar, Lombok Barat hingga ujung Lombok Timur, Lombok Tengah sampai ujung utara Kecamatan Tanjung, Kecamatan Gangga sampai ujung timur Kecamatan Bayan.

“Saat bertugas di Lombok, beliau mencari keberadaan umat Buddha dari desa ke desa. Melihat banyaknya komunitas Buddhis yang tidak memiliki tempat ibadah, Romo merasa prihatin dan bergerak mencarikan solusi,” Kata Romo Jinarathana (63) salah satu muridnya.

Dengan memanfaatkan jaringan di pemerintahan Romo Komang Gede bergerak, membuat proposal yang diajukan ke Departemen Agama Buddha Pusat. Berkat jasa beliau, pada tahun 1974 beberapa vihara di NTB mendapat bantuan pembangunan sebesar Rp. 1.100.000.

Tak berhenti sampai di situ, pada masa pemerintahan Soeharto, Romo Komang Gede juga pernah mengajukan proposal ke istana negara. Tidak membutuhkan waktu lama, proposal itu kemudian direspon dan mendapat pesetujuan dari Presiden Soeharto yang memberikan bantuan dana sebesar Rp. 12.000.000 untuk pembangunan Vihara Jaya Wijaya Tebango, Desa, Pemenang Timur, Kecamatan Lombok Barat pada tahun 1975.

Pembangunan Vihara Jaya Wijaya ini sekaligus sebagai pelecut pembangunan vihara-vihara lain di seluruh Provinsi NTB.

Sosok teladan

Romo Komang Gede Susena Dharma merupakan sosok penting dalam sejarah perkembangan umat Buddha Lombok. Beliau adalah guru sekaligus teladan bagi umat Buddha yang tanpa kenal lelah mengabdikan hidupnya demi perkembangan agama Buddha.

Saat umat Buddha Lombok belum mempunyai tempat ibadah, beliau tak segan menghibahkan tanahnya untuk dibangun vihara. Beliau juga berperan besar dalam mendirikan organisasi-organisasi Buddhis di Lombok.

Dengan menggunakan motor, beliau kerap kerap blusukan ke desa-desa untuk menyapa umat Buddha, mengajarkan Dharma dan membimbing membaca paritta. “Beliau yang mengajari kami, mengenalkan dengan agama Buddha dan membaca paritta-paritta,” kata Romo Jinarathana.

“Saat bertugas sebagai aparat keamanan dan melakukan pembinaan umat, beliau mengendarai sepeda motor bebek 70 keluaran pertama tahun 70’an. Sering jatuh, terpeleset dari motor, tapi anehnya tidak pernah luka serius paling hanya lecet sedikit. Meski begitu, beliau tidak kapok, tidak kenal lelah tetap blusukan membabarkan Dharma kepada umat,” kenang Romo Jinarathana lebih lanjut.

Semangat juang Romo Komang Gede ini juga yang menjadikan pemantik semangat dan keteladanan generasi penerus umat Buddha Lombok. Seperti yang diakui oleh Nasib (43), Ketua Cabang Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Lombok Barat, ia mengaku kagum dengan kesederhanaan Romo Komang Gede. “Hal yang saya teladani sosoknya sederhana penuh pengabdian dalam pelayanan serta selalu memberikan contoh dalam bahasa yang mudah dipahami,” kenangnya.

Jasa dan ketokohan Romo Komang juga diakui oleh para anggota sangha. Seperti yang ditulis oleh Bhante Thanaviro dalam status fb-nya, “Jasa beliau dalam menyebarkan agama Buddha di Lombok sangatlah besar, beliau adalah orang yang merintis pembagunan banyak vihara di Lombok termasuk di desa-desa, dan pelosok. Beliau adalah penginspirasi banyak orang untuk belajar agama Buddha.”

Berkat pengabdian sepanjang hayatnya terhadap agama Buddha, Romo Komang Gede banyak mendapat penghargaan sebagai tokoh pejuang Dharma dari Direktur Jenderal Kementerian Agama Buddha.

The post Romo Komang Gede Susena Dharma, Tokoh Agama Buddha di Lombok Tutup Usia appeared first on BuddhaZine.

Melihat Lebih Dekat Persiapan Waisak Umat Buddha Suku Tengger

$
0
0

Sabtu (8/6) sejak pagi hari, Vihara Paramitta, Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur tampak ramai. Anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua terlihat sibuk, mereka tengah menyiapkan perayaan Waisak 2019.

“Persiapan sudah dimulai sejak Jumat (7/6). Menata tenda, altar, memasang umbul-umbul hingga makan,” terang Ibu Supriasih kepada BuddhaZine.

Pelaksanaan Waisak sendiri akan dilaksanakan pada esok harinya, Minggu (9/6). Acara akan dimulai pada pukul 10.00 WIB dengan pradaksina dari rumah warga Desa Ngadas hingga menuju ke lokasi vihara.

“Selesai Pradaksina, kita akan melakukan ritual di Dhammasala. Melakukan sesembahan puja, doa, kebaktian, dan dilanjutkan dengan potong tumpeng kabuli,” lanjutnya.

Setelah upacara di Dhammasala selesai. Acara akan dilanjutkan di panggung yang terletak di depan vihara. Perayaan Waisaknya nanti di panggung. Kita akan melihat berbagai pertunjukkan seni, juga mendengarkan ceramah Dhamma dari bhikkhu Sangha,” imbuhnya.

Acara perayaan Waisak umat Buddha Ngadas akan dihadiri oleh Bhante Sukhito, Padesanayaka Sangha Theravada Indonesia Jawa Timur, umat Buddha dari Malang Raya, Blitar, dan Surabaya.

“Untuk undangan dari luar Ngadas, yang sudah konfirmasi hadir sekitar 300 orang,” pungkasnya.

Bagi anda yang kebetulan sedang berlibur ke Bromo bisa bergabung dan mengikuti acara Waisak umat Buddha Suku Tengger. Vihara ini terletak persis di seberang jalan menuju Bromo dari jalur Malang.

Kami akan mengabarkan Waisakan umat Buddha Suku Tengger di Desa Ngadas, Malang, Jawa Timur, dalam tulisan-tulisan selanjutnya.

The post Melihat Lebih Dekat Persiapan Waisak Umat Buddha Suku Tengger appeared first on BuddhaZine.


Umat Buddha Sumberjo, Blitar, Turut Bersuka Cita dalam Idul Fitri

$
0
0

Perayaan Idul Fitri yang tepat jatuh pada tanggal 5 Juni 2019, dirayakan hampir seluruh daerah di Indonesia. Mulai dari perkotaan hingga pedesaan. Tak luput juga di salah satu daerah desa Buddhis bernama Desa Sumberjo. Letak Desa Sumberjo berada di Kecamatan Kademangan, Kab. Blitar bagian Selatan.

Di Sumberejo jumlah umat Buddha diperkirakan sekitar 54 KK dan sudah ada sejak tahun 1966. Meskipun umat tak sebanyak dulu, namun agama Buddha masih tetap dipertahankan. Umat Buddha di sini hidup berdampingan dengan rukun antarsesama warga yang beragama lainnya. Kehidupan masyarakat Sumberjo sangat harmonis dan kompak bergotong-royong. Dibuktikan dengan adanya kerja bhakti desa rutinan setiap seminggu sekali di hari Minggu.

Bahkan ketika pembangunan vihara yang dilakukan pada tahun 1991, melibatkan seluruh masyarakat dari unsur semua agama di sini. Karena sebelumnya vihara yang ada hanya bersifat hibah, sehingga ketika si penghibah meninggal dunia, ahli waris meminta agar tanah vihara dikembalikan. Alasan itu juga yang membuat vihara pindah.

Kepala Desa waktu itu dari unsur militer merasa terenyuh mendengar kabar tersebut dan sangat mengapresiasi umat Buddha yang ada di desa ini. Kemudian Kepala Desa mengajak seluruh masyarakat desa untuk turut membantu menyukseskan pembangunan vihara hingga berdiri sampai sekarang.

Terdapat lima agama yang dianut warga Desa Kademangan yakni Buddha, Islam, Hindu, Kristen dan Katolik. Karena masyarakatnya cukup heterogen, warga di sini mempunyai Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tingkat desa. Rutin pula melakukan dialog di Balai Desa Sumberejo, tentu dengan difasilitasi Kepala Desa sebagai pengampu kebijakan di tingkat desa. Dalam musyawarah desa pun seluruh elemen keagamaan selalu dilibatkan.

Momentum Idul Fitri juga menjadi ajang saling memperkuat hubungan. Umat Buddha akan pergi berkunjung ke rumah-rumah umat Islam yang merayakan. Sekadar memberi selamat dan turut bersukacita merayakan. Biasanya berlangsung sampai hari ketiga Idul Fitri.

Perayaan Waisak yang kebetulan belum lama berlangsung juga demikian. Rumah umat Buddha tak luput dari kunjungan umat beragama lain yang memberi selamat dan turut bersuka cita. Biasanya berlangsung sampai tiga hari ke depan setelah perayaan Hari Waisak. Jika ada acara Dhammasanti Waisak di vihara, umat pasti mengundang seluruh warga tanpa melihat latar belakangnya.

Ini dipertegas oleh Pak Karno salah seorang umat Buddha di Desa Sumberjo. Menurutnya tradisi saling bertamu dan memberi selamat sudah berlangsung secara turun menurun diwarisi para orangtua mereka. Di momen Idul Fitri, Pak Karno selalu mengajak keluarganya untuk menyambangi rumah umat-umat Islam yang merayakan Idul Fitri. Ini dilakukan untuk memberikan contoh tauladan pada anaknya nanti agar selalu melakukan hal yang sama. Sehingga hal-hal yang positif dapat selalu diwariskan oleh generasi-generasi yang akan datang.

The post Umat Buddha Sumberjo, Blitar, Turut Bersuka Cita dalam Idul Fitri appeared first on BuddhaZine.

Umat Buddha Vihara Dhamma Manggala, Banyumas, Kini Bisa Waisakan di Vihara Baru

$
0
0

Umat Buddha Vihara Dhamma Manggala, Desa Banjarpanepen, Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas kini bisa merasakan pujabhakti di tempat yang nyaman. Meskipun belum jadi seratus persen, vihara baru pengganti cetiya lama sudah bisa digunakan, termasuk untuk pujabhakti detik-detik Waisak 2019 hari Minggu (19/5).

Vihara Dhamma Manggala dibangun di atas tanah seluas 10 x 14 meter dengan luas bangunan dhammasala 115 meter persegi. Selain ruang dhammasala, vihara ini juga dilengkapi dengan kuti (tempat tinggal bhikkhu) dan kamar mandi.

Sebelumnya, umat Buddha Desa Banjarpanepen melakukan kegiatan pujabhakti di cetiya sederhana yang dibangun secara gotong royong. Dimulai sekitar tahun 2015 saat umat merasa perlu meningkatkan kegiatan Buddhadharma, mereka melalukan iuran saat puja bakti. Dana ini kemudian digunakan untuk membangun cetiya di tanah yang dihibahkan oleh salah satu umat Buddha.


“Umat gotong royong dan mengumpulkan dana tiap kebaktian malam rabu dan minggu untuk membeli material dan rumah bekas yang kami pakai selama tiga tahun ini sebelum akhirnya dipugar,” kata Sumarti, salah satu pembina umat Buddha Banyumas kepada BuddhaZine.

Namun seiring perjalanan waktu, cetiya yang oleh Mendiang Bhante Dhammatejo diberi nama Dhamma Manggala ini mulai tidak layak untuk digunakan pujabakti. Saat hujan datang atap bocor, selain itu lantai juga masih tanah dengan alas karpet plastik.

“Cetiya bangunan dari rumah bekas benar-benar memprihatinkan kondisinya Mas. Saat hujan lebat atap bocor, lantai juga masih dari karpet plastik. Jadi tahun 2018 kami membuka akses, ketemu dengan Bhante Sujano dari Jepara. Akhirnya beliau membantu penggalangan dana untuk pemugaran vihara ini,” terang Sumarti lebih lanjut.

Tak hanya bangunan baru, yang menjadi istimewa di altar vihara ini terpampang rupang Buddha setinggi 2,2 meter. Terbuat dari bahan batu alam berwarna putih, dengan mudara vitarka membuat altar vihara ini tampak gagah.

“Tinggi rupang 1,7 meter sedangkan teratainya 50 cm, berat keseluruhan sekitar 4 ton. Jadi butuh dua hari sendiri untuk menaikkan rupang ke altar dan finishing,” kata Hendri Wahyuti, pemilik sanggar pembuat rupang di Sleman, Yogyakarta.

Tak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Jawa Tengah, umat Buddha Kecamatan Sumpiuh, Banyumas juga berkembang sejak tahun 1965. Saat ini setidaknya terdapat sekitar 200 kepala keluarga umat Buddha di Kecamatan Sumpiuh. Mereka tersebar di lima desa; Selanegara, Banjarpanepen, lebeng  dan Ketanda.

“Agama Buddha di tempat kami sudah ada sejak tahun 65’an dan dulu umatnya cukup banyak namun dalam perkembangannya mengalami penurunan kuantitas. Banyak umat yang berpindah keyakinan karena faktor pernikahan. Dulu pujabhakti ataupun kegiatan keagamaan Buddha dilaksanakan di vihara yang letaknya cukup jauh dan tidak semua umat bisa datang,” kenang Sumarti.

Karena itu, Sumarti berharap vihara yang baru ini dapat meningkatkan semangat umat Buddha, datang ke vihara dan belajar Buddhadharma.

The post Umat Buddha Vihara Dhamma Manggala, Banyumas, Kini Bisa Waisakan di Vihara Baru appeared first on BuddhaZine.

Tradisi Unik Masyarakat Tengger

$
0
0

Ngadas, merupakan salah satu desa di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa ini masuk dalam wilayah pegunungan Tengger, berada di ketinggian 2.150 mdpl, membuat Desa Ngadas dijuluki Negeri Kayangan.

Desa Ngadas terbagi atas dua dusun, Dusun Jarak Ijo dan Dusun Ngadas sendiri. Desa dengan luas area sekitar 395 hektar ini dihuni oleh 516 kepala keluarga yang sebagian besar bermata pencarian sebagai petani kentang. Berdasarkan keyakinan, saat ini terdapat tiga agama yang dianut oleh masyarakat Desa Ngadas. Agama Buddha masih menjadi mayoritas, disusul Islam dan Hindu. Meskipun begitu, kehidupan masyarakat tetap bejalan harmonis.

Puluhan upacara adat tradisi masih dijalankan pada hajatan dan hari-hari tertentu. Salah satunya adalah yang kami (BuddhaZine) temui saat liputan Perayaan Waisak umat Buddha Ngadas, yaitu upacara Karak-karakan kuda lumping.

Upacara ini digelar hari Sabtu (8/6) sehari sebelum perayaan Waisak. Menurut keterangan dari Endiyanto, salah satu warga Ngadas, upacara Karak-karakan Kuda Lumping ini digelar dalam rangka hajatan khitan Dodi, anak dari pasangan Bapak Muyanto dan Ibu Akim. “Karak-karakan kuda lumping, tradisi masyarakat Ngadas yang biasa dipakai pada hajat sunatan. Ini dimaknai supaya anaknya gembira dan mendapatkan berkah,” kata Endriyanto yang masih kerabat yang punya hajat.

Selain digunakan dalam hajat sunatan, karak-karakan juga sering digunakan dalam hajat tugel kuncung (cukur kuncung) bagi anak-anak perempuan yang masih ada unsur keturunan dari nenek ibunya.

Tempat duduk dengan hiasan indah diletakkan di setiap punggung kuda yang kemudian digunakan untuk duduk manten (anak yang akan disunat) dan juga untuk anak-anak pengiring yang masih ada hubungan kerabat dengan manten. Ujung barisan adalah para penabuh gamelan khas Desa Ngadas yang mengalun sepanjang prosesi karak-karakan berlangsung. Rombongan khusus yang melaksanakan karak-karakan biasa disebut rombongan kuda joget yang merupakan penduduk asli Desa Ngadas.

“Sebelum karak-karakan mulai jalan, terlebih dahulu rombongan kuda joget melakukan ritual semeningan arak di tempat yang punya hajat. Baru setelah ritual selesai dilaksanakan prosesi karak-karakan,” terang Bu Supriasih, pembina umat Buddha Desa Ngadas.

Sesepuh desa dengan berbusana adat berlaku sebagai pemimpin karak-karakan, tepat di belakang sesepuh desa diikuti seorang anak kecil yang membawa piring berisi sesajen sebagai simbol keselamatan dan kelancaran selama prosesi berlangsung.

Dengan dipimpin oleh sesepuh desa karak-karakan berjalan dari rumah yang punya hajat menuju ke pemakaman desa untuk melakukan nyekar ke makam leluhur sebagai wujud penghormatan kepada leluhur. Nampak di pintu masuk makam terdapat tiga orang setengah baya berbusana adat yang menjaga sesaji serta membantu rombongan manten untuk nyekar di makam. Sebelum nyekar di makam leluhur sendiri, manten dan pengiringnya melakukan nyekar di makam Mbah Sedek yang merupakan leluhur di Desa Ngadas, dalam istilah Jawa yang mbobak citak desa.

Selesai nyekar karak-karakan menuju rumah Kepala Desa untuk makan bersama, hal ini sebagai wujud penghormatan dari rakyat terhadap pemimpinnya. Dari rumah Kepala Desa kemudian menuju rumah Mbah Pandita Dukun untuk nimbul manten dan juga makan bersama di rumah Mbah Pandita Dukun. Nampak istri Mbah Pandita Dukun memberikan minuman air bening yang sudah diberikan doa dari Mbah Pandita Dukun untuk manten dan juga anak-anak yang menjadi pengiring manten.

“Ini namanya nimbul manten, dengan cara di kasih air bening untuk diminumkan kepada anak yang mau disunat juga kepada anak-anak yang mengiringi manten. Harapannya supaya anaknya diberi kesehatan juga supaya lancar segalanya dan juga selamat,” ungkap istri Pak Sutomo (Mbah Pandita Dukun).

Akhir prosesi rombongan karak-karakan berkumpul kembali ke rumah yang punya hajat untuk melanjutkan acara hajatan.

Selain menjadi cermin masih kuatnya adat dan budaya di Desa Ngadas namun tradisi ini menjadi salah satu cermin masih terjaganya toleransi antarumat beragama di Desa Ngadas. Hal bisa terlihat dari salah satu contoh hajatan sunat, yang mana keluarga yang punya hajat ternyata berbeda keyakinan dengan Mbah Pandita Dukun, namun tetap yang punya hajat patuh terhadap tradisi yang sudah terbentuk.

The post Tradisi Unik Masyarakat Tengger appeared first on BuddhaZine.

Menyelisik Uniknya Warisan Buddha di Lereng Bromo

$
0
0

Di Indonesia, Bromo merupakan kawasan wisata yang sangat terkenal. Gunung aktif setinggi 2.392 meter bernuansa sakral yang dikelilingi oleh hamparan “pasir berbisik” ini tentunya memiliki daya tarik tersendiri bagi banyak wisatawan domestik maupun mancanegara.

Tetapi membahas Gunung Bromo tidaklah lengkap tanpa mengenal penduduk asli yang hidup di sekitarnya, yakni Suku Tengger. Berbeda dengan penduduk di Jawa Timur kebanyakan, Suku Tengger memiliki kepercayaan, bahasa, serta kebudayaan yang cukup unik. Tradisi yang berkembang di kalangan Suku Tengger memang berkaitan erat dengan Gunung Bromo.

Ada beberapa opini yang menjelaskan tentang asal-usul dari nama “Tengger”. Pendapat pertama mengatakan bahwa istilah “Tengger” berasal dari kalimat Tenggering Budi Luhur yang artinya budi pekerti yang luhur, menggambarkan watak Suku Tengger yang seyogianya. Pandangan yang populer menyebut bahwa nama “Tengger” merupakan kata gabungan dari nama Roro Anteng dan Joko Seger, nama leluhur Suku Tengger, yang berasal dari Majapahit.

Yang jelas, para leluhur Suku Tengger diakui sebagai pelarian dari Kerajaan Majapahit yang runtuh pasca diserang Demak. Mereka mengungsi dan terisolasi di Pegunungan Tengger, tidak tersentuh oleh peradaban luar selama bertahun-tahun.

Berbeda dengan peradaban Jawa lainnya yang telah didominasi oleh ajaran Islam, Suku Tengger masih mempertahankan kepercayaan para leluhurnya dari Majapahit. Salah satunya dapat dilihat di Desa Ngadas.

Ngadas adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Berlokasi 48 km dari Kabupaten Malang, Ngadas merupakan satu-satunya desa Suku Tengger yang berada di Malang. Warga Tengger lain berada di Lumajang, Probolinggo dan Pasuruan. Jika mayoritas warga Tengger yang berada di Lumajang, Pasuruan, dan Probolinggo merupakan umat beragama Hindu, justru di Desa Ngadas mayoritasnya adalah Buddhis. Vihara Paramita di Ngadas adalah tempat berkumpulnya umat Buddha setempat untuk melakukan berbagai aktivitas keagamaan.

Mistono selaku Kepala Vihara Paramita Ngadas menjelaskan, keberadaan umat Buddha dapat dilacak sejak awal mula didirikannya Desa Ngadas pada tahun 1774 oleh sekelompok leluhur yang beragama Buddha. Ajaran para leluhur tersebut, meski berlabel Buddha, menurutnya lebih bersifat tradisi, yang dilestarikan hingga sekarang. Tradisi filosofis dan ritualistik leluhur Tengger tersebut memang memiliki perbedaan dengan Buddhis mainstream, atau pada umumnya.

Hingga pada tahun 90-an, dilakukan pembinaan oleh pemerintah dan lembaga yang berwenang, sehingga tradisi Buddhis mainstream menyatu dengan ajaran leluhur Tengger. Vihara Paramita pun didirikan, di bawah naungan Walubi Malang Raya.

“Ada umat Islam masuk, juga ada umat Hindu masuk pada tahun 1990. Sedangkan pada saat itu para sesepuh berpikir bagaimana caranya umat Buddha ini bisa membentengi diri, terus bisa berkembang, caranya bagaimana. Terus kita ketemu dengan Walubi, dikenalkan sama Pandita Haris dari Kota Malang dan kita umat dari Desa Ngadas ini langsung diketemukan dengan Walubi. Dan akhirnya kita dibina oleh Walubi Malang Raya sampai saat ini,” ungkap Mistono kepada Buddhazine, Minggu (9/6) siang di sekitar viharanya.

“Dan perlu kami sampaikan, apa yang menjadi keyakinan kami umat Buddha Ngadas hingga saat ini kami masih bertahan menjadi umat Buddha. Pada dasarnya ini adalah ajaran dari para leluhur, di mana para leluhur itu sudah mengaku agama Buddha. Makanya sampai saat ini saya dan kami umat Buddha Ngadas sebagai generasi selanjutnya terus mengikuti dan keyakinan sudah melekat pada kami sebagai agama Buddha,” tegas Mistono.

Ajaran leluhur

Ajaran leluhur Jawa yang dilestarikan masyarakat Tengger menurut Mistono selaras dengan ajaran Buddha. Karena itu, wajar saja kalau kemudian lahir suatu label Buddhis hibrida yang disebut sebagai Buddha Jawa Sanyata. Agama Buddha yang selain mempercayai mitologi atau filosofi Jawa, dalam ritualnya juga memakai bahasa dan tradisi Jawa.

Yang unik, umat Buddha di Ngadas sehari-hari melaksanakan puja bakti dua kali, pagi dan petang, menjelang mentari terbit dan sesudah tenggelam, sesuai dalam tradisi leluhur. Bisa dilakukan di vihara, atau di rumah masing-masing. Untuk urutan atau prosedur dalam pujabhakti, di pagi hari diawali dengan membakar dupa, lalu memberi hormat kepada para Buddha dan Bodhisattwa, disambung menghormat juga kepada Sang Hyang Ismaya.

“Setelah kita melakukan penghormatan kita berdoa, memohon agar kita diberi kesehatan, murah rezeki, rezeki berlimpah. Dan setelah itu sebagai rasa syukur kita, kita melakukan pujabhakti,” jelasnya.

Tiap hari Rabu, dilakukan pujabhakti rutin di Vihara Paramita. Namun, ada hari khusus, yakni Rabu legi, yang mana selain diadakan kebaktian rutin, ada juga acara sungkem atau sedekah bumi, yang menggunakan sarana sesaji sekul liwet, sesaji nasi tanak ditambah telur ayam kampung. Ini adalah bentuk rasa syukur kepada Gusti Sang Hyang Wenanging Jagat, Hyang Ibu Bumi yang telah memberi kehidupan.

“Kita harus sungkem pada Bumi, karena Bumi ini sama juga yang memberi segalanya, yang memberi kehidupan semua umat manusia. Bumi tidak pernah mengeluh sama sekali, kita injak, kita membuang kotoran ke Bumi ini, namun Bumi ini tidak pernah sama sekali mengeluh,” tuturnya.

Ada juga Unan-Unan, upacara untuk keselamatan yang digelar tiap lima tahun sekali. Selain itu ada upacara setahun sekali, Karo, yang diadakan untuk mendoakan para leluhur yang sudah meninggal. Tiap Kamis Kliwon umat Buddha Ngadas mengadakan syukuran dengan membuat Jenang Katul Leteng, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Dang Hyang Tanah Jawa yaitu Dang Hyang Nungsa Mulya Tiyasa.

“Jadi Dang Hyang Nungsa Mulya Tiyasa inilah Dang Hyang-nya Tanah Jawa yang wajib kita wajib bersyukur dengan membuat Jenang Katul Leteng ini,” jelas dia.

Kitab Adam Makna

Tradisi yang berkembang di masyarakat Buddhis Desa Ngadas memang berdasar kitab kuno menggunakan aksara Jawa hanacaraka yang bernama Adam Makna. ini adalah  kitab yang diyakini diturunkan dari Sang Hyang Ismaya atau Semar, tokoh yang sangat familiar dalam pewayangan Jawa.

Di dalam kitab tersebut dijelaskan kalau Sang Hyang Ismaya atau Sang Hyang Semar menitis ke dunia berkali-kali. Dimulai dari Sang Hyang Ismaya, lalu Semar, Umarmaya, hingga Sabdapalon Nayagenggong di jaman Majapahit.

“Sekarang bereinkarnasi dalam perwujudan wadah sebagai Ki Kere Sabda Gedibal,” papar Mistono. Ki Kere Sabda Gedibal sendiri adalah nama tokoh asal Klaten yang menyebarkan ajaran berdasarkan Kitab Adam Makna ke Ngadas tahun 90-an.

Menurut Mistono, Kitab Adam Makna kalau diringkas esensinya sama halnya dengan yang ada di Kitab Suci Tripitaka. “Kalau di Tripitaka kan kita diajarkan untuk tidak berbuat jahat, selalu berbuat kebajikan, sucikan hati dan pikiran, nah ini ajaran Buddha. Nah di dalam Adam Makna juga sama ada pepali atau larangan, jangan mengambil kepunyaan orang lain, jangan mengambil yang bukan milik kita, dan seterusnya itu ada tujuh larangan yang hendaknya tidak kita lakukan,” ungkapnya.

Kitab Adam Makna menurutnya mengajarkan beberapa hal esensial terkait perilaku hidup luhur. Di antaranya adalah ajaran Wediya ing Luput, atau Takutlah kepada Kesalahan. Selanjutnya adalah Senajan Bener Nanging Kudu Pener, meskipun kita benar tapi tidak boleh merasa sangat benar, karena harus menurut kondisi di sekitar kita. Ada juga ajaran Sampurna ing budi, di mana perbuatan manusia harus baik dan sempurna. Sementara ajaran Kudu welas marang sepada-padaning urip dan Kudu tepa marang sepada-padaning urip mengajak semua manusia untuk berwelas asih tidak boleh membuat penderitaan kepada makhluk lain.

Adam Makna menurutnya juga memberikan tuntunan di dalam hatinya untuk menyembah Tuhan, sungkem Bumi, dan hormat terhadap empat penjuru mata angin. “Karena dengan Tuhan Yang Maha Esa disebut Sang Hyang Wenanging Jagat itu adalah yang merupakan pencipta dan yang memberi segala-galanya. Yang memberi kita kebahagiaan, yang memberi kita kehidupan, yang memberi kita kesehatan, itu Gusti Sang Hyang Wenanging Jagat, Tuhan Yang Maha Esa,” kata Mistono.

Kebersamaan dan toleransi

Mistono diwawancarai di sela perayaan Dharma Shanti Waisak 2019 yang digelar di Ngadas. Dibandingkan Waisak di tahun-tahun sebelumnya, menurutnya perayaan Waisak di Ngadas kali ini lebih ramai. Sesajian dan makanan yang dihidangkan dalam acara kali ini cukup melimpah.

“Dalam salah satu pembukaan perayaan ini kami mebuat Tumpeng Kabuli, ini dibuat juga sebagai simbol rasa syukur kita. Jadi makna dari Tumpeng Kabuli ini kita bersyukur karena apa yang menjadi harapan kita sudah terkabulkan,” terang pria berbaju adat hitam-hitam dan memakai udeng ini.

“Jadi dua minggu sebelumnya saya pernah bilang sama umat-umat, ‘kita kan sudah mau mendekati Dharma Shanti Waisak dua minggu yang akan datang, nah marilah Ibu Bapak kita menanam kebajikan di tanah yang subur di vihara ini. Dan bagi siapa saja yang telah menanam kebajikan di tanah yang subur di vihara ini, semoga rejeki lancar dan melimpah.’ Dan setelah saya bilang begitu, banyak umat yang peduli dan akhirnya banyak yang menyumbang atau berdana, baik itu berupa uang, persedian bahan makanan seperti beras dan lain sebagainya, dari umat sangat antusias sekali. Jadi itu dari hasil bumi Ngadas terus kita kumpulkan, akhirnya kita bisa melaksanakan bareng-bareng Dharma Shanti Waisak ini,” ungkapnya.

Dana atau sumbangan yang terkumpul menurutnya bersifat sukarela, tidak ditentukan jumlahnya. Pihak vihara juga mengundang umat dari luar Ngadas untuk makan bersama di sini.

“Ini setiap tahunnya diadakan, karena setiap tahun kita mendapatkan rezeki yang melimpah, makanya dalam pembukaan acara ini kita membuat Tumpeng Kabuli. Dan untuk yang kita undang bukan hanya yang satu golongan kita yaitu Buddha Jawa Sanyata, tapi semua umat Buddha, kita tidak lagi memandang sekte, yang penting umat Buddha. Yang penting umat Buddha bagi kami adalah saudara kita dalam satu wadah Ketuhanan ini,” katanya.

Selain mengikuti rangkaian acara Waisak, setahun sekali, umat Buddha Ngadas juga turut mengikuti Upacara Kasada, yang mungkin lebih identik dengan umat Hindu Tengger. Umat Buddha ikut serta menghaturkan sesajian hingga ke kawah Bromo. Kebersamaan antarumat beragama tampak kental dalam acara Kasada, yang digelar tiap hari ke-14 di Bulan Kasada (Kesepuluh), menurut penanggalan Tengger.

“Selain Waisak bagi umat Buddha, di Ngadas ini secara umum ada satu tradisi Kasada yang menjadi ikon wisata spiritual di Ngadas ini. Ini juga sebagai wujud rasa syukur kita, dengan kita membawa hasil bumi seperti kentang, brambang (bawang merah), dan lain-lain yang langsung diserahkan di puncak Kawah Bromo. Itu menandakan rasa syukur kita kepada Para Dewata yang ada di Bromo. Memang dalam hal ini nampaknya tidak ada perbedaan antara Hindu dan Buddha Jawa Sanyata, namun yang membedakan ya mungkin dari ajaran leluhur yaitu Kitab Adam Makna. Karena bagi kami Kasada ini bukan milik salah satu agama saja, tapi ini adalah tradisi leluhur yang memang sudah dari dulu kala dilakukan oleh masyarakat Tengger dan sudah menjadi adat Suku Tengger ini,” paparnya.

Patut diakui, toleransi adalah angin sejuk yang selalu berembus halus di Ngadas. Meskipun berada di pelosok tinggi, kawasan ini mampu mempraktikkan prinsip kebebasan beragama dengan ideal. Ngadas adalah contoh tentang pengelolaan perbedaan keyakinan dalam masyarakat.

The post Menyelisik Uniknya Warisan Buddha di Lereng Bromo appeared first on BuddhaZine.

Praptaning Pratima, Kisah Datangnya Arca Vihara Dharma Sundara

$
0
0

Empat orang perempuan berjalan dengan anggun dari kanan dan kiri Candi Putih. Mereka mengenakan pakaian khas Jawa dengan mahkota di kepala. Tak lama berselang, dua orang laki-laki berperawakan gagah menyusul. Dengan iringan suara musik gamelan, mereka menyembah ke arah altar candi kemudian menari.

Mereka adalah penggambaran dari umat Buddha Vihara Dhamma Sundara, Solo dalam pementasan Sendratari bertajuk Praptaning Pratima; Datangnya Arca Buddha pelengkap Vihara Dharma Sundara, Solo dalam acara Waisak Puja Raya, Sabtu (15/6).

Dikisahkan pada saat Vihara Dharma Sundara selesai dibangun belum mempunyai arca sebagai objek pemujaan di altar utama. Dalam kondisi seperti itu, membuat umat berpikir untuk melaksanakan laku prihatin, membaca doa, dan paritta.

Melihat laku prihatin yang dilakukan oleh umat Buddha Vihara Dhamma Sundara, Dewa Indra yang  bertakhta  di Surga Tavatimsa turun ke bumi membawakan arca Buddha. “Dalam legenda dikatakan Dewa Indra ini duduk di tempat duduk berwarna kuning. Kalau tempat duduk Dewa Indra mulai panas, dia akan mencari  tau ‘ono opo kui nang ndonyo’. Oh Solo kae lagi prihatin mencari arca Buddha. Kemudia Dewa Indra turun membawa arca Buddha,” kata Bhante Pannyavaro menyampaikan pengantar pentas.

Dalam pertunjukan sendratari ini, sosok Dewa Indra diperankan oleh Oky Reza Afrita sang koreografer sekaligus pemimpin Nakula Sadewa (Nasa) Dance. Tak tanggung-tanggung, untuk menjiwai perannya kostum yang dikenakan Oky didatangkan langsung dari Bangkok, Thailand.

“Dewa Indranya ini memakai kostum yang dipinjam langsung dari Bangkok, Thailand. Mengapa Dewa Indra harus macak Thailand, karena arca utama di Vihara Dharma Sundara ini dari Thailand. Karena itu, seolah-olah Dewa Indra memberikan patung Buddha ini, dan karena patung Buddha ini dari Thailand maka Dewa Indranya macak Thailand,” lanjut bhante.

Seolah masuk dalam sekenario pertunjukan, saat Dewa Indra membawa turun Arca Buddha, Bhante Pannyavaro bersama Subekti, Ketua Vihara Dhamma Sundara dijemput oleh penari untuk naik ke atas pentas. Taburan bunga dan permainan lighting nan apik mewarnai saat bhante menerima rupang dari Dewa Indra yang menjadi puncak dari pementasan.

Melewati proses panjang demi sebuah totalitas

Meskipun diperankan oleh penari profesional jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, perlu persiapan panjang untuk mementaskan Praptaning Pratima. “Persiapannya cukup panjang, satu bulan lebih. Karena kita harus membicarakan alur cerita, musik dan suasananya seperti apa,” kata Oky Bima kepada BuddhaZine.

Oky mengaku harus bolak-bali ke Vihara Mendut untuk belajar dan mematangkan ide ceritanya. Meskipun sebelumnya Nasa Dance sudah pernah mementaskan kisah Sidharta Gautama dalam sendratari Caritaning Mahamuni di Malaysia beberapa bulan lalu, tapi ia tak mau sembarangan, tidak mau main-main dalam berkarya.

“Tingkat kesulitannya, karena saya dan tim Nasa sendiri belum ada yang beragama Buddha. Jadi kami masih kesulitan untuk menggali cerita yang benar, ini yang membuat prosesnya menjadi panjang. Saya harus ke Vihara Buddhagaya Watu Gong, Semarang dulu untuk sowan dan diskusi dengan Romo Warto. Setelah itu, saya sowan Bhante Pannyavaro ke Vihara Mendut berkali-kali, kami berdiskusi langsung maupun lewat WA,” tutur laki-laki yang baru berusia 23 tahun ini.

Dengan kerja keras itu, Oky mengaku bangga dan terhormat bisa mementaskan cerita Buddhis, apalagi di hadapan para bhikkhu. Dia pun mengaku, pementasannya malam itu menjadi salah satu pementasan spesial dalam karirnya sebagai penari dan koreografer.

“Spesial dari malam ini adalah pertama kali saya menarikan tarian yang basic-nya Thailand. Karena sebelumnya saya pernah menggunakan kostum tapi hanya untuk foto shot saja. Selama ini memang saya menggeluti Thailand, saya belajar bahasanya, tariannya kemudian bertemu banyak orang-orang Thailand. Bisa seperti ini juga karena Bhante Pannyavaro juga. Beliau yang sangat mendukung saya untuk selalu berusaha. Malam ini betul-betul saya sangat terhormat bisa menari di depan para bhikkhu, terutama Bhante Pannyavaro, jadi benar-benar merasa sangat terhormat dan bangga,” pungkasnya.

The post Praptaning Pratima, Kisah Datangnya Arca Vihara Dharma Sundara appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 1052 articles
Browse latest View live