Quantcast
Channel: News Berita Budhis Terkini | Buddhazine
Viewing all 1052 articles
Browse latest View live

Waisak Umat Buddha Tengger yang Kaya Makna

$
0
0

Waisak selalu disambut meriah oleh umat Buddha. Pelbagai acara digelar untuk memperingati hari lahir Sidharta Gotama, Sidharta mencapai Buddha dan Buddha Gotama parinibbana. Tak hanya di Borobudur dan kota-kota besar, peringatan Waisak juga digelar hingga pelosok-pelosok desa, termasuk umat Buddha Suku Tengger, Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Malang, Jawa Timur.

Perayaan Waisak Umat Buddha Ngadas digelar hari Minggu (9/6) di Vihara Paramitta, satu-satunya vihara yang berada di Kecamatan Poncokusumo. Setidaknya lebih dari seribu umat hadir dalam acara ini. Mereka terdiri dari umat Buddha Desa Ngadas sendiri yang berjumlah 700 orang, umat Buddha Malang Raya, dan Surabaya. Selain itu, acara ini juga dihadiri oleh dua anggota Sangha, Bhante Sukhito dan Samanera Bayu, juga pejabat pemerintah setempat.

Acara dimulai pada pukul 10 pagi dengan prosesi pradaksina dari rumah Kepala Desa Ngadas sampai Vihara Paramitta. Sesepuh umat Buddha, pemuda, remaja sampai anak-anak dalam arak-arakan berbalut budaya. Dengan pakaian adat kebesaran warga Tengger dan membawa sarana sesembahan mereka berjalan membentuk barisan memanjang. Suasana ini menjadi perhatian sendiri bagi warga Ngadas dan wisatawan yang kebetulan lewat desa khayangan ini.

Setelah berjalan sekitar 30 menit, rombongan prosesi tiba di vihara, mereka disambut oleh dua orang penari dan puluhan perempuan berbusana adat. Setelah itu, para umat Buddha melakukan ritual sesembahan dan pemotongan tumpeng kabuli. Selesai pujabhakti dan sesembahan, acara Dharmasanti Waisak yang dipusatkan di bawah vihara.

Beragam makna

Lestarinya tradisi budaya, kedermawanan umat Buddha dan sikap menghargai yang lain (toleransi) adalah beberapa makna yang terlihat jelas dari perayaan Waisak Umat Buddha Tengger.

Masih dipegang teguhnya adat masyarakat Suku Tengger dipertegas oleh kehadiran Hadi Prajoko, Ketua Adat Nusantara. Dalam sambutannya, beliau berharap agar masyarakat Tengger terus menjaga adat budaya yang merupakan warisan adiluhung bangsa Indonesia.

“Setelah saya keliling ke Jepang yang sekarang menjadi negara modern, Selandia Baru menjadi negara modern, Inggris menjadi negara modern. Saya melihat bahwa modernisasi itu tidak berangkat dari perilaku-perilaku yang sektarian, tetapi modernisasi itu selalu berangkat dari nilai-nilai adat dan tradisi. Kalau negara ini meninggalkan adat dan tradisinya itu seperti halnya Malin Kundang kalau di Sumatera sana. Berarti kita meninggalkan Ibu Pertiwi. Maka dari itu kembali saya berharap kepada masyarakat Ngadas, Tengger ini dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk terus nguri-uri, terus gali, terus ukir negeri ini dengan adat dan tradisi yang telah diwariskan ribuan tahun yang lalu oleh para pendahulu kita, oleh para moyang kita yang telah memberikan kehidupan yang nyata,” katanya.

Sedangkan sikap kedermawanan, kemurahan hati untuk berbagi tercermin dari ramahnya umat Buddha Tengger. Sebagai wujud syukur atas panen yang melimpah mereka menjamu umat Buddha yang hadir dengan aneka makanan dari hasil tani. “Satu minggu sebelum perayaan saya katakan kepada umat untuk menyiapkan jamuan. Semua yang tadi kita makan, itu adalah hasil bumi, hasil panen dari umat Buddha. Jadi kami memang ingin mengajak masyarakat yang hadir dalam acara ini untuk makan bersama,” kata Mistono, Ketua Vihara Paramitta.

Fenomena perayaan Waisak yang lekat dengan tradisi, adat, serta kuatnya jalinan toleransi antar umat beragama ini menjadi daya terik tersendiri bagi umat Buddha dari luar Desa Ngadas. Hal ini pun diungkapkan oleh salah satu peserta bernama Putri Pratama Ananda Sarera dari Vihara Buddha Jawa, Desa Sindurejo, Kecamatan Gedangan, Malang.

“Saya ke sini untuk ikut menghadiri undangan perayaan Waisak di sini. Buddha Jawa itu Buddha yang masih lekat dengan tradisi leluhur seperti di sini. Untuk pujabhaktinya dengan kejawen dan juga dengan Theravada. Dari acara ini kita bisa memaknai bahwa perbedaan itu tidak harus dipisahkan, jadi toleransi juga harus dijaga karena kita kan berdampingan dengan kepercayaan dan tradisi yang ada. Namanya budaya tidak bisa dihilangkan dari masyarakat, jadi meskipun kita Buddhis, tidak harus kehilangan tradisi dan budaya yang sudah ada sejak dulu leluhur kita,” pungkasnya.

The post Waisak Umat Buddha Tengger yang Kaya Makna appeared first on BuddhaZine.


2500 Umat Buddha Hadiri Perayaan Waisak di Lereng Gunung Prau, Jawa Tengah

$
0
0

Selaras dengan tema besar Waisak Nasional Sangha Theravada Indonesia (STI); Mencintai Kehidupan Berbudaya Penjaga Persatuan, tahun 2019, umat Buddha di pelbagai daerah di Indonesia merayakan Waisak berbalut budaya adat. Hal tersebut nampak dalam perayaan Waisak di Desa Cemara, Kecamatan Wonoboyo, Temanggung, Jawa Tengah pada Minggu (20/6) yang diikuti oleh ribuan umat Buddha dari Temanggung dan sekitarnya.

Sebelum memasuki acara inti, umat mengadakan prosesi yang digelar dari pohon sakral cemara tua hingga Vihara Virya Dhamma Ratana. Pada malam sebelumnya ada pembacaan paritta dan juga alunan musik kuno khas Sunda (Tarawangsa) digelar sebagai wujud penghormatan kepada pepunden desa dan juga untuk pelimpahan jasa kepada para leluhur.

Terkait dengan musik Tarawangsa berikut penjelasan singkatnya, “…itu bukan sekadar untuk tontonan saja, jadi dalam tontonan itu mengandung tuntunan. Begitupun dengan Tarawangsa dengan jentreng-nya, kecapinya tujuh. Tujuh itu pitu, pitulungan atau pituduh. Terus tujuh hari yang kita lalui itu haruslah dengan welas dan asih. Sehingga bisa saling mewangikan, silihwangi. Saling mewangikan antarsesama manusia, sesama ciptaan, dengan tumbuhan, dengan binatang. Itu kan mereka adalah sama, hanya kita dijadikan manusia dan mereka dijadikan dalam wujud yang lain,” kata Sangha Sundana, pemimpin grup Tarawangsa kepada BuddhaZine saat ditemui di sela pentas.

“Ini adalah warisan dari leluhur. Tarawangsa ini bisa untuk terapi kejiwaan dan terapi kesehatan juga, yang pertama adalah penghormatan kepada Dewi Sri yang telah meminjamkan raganya (beras) untuk dimakan. Jadi wajib bagi kita untuk menghormati. Ini cara kami untuk bercengkerama dengan Tuhan yaitu dengan musik,” imbuhnya.

Arak-arakan gunungan

Pagi harinya umat dari pelbagai vihara sekitar Temanggung berkumpul di bawah pohon cemara tua untuk mempersiapkan diri melakukan prosesi. Pelbagai sesaji berupa tumpeng hasil bumi dan perlengkapan prosesi lainnya diusung oleh para umat dengan berpakaian adat Jawa. Sesaat sebelum prosesi berjalan Bhante Dhammasubho membacakan doa yang diikuti oleh para umat yang hadir.

Banyaknya umat Buddha yang hadir, membuat panitia harus menyiapkan tenda-tenda darurat. Halaman rumah warga, ruang tamu, kanan kiri jalan dijadikan tempat alternatif orang-orang untuk duduk mengikuti acara langka ini. Bagi umat Buddha Desa Cemara, perayaan Waisak kali ini merupakan perayaan yang istimewa dengan peserta terbanyak dan termeriah dari perayaan-perayaan sebelumnya.

“Bersyukur acara lancar, dan semua ikut merasa senang, dan yang sekarang lebih meriah dibandingkan perayaan yang kemarin-kemarin. Saya senang sekali acaranya bisa seramai ini,” terang Subuh, salah satu umat Buddha Vihara Virya Dharma Ratana.

Sementara dengan adanya puja dan prosesi ini, bagi warga Cemoro dimaknai selain sebagai wujud syukur atas limpahan hasil bumi, juga sebagai ungkapan harapan perkembangan umat Buddha Cemara.

“Senang sekali, ini sangat ramai. Semoga dengan adanya perayaan ini membawa hikmah dan berkah, semoga ekonomi warga Cemara semakin meningkat. Apa yang menjadi tujuan atau cita-cita warga Cemara dapat tercapai. Dengan adanya prosesi juga untuk menjaga adat dan budaya dengan harapan umat Buddha di Cemara ini semakin berkembang dan mempunyai masa depan yang baik,” jelas Suhut selaku Ketua Vihara sekaligus Ketua Panitia Waisak Desa Cemara.

Bukan hanya sebagai pelengkap perayaan, namun dengan adanya prosesi juga turut serta dalam melestarikan adat dan tradisi yang sudah diwariskan oleh leluhur terdahulu. Di sisi lain, dalam adat dan tradisi leluhur terkandung nilai-nilai agama Buddha yang mana hendaknya sebagai umat Buddha mampu menjaga alam dan lingkungan sekitar demi terwujudnya persatuan dan keharmonisan hidup bermasyarakat.

Ajaran-ajaran leluhur yang tersirat dalam suatu kebudayaan pun dipertegas oleh Bhante Dhammasubbho dalam pesan Dhamma Waisak. Bhante menjelaskan bahwa para leluhur Nusantara sejak dahulu kala telah menerapkan dan mewariskan tuntunan hidup yang baik.

“Di Buddhis ada tuntunan yaitu Pancasila Buddhis atau lima aturan moral bagi umat Buddha. Seiring berjalannya waktu Pancasila Buddhis oleh nenek moyang kita dinamakan juga dengan istilah Mo Limo (Madat, Madon, Main, Maling, dan Memateni). Bagi siapa saja yang tidak melanggar lima aturan moral ini maka hidupnya akan sejahtera dan bahagia,” tutur Bhante Dhammasubho.

Wujud toleransi yang masih kuat di Desa Cemara juga tercermin perayaan Waisak kali ini, banyak umat dari luar Buddhis yang turut membantu penyelenggaraan acara, baik dari sisi keamanan maupun persiapan acara.

The post 2500 Umat Buddha Hadiri Perayaan Waisak di Lereng Gunung Prau, Jawa Tengah appeared first on BuddhaZine.

Penahbisan Samanera di Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah

$
0
0

Sangha Theravada Indonesia (STI) menggelar pabbaja samanera dan atthasilani di Vihara Mendut, Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Program rutin STI berlangsung selama dua minggu, dari tanggal 30 Juni hingga 15 Juli 2019.

Sebanyak 38 orang laki-laki (samanera) dan 29 orang perempuan (atthasilani) mengikuti latihan hidup samana. 67 orang tersebut adalah orang-orang pilihan yang telah lolos mengikuti beberapa tahap seleksi, seperti tes kesehatan dan beberapa syarat lainnya. Mereka ditahbiskan langsung oleh Bhante Sri Pannyavaro, Bhante Jothidhammo, Bhante Tithayanno, Bhante Cattamano, Bhante Guttadhammo, Bhante Piyadiro, dan beberapa bhikkhu menjadi upacarya.

“Total peserta yang mendaftar ada 82 orang, peserta yang diterima 76 orang, ada beberapa yang ditolak karena alasan umur belum 16 tahun, karena sudah berkali-kali pernah mengikuti pabbajja, dan kuota penuh. Pabbajja di Vihara Mendut mengutamakan peserta yang belum pernah mengikuti pabbajja, agar masyarakat dapat melatih bagaimana hidup sebagai seorang pabbajita melepaskan kemelekatan sedikit-sedikit,” terang Bhante Jayasilo, ketua panitia program kepada BuddhaZine.

Upacara penahbisan samanera dan athasilani terbagi menjadi dua tahap. Minggu (30/6) pukul lima dini hari dilakukan penahbisan atthasilani, sedangkan para samanera ditahbiskan setelah makan pagi.

Penahbisan Samanera 

Pukul 08.00 WIB, 36 laki-laki dicukur bersih mengenakan jubah berwarna putih berbaris rapi di belakang ruang serbaguna Vihara Mendut. Dengan membawa amisa puja; rangkaian bunga, lilin dan dupa mereka berjalan rapi menuju stupa parinibbana, setelah menyalakan dupa dan melakukan penghormatan di hadapan rupang Buddha, para calon samanera ini melakukan pradaksina mengelilingi stupa sebanyak tiga kali.

Selesai melakukan pradaksina, mereka berjalan menuju ruang dharmasala Vihara Mendut. Di dalam ruang dhammasala, setelah ber-namaskara mereka mendapat persembahan jubah samanera dari para penyokong Dharma dan keluarga yang mendampingi. Usai menerima persembahan jubah, mereka berjalan menuju ruang serbaguna untuk memohon ditahbiskan menjadi samanera oleh bhikkhu Sangha.

Sebelum memulai penahbisan, Bhante Pannyavaro berpesan kepada para calon samanera. “Kehidupan sebagai samanera tidak banyak memberikan manfaat kalau tidak muncul dari keyakinan yang benar. Keyakinan itulah yang mendorong Anda sekalian dan kita semua untuk berlatih. Keyakinan kita adalah keyakinan kepada Triratna; Buddha ratana, Dhamma ratana dan Sangha ratana. Keyakinan kepada Permata Buddha, Permata Dhamma, dan Permata Sangha.

“Menjadi Samanera adalah saatnya untuk berlatih meminimalisir keinginan. Ada keinginan tapi kecil sekali, keinginan hanya sekadar untuk bertahan hidup, sekadar pakaian, sekadar makanan, obat-obatan ketika sakit, selain itu tidak! Menjadi samanera adalah belajar untuk berhenti, karena kita tidak pernah belajar untuk berhenti, hanya mau, mau, dan mau, ingin, ingin, dan ingin, menjadi, menjadi, dan menjadi.”

Sebagai bekal latihan, Bhante Pannyavaro memberikan lima objek meditasi sebagai bahan perenungan bagi samanera bila ada pikiran yang mengganggu. “Anda akan diberikan cara untuk mengatasi kotoran batin yang kasar, dengan diberikan objek meditasi yang disebut sebagai lima bagian dari tubuh: rambut, bulu yang berada di sekujur tubuh, kuku, gigi, dan kulit. Kalau tidak dibersihkan, kotor ini menjijikkan. Apa yang indah dari mulut, apa yang indah dari kulit, apa yang indah dari rambut, karena semua orang yang tampak adalah rambut, kuku, bulu, gigi, dan kulit.

“Apabila ini direnungkan berulang kali, maka kamaraga (nafsu indrawi) akan berkurang. Kita akan memahami bahwa tidak ada cantik yang sebenarnya, tidak ada gagah yang sebenarnya, tidak ada indah yang sebenarnya. Yang ada hanyalah perpaduan, dan kalau itu tidak dirawat, yang dikatakan indah itu pun akan lenyap.

Usai menerima wejangan dari upajaya, para bhikkhu memakaikan jubah asana kepada para samanera. Selanjutnya mereka mengganti jubah putih dengan jubah samanera dan menerima sila dari upajaya dan upcarya. Seluruh proses penahbisan samanera berjalan dengan rapi, hening, dan sakral. Selanjutnya mereka akan praktik dan belajar Dhamma dengan disiplin tinggi diasuh para bhikkhu senior.

The post Penahbisan Samanera di Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah appeared first on BuddhaZine.

Lihat Vipassana Graha di Bandung Yuk!

$
0
0

Lembang adalah kawasan pegunungan di Bandung Barat yang memiliki banyak pesona wisata. Salah satunya adalah Vihara Vipassana Graha. Vihara yang berafiliasi dengan Sangha Theravada Thailand ini terletak Jl. Kol. Masturi No 69, Desa Sukajaya, Kec. Lembang, di lahan yang luasnya mencapai 2 hektar.

Di dalamnya kita bisa menemukan banyak bangunan yang didesain menyerupai wihara-wihara di Thailand. Banyak juga rupang Buddha dengan berbagai gaya dan motif.

Bangunan utamanya adalah Candi Maha Panca Bala yang berarti lima kekuatan yang sangat besar (Maha berarti besar, Panca berarti Lima, Bala berarti kekuatan). Kelimanya adalah Saddha atau Keyakinan, Viriya atau Semangat, Sati atau Kesadaran, Samadhi atau Konsentrasi dan Pannya atau Kebijaksanaan.

Di seputar vihara terdapat taman-taman dengan bermacam bunga, dihiasi juga dengan kalimat-kalimat bijak yang menempel di pepohonan. Di bagian depan gedung serbaguna terdapat patung dua ekor gajah putih yang sedang mengangkat Roda Dhamma (Dhammacakka) dengan belalainya.


Sementara di samping candi terdapat Tugu Ashoka untuk mengenang Raja Ashoka. Tugu setinggi tujuh meter ini mengingatkan tentang harmoni antaragama. Sedangkan di dekatnya ada bangunan Dhammasala berisi 10 ribu patung Buddha kecil.

Pengunjung juga bisa mengikuti perjalanan 108 Arahat, berjalan mengelilingi bagian bawah candi sambil membawa koin dalam gelas yang jumlahnya berbeda-beda namun mempunyai ukuran berat yang sama dan berjalan memasukkan koin-koin tersebut ke dalam 108 mangkuk yang disiapkan.

Jika koin kita habis maka kita tinggal menghitung berapa mangkuk yang belum kita isi dan juga sebaliknya jika koin berlebih dihitung berapa jumlahnya. Dari jumlah (angka) itu kita mengambil kertas petunjuk hidup kita. Ada petunjuk untuk sukses dan bahagia, ada juga petunjuk agar kita selalu merasa puas dengan apa yang kita peroleh, petunjuk untuk meditatif, dan sebagainya.

Tempat ini terbuka untuk umum bagi yang ingin berkunjung ke sana. Untuk memasuki tempat ini tidak dipungut bayaran sama sekali.

Terdapat beberapa bhikkhu tinggal di sini yang bisa ditemui untuk belajar Dhamma. Bagi masyarakat yang ingin menginap atau melakukan retret meditasi, harap melakukan komunikasi ke nomor (022) 278 7664.

The post Lihat Vipassana Graha di Bandung Yuk! appeared first on BuddhaZine.

Perayaan Asadha Umat Buddha Temanggung, Sederhana dan Khas Jawa

$
0
0

Masa Waisak telah usai, kini umat Buddha tengah memasuki bulan Asadha yang termasuk bulan penting bagi umat Buddha. Pada perayaan Asadha, umat Buddha memperingati pembabaran Dharma pertama Guru Agung Buddha di Taman Rusa Isipatana.

Pada saat itu, terbentuklah Sangha untuk pertama kalinya. Asadha sendiri merupakan salah satu nama bulan, yaitu bulan kedelapan dalam penanggalan Buddhis, biasanya jatuh pada bulan Juli dalam kalender Masehi.

Seperti yang terlihat pada perayaan Asadha di Dusun Krecek, Temanggung, Selasa (02/7) yang diselenggarakan oleh Lembaga Bina Manggala Sejahtera, gabungan 18 vihara di Kabupaten Temanggung dan Semarang.

Acara diawali dengan prosesi umat yang dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB dimulai dari halaman Vihara Dhamma Sarana, Krecek. Sebagai barisan terdepan adalah tiga banjar pembawa bendera dan pembawa hasil bumi. Satu banjar samping kanan adalah pembawa bendera merah putih, satu banjar sebelah kiri pembawa bendera Buddhis, sedangkan satu banjar bagian tengah adalah pembawa hasil bumi berupa buah-buahan dan palawija.

    

Mengikuti barisan terdepan barisan pembawa puja bunga, lilin, dan dupa menyusul di belakangnya kemudian disambung dengan barisan pengusung tandu rupang Buddha dan tandu tumpeng Robyong dari Dusun Krecek. Tepat di belakang pembawa tumpeng adalah bhikkhu Sangha dan umat yang berseragam pakaian adat Jawa. Dua barisan penutup adalah umat dari 18 vihara dan group kesenian daerah kuda lumping dari Dusun Krecek.

Nampaknya prosesi memang diatur agar selesai bertepatan dengan waktu makan siang, sehingga seusai prosesi pun langsung acara makan bersama. Mbah Sukoyo selaku sesepuh umat Buddha Krecek memberikan sambutan singkat dan doa untuk makan bersama.

“Dengan diadakannya prosesi ini sebagai wujud rasa syukur kita umat Buddha atas limpahan berkah yang kita terima dari alam dan juga untuk melimpahkan jasa kepada para leluhur yang telah mewariskan tradisi dan kebudayaan adi luhung kepada kita. Semoga dengan apa yang kita lakukan ini, adat dan tradisi dari leluhur kita tetap terjaga, apa yang umat Buddha cita-citakan bisa terwujud,” ungkap Mbah Sukoyo.

Diawali dengan pemotongan tumpeng oleh Mbah Sukoyo acara makan bersama pun dimulai. Umat mengambil makanan yang dibawa oleh setiap vihara anggota lembaga dan disajikan di meja-meja depan altar. Pada sesi makan siang para umat juga dihibur dengan penampilan seni daerah Kuda Lumping Turonggo Jati Dusun Krecek.

Acara inti baru dimulai setelah istirahat sejenak seusai sesi makan siang. Nyanyian lagu Buddhis menjadi pembuka acara inti, selanjutnya umat melakukan pujabhakti yang dipimpin bhikkhu Sangha. Bhikkhu Sangha yang hadir dalam perayaan adalah Bhante Dhammakaro dan Bhante Guttadhammo.

Bhante Gutadhammo, membabarkan Dhamma dengan mengulas kembali ajaran Guru Agung Buddha bahwa hidup adalah lingkaran penderitaan yang sudah selayaknya umat Buddha harus berjuang untuk memutus lingkaran penderitaan ini sehingga tercapai kebahagiaan tertinggi atau Nibbana.

“Guru Agung telah menjelaskan lebih dari 2500 tahun yang lalu. Kita mengalami penderitaan karena kita terlahir, lalu kenapa kita terlahir? Kita terlahir karena kita masih mempunyai kotoran batin yaitu keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha). Inilah yang menyebabkan kita terlahir, setelah lahir mengalami usia tua, sakit, dan mati lalu terlahir kembali dan mengalami penderitaan lagi dan seterusnya. Selama masih ada kotoran batin kita akan terus berputar dalam roda samsara ini (lahir-mati),” papar Bhante.

“Oleh karena itu kita telah ditunjukkan jalan oleh Guru Agung kita supaya kita bisa terbebas dari roda samsara ini, yaitu jalan tengah beruas delapan. Maka hendaknya kita melatih diri untuk melaksanakan Dhamma dengan kesungguhan, menjalankan sila dengan baik, meditasi dengan baik, dan mengembangkan kabijaksanaan kita dengan baik,” pungkasnya.

The post Perayaan Asadha Umat Buddha Temanggung, Sederhana dan Khas Jawa appeared first on BuddhaZine.

Liburan Lebih Berbobot dengan Ikut Atthasila

$
0
0

Bagi anak-anak sekolah, liburan merupakan masa yang ditunggu-tunggu dan biasanya anak-anak sekolah mengisi liburan mereka dengan mengujungi tempat-tempat rekreasi yang ramai dan menyenangkan. Namun berbeda dengan anak-anak pelajar Buddhis di Jepara dan sekitarnya yang mengisi liburan mereka untuk mengikuti kegiatan keagamaan dan spiritual yaitu Patipatti Dhamma, Atthasila dan Meditasi.

Program kegiatan Bina Desa (BINADES) ini diselenggarakan oleh Bhante Khemadhiro yang berlokasi di Kuti Pertapaan Goa Meditasi Dusun Guwo, Donorojo, Jepara. Kegiatan berlangsung selama enam hari yaitu, Rabu-Senin (3-8/7).

Sebanyak 38 pelajar Buddhis baik dari tingkat SMP, SMA, dan Mahasiswa/i mengikuti pelatihan ini dengan sangat antusias. Peserta dari Jepara sendiri berasal dari Blingoh, Guwo, Jugo sedangkan peserta dari luar Jepara dari Salatiga dan Sumowono Kab. Semarang. Dari 38 jumlah peserta, yang laki-laki (atthasila) berjumlah 12, sedangkan untuk yang perempuan (atthasilani) sebanyak 26 peserta.

Selama enam hari para pelajar tersebut mengikuti latihan menjalankan delapan sila (atthasila), baca paritta yang baik, dan meditasi yang dibimbing langsung oleh Bhante Khemadhiro selaku silacariya dan dibantu oleh Atthasilani Abhirati. Dengan dukungan dan bantuan umat Buddha Dusun Guwo yang saat ini menjadi umat mayoritas di Guwo, kegiatan berjalan dengan lancar. Para umat menyokong bantuan berupa dana makanan yang digilir secara bergantian, selain dana makanan umat juga membantu dalam mempersiapkan tempat latihan termasuk menjaga kebersihan lokasi latihan dengan menjadi Dhamma Worker.

Memang bukan yang pertama kali kegiatan ini diadakan di Guwo, Jepara, namun hal menarik dalam pelatihan kali ini kegiatan dikemas dengan lebih baik dengan adanya sesi meditasi outdoor dengan menggunakan tenda/kelambu. Tentu selain untuk melatih meditasi peserta juga menghadirkan kesan mengasyikkan tersendiri bagi para peserta. Lokasi latihan yang terletak di area pegunungan dengan dikelilingi perbukitan, pepohonan yang rindang, udara yang sejuk, serta jauh dari keramaian seakan membuat para peserta tak pernah bosan meski berkali-kali mengikuti kegiatan di lokasi goa.

Baca juga: Pelatihan Atthasila Membawa Kedamaian

Sebagian peserta bahkan merasakan asyiknya mengikuti pelatihan ini meskipun di masa-masa liburan. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang peserta asal Semarang yang masih duduk di bangku kuliah.

“Selain untuk mengisi waktu liburan saya juga ingin menambah karma baik juga, bisa ketemu banyak teman di sini. Saya bersama enam teman dari Semarang, dan di sini saya mendapatkan banyak ilmu tentang meditasi dan juga bisa praktik langsung meditasi, kan kalau di rumah jarang bisa praktik meditasi apalagi di sini kita dapat bimbingan langsung dari Bhante Khemadhiro.

“Saya berharap setelah mengikuti pelatihan ini bisa menjadi pribadi dan mempunyai perilaku yang lebih baik lagi, dan di sini juga diajarkan pali wacana yang baik sehingga nanti mungkin saya bisa menularkan cara baca paritta ini ke adik-adik atau temen-teman di vihara kami,” papar Santi Kumala Dewi mahasiswa semester dua Universitas Sanata Dharma, asal Vihara Khanti Dhamma, Desa Seban, Kecamatan Suruh, Semarang.

Hal yang sama pun diungkapkan oleh salah seorang peserta dari Vihara Sima Kalingga Jepara, Ananda Adi Surya pelajar kelas 1 dari SMK 1 Cluwak, “Pertama saya memang minat untuk lebih tahu Dhamma secara lebih dalam lagi. Saya di sini bisa mendapatkan lebih banyak teman, bisa berkumpul dengan teman-teman Buddhis lainnya, dan bisa memahami Dhamma.

“Ada juga pengalaman-pengalaman lain di sini seperti tadi pagi ada yang telat bangun sehingga harus kena Dandakamma disuruh meditasi satu jam. Dari Vihara Sima Kalingga ada 12 teman yang ikut latihan ini, dan saya berharap setelah mendapatkan ilmu dari latihan ini bisa sharing kepada teman-teman di vihara kami yang belum pernah mengikuti latihan seperti ini. Dan kalau ada kegiatan seperti ini lagi, saya tertarik untuk mengajak ataupun mendorong teman-teman yang belum ikut untuk mengikuti latihan ini,” terangnya.

Dengan diadakannya pelatihan ini diharapkan mampu meningkatkan keyakinan para remaja kepada Triratna dan menumbuhkan semangat melakukan kebajikan. Alih-alih mengisi liburan sekolah, dalam kegiatan ini peserta dilatih dan diarahkan untuk mempunyai kepribadian serta perilaku yang baik.

“Para peserta dilatih untuk mempunyai kesabaran, disiplin, berdiam diri yang mulia, rajin, sadar setiap saat dan semangat dalam melakukan kebajikan. Semoga kebajikan yang dilakukan akan membawa berkah kebahagiaan untuk kita semua dan teruslah semangat melangkah di jalan Dhamma,” terang Bhante Khemadhiro.

The post Liburan Lebih Berbobot dengan Ikut Atthasila appeared first on BuddhaZine.

Peresmian Pendopo Kalingga Laras Jepara

$
0
0

Pendopo Kalingga Laras Vihara Boddhi Kalingga Jepara yang baru saja selesai dibangun diresmikan oleh umat Buddha Vihara Boddhi Kalingga pada Sabtu (6/7). Bersamaan dengan peresmian pendopo umat juga merayakan ulang tahun Vihara Boddhi Kalingga Dusun Senggrong, Desa Blingoh, Donorojo, Jepara yang ke-52. Acara diikuti oleh ratusan umat Buddha dari berbagai vihara di sekitar Desa Blingoh dan dari desa-desa lain sekitar Kecamatan Keled dan Kecamatan Donorojo, Jepara.

Turut hadir juga sebagai tamu undangan para bhikkhu Sangha dari Sangha Agung Indonesia (SAGIN), Pebimas Buddha Provinsi Jawa Tengah, Muspika Kecamatan Donorojo, anggota Badan Pembina Indeologi dan Pancasila (BPIP), Dewan Pimpinan Pusat Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), Wanita Buddhis Indonesia, para pejabat desa setempat, serta para tokoh agama dan masyarakat setempat.

Acara berlangsung meriah dengan penampilan seni tari dan seni suara yang dibawakan oleh anak-anak Sekolah Minggu Vihara Boddhi Kalingga menjadi pengisi sesi pra acara. Menginjak acara inti para tamu undangan dan para peserta perayaan dihibur dengan pertunjukkan tari Gambyong anak-anak Sekolah Minggu sebagai pembukaan.

Menyikapi selesainya pembangunan pendopo, dalam sesi sambutan Bhante Khemacaro menyampaikan apresiasi, pesan, serta ucapan selamat ulang tahun kepada umat Buddha Vihara Boddhi Kalingga.

Berkaitan dengan nilai-nilai etika dalam tradisi yang diwariskan oleh para leluhur, bhante mengingatkan kembali kepada umat Buddha untuk terus melestarikan dan terus menggali nilai-nilai luhur yang tersirat dan tradisi dan adat warisan leluhur.

“Oleh sebab itu kepada seluruh umat Buddha dalam meningkatkan spiritualitas tidak lupa untuk menyeimbangkan diri di dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya dengan menggali kembali nilai-nilai luhur daripada warisan nenek moyang kita bersama. Tempat ini tentunya akan memberikan wadah yang sangat luar biasa kepada seluruh umat Buddha, baik anak-anak, remaja, tua, dan muda untuk meningkatkan keyakinannya kepada Buddhadharma dan mencintai nilai luhur daripada budaya kita bersama,” jelas Bhante.

Sebagi penutup sesi sambutan anggota Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), Sudamek menyampaikan ucapan serta pesannya kepada umat Buddha.

Menurutnya Sudamek, Dusun Senggrong sangat menjaga persatuan serta keharmonisan kehidupan bermasyarakat. Dengan banyaknya perbedaan dalam berbagai segi namun segala aktivitas bermasyarakat sangat mengedepankan gotong-royong, serta kerjasama yang baik antarwarga. Oleh sebab itu Sudamek mengumpamakan Dusun Senggrong sebagai Indonesia mini.

Indonesia sebagai negara dengan ratusan suku dan budaya memang menjadi keunikan tersendiri, sehingga dengan banyaknya suku dan budaya yang ada di Indonesia perlu adanya satu pengikat supaya persatuan dan kesatuan tetap terjaga. Berkaitan dengan hal ini Sudamek memberikan penjelasan akan pentingnya mengerti dan memahami nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia kepada umat Buddha.

“Jadi Indonesia sampai hari ini bisa bertahan itu adalah karena faktor pemersatu yang sudah digali dan disahkan oleh para pendiri negeri ini entah sebagai sumber dari segala sumber hukum, entah sebagai pandangan hidup. Namun pada kenyataannya dalam kehidupan bermasyarakat nilai-nilai ini sudah ada dan diterapkan oleh masyarakat Indonesia,” pungkas Sudamek.

The post Peresmian Pendopo Kalingga Laras Jepara appeared first on BuddhaZine.

Jalin Silaturahmi Pelajar Katolik Temanggung Kunjungi Bhante Jayaratano

$
0
0

Berjumpa, srawung untuk saling mengenal kadang menjadi obat mujarab untuk mengurai prasangka dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi hidup di tengah masyarakat yang beragam seperti bangsa Indonesia. Perjumpaan untuk saling mengenal wajib dilakukan untuk menjaga keselarasan.

Untuk mengenal yang lain, mewariskan benih-benih toleransi kepada generasi muda adalah beberapa tujuan dalam kunjungan anak-anak muda Katolik Temanggung saat berkunjung ke Vihara Papringan, Desa Rejosari, Kecamatan Bansari, Temanggung Rabu (3/7).


Pada kunjungan tersebut, Romo Fajar Muhammad, Paroki Gereja Katolik Temanggung mengajak dua puluhan pelajar Katolik Temanggung untuk berjumpa dengan Bhante Jayaratano. Mereka berdialog tentang banyak hal mengenai ajaran Buddha.

“Kita tujuannya sederhana kok, ingin mengenalkan kepada anak-anak muda bahwa kita hidup ini tidak sendiri, tetapi bersama saudara-saudara yang lain. Tujuannya sama, yaitu kepada Sang Pencipta tapi kan banyak jalan lain, ada jalan banyak. Tapi kita kan sering kali membenarkan dalanku sek bener, begitu,” kata Romo Fajar kepada BuddhaZine.

“Kalau anak-anak muda diajak, dikenalkan nanti kan masa depan mereka lebih baik, lebih cerah lagi bila dibanding dengan zaman kita, zaman congkrah koyo ngene. Kita kalau sudah tua, tidak memberi warisan seng apek, becik ngono rodo rekoso. Iku mawon, sederhana. Jadi kita katakan, mari teman-teman tujuan kita kan untuk mengenal, belajar maka yang kita butuhkan tidak hanya datang ke tempat ibadah. Kalau ke tempat ibadah kan hanya ndelok, tapi kita datang belajar diskusi bertemu dengan sumbernya, ada bhante. Jadi aspek itu juga,” imbuh lanjut Romo Fajar.


Tak hanya mengunjugi vihara, sebelumnya para pelajar Katolik juga sudah melakukan kunjungan dan dialog ke beberapa komunitas agama lain. Seperti; Pengurus Cabang Nahdatul Ulama, Temanggung, Gereja Kristen Protestan Temanggung juga ke Klenteng Temanggung.

“Dan kita juga tidak borongan, borongan berarti sehari kita mau ke rumah-rumah ibadah. Itu kan malah sayah awakke, tidak bisa mencerap, tidak bisa belajar. Belajar dalam arti ini kan mereka belajar yang tidak tanya itu kan bisa belajar mencerap dari pertanyaan teman-temanya. Itu bisa membekali apalagi mereka ini kan calon-calon pemimpin kita,” jelas Romo Fajar.

Sementara itu, Bhante Jayaratano menyambut baik kunjungan Romo Fajar dan rombongan. Menurutnya, perjumpaan ini sangat baik untuk dilakukan oleh manusia yang mempunyai sifat sosial. Bahkan bila semua kondisi memungkinkan, bhante mempunyai rencana untuk melakukan kunjungan balasan.


“Suatu contoh yang sangat baik menurut saya, tinggal kita mengatur waktu, menyepakati kondisi-kondisi yang mendukung sehingga, pertemuan seperti ini sangat baik, bisa membuka bahkan mencerahkan kita bahwa manusia punya sifat sosial, punya sisi sosial menghargai, membantu, menolong apalagi kita mempunyai dasar Pancasila sebagai penguat dan penyatu kita. Sehingga kita kegiatan ini saya kita perlu digiatkan, tidak hanya ke rumah-rumah ibadah tetapi juga ke sekolah-sekolah,” tutur bhante.

Tak hanya dialog, pada kunjungan itu Bhante Jaya juga mengajak Romo Fajar dan rombongan keliling area Vihara Papringan. Obrolan ringan nan hangat juga terjadi saat santap siang diruang santai Vihara Papringan.

The post Jalin Silaturahmi Pelajar Katolik Temanggung Kunjungi Bhante Jayaratano appeared first on BuddhaZine.


Java Connections, Kupas Esensi Budaya Jawa yang Bermakna dan Relevan

$
0
0

BuddhaZine menggelar acara pertunjukan musik dan diskusi budaya “Java Connections”, yang digelar di lapangan Dusun Krecek, Desa Getas Kecamatan Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (14/7/2019) malam. Acara berlangsung semarak, dengan menampilkan Astakosala Volk, band asal Solo yang mengusung musik modern yang mengandung syair sastra Jawa, dan Adit, musisi muda asal Jakarta yang membawakan beberapa lagu bernuansa spiritualitas Bali.

Selain pertunjukan musik, terdapat diskusi budaya yang menghadirkan Goenawan A. Sambodo, seorang arkeolog, dan juga Elizabeth D. Inandiak, penulis asal Perancis yang terkenal dengan karya re-interpretasinya terhadap Serat Centhini.



Goenawan dalam kesempatan ini membahas Lubdhaka, salah satu judul lagu yang dibawakan Astakosala Volk. Lagu ini liriknya berasal dari kakawin Siwaratrikalpa, yang digubah oleh Mpu Tanakung di abad ke-15.

Lubdhaka adalah salah satu tokoh utama dalam Siwaratikalpa, atau malam pemujaan Siwa. Kakawin itu menceritakan Lubdhaka seorang pemburu, yang karena karma lampaunya kesulitan mendapatkan buruannya. Ia lalu naik ke atas pohon di pinggir kolam, dan menjatuhkan satu-persatu dedaunan di pohon ke kolam hingga dini hari.

Ternyata malam itu adalah malam khusus untuk pemujaan Dewa Siwa, kemudian berkenan mengampuni segala kesalahan yang pernah dilakukan Lubdhaka. Ia lalu secara spiritual diangkat setingkat lebih tinggi dari levelnya saat itu oleh Sang Mahadewa.

“Belum tentu apa yang kita lakukan saat ini adalah sesuatu yang jelek, atau sesuatu yang baik,” ucap pria yang akrab disapa Mbah Goen ini, membahas pesan moral dari kisah Lubdhaka.

Goenawan lantas membahas tradisi dongeng sebelum tidur dari para leluhur Jawa, yang kini sudah jarang dilakukan. Padahal cerita berisi kebaikan moral menurutnya penting ditanamkan pada anak-anak di era modern ini.

“Hal itu sudah tertulis bahkan tergambarkan dalam relief candi-candi,” kata Goen membahas beberapa kisah dongeng leluhur Jawa.

Ia mencontohkan salah satu panel relief Candi Mendut tentang kisah kura-kura yang dibawa terbang oleh dua ekor angsa. Di tengah perjalanan, kura-kura yang menggigit bilah kayu yang dibawa terbang melanggar aturan untuk tutup mulut. Ia berbicara dan akhirnya terjatuh dan celaka, dimakan oleh orang-orang. Dari situ ia mengajak para hadirin untuk menjalankan apa yang sudah baik dan diakui benar oleh para bijak dan leluhur.

“Ya sudah itu dijalani dengan baik,” pesannya.

Kisah-kisah jataka yang ada di berbagai relief candi di Jawa menurutnya sangat baik untuk didongengkan pada anak-anak masa kini sebelum tidur, lebih baik daripada memberikan mereka smartphone.

“Semoga hal itu masih tetap dilakukan,” harapnya.

Sementara itu, Elizabeth D. Inandiak yang kelahiran Perancis menuturkan bahwa ia melahirkan anak dan menjadi ibu di Jawa. Sehingga ia merasa menjadi bagian dari tanah Jawa.

Dirinya mengisahkan perjalanan kerohaniannya yang khas Jawa. Tahun 1989 ia datang pertama kali ke Indonesia sebagai wartawan untuk menulis tentang kejawen dan Islam. Ia mewawancarai Mohammad Rasjidi, menteri agama pertama era Soekarno.

Dari Rasjidi ia lalu mendapatkan literatur Serat Gatholoco, yang dikenal kontroversial bagi orang Islam. Gatholoco dikisahkan urakan, dan sering berdebat dengan para ulama Islam, untuk mengajak mereka mengikuti agama yang “tidak jelas”.

“Jawa itu negara aneh,” ungkapnya saat mengetahui adanya spiritualitas Jawa yang seperti yang diajarkan Gatholoco.

Elizabeth lalu bisa menemui KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dari tokoh NU itulah Elizabeth paham bahwa ada beberapa istilah yang identik dengan Islam Jawa namun asalnya dari bahasa Sanskerta atau tradisi Buddhis, misalnya adalah kata seperti santri atau puasa.

Elizabeth pun lalu berkesimpulan bahwa beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang berawalan “bud” seperti budaya atau budiman berasal dari kata bodhi yang artinya pencerahan. Kata budiman misalnya, menurutnya makna aslinya adalah bodhisattwa.

“Agama Buddha sangat berakar, sehingga orang Islam pun mengambil, terutama Nahdatul Ulama,” katanya.

Pulang ke Perancis, lantas ia merasa dicintai oleh “sesuatu tak kelihatan”, yang disebutnya kekasih yang tersembunyi. Dalam tradisi Buddhis Nusantara, ia memaknai atau menyebutnya sebagai Bodhicitta.

Sampai akhirnya tahun 90-an ia bertemu juru kunci Gunung Merapi, Raden Ngabehi Surakso Hargo, atau yang terkenal dengan sebutan Mbah Maridjan.

Oleh Mbah Maridjan, ia dibawa ke beberapa tempat keramat, seperti sebuah pohon beringin yang hidup di lereng Merapi. Dari Mbah Maridjan yang lalu mengangkatnya menjadi anak angkat inilah, Elizabeth mengaku belajar banyak tentang kebijaksanaan Jawa.

“Kebijaksanaan Mbah Maridjan sangat dalam,” ujarnya.


Hidup di Jawa selama 30 tahun dan bertemu banyak orang bijak, Elizabeth mengaku kini menjadi manusia yang universal. Hingga kini ia terkesan, karena kebudayaan Jawa menurutnya sangat dalam. Salah satu kedalaman itu ia temukan lewat Serat Centini, yang ia tulis ulang dari aslinya lebih dari 4000 halaman menjadi sekitar 400 halaman. Ia terkesan dengan sosok Tambangraras yang menurutnya berhasil meraih capaian spiritual yang tinggi.

“Dia berhasil karena tidak mengejar Tuhan tapi karena mengabdi,” tuturnya.

The post Java Connections, Kupas Esensi Budaya Jawa yang Bermakna dan Relevan appeared first on BuddhaZine.

Magabudhi Jawa Tengah Tambah Jumlah Pandita

$
0
0

“Sebagaimana ia mengajari orang lain,
Demikianlah hendaknya ia berbuat.
Setelah ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik,
Hendaklah ia melatih orang lain.
Sesungguhnya amat sukar untuk mengendalikan diri sendiri”

Dhammapada 159

Jumat hingga Minggu, (12-14/7), Wihara Mendut sempat ramai oleh hilir mudik upasaka-upasika yang menghadiri Indonesia Tipitaka Chanting dan Asadha 2019 yang berpusat di Candi Agung Borobudur.

Di sela-sela itu, pada Sabtu petang, (13/7), suasana mendung menggelayut di atas langit Wihara Mendut. Udara cukup dingin dan syahdu seolah obat penawar lelah karena siang harinya suhu udara cukup panas di bawah terik matahari yang menyengat.

Tepat pada pukul 16:30 WIB, tampak sejumlah upasaka-upasika berbusana atasan warna kuning khas jubah bhikkhu, dipadu celana panjang warna putih memasuki Dhammasala Wihara Mendut. Mereka adalah para pandita dan pegiat Magabudhi yang menghadiri Upacara Pelantikan Pandita Muda baru.

Upacara dipimpin oleh Pandita Muda Wirya Purwasamudera Wiharja. Ada tujuh orang pandita muda baru yang sore itu dilantik oleh Ketua Umum PP Magabudhi, Pandita Dharmanandi Chandra. Diawali pembacaan S.K. Pengangkatan. Sebelumnya, para calon pandita muda menghaturkan amisa puja di altar Dhammasala, dilanjutkan penyerahan amisa dana kepada Bhikkhu Santacitto yang hadir mewakili Sangha Theravada Indonesia untuk menyampaikan pemberkahan.

Setelah Pandita Dharmanandi Chandra memandu pembacaan Prasetya Pandita Magabudhi, para peserta mengucapkan Kode Etik Pandita yang dipandu Pandita Viriyananda Sugiyanto. Tampak hadir juga Pandita Muda Judha H yang bertindak sebagai pembawa acara, didampingi Pandita Muda Ian Passani dari PD Magabudhi D.I. Yogyakarta.

Praktikan Dhamma sungguh-sungguh

Dalam ceramah singkatnya, Bhikkhu Santacitto mengapresiasi pelantikan pandita baru pada petang hari itu. Ini karena luasnya wilayah pembinaan warga Buddha di Indonesia, belum cukup bila diampu hanya oleh para bhikkhu dengan jumlah yang sangat terbatas.

Untuk itu perlu peran pembabar Dhamma lain seperti rama pandita. Namun untuk mendukung semangat pembabaran Buddhadhamma, para pandita secara ajeg perlu melakukan tiga latihan praktik. Pertama adalah Pariyatti, yaitu selalu belajar pengetahuan tentang Buddhadhamma melalui Pustaka Tipitaka, agar pemahamannya semakin bertambah; Kedua adalah Patipatti, yaitu praktik Buddhadhamma dengan menjalankan sila-perilaku sesuai Buddhadhamma. Misalnya praktik Pancasila Buddhis dan Athasila di waktu-waktu tertentu, seperti pada bulan uposatha; serta yang ketiga adalah Pativedha, yaitu praktik samadhi secara ajeg untuk memperoleh ketenangan dan kebahagiaan batin dalam kehidupan sehari-hari.

Unik

Satu hal unik pada upacara pelantikan kali ini, bahwa tujuh orang pandita muda baru yang dilantik itu bukanlah wajah baru pegiat Magabudhi. Mereka adalah pegiat Magabudhi yang sudah senior, namun baru berkenan dilantik karena tuntutan pengabdian dengan kekosongan pandita di daerah masing-masing.

Pertama adalah Eko Budiono dari Klaten. Ia adalah pegiat LMD (Lembaga Manggala Dhammadutta) sejak akhir tahun 1990-an yang sering berkegiatan di Wihara Mendut dan Wihara Tanah Putih Semarang. Eko Budiono menjadi satu-satunya pandita di Klaten setelah wafatnya dua seniornya, yaitu Pandita Martono Gito Supadmo dan Pandita Muda Sri Puryono. Pandita Kedua adalah Ruslan. Ia adalah pandita dari wilayah Kentheng, Susukan, Kabupaten Semarang yang telah selesai menempuh Kursus Pandita pada bulan Desember 2018 lalu.

Pandita ketiga adalah Sutrisno, dari Getasan, Kabupaten Semarang. Sejak muda, Sutrisno adalah pegiat LMD dan Patria yang kini menjadi Ketua PC Magabudhi Kabupaten Semarang. Keempat adalah Dhammatejo Wahyudi dari Kota Semarang.

Sama seperti Sutrisno, Wahyudi pernah mengikuti Pelatihan LMD di Mendut yang diampu oleh Bapak Buntoro. Selain itu, ia adalah pegiat Patria dan kini menjadi Wakil Ketua PC Magabudhi Kota Semarang, dan aktif dalam kegiatan lintas agama di ibu kota provinsi Jawa Tengah.

Pandita kelima adalah Gatot Didit dari Purworejo. Ia adalah Ketua PC Magabudhi Kabupaten Purworejo, yang kebetulan adalah putra dari sesepuh Buddhis setempat, mendiang Pandita Sumiyem. Pandita keenam adalah Kustiani yang dikenal publik Buddhis sebagai seorang akademisi sekaligus Ketua PD Wandani Provinsi Jawa Tengah.

Sehari-hari, Kustiani adalah seorang dosen di STAB Syailendra Semarang, dan pegiat ekonomi kerakyatan Buddhis PremaMart. Baru-baru ini, Kustiani mengharumkan nama agama Buddha dengan diraihnya suatu anugerah dari UNDV (United Nation Day of Vesak) di Vietnam. Serta pandita yang terakhir adalah Suyanto dari PC Magabudhi Kabupaten Tegal. Suyanto adalah alumni STAB Syailendra yang kini menjadi andalah Kabupaten Tegal dalam pelayanan masyarakat Buddhis.

Tugas utama dan pertama pandita Buddha

Setelah upacara pelantikan selesai, para pandita menerima samir atau selendang leher dan penyematan pin pandita Magabudhi oleh Pandita Dharmanandi Chandra. Namun sayangnya, pada upacara pelantikan itu lupa disampaikan tugas utama (pokok) dan pertama seorang pandita Buddha. Perlu kita ketahui bahwa cara hidup Rama Pandita berbeda dengan seorang bhikkhu (bhikkhu; bahasa Pali, biksu; bahasa Sanskerta; dan wiku, bahasa Jawa). Seorang bhikkhu harus mematuhi 227 butir sila/peraturan (tradisi Mahayana ditambah lagi 100 peraturan bodhisattwa sila). Salah satunya adalah tidak berumah tangga (selibat). Kebutuhan pokoknya seperti kediaman, makanan, obat, dan jubah, disediakan warga Buddha (tidak bermata pencaharian).

Tugas pokok seorang bhikkhu adalah melatih diri sendiri dan membina warga Buddha dalam perilaku (sila). Sedangkan tugas seorang pandita Buddha yang pertama dan utama adalah sebagai petugas yang membina dan menjalankan upacara perkawinan warga Buddha. Tugas tambahan lainnya adalah menjadi saksi di pengadilan, mengambil sumpah jabatan TNI/ASN, membantu Bhikkhu sangha, mewakili warga Buddha dalam kegiatan lintas agama, dan pemerintahan, dan lain-lain sejenisnya.

Harapan pada pandita Magabudhi

Dengan mengetahui bahwa tugas utama dan pertama seorang pandita Magabudhi adalah petugas yang membina dan menjalankan upacara perkawinan bagi warga Buddha. Maka harapannya ke depan adalah semakin kukuhnya sadha atau keyakinan para pandita Magabudhi beserta putra-putrinya dalam praktik Buddhadhamma. Ini karena tidak jarang justru seringkali terdapat paradoks yang dialami seorang pandita Buddha.

Rama Pandita yang biasanya giat membabarkan Buddhadhamma dan terutama memberikan nasihat perkawinan bagi pasangan pengantin Buddhis. Tak jarang mengalami dilema ketika salah satu putra-putrinya harus “lompat pagar” alias pindah agama karena perkawinan.

Menjadi tugas penting bagi pandita dan pengurus majelis, untuk mengembalikan peran dan fungsi utama dan pertama seorang pandita Buddha. Agar Buddhadhamma dapat lestari mulai dalam keluarga-keluarga Buddhis, utamanya dari keluarga pandita sendiri. Yaitu menjaga agar putra-putri pandita bisa menjadi contoh keluarga Buddhis dengan sadha yang teguh.

The post Magabudhi Jawa Tengah Tambah Jumlah Pandita appeared first on BuddhaZine.

Hanya Tiga Keluarga yang Sembahyang di Cetya Dhamma Bhava, Malang, Jawa Timur

$
0
0

Siapa sangka di Kota Malang tepatnya di Kecamatan Sukun terdapat cetya yang terselip di antara himpitan permukiman padat penduduk. Letaknya tak jauh dari Pasar Gadang. Akses menuju cetya pun tak bisa dilewati oleh mobil. Hanya bisa dilalui oleh sepeda motor dan jalan kaki.

Uniknya di dalam Gang 7a, Jl. Kolonel Sugiono terdapat tiga tempat ibadah yang areanya semua dalam satu jalan. Di bibir gang terdapat gereja, GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan), pada bagian tengah ada masjid serta musala, dan di bantaran sungai/kali berdiri Cetya Dhamma Bhava.

Sebagian besar masyarakat Malang relatif toleran dan saling menjaga kerukunan. Cukup sulit untuk mencari keberadaan cetya ini jika tak bertanya-tanya pada warga sekitar. Karena letaknya di bantaran sungai yang posisinya tak terlihat di jalanan utama gang ini.

Namun ketika penulis mendatangi cetya tersebut, ternyata cetya dalam keadaan tertutup dengan kondisi listriknya tak menyala. Tak jauh dari cetya, terdapat pos kamling yang dipakai biasanya untuk rapat serta ronda warga sekitar. Penulis kemudian bertanya-tanya tentang keadaan cetya itu.

Warga sekitar mengatakan bahwa beberapa tahun belakangan, cetya sudah jarang dipakai untuk melakukan kegiatan peribadatan. Apalagi semenjak penjaga cetya yang bernama Pak Ran yang biasa membersihkan cetya ini telah meninggal.

“Belakangan ini kayaknya jarang dipakai sembahyang Mas. Apalagi semenjak Pak Ran yang biasa bersih-bersih ndak ada. Makanya agak keliatan kotor ya,” kata seorang penjaga pos kamling.

“Dulu sering Mas yang gundul-gundul pake jubah datang ke sini,” tambah seorang warga sekitar cetya.

Kemudian penulis menyambangi rumah RT yang menaungi cetya tersebut seraya bertanya soal kondisi cetya. Pak Yudi selaku RT pun tak paham soal kondisi cetya. “Saya pribadi sudah lama Mas ndak lihat ada aktivitas di situ. Coba Sampean tanya Pak Gun yang lebih paham,” ungkap Pak RT.

Lalu penulis menghampiri rumah Pak Gun dengan diantar Pak RT. Ternyata dulu orangtua Pak Gun yang menghibahkan tanahnya untuk dijadikan cetya. Meskipun Pak Gun bukan seorang Buddhis, namun dirinya mengaku cukup kenal dengan beberapa umat yang biasa sembahyang di cetya tersebut. Kemudian penulis diarahkan ke rumah salah satu umat yang berjarak beberapa gang dari Cetya tersebut.

Setelah ditemui, umat tersebut pun mengakui bahwa cetya memang jarang digunakan untuk persembahyangan. Hanya digunakan sewaktu-waktu saja. Sebab cetya tersebut hanya diisi beberapa umat. Paling banyak tiga keluarga. Bahkan menurutnya biasanya dua sampai tiga orang yang melakukan pujabhakti di cetya tersebut.

Tentunya cetiya tersebut berada dalam naungan KBTI (Keluarga Besar Theravada Indonesia). Karena ada keterangannya juga di tembok cetiya. Maka penulis bertanya kepada beberapa bhante di STI (Sangha Theravada Indonesia) dan juga Ketua Magabudhi Malang.

Beberapa bhante ditanya tidak tahu persis tentang kondisi cetiya tersebut. Hanya mengatakan bahwa masih ada pembinaan ke sana. Ketua Magabudhi Malang, ketika dikonfrontir, mengatakan bahwa cetiya masih terpakai, namun proses pembenahannya belum selesai disebabkan yang menangani masih belum bisa menyelesaikan.

“Dulu pembenahan atap dan kamar mandi,” jelas Romo Bambang selaku Ketua Magabudhi Malang. Keluarga Romo Bambang juga kebetulan sebagai salah satu keluarga dari tiga keluarga yang biasanya melakukan pujabhakti di cetiya tersebut. Karena rumahnya hanya berjarak beberapa gang tak jauh dari cetiya.

Penulis juga bertanya pada jajaran pengampu administrasi, Bu Rini salah satu penyuluh agama Buddha Departemen Agama, Kota Malang. Ketika ditanya soal Cetiya, Bu Rini hanya mengatakan bahwa cetya kadang kala aktif berkegiatan kadang tidak.

“Di sana juga ada penyuluh non PNS,” tambah Bu Rini.

Pak Satimin sebagai Pembimas Buddha Prov. Jawa Timur juga berencana akan meninjau lokasi ketika diberi tahu soal keadaan cetiya tersebut. “Semoga kami dalam waktu dekat bisa menindaklanjuti ke lokasi,” terang Pembimas, “Mudah-mudahan Agustus Minggu ke-3,” tambahnya.

» Apabila Anda merasa bahwa BuddhaZine menambah khazanah informasi Buddhadharma untuk Anda, keluarga, maupun sahabat. Anda dapat bersama kami, dalam mengabarkan kebaikan dengan berdana ke rekening kami.
Rek BuddhaZine: BCA | Jo Priastana | 485 0557 701 «

The post Hanya Tiga Keluarga yang Sembahyang di Cetya Dhamma Bhava, Malang, Jawa Timur appeared first on BuddhaZine.

Di Desa Sekar Gadung, Blitar, Umat Buddhanya Hampir Punah?

$
0
0

Desa Sekar Gadung begitu namanya lebih dikenal oleh masyarakat Kab. Blitar. Secara administrasi nama resminya adalah Desa Balerejo II. Terletak di Kecamatan Panggungrejo, Kab. Blitar, Jawa Timur. Letaknya tak jauh dari pantai. Lebih terkenal dengan nama Sekar Gadung karena dulu di desa ini berdiri pabrik kapuk Sekar Gadung milik Belanda yang tersohor pada zamannya. Desa ini tergolong sangat heterogen. Terdapat empat agama yang ada di desa ini, Islam, Kristen Protestan, Katolik, dan Buddha.

Hidup saling berdampingan tanpa ada konflik dan sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Siapa sangka umat Buddha di desa ini tersisa tinggal 12 KK (Kepala Keluarga) dengan satu cetiya yang berdiri dengan nama Cetiya Buddha Bhavana. Umat didominasi oleh golongan sepuh (berumur).

Persis di belakang cetiya terdapat rumah umat. Seorang Mbah-mbah (Kakek-kakek) dengan istrinya yang berprofesi sebagai buruh tani. Mereka berdua menempati rumah “gedhek” yakni rumah yang berdinding anyaman bambu dengan beralaskan tanah. Tanpa semen, tembok, ubin, bahkan tanpa ornamen-ornamen yang menghiasi rumah mereka.

Diantar oleh Pak Tarwadi seorang penyuluh agama Buddha non-PNS, sekelompok pemuda Buddhis yang mengatasnamakan Gerakan Millenial Buddhis Indonesia (GEMBI) mengunjungi umat-umat desa ini. Sekadar melihat kondisi dan memberikan harapan bahwa generasi muda Buddhis tetap ada di ruang-ruang yang tak banyak tersentuh sebagian orang.

Pak Tarwadi tahu persis kondisi umat desa ini karena ia masuk ke sini sejak tahun 80’an, sewaktu dirinya memakai jubah. Pak Tarwadi menceritakan sewaktu dirinya pertama kali berkunjung ke Sekar Gadung, menyaksikan umat desa ini melakukan persembahyangan hanya di kandang ayam karena tidak memiliki tempat.

Dahulu umumnya umat Sekar Gadung menganut ajaran Buddha Jawi Wisnu. Aliran Buddhis yang tidak cukup familiar dalam beberapa dekade terakhir. Ajaran Buddha asli masyarakat Jawa yang tidak terdapat di negara manapun selain Indonesia. Alirannya di luar term aliran ortodoks.

Maksud dari ortodoks di sini ialah agama atau posisi filosofis yang sesuai dengan pemahaman asli dan harafiah suatu doktrin. Atau mempunyai arti yang lebih sempit sebagai komitmen suatu standar yang benar, yang berlaku secara umum. Di Jawa Timur sekarang hanya tersisa pada umat di Alas Purwo, suatu daerah perhutanan di Banyuwangi. Mbah Karto menceritakan bahwa dulu umat di Sekar Gadung dibina oleh seseorang bernama Misran pada tahun 50-60’an.

Kemungkinan Misran juga melakukan pembinaan di Desa Blumbang, Desa Bumiayu, dan Desa Sumberjo yang masih satu budaya dan secara demografi masih berdekatan. Di ketiga desa ini juga masih terdapat umat Buddha sampai sekarang. Namun Misran menghilang bak ditelan bumi pasca kejadian 1965 (Peristiwa G-30S PKI).

Karena ajaran-ajaran kepercayaan “Jawa” di tahun itu sangat diidentikan dengan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) oleh Pemerintahan Orde Baru. Sehingga banyak dari mereka yang menjadi korban pembunuhan massal.

GEMBI juga menemui dan berbincang dengan Kepala Desa Balerejo II yang rumahnya persis berada di depan Cetya. Pak Suprans selaku Kades menyambut dengan baik kedatangan GEMBI. Pak Suprans juga menceritakan bagaimana kondisi sosial masyarakat Desa Sekar Gadung yang rukun dan bisa hidup berdampingan.

Ia sempat menceritakan bagaimana dulu Desa Sekar Gadung sempat hampir diserbu pembunuhan massal penumpasan PKI. Karena waktu itu banyak juga petani Sekar Gadung yang menjadi anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) sebuah sayap organisasi dari PKI yang khusus menaungi kelompok-kelompok tani.

Namun semua bisa diredam dan dicegah oleh seorang purnawirawan KNIL (Tentara zaman Hindia Belanda) dan seorang Pastor dari Keuskupan Malang yang menjadi tokoh di desa tersebut, sehingga tragedi berdarah pun tak sampai terjadi di desa ini. Sebab itu pula ajaran Buddha Jawi Wisnu yang dianut para umat Buddha Sekar Gadung bisa bertahan sampai tahun 80’an akhir. Mayoritas di Desa Sekar Gadung beragama Katolik sampai sekarang.

Teringat pepatah seorang guru bangsa, Gus Dur yang mengatakan “Tidak penting apa agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang. Orang tidak akan pernah tanya apa agamamu.” Kurang lebih waktu itu banyak yang berterima kasih dengan kedua tokoh di desa tersebut.

Namun Pak Suprans selaku kepala desa juga menyayangkan pertumbuhan umat Buddha di Desa Sekar Gadung yang sangat lambat dan perhatiannya minim. Ia mengatakan bahwa kurangnya kaderisasi yang dilakukan untuk umat Buddha Desa Sekar Gadung sehingga generasinya putus.

Pak Suprans memberikan peluang sebesar-besarnya pada masing-masing agama untuk berkembang, tentunya tanpa menabrak nilai-nilai kerukunan yang ada dan disepakati oleh masyarakat di Desa Sekar Gadung. Bahkan Pak Suprans mempersilakan orang-orang luar untuk menginap di Desa Sekar Gadung guna mempelajari nilai-nilai keberagaman dan kerukunan yang ada di Desa Sekar Gadung tanpa melihat dari latar belakang keagamaan manapun.

The post Di Desa Sekar Gadung, Blitar, Umat Buddhanya Hampir Punah? appeared first on BuddhaZine.

Tiga Ruang Leluhur Wihara Ekayana Arama Dilalap Si Jago Merah

$
0
0

Jakarta, Minggu (4/8). Ruang leluhur, persisnya di ruang lotus, ruang gerbera, dan ruang leluhur para guru spiritual, lantai dua Wihara Ekayana Arama terbakar. Hingga hari Senin (5/8) pihak kepolisian masih menyelidiki penyebab terjadinya kebakaran. Wihara Ekayana Arama beralamatkan di Jl. Mangga 2 No.8, RT.8/RW.8, Duri Kepa, Kec. Kb. Jeruk, Kota Jakarta Barat.

Banyak informasi yang beredar di media sosial yang menyatakan bahwa penyebab kebakaran adalah karena korsleting genset. Febrian, yang mewakili Wihara Ekayana Arama, menyampaikan masih menunggu hasil dari kepolisian.



“Api mulai menyala dari lantai dua wihara, kemudian merembet dan membesar ke ruang depan, untuk dampak dari pemadaman, air kemudian merembes ke bawah yakni baktisala, dan ada beberapa plafon yang rusak,” jelas Febrian.
Situasinya saat itu, listrik padam, kemudian pihak wihara menyalakan listrik menggunakan genset. Untuk genset sendiri hanya ke lantai satu dan lantai tiga. Lantai dua nggak ada genset-nya. Sementara sumber api berasal dari lantai dua.




Si jago merah mulai berkobar sekitar jam 14.00 WIB, dan lekas dipadamkan oleh petugas pemadam kebakaran. Tidak ada korban sama sekali, anggota Sangha yang tinggal di Wihara Ekayana Arama tidak ada yang terluka.

Untuk pihak keluarga yang terdampak, telah diupayakan dihubungi oleh wihara, tidak hanya itu, wihara membuka pelayanan bagi keluarga yang terdampak dan melakukan pendataan kembali. Aktivitas kegiatan persembahyangan di wihara sementara ditutup.


Pada malam hari, api sempat menyala kembali dari lantai tiga, namun urung membesar karena lekas dipadamkan oleh security bernama Ade Firman Syahrul dan beberapa rekannya, Hendrik dan Ko Iwat. Tak selang beberapa waktu kemudian, mobil pemadam kebakaran memastikan bahwa tidak ada lagi kobaran api dari lantai tiga pada kisaran pukul 23.55 WIB.

The post Tiga Ruang Leluhur Wihara Ekayana Arama Dilalap Si Jago Merah appeared first on BuddhaZine.

Penahbisan Samanera di Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah

$
0
0

Sangha Theravada Indonesia (STI) menggelar pabbaja samanera dan atthasilani di Vihara Mendut, Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Program rutin STI berlangsung selama dua minggu, dari tanggal 30 Juni hingga 15 Juli 2019.

Sebanyak 38 orang laki-laki (samanera) dan 29 orang perempuan (atthasilani) mengikuti latihan hidup samana. 67 orang tersebut adalah orang-orang pilihan yang telah lolos mengikuti beberapa tahap seleksi, seperti tes kesehatan dan beberapa syarat lainnya. Mereka ditahbiskan langsung oleh Bhante Sri Pannyavaro, Bhante Jothidhammo, Bhante Tithayanno, Bhante Cattamano, Bhante Guttadhammo, Bhante Piyadiro, dan beberapa bhikkhu menjadi upacarya.

“Total peserta yang mendaftar ada 82 orang, peserta yang diterima 76 orang, ada beberapa yang ditolak karena alasan umur belum 16 tahun, karena sudah berkali-kali pernah mengikuti pabbajja, dan kuota penuh. Pabbajja di Vihara Mendut mengutamakan peserta yang belum pernah mengikuti pabbajja, agar masyarakat dapat melatih bagaimana hidup sebagai seorang pabbajita melepaskan kemelekatan sedikit-sedikit,” terang Bhante Jayasilo, ketua panitia program kepada BuddhaZine.

Upacara penahbisan samanera dan athasilani terbagi menjadi dua tahap. Minggu (30/6) pukul lima dini hari dilakukan penahbisan atthasilani, sedangkan para samanera ditahbiskan setelah makan pagi.

Penahbisan Samanera 

Pukul 08.00 WIB, 36 laki-laki dicukur bersih mengenakan jubah berwarna putih berbaris rapi di belakang ruang serbaguna Vihara Mendut. Dengan membawa amisa puja; rangkaian bunga, lilin dan dupa mereka berjalan rapi menuju stupa parinibbana, setelah menyalakan dupa dan melakukan penghormatan di hadapan rupang Buddha, para calon samanera ini melakukan pradaksina mengelilingi stupa sebanyak tiga kali.

Selesai melakukan pradaksina, mereka berjalan menuju ruang dharmasala Vihara Mendut. Di dalam ruang dhammasala, setelah ber-namaskara mereka mendapat persembahan jubah samanera dari para penyokong Dharma dan keluarga yang mendampingi. Usai menerima persembahan jubah, mereka berjalan menuju ruang serbaguna untuk memohon ditahbiskan menjadi samanera oleh bhikkhu Sangha.

Sebelum memulai penahbisan, Bhante Pannyavaro berpesan kepada para calon samanera. “Kehidupan sebagai samanera tidak banyak memberikan manfaat kalau tidak muncul dari keyakinan yang benar. Keyakinan itulah yang mendorong Anda sekalian dan kita semua untuk berlatih. Keyakinan kita adalah keyakinan kepada Triratna; Buddha ratana, Dhamma ratana dan Sangha ratana. Keyakinan kepada Permata Buddha, Permata Dhamma, dan Permata Sangha.

Baca juga: Pengalamanku Ikut Program Latih Diri Pabajja Samanera Sementara

“Menjadi samanera adalah saatnya untuk berlatih meminimalisir keinginan. Ada keinginan tapi kecil sekali, keinginan hanya sekadar untuk bertahan hidup, sekadar pakaian, sekadar makanan, obat-obatan ketika sakit, selain itu tidak! Menjadi samanera adalah belajar untuk berhenti, karena kita tidak pernah belajar untuk berhenti, hanya mau, mau, dan mau, ingin, ingin, dan ingin, menjadi, menjadi, dan menjadi.”

Sebagai bekal latihan, Bhante Pannyavaro memberikan lima objek meditasi sebagai bahan perenungan bagi samanera bila ada pikiran yang mengganggu. “Anda akan diberikan cara untuk mengatasi kotoran batin yang kasar, dengan diberikan objek meditasi yang disebut sebagai lima bagian dari tubuh: rambut, bulu yang berada di sekujur tubuh, kuku, gigi, dan kulit. Kalau tidak dibersihkan, kotor ini menjijikkan. Apa yang indah dari mulut, apa yang indah dari kulit, apa yang indah dari rambut, karena semua orang yang tampak adalah rambut, kuku, bulu, gigi, dan kulit.

“Apabila ini direnungkan berulang kali, maka kamaraga (nafsu indrawi) akan berkurang. Kita akan memahami bahwa tidak ada cantik yang sebenarnya, tidak ada gagah yang sebenarnya, tidak ada indah yang sebenarnya. Yang ada hanyalah perpaduan, dan kalau itu tidak dirawat, yang dikatakan indah itu pun akan lenyap.

Usai menerima wejangan dari upajaya, para bhikkhu memakaikan jubah asana kepada para samanera. Selanjutnya mereka mengganti jubah putih dengan jubah samanera dan menerima sila dari upajaya dan upcarya. Seluruh proses penahbisan samanera berjalan dengan rapi, hening, dan sakral. Selanjutnya mereka akan praktik dan belajar Dhamma dengan disiplin tinggi diasuh para bhikkhu senior.

The post Penahbisan Samanera di Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah appeared first on BuddhaZine.

Di Depan Rupang Buddha Parinibbana, Pemuda Lintas Agama Doakan Mbah Moen

$
0
0

Bangsa Indonesia kembali kehilangan sosok teladan. Kyai Maimoen Zubair, seorang tokok NU karismatik wafat di Mekah, Arab Saudi, pukul 04.17 Selasa (6/8) waktu setempat. Sebelumnya, Kyai sepuh yang akrab disapa Mbah Moen itu sempat dibawa ke RS An Noor, Saudi Arabia.

Kabar meninggalnya Mbah Moen meninggalkan duka mendalam bagi bangsa Indonesia. Berbagai kalangan menggelar doa mengiring kepergiannya. Termasuk anak-anak muda lintas agama di Mojokerto, Jawa Timur yang menggelar doa bersama Selasa, (6/8).

Doa untuk Mbah Moen di depan Rupang Buddha Parinibbana, Kompleks Maha Vihara Mojopahit, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto. Acara ini dihadiri oleh pemuda lintas agama, Buddha, Islam, dan Kristen dari berbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dengan bersila beralaskan tikar mereka berdoa dengan khusuk berdasarkan keyakinan dan agama masing-masing. Ana Surahman, salah satu Pemuda Buddhis dari Jawa Tengah mengungkapkan kepergian Mbah Moen juga kehilangan bagi umat Buddha.

“Mbah Moen adalah sosok inspirator, sosok yang konsisten dalam menjaga toleransi dan keberagaman. Kehilangan beliau tentu membawa duka mendalam bagi bangsa Indonesia,” kata Ana yang juga awak BuddhaZine ini.

“Doa ini, kita panjatkan untuk Mbah Maimoen mudah-mudahan beliau ditempatkan di alam yang lebih bahagia di sisi Tuhan, dan doa kali ini juga kita meminta untuk kejayaan Nusantara agar lebih gemilang,” imbuhnya.

Sementara itu, Jesada Tee, seorang peneliti asal Thailand yang juga turut dalam acara doa bersama mengungkapkan kekaguman kepada anak-anak muda Indonesia. Menurutnya, ini adalah contoh yang baik karena di negaranya belum pernah dijumpai acara semacam ini.

Wafatnya tokoh NU KH Maimoen Zubair menggugah pemuda lintas agama Kabupaten Mojokerto untuk menggelar doa bersama, Selasa (7/8).

Acara yang berlangsung di kompleks Maha Vihara Mojopahit Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, tersebut berjalan khusyuk. Mbah Moen wafat di Makkah, Arab Saudi, saat menunaikan ibadah haji. Puluhan pemuda lintas agama itu terdiri dari komunitas Gusdurian Mojokerto, pemuda Kristen, Buddha, dan pemuda Nahdlatul Ulama (NU).

Tadi pagi beliau meninggal di Mekah, dan hari ini kita berkumpul untuk mendoakan beliau bersama-sama. Karena apa yang telah beliau lakukan memberi contoh dan tauladan untuk selalu mencintai tanah air Indonesia. Imam Maliki.

The post Di Depan Rupang Buddha Parinibbana, Pemuda Lintas Agama Doakan Mbah Moen appeared first on BuddhaZine.


Thich Nhat Hanh Mendapat Anugerah Gandhi Mandela Award 2019

$
0
0

“Inisiatif Damai Gandhi Mandela” adalah sebuah peristiwa tahunan yang dilaksanakan bersama oleh Dr Annurag Batra dari Yayasan Believe (India) dan Tarina Patel dari Yayasan Dr. Ramanbhai Patel (Afrika Selatan) untuk merayakan kemenangan dari Cinta terhadap Kebencian serta merayakan 150 tahun kehidupan Gandhi dan 100 tahun kehidupan Mandela yang mengilhami.

Pada tahun pertama tiga peristiwa akan mengambil tempat di New Delhi, (11 Juli), Mumbai, (12 Juli), dan Ahmedabad (13 Juli).  Peristiwa ini akan menggelar sebuah panel diskusi dengan topik-topik tentang Perdamaian Global bagi kaum muda, wanita, lingkungan, kesehatan, gender, sensitivitas, seni, dan sinema dengan catatan kunci yang dibawakan oleh pemimpin berpikiran besar pada masa kini.

Peristiwa ini juga menganugerahkan Penghargaan Inisiatif Perdamaian Gandhi Mandela pada para pemimpin dunia.  Pada awalnya juri Penghargaan Inisiatif Perdamaian Gandhi Mandela 2019 dipimpin oleh Arif Mohammed Khan (pemikir umum) dengan peserta Savita Hiremath (pembuat film), Tarina Patel (aktor), Dr Annurag Batra (publisher), Bhuvan Lall (pengarang) dan Manoharan Moses (jurnalis) memutuskan untuk memberikan penghargaan pada orang-orang berikut atas sumbangsih mereka yang patut dicatat terhadap kemanusiaan.

Medali Perdamaian Gandhi Mandela tahunan pada tahun 2019 telah diberikan pada Thich Nhat Hanh – yang merupakan pemimpin spiritual dunia, penyair dan aktivis perdamaian, dijunjung tinggi di seluruh dunia karena ajarannya yang penuh daya serta tulisan yang paling laris tentang perdamaian dan kesadaran penuh.  Beliau adalah orang yang disebut Martin Luther King “Seorang Nabi perdamaian dan tanpa kekerasan.”

Tiga penghargaan khusus telah diumumkan bagi orang-orang yang luar biasa berpengaruh karena sumbangsih dalam bidang lingkungan dan sosial:

Penghargaan Gandhi Mandela 2019 untuk Pengaruh Sosial: Dr Achyuta Samanta – pendiri Institut Teknologi Industri Kalinga (KIIT) dan Institut Ilmu-Ilmu Sosial Kalinga (KISS).

Penghargaan Gandhi Mandela 2019 untuk bidang Lingkungan: Mahendra Modi, DGP, IPS, Uttar Pradesh, India.

Penghargaan Gandhi Mandela 2019 untuk Perubahan Sosial Generasi Muda: Shabana Khan, Sneha dan Suman,  Action India, distrik Hapur, Uttar Pradesh, India. (Buddhistdoor.net)

The post Thich Nhat Hanh Mendapat Anugerah Gandhi Mandela Award 2019 appeared first on BuddhaZine.

Dusun Krecek dan Atmosfernya yang Mendukung Praktik Meditasi

$
0
0

“Meditasi adalah ajaran mendasar Buddha Gautama yang harus dipraktikkan semua orang. Tak hanya para samana dan kaum laki-laki saja, meditasi juga bisa dilakukan oleh kaum perempuan,” kata Bhante Santacitto saat pembukaan 48 Hours Mindfullnes Wanita Theravada Indonesia (WANDANI) di Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Temanggung pada Sabtu (10/8).

Pelatihan meditasi berlangsung selama 3 hari, mulai tanggal 10 – 13 Agustus 2019. Bhante Santacitto menjadi guru pembimbing tunggal dalam pelatihan yang diikuti oleh sekitar 25 orang peserta dari berbagai daerah di Indonesia.

Selama mengikuti retret peserta diajarkan praktik meditasi dengan berbagai metode meditasi yaitu duduk, berdiri, berjalan serta meditasi di setiap saat. Tidak hanya menjalankan praktik meditasi namun para peserta juga melaksanakan atthasila selama mengikuti retret.

“Meditasi Buddhis adalah untuk mengembangkan batin, untuk menumbuhkan nilai-nilai batin yang luhur yaitu kebijaksanaan, kedisiplinan, kesabaran, ketenangan, keseimbangan batin, perhatian, konsentrasi. Lebih dari itu meditasi juga untuk melenyapkan kotoran batin yaitu keserakahan, kebencian, dan kebodohan yang merupakan induk dari kotoran-kotoran batin lainnya.”

“Kotoran batin lain yang merupakan anak-anak dari induknya berwujud seperti kesombongan, iri hati, dendam, kesedihan, rendah diri, ketakutan, kekhawatiran dan kotoran lainnya. Kotoran batin ini muncul melalui setiap pintu indra yang kita punya sesuai dengan objeknya. Contoh mata menjadi pintu kotoran dari apa yang kita lihat, begitu juga dengan indra yang lainnya. Dan kotoran batin ini bisa muncul setiap saat, maka dari itu Buddha menganjurkan kita untuk meditasi setiap saat demi melenyapkan kotoran batin kita,” kata terang bhante.

Lebih dalam bhante menjelaskan bahwa apa pun yang kita lakukan setiap saat bisa menjadi sarana untuk meditasi. Kuncinya adalah dengan menyadari apa yang sedang kita lakukan, karena pikiran kita sangat liar seperti monyet yang tak pernah bisa diam.

Dengan meditasi kita belajar mengendalikan pikiran kita agar tidak liar dan menyadari apa yang sedang berlangsung saat ini juga. Cara untuk mengendalikan pikiran kita, kita harus tahu dulu bahwa pikiran kita liar dan senang sekali mengembara.

Menurut bhante, sati atau kewaspadaan adalah alat yang bisa kita gunakan untuk menjinakkan pikiran liar kita. Dalam masyarakat Jawa istilah sati biasa disebut dengan ungkapan eling lan waspada. Sebagai perumpamaan eling adalah seperti tali (dadung) yang digunakan untuk mengikat seekor sapi supaya tidak menjadi liar. Namun tali saja tidak cukup, supaya sapi tidak menjadi liar butuh tiang untuk mengikatkan tali tersebut. Tiang merupakan perumpamaan bagi objek meditasi.

“Seumpama pikiran ini sapi, tali dan tiang adalah menjadi sati dan objek meditasi. Dalam latihan ini kita akan menggunakan obyek napas pada saat meditasi duduk dan berdiri. Namun ketika meditasi berjalan yang juga di dalamnya ada meditasi berdiri kita akan menggunakan objek sentuhan telapak kaki pada media berjalan kita.

“Untuk meditasi setiap saat kita menggunakan kesadaran akan apa yang kita sedang lakukan sebagai objek, jadi kita harus menyadari betul apa yang sedang kita lakukan baik itu saat makan, minum, berjalan, mandi, apa pun yang sedang kita lakukan kita sadari. Ini sati,” lanjut Bhante.

Lokasi meditasi selama retret tidak hanya terpusat dalam satu tempat, namun peserta akan diajak untuk melakukan meditasi di lokasi yang berbeda-beda. Satu waktu di dalam Dhammasala, satu waktu di luar ruangan, satu waktu di Pendopo Dusun Krecek dan sementara di waktu lain peserta akan diajak untuk bermeditasi di saung meditasi dusun Krecek.

Saung Dusun Krecek menjadi lokasi yang paling menarik para peserta retret mengingat lokasi saung yang berada di atas bukit dan terpisah dari pemukiman warga, suasana yang sunyi, semilir angin yang sejuk dan dingin mengkondisikan konsentrasi yang lebih baik.

Bagi warga Dusun Krecek, retret ini menjadi satu kesempatan yang sangat baik karena para umat umat Buddha Dusun Krecek bisa turut serta mengikuti latihan ini setelah selesai dengan pekerjaan rumah mereka masing-masing.

The post Dusun Krecek dan Atmosfernya yang Mendukung Praktik Meditasi appeared first on BuddhaZine.

Master Hsing Yun dan Komunitas Buddhis Tiongkok Global

$
0
0

Master Hsing Yun lahir pada tahun 1927 di Provinsi Jiangxu, Tiongkok. Beliau ditahbiskan pada tahun 1941, menjadi patriakh ke-48 dari aliran Linchi Chan, dan mengungsi ke Taiwan pada tahun 1949 setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok/RRT. Beliau tersenyum setiap kali orang Taiwan menyebut bahwa beliau datang dari Tiongkok daratan, dan sebaliknya pula, saat para sahabat dari RRT menyebutnya berasal dari Taiwan. Beliau menanggapi, “Kita mendunia. Kita semua adalah sama.”

Ini merupakan sebuah jawaban yang asli dan bijaksana dalam bahasa modern, yang mengajarkan nilai Buddhis yang penting tentang kesetaraan (upeksha), salah satu dari Empat Kediaman Mulia dari Pikiran. Hal tersebut juga mengajarkan bahwa kita semua berbagi hakikat Buddha, dengan potensi bawaan yang sama untuk menyadari kebenaran tertinggi serta untuk mencapai jalan pencerahan.

Master Hsing Yun merupakan pimpinan agama, pendiri, serta penasihat spiritual dari Sangha Buddhis Tiongkok dunia di Vihara Fo Guang Shan, serta Asosiasi Internasional Pelita Buddhis (Buddhist Light International Association – BLIA). Beliau mengawasi berbagai vihara dan organisasi di lebih dari 173 negara di enam benua, 3,500 Sangharama, serta jutaan pengikut awam.

Master Hsing Yun telah bersumpah untuk mempersembahkan “Agama Buddha yang Manusiawi” – yang ditemukan relevan dengan dunia modern, dengan cara menghubungkan agama Buddha dengan kehidupan manusia sehari-hari – Master Hsing Yun menyisipkan gagasan-gagasan Buddhis dalam setiap pesan yang beliau sampaikan dan membuka pintu-pintu pada agama Buddha bagi orang Tiongkok dan non-Tiongkok di seluruh dunia dengan strategi yang dipikirkan secara matang. Strategi-strategi ini merupakan cara terampil berupa promosi, pembinaan hubungan, dan pendidikan – semuanya dilaksanakan dengan pertimbangan secara global maupun lokal.

Saat beliau membuka Sangharama Fo Guang Shan yang pertama di Kota Kaohsiung Taiwan pada tahun 1967, Master Hsing Yun menjadikannya yang terbesar di Taiwan. Hal tersebut menjadi sebuah strategi bagi setiap vihara yang beliau bangun pada tahun-tahun berikutnya, baik di dalam maupun di luar Taiwan. Tujuan beliau adalah untuk menyediakan alasan bagi masyarakat lokal untuk datang, menyaksikan, serta belajar tentang Buddhadharma yang luhur dan agung.

Fo Guang Shan

Sangharama Fo Guang Shan juga merupakan tempat bagi perayaan keagamaan serta peristiwa sosial bagi masyarakat setempat, Buddhis maupun non-Buddhis, berkebangsaan Tiongkok ataupun bukan. Saat orang datang, Master Hsing Yun menyajikan bagi mereka kesempatan untuk mengalami agama Buddha. Orang didorong untuk menanam benih Dharma, sekalipun mereka mungkin belum memiliki komitmen untuk mengejar jalan menuju pencerahan.

Fo Guang Shan dan BLIA, mengacu pada setiap tindakan kedermawanan yang akan membangun hubungan pribadi dengan Dharma dan karenanya mengumpulkan pahala. Hal ini mendukung nilai penting Buddhis tentang kedermawanan dan pemberian (dana) dan kesempurnaan (parami).

Master Hsing Yun dengan terampil mengelola hubungan beliau dengan para politisi setempat dan nasional yang berpengaruh serta kelompok-kelompok hartawan, untuk melibatkan mereka dalam agama Buddha yang Manusiawi.

Hal tersebut dilakukan dengan cara membantu mereka menyebarkan agama Buddha di kalangan pendukung terkait mereka dengan dukungan dana mereka terhadap pelajaran-pelajaran agama Buddha, yang pada gilirannya akan mendatangkan pembelanjaan para wisatawan pada kota-kota setempat. Cara-cara terampil ini telah terbukti menguntungkan secara timbal balik, dan Master Hsing Yun telah berhasil dalam menemui banyak pimpinan politik dari berbagai negara, termasuk presiden Amerika yang terdahulu serta presiden Tiongkok Xi Jinping.

Bagaimanapun, beliau juga telah mengalami kemunduran ketika awak media merancukan kegiatan pengumpulan dana beliau, yang secara tak berdasar dinyatakan sebagai alat bagi pesaing politik dan bermuatan kepentingan-kepentingan bisnis. Dalam tahun-tahun belakangan, Master Hsing Yun telah mempertahankan profil publik yang lebih rendah sembari mempertahankan hubungan tingkat tinggi di berbagai negara.

Sejak awal keberadaan mereka, Fo Guan Shan dan BLIA telah memposisikan diri sebagai pendukung agama Buddha Mahayana dan budaya Tiongkok yang sejati. Penempatan seperti ini beserta kegiatan-kegiatan yang mengikutinya dapat dipandang sebagai cara terampil untuk menarik sekaligus melindungi populasi besar imigran Tiongkok di luar Taiwan dan Tiongkok daratan.

Penekanan pada jati diri budaya – alih-alih sebuah identitas keagamaan murni – juga melindungi perkembangan mereka di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina, yang mana agama Buddha merupakan minoritas. Hal ini mungkin merupakan satu dari sebab kunci mengapa “adalah aman untuk menyatakan bahwa lebih dari 99% anggota BLIA adalah etnis Tiongkok.”

Bagaimanapun, hal ini tidak menghentikan Master Hsing Yun untuk terus melanjutkan untuk merangkul komunitas non-Tiongkok. Sebagai contohnya, beliau akan menawarkan untuk menyediakan pendanaan perjalanan serta akomodasi bagi pelatihan viharawan di Taiwan untuk mendorong keikutsertaan para siswa non-Tiongkok. (Buddhistdoor.net)

The post Master Hsing Yun dan Komunitas Buddhis Tiongkok Global appeared first on BuddhaZine.

Peletakan Batu Pertama Dhammasala di Vihara Dhamma Sasana, Semarang

$
0
0

Raut wajah bahagia terpancar di wajah umat Buddha di Dusun Krajan, Desa Kenteng, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Rasa syukur dan bahagia yang ada menandai bahwa harapan dan upaya umat Buddha untuk memiliki rumah ibadah yang lebih representatif hampir terpenuhi dengan dilaksanakannya peletakan batu pertama pembangunan Dhammasala Vihara Dhamma Sasana pada Minggu (4/8).

Berdasarkan dokumen proposal dan design development Vihara Dhamma Sasna, rumah ibadah yang memiliki sarana prasarana lebih lengkap dan dapat menampung umat beribadah adalah harapan seluruh umat Buddha Dusun Krajan. Harapan muncul ketika vihara yang berdiri di tanah seluas + 105 m2 tidak mampu menampung umat ketika pujabhakti, selain karena bangunan vīhara lama yang telah berusia 23 tahun tersebut mengalami kerusakan, dan karena sarana pendukung ketika bhikhhu atau samanera menginap kurang layak.

Dengan dukungan penghibah tanah seluas 536 m2, motivasi, serta dukungan Samanera Medhacitto dan Biksu Duta Nagara yang secara tidak langsung ketika masa kanak-kanak dibentuk secara agama dan spiritual di Vihara Dhamma Sasana, maka pengurus vihara membentuk panitia pembangunan dhammasala. Rencana pembangunan dhammasala yang juga mendapat dukungan besar dari Sangha Theravada Indonesia melalui Padesanayaka Provinsi Jawa Tengah yaitu Bhikkhu Sujano, semakin membulatkan tekad panitia untuk membuat desain dhammasala dan proposal penggalangan dana pembangunan.

Satu tahun setelah penggalangan dana, akhirnya dapat dilakukan peletakan batu pertama dhammasala Vihara Dhamma Sasana dengan desain bangunan dibuat oleh arsitek dan desainer interior, Agus Setiyawan. Konsep bangunan dhammasala dibuat dua lantai yaitu lantai semi basemen dan lantai dasar. Atap bangunan memadukan arsitektur lokal Jawa Tengah yaitu atap Joglo dengan unsur kebudhaan berbentuk stupa.

Acara peletakan batu pertama dhammasala dihadiri oleh Padesanayaka Saṅgha Theravāda Indonesia Provinsi Jawa Tengah yaitu Bhikkhu Sujano dengan didampingi Bhikkhu Cittavaro Thera. Tamu undangan yang hadir berasal dari pengurus Keluarga Besar Theravada Indonesia (KBTI) Kabupaten Semarang; perangkat Desa Kenteng; donatur; umat Vihara Dhamma Sasana, Vihara Setti Dhamma, Vihara Karuna Phala Desa Kenteng Kecamatan Susukan; serta umat Vihara Rahulavada Kecamatan Tengaran dan umat Vihara Khanti Dhamma Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang.

Sebelum menuju lokasi acara, tamu undangan mendapat santap siang yang disediakan di rumah penduduk untuk kemudian mengikuti rangkaian acara peletakan batu pertama. Acara diawali dengan pembukaan, penyalaan lilin, pujabhakti, amisa dana dan pelimpahan jasa, sambutan, acara inti yaitu peletakan batu pertama, penutup, dan ramah tamah.

Secara kuantitas umat Buddha hanya 596 jiwa (12%) dari populasi Desa Kenteng yang berjumlah 4521 jiwa, sedangkan di Dusun Krajan sendiri hanya terdapat + 178 jiwa. Dengan peletakan batu pertama dhammasala di Dusun Krajan yang memiliki peninggalan purbakala berupa “lumpang kenteng” ini, diharapkan menjadi penyemangat bagi umat Buddha Vihara Dhamma Sasana dalam menggalang dana sehingga dhammasala yang diinginkan dapat terwujud dan dapat dimanfaatkan oleh umat Buddha untuk terus meningkatkan kualitas batin dan demi manfaat untuk semua makhluk.

The post Peletakan Batu Pertama Dhammasala di Vihara Dhamma Sasana, Semarang appeared first on BuddhaZine.

Belajar Menata Harmoni Keluarga dari Mely Kiong

$
0
0

Menyambut kemerdekaan RI ke-74 Vihara Buddhayana Dharmavira Center (BDC) Surabaya kembali menggelar The Biggest Talk Show. Acara ini berlangsung setiap malam selama 8 hari tanggal 4 – 11 Agustus 2019.

The Biggest Talk Show merupakan acara rutin 3 tahun sekali yang diselenggarakan Vihara BDC Surabaya. Apabila tahun 2016 lalu The Biggest Talk Show mengupas tuntas Delapan Jalan Utama, pada tahun ini akan mengupas kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dalam tema besar Kemerdekaan Bathin, Kemerdekaan Kita, Kemerdekaan Indonesia.

Sembilan narasumber bertaraf nasional dihadirkan untuk mengupas tuntas tema tersebut. Mulai dari Andrie Wongso (Motivator Indonesia), Melly Kiong (Pakar, praktisi, konsultan keluarga), Soedomo Mergonoto (Owner Kapal Api Group), Arief Harsono (Owner Samator Group), Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraq (Ketua PBNU), Suhadi Senjaja (Ketum PBD NSI), Sudhamek, AWS (Owner Garuda Group), YM. Nyanabandhu (Bhikkhu Sagin) dan YA. Viriyanadi (Ketua pembina Yayasan BDC).

Berdasarkan pantauan BuddhaZine di lapangan pada hari kedua, Senin (5/8) tak kurang dari 300 orang peserta hadir dalam acara ini. “Hari pertama kemarin, narasumbernya Bapak Andrie Wongso yang hadir lebih banyak, sekitar 500 orang. Aula ini hampir penuh,” kata Pak Tosin, Ketua MBI Jawa Timur.

Hari kedua, Melly Kiong hadir sebagai narasumber dengan topik bahasan Kemerdekaan di dalam Keluarga Harmoni. Melly Kiong adalah seorang penulis buku Siapa Bilang Ibu bekerja Tidak Bisa Mendidik Anak Dengan Baik, Cara Kreatif Mendidik Anak dan Guru-guru kecil Melly Kiong. Buku ini mendapat penghargaan dari MURI Indonesia.

Melly Kiong menulis buku berdasarkan pengalaman pribadinya. Dengan cara pembahasan, pemaparan dan bertukar cerita yang menarik, Melly menjelaskan apa itu pola asuh, bagaimana egoisnya orang tua terhadap anak, bagaimana cara pandang anak terhadap orang tua, bagaimana cara membuat kesepakatan dengan anak di rumah, komunikasi yang baik dengan anak.

Lahir dari keluarga sederhana di Kota Singkawang, Kalimantan, Melly mengalami dan melihat pahit getirnya kehidupan. Pola asuh anak dengan kekerasan karena jeratan masalah kemiskinan kerap ia jumpai di Singkawang pada masa kecilnya.

Berkat pengalaman itu, sebagai perempuan yang terinspirasi sosok Kartini, Melly mempunyai tekad untuk merubah hidupnya. “Bagaikan seorang perempuan ini menjadi perempuan yang mampu mengambil keputusan. Untuk mengambil keputusan harus belajar, harus sekolah. Ini yang dikerjakan oleh Kartini, karena itu saya sangat berhutang budi kepada Kartini. Saya hari ini bisa berdiri di sini karena Kartini,” kata Melly disambut riuh tepuk tangan hadirin.

Berbekal dari pengalamannya mengasuh anak, membangun keluarga membuat Melly Kiong mendirikan gerakan eMKa (Mindful Parenting). Terdapat lima ajaran mendasar dalam mendidik anak dalam metode eMKa yaitu; (1). Mendengarkan dengan perhatian, berbicara dengan empati, (2). Tidak menghakimi dan mengeluarkan kata-kata negatif, (3). Pengendalian emosi, (4). Adil dan bijaksana, tidak membandingkan dengan anak lain, (5). Membangun welas asih.

The post Belajar Menata Harmoni Keluarga dari Mely Kiong appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 1052 articles
Browse latest View live