Quantcast
Channel: News Berita Budhis Terkini | Buddhazine
Viewing all 1052 articles
Browse latest View live

Asadha Vihara Buddha Prabha Jogja, Begini Permintaan Bhante Badrapalo

$
0
0

Umat Buddha diimbau untuk semakin meningkatkan spiritualitas dalam diri, dengan meningkatkan keyakinan pada Tiratana. Sebab di era modern ini, saddha di kalangan umat terkesan semakin luntur.

Hal tersebut disampaikan Bhikkhu Badrapalo dari Sangha Agung Indonesia dalam acara peringatan Asadha Puja 2563 BE yang digelar di Vihara Buddha Prabha Yogyakarta, Minggu (11/8) pagi. Acara diikuti oleh puluhan umat yang mayoritas adalah anak muda.

Bhante mengingatkan bahwa berlindung pada Buddha Dhamma Sangha dilakukan tidak supaya seseorang dipuji atau dihormati, tetapi untuk meningkatkan spiritualitas dalam diri. Spiritualitas menurutnya adalah proses latihan mengolah diri sendiri.

“Latihan diri untuk lebih teliti, lebih semangat, lebih ulet, supaya hasilnya dirasakan diri kita. Jangan memiliki tujuan yang instan,” ujarnya.

Ia mengingatkan, umat Buddha seharusnya penuh kasih dan mendoakan makhluk lain supaya bahagia. Berbagai ritual, seperti puja bunga, puja dupa, puja pelita, atau puja lampion menurutnya tidak akan berefek kalau seseorang tidak meningkatkan spiritualitas diri.

“Itu semua hanya pemikat,” ujar Bhante.

Seseorang yang mahir dan terlatih dalam spiritualitas menurutnya akan mahir mengkondisikan keadaan. Ia menjadi tidak mudah terpengaruh timbul tenggelamnya perasaan dan emosi.

“Ini buah dari latihan, bukan buah dari kita mencari perlindungan ke gunung-gunung, ke dukun-dukun, ke pohon-pohon, atau ke goa-goa,” ujarnya.

Bhante mengaku prihatin, karena saat ini banyak umat yang mengorbankan Tiratana hanya untuk mendapatkan materi atau dana. Ia mencontohkan kasus pengumpulan dana untuk fangshen (pelepasan satwa), namun sebagian dana lalu dipakai untuk kas muda mudi atau kas vihara. Seharusnya menurutnya dana dibelikan semua untuk membeli satwa yang lalu dilepas.

“Jangan beragama Buddha malah menambah kilesa, menambah kotoran batin dalam diri kita,” ujarnya.

Momen Asadha ini menurutnya harus dimanfaatkan umat Buddha untuk menumbuhkan Bodhicitta. Caranya, dengan menumbuhkan cinta dan kasih sayang kepada semua makhluk. Dengan demikian, umat Buddha tidak akan menjadi orang yang gampang galau, bingung, dan stress ketika menghadapi masalah.

“Dengan bangkitnya bodhicitta, kita akan mudah menapaki hari demi hari,” pesan bhante.

The post Asadha Vihara Buddha Prabha Jogja, Begini Permintaan Bhante Badrapalo appeared first on BuddhaZine.


Komunitas Dialog Kebangsaan Kota Tangerang Gelar Acara Peringati Kemerdekaan Indonesia ke-74

$
0
0

Memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-74 tahun Komunitas Dialog Kebangsaan Kota Tangerang merayakan dengan dialog dan doa bersama untuk keselamatan bangsa. Mengangkat tema “SDM Unggul, Indonesia Maju” acara dilangsungkan di Gereja Katolik Santo Agustinus Paroki Karawaci, Kota Tangerang. Komunitas Dialog Kebangsaan Kota Tangerang merupakan wadah yang bersifat kultural yang menaungi organisasi-organisasi lintas iman.

Adapun beberapa organisasi yang bergabung diantaranya GP (Gerakan Pemuda) Ansor PAC Cibodas, OMK (Orang Muda Katolik) Komcab Kota Tangerang, HIKMAHBUDHI (Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia) PC Kota Tangerang, Pemuda Konghucu Bio Tangerang, MUSPIJA (Musyawarah Pimpinan Gereja) Prov.Banten dan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Kota Tangerang. Acara ini sekaligus memperingati HUT Gereja Santo Agustinus.

Acara dibuka dengan tarian dan lagu nusantara dari berbagai daerah yang dipadukan dalam drama kebangsaan. Ini untuk mengingatkan kembali bahwa Indonesia merupakan negara yang majemuk, kemajemukan dan kebhinekaan merupakan aset yang dimiliki bangsa Indonesia. Perbedaan menjadi manifestasi pembangunan bangsa, dan bukan untuk diperdebatkan.

Orasi Kebangsaan dimulai dari Romo Clemens Tribawa Saksana (Pastor gereja St. Agustinus) selaku tuan rumah. Romo Clemens menyampaikan bahwa kelahiran manusia bersifat Given artinya tak bisa memilih untuk lahir di mana. Keterbatasan dan keterikatan akan waktu dan tempat kita lahir sebagai manusia menjadi kehendak Tuhan dan itulah yang menjadi dasar toleransi.

Hadir pula KH. Amin Munawar selaku ketua FKUB Kota Tangerang. Dalam sambutannya ia mengatakan bahwa toleransi harus dibarengi oleh 4 pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI sebagai pondasi.  Ia menambahkan bahwa refleksi soal konsensus kebangsaan tercermin dalam acara ini. Ditambah lagi dari pernyataan I Nyoman Subiksa selaku Wakil Ketua PHDI kota Tangerang, ia mengajak semua yang hadir untuk melihat dan mengangkat nilai-nilai universal yang ada dari setiap agama untuk membangun toleransi. Jadi agama tidak bersifat ekslusif, tetapi inklusif kepada semua orang.

Dari Buddhis orasi diwakili oleh Hendra, salah satu penasehat HIKMAHBUDHI PC Kota Tangerang. Hendra lebih familar dikenal dengan Hendra Achonk. Menjadi aktivis Buddhis sejak muda dan sempat menjadi Ketua Patria (Pemuda Theravada Indonesia) Prov. Banten. Achonk yang merupakan salah satu dosen Universitas Budhi Dharma Tangerang ini melihat permasalahan toleransi lebih dalam.

Menurutnya toleransi bisa dimulai dari internal agama masing-masing, dikarenakan intoleransi di internal agama juga terjadi dengan tingkat yang berbeda dimana kaum intoleran masih eksis. Sebagai salah satu perintis komunitas ini, Achonk memikirkan bagaimana nilai-nilai bangsa Indonesia yang begitu indah jangan sampai terkoyak. Salah satu strategi perlawanan terhadap orang intoleran menurutnya yakni dengan cara bergandengan tangan dan mempertunjukkan kepada mereka yang intoleran melalui media sosial yang masing-masing.

Di era modern ini media sosial menjadi sarana yang ampuh untuk mengkampanyekan nilai-nilai kebaikan. Dari sisi komunikasi, media sosial dapat mempersuasi khalayak dengan cara praktis serta mudah, juga jangkauan persebarannya luas.

Sebagai penutup Jajat Sudrajat (Ketua GP Ansor PAC tangerang) yang memoderatori dialog ini mengutip perkataan K.H Hasyim Ashari pendiri dari organisasi Islam terbesar di Indonesia NU (Nahdlatul Ulama) yakni “Hubbul Waton Minal Iman” yang berarti cinta tanah air adalah sebagian dari iman, siapapun yang masih beriman haruslah cinta tanah air.

Komunitas yang bersifat kultural berbasis masyarakat ini memang sangat penting kehadirannya. Yang diinisiasi dari masyarakat untuk masyarakat. Meski dari unsur pemerintahan, sudah ada FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) di setiap kota, nyatanya belum mampu menjawab kasus-kasus intoleransi yang ada. Tetap dibutuhkan peran masyarakat sipil untuk menjaga keutuhan negara.

Ditambah lagi beberapa tahun belakangan ini masifnya kelompok-kelompok yang berusaha mengoyak nilai-nilai kebangsaan bahkan sampai ingin merubah dasar negara. Kegiatan ini menjadi sangat penting untuk kembali berefleksi di usia kemerdekaan yang ke-74 tahun. Di usia setua ini kasus intoleransi masih sering terjadi. Perlu ada semacam perlawanan yang diiniasi oleh masyarakat. Keterlibatan organisasi lintas agama menjadi harmoni sekaligus kekuatan.

The post Komunitas Dialog Kebangsaan Kota Tangerang Gelar Acara Peringati Kemerdekaan Indonesia ke-74 appeared first on BuddhaZine.

Potret Pabajja di Kampus STIAB Smaratungga, Jawa Tengah

$
0
0

Sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan menanamkan nilai-nilai spiritual Buddhis kepada para mahasiswanya, kampus STIAB Smaratungga bekerja sama dengan Sangha Agung Indonesia (SAGIN) wilayah provinsi Jawa Tengah menyelenggarakan pelatihan diri Pabbajja Samanera Samaneri Upasikha Atthangasila.

Program latih diri ini menjadi persyaratan wajib bagi para calon mahasiswa untuk masuk ke STIAB Smaratungga sehingga program latih diri sudah menjadi agenda tahunan STIAB menjelang penerimaan mahasiswa baru yang biasanya diadakan setelah masa ospek. Pelatihan biasa diadakan selama 13 hari dengan efektif latihan 10 hari.

Pada tahun ini program latih diri STIAB Smaratungga diadakan pada 11-23 Agustus yang diikuti oleh 35 peserta para calon mahasiswa meskipun ada beberapa yang umum. Dalam pelatihan ini para peserta dibimbing oleh tiga pembimbing utama yaitu Bhante Dithi Sampanno, Bhikkhuni Titacarini, dan Biksuni Xian Xing. Program latih diri ini juga difasilitasi oleh pemerintah.

Program pelatihan lebih fokus kepada dasar-dasar spiritualitas sehingga dalam proses mengikuti latihan para peserta lebih sedikit diberikan teori dan lebih banyak pada pelaksanaan praktik spiritual seperti meditasi dan menjalankan atthasila. Hal menarik dan menjadi khas dari latihan di STIAB Smaratungga adalah para peserta pabajja juga diberikan materi dasar dari berbagai tradisi.

“Sebagai ciri khas di sini kita juga memberikan suatu dasar-dasar dari berbagai tradisi, ada tradisi Mahayana, Vajrayana, dan juga Theravada. Seperti beberapa hari lalu kita mengundang Biksuni Xian Xing dari Mahayana untuk memberikan dasar-dasar Mahayana baik secara filosofi, teori, dan juga praktik secara ritual maupun meditasinya. Kemudian secara Theravada kita berikan juga seperti baca paritta, sembahyangnya, dan juga meditasinya. Kemudian dari Vajrayana kita ajarkan dasar-dasarnya termasuk sejarahnya, praktik membaca mantram-mantram Vajrayana dan mudra-mudranya serta gestur-gestur meditasinya juga kita ajarkan,” jelas Bhante Dithi.

Selain materi-materi keagamaan dan materi pokok pabbajja seperti samanera Sikkha dan Sekiya, dalam program latih diri STIAB Smaratungga juga diberikan materi-materi kebangsaan dan nasionalisme. Materi moderasi beragama juga diberikan pada program ini sesuai dengan anjuran kementerian agama dan sebagai pengisi materi moderasi beragama pihak STIAB mengundang Pebimas Buddha Jawa Tengah.

Selain melaksanakan Vipassana dan Atthasilapara peserta juga menjalankan praktik pindapatta ke beberapa dusun. Berkat kerjasama dari pihak kampus dengan umat sekitar para peserta mendapatkan dukungan untuk melaksanakan pindapatta di beberapa dusun sekitar STIAB. Menurut keterangan Bhante Dithi ada lima dusun di sekitar STIAB yang menjadi tempat pelaksanaan pindapatta. Lima dusun tersebut secara bergiliran satu dusun sehari mendapat kunjugan para peserta pabbajja untuk berpindapatta.

Dengan diwajibkannya mengikuti program latih diri ini, diharapkan para mahasiswa bisa merasakan kehidupan seorang pabbajjita. “Dari program ini harapannya bisa memberikan satu pengalaman spiritual walaupun hanya sifatnya pengenalan, tapi bagi mahasiswa bisa merasakan bagaimana menjalani kehidupan sebagai pabajjita,” terang Bhante.

Menjelang akhir sesi latih diri setelah vipassana selesai pada Senin (19/08) para peserta akan diajak untuk Dhammayatra ke Candi Borobudur dan candi-candi sekitar Borobudur pada Selasa (20/08).

The post Potret Pabajja di Kampus STIAB Smaratungga, Jawa Tengah appeared first on BuddhaZine.

Rayakan Kemerdekaan RI ke-74, Masyarakat Krecek Membaca Paritta dan Gendurian

$
0
0

Banyak cara memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi masyarakat Temanggung, Kemerdekaan RI selalu disambut dan dirayakan dengan meriah. Berbagai kegiatan digelar, mulai dari menghias lingkungan, memasang Sang Saka Merah putih, perlombaan, upacara bendera, karnaval dan dilanjutkan dengan pesta rakyat dengan gelaran pentas seni budaya. Semua dilakukan dengan penuh totalitas!

Dusun Krecek, Desa Getas, Kec. Kaloran, Kab. Temanggung ikut dalam Perayaan Kemerdekaan Desa Getas Atas yang digelar di Dusun Porot, Sabtu (24/8). Tak kalah dengan dusun atau desa lain, Dusun Krecek juga mengikuti semua rangkaian peringatan kemerdekaan RI dengan totalitas.

Pujabhakti perayaan dan gendurian digelar di Pendopo Paud Saddhapala Jaya, Jumat (23/8) malam hari sebelum perayaan. Dipimpin oleh Bhante Dhammakaro, seluruh masyarakat perempuan maupun laki-laki membacakan paritta-paritta suci dengan takzim.

Selain masyarakat Krecek, pujabhakti dan gendurian juga diikuti oleh 60 Mahasiswa Universitas Indonesia yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Indonesia (KMB UI) yang sedang live In di Dusun Krecek selama 8 hari (20 – 27/8).

Selain menyampaikan maksud dari baca paritta selametan perayaan Kemerdekaan, Bhante Dhammakaro yang datang khusus untuk menemui KMB UI juga berpesan kepada warga dan kepada mahasiswa. Menurutnya, kedatangan mahasiswa dari kota memberi manfaat yang besar bagi perkembangan umat Buddha di perdesaan.

“Tahun 90’an orang desa ketika melihat orang kota datang itu seperti ada sesuatu yang aneh. Pada tahun-tahun awal saat saya datang ke Jakarta kemudian ada peresmian vihara di Desa Pakisan saya ajak banyak umat Buddha Jakarta datang. Mereka (orang kota) banyak yang heran kok orang desa ada yang Buddha, bagi orang desa juga heran kok di kota ada umat Buddha?” jelas bhante.

Kedatangan umat Buddha (mahasiswa) dari kota memberi kontribusi besar dalam perkembangan Buddhadharma di perdesaan menurut bhante. Minimal kedatangan mereka memberi motivasi dan semangat dalam menjalankan Buddhadharma.

Sedangkan Suyanto, Manggalia Dusun Krecek yang bertindak sebagai pemimpin selamatan mengatakan bahwa gendurian sebelum perayaan merupakan tradisi yang telah dijalankan secara turun-temurun. “Kita mengingat para pahlawan yang telah gugur dalam pertempuran melawan penjajah. Kita ikut mendoakan supaya para pahlawan, leluhur dan pejuang terlahir di alam bahagia,” katanya sebelum memulai doa.

Perayaan Kemerdekaan Desa Getas Atas diikuti oleh 5 dusun yaitu; Porot, Krecek, Gletuk, Banyu Urip dan Cendono. Masing-masing dusun unjuk kebolehan dalam membuat karya seni untuk diarak dalam karnaval. Panda berukuran besar, landak, ular 100 meter, gunungan hasil tani hingga spongebob terlihat dalam arak-arakan.


Selain itu, simbol-simbol toleransi dalam keberagaman juga terlihat menonjol. Berbagai miniatur rumah ibadah hingga gambaran harmoni tokoh-tokoh agama juga terlihat dalam upacara dan arak-arakan. Tak heran bila perayaan Kemerdekaan RI ke-74 Desa Getas kali ini mengangkat tema Kampung Toleransi Antarumat Beragama.

Totalitas dalam merayakan kemerdekaan dan toleransi dalam masyarakat yang beragam ini mendapat apresiasi dari Brigadir Jenderal Teguh Muji Angkasa, Kasdam IV Diponegoro yang ikut hadir dalam acara ini. “Saya melihat perayaan ini diikuti dengan antusias oleh masyarakat, saya melihat totalitas Anda semua dan saya juga mendengar bagaimana kehidupan harmoni masyarakat desa ini. Ini yang membuat Indonesia semakin kuat, bisa hidup bersama dalam keberagaman,” katanya. Selain Kasdam IV Diponegoro, acara ini juga dihadiri oleh Muhammad Al Khadziq, Bupati Temanggung beserta pejabat Muspida, Muspika setempat.


Memberi kesan mendalam

Perayaan Kemerdekaan dengan segala kemeriahannya memberi kesan mendalam bagi anak-anak KMB UI. Sikap menerima yang lain, menjunjung nilai-nilai kebersamaan dan toleransi yang tergambar dalam pembacaan paritta, makan bersama, karnaval hingga pentas kesenian memberikan kesan yang mendalam. Bagi mereka, ini adalah pengalaman baru yang tidak bisa mereka dapatkan di lingkungan kotanya.

Aurelio (19), mahasiswa semester 3 fakultas kesehatan Universitas Indonesia ini sangat terkesan dengan keterbukaan masyarakat Desa Getas dalam menerima yang lain. “Menurut pengalaman setelah mengikuti karnaval saya merasakan toleransi yang sangat membekas di hati. Saat ini agak sulit menemukan hal seperti itu di kota. Dari karnaval tadi terlihat bagaimana Dusun Krecek dan dusun-dusun di Desa Getas sangat menjunjung tinggi harmoni,” katanya kepada BuddhaZine.

Kesan mendalam juga dirasakan oleh Lissa Putri (19), mahasiswi semester 3 Fakultas Farmasi. Perempuan kelahiran Bali ini mengungkapkan kekagumannya pada sikap dan kepedulian masyarakat perdesaan kepada sesama, juga kepada tradisi budaya.

“Saat mengikuti pujabhakti semalam di pendopo, saya merasakan kebersamaan yang sangat kuat, masyarakat saling merangkul dan yang lebih penting mereka rela meluangkan waktu untuk berkumpul dan melakukan pujabhakti bersama. Pemandangan seperti ini jarang bisa saya temukan, terutama di kota. Saya melihat kepedulian warga terhadap tradisi sangat kuat di sini. Terus pas makan bersama setelah puja bakti, saya benar-benar merasakan suasana yang hangat. Bisa makan bersama, bisa ngobrol dengan orang-orang dan keluarga lain, itu yang saya rasakan tadi malam.

“Dan tadi pagi, ketika sampai di Dusun Porot, saya seneng banget melihat begitu banyak orang yang hadir mengikuti karnaval. Saya melihat berbagai macam kreasi karya seni ditampilkan, ada yang membuat kreasi ular, spongebob, landak, membuat pakaian dari bahan plastik daur ulang yang ini tidak mungkin dapat dibuat dalam satu–dua hari. Di situ saya melihat orang desa ini kreativitasnya sangat tinggi.


“Yang paling mengenang juga bagi saya, ketika momen makan bersama setelah karnaval. Ternyata makanan itu dari dusun Krecek sendiri. Saya jadi teringat tadi pagi Mbokke (sapaan ibu Krecek tempat tinggalnya) membuat 5 nasi kotak, saya sempat berpikir ini untuk apa, ternyata itu untuk makan bersama setelah karnaval. Jadi saya merasakan acara ini melibatkan semua orang, semua orang ikut berpartisipasi.


“Yang terakhir, tadi pas arak-arakkan, ini adalah pertama kalinya saya ikut karnaval. Saya ikut memakai pakaian kuda kepang perempuan, banyak orang melihat saya, mereka tersenyum kepada saya, saya juga balas senyuman mereka dan sepertinya semua orang merasakan suka cita yang mendalam,” tutur Lissa berkisah pengalamannya.

The post Rayakan Kemerdekaan RI ke-74, Masyarakat Krecek Membaca Paritta dan Gendurian appeared first on BuddhaZine.

Forum Wanita Nasional WANDANI (Wanita Theravada Indonesia) 2019

$
0
0

Wandani (Wanita Theravada Indonesia) adalah persatuan wanita Buddhis mazhab Theravada terbesar di Indonesia dengan anggota tersebar di 25 provinsi. Fokus kerja Wandani adalah mewujudkan wanita buddhis yang profesional, kreatif, dan berbudi luhur melalui program kerja dengan fokus pada pemberdayaan ekonomi wanita dan pendidikan wanita dan keluarga

Memasuki usia 23 tahun, untuk pertama kalinya Wandani mengadakan sebuah forum yang bersifat nasional dengan tajuk, “Wanita dan Kebangsaan”. Forum Nasional Wandani merupakan salah satu wujud sumbangsih Wandani pada negara terutama dalam pembangunan sumber daya manusia.

Sesuai tema, “Wanita dan Kebangsaan”, pada forum ini Wandani akan menampilkan beberapa wanita Wandani yang telah berkreasi dan berkarya pada berbagai bidang pemberdayaan wanita.



Misalnya Kustiani yang melakukan pemberdayaan wanita melalui pendirian koperasi Prema Mart, Prema Bakery, dan banyak lagi lainnya. Mira Hoeng, seorang pekerja seni dan pengusaha muda yang dengan talenta desainnya melakukan pelatihan di berbagai desa dan penjara.

Tak ketinggalan Mariani yang tidak henti-hentinya berbicara mengenai pentingnya menjaga lingkungan hidup dan aktif memperkenalkan kantong sekali pakai yang ramah lingkungan, berbahan singkong kepada khalayak.


Selain para tokoh wanita Wandani, tokoh-tokoh yang dihadirkan di acara forum nasional ini adalah orang-orang yang sangat inspiratif, seperti Ibu Wulan Tilaar, penerus dan chairwoman Martha Tilaar group yang telah mengajarkan keahlian kepada ribuan wanita, Ibu Inaya Wahid, anak presiden ke-4, Gus Dur, yang aktif menggerakkan anak-anak muda melakukan gerakan positif, dan Ibu Megawati Santoso, seorang pengajar yang rajin berceramah di berbagai kesempatan menginspirasi wanita Buddhis untuk ikut menyumbang pada negara dan bangsa.

Akhirnya, semoga semua peserta akan mendapat inspirasi dari acara forum dan kembali ke rumah dengan motivasi untuk selalu berjuang dalam kebaikan, secara profesional, kreatif, dan berbudi luhur demi nusa dan bangsa.




The post Forum Wanita Nasional WANDANI (Wanita Theravada Indonesia) 2019 appeared first on BuddhaZine.

Usai Live In, Perpisahan Mahasiswa Universitas Indonesia dengan Masyarakat Krecek Diiringi Air Mata

$
0
0

Bella Clarissa (19) tak kuasa menyembunyikan raut muka kesedihan, matanya terlihat lebam, bekas menangis semalaman. Sejak pagi hari, mahasiswi semester 3 Universitas Indonesia ini terlihat keluar masuk rumah Pak Marimin (56), salah satu warga Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Di rumah Pak Marimin ini, Bella bersama Sharen (20) menghabiskan waktu selama 8 hari, sejak Selasa (20/8).

Hari itu, Selasa (27/8) Bella Clarissa harus berpisah dengan keluarga Pak Marimin. Ia dan kawan-kawannya akan kembali melanjutkan aktivitas sebagai mahasiswa. Bagi Bella, perjumpaannya dengan warga Dusun Krecek, khususnya keluarga Pak Marimin meskipun singkat banyak memberi kenangan indah. “Hanya 8 hari saja, saya sudah bisa menganggap orang-orang yang baru saya kenal menjadi keluarga saya sendiri,” paparnya.

Di Dusun Krecek, Bella merasakan kenyamanan hidup yang jarang ditemukannya di tempat lain. Kenyamanan hidup bersama keluarga baru ini yang membuatnya terasa berat untuk berpisah. “Betapa sedihnya saya pada kata perpisahan ini, mungkin bisa dimisalkan dengan orangtua yang berpisah dengan anaknya karena anaknya harus menuntut ilmu di negeri lain. Memang sulit untuk melepaskan, tetapi mau bagaimana? Hidup itu keseimbangan antara mempertahankan atau harus merelakan,” tuturnya.

Kesedihan juga dirasakan oleh Lissa (19). Mahasiswi dengan nama lengkap Lissa Florencia Putri ini merasakan kehangatan sebuah hubungan keluarga selama tinggal di rumah Pak Surahmat. Kasih sayang dan perhatian yang diberikan oleh keluarga Pak Surahmat membuat merasa nyaman. “Tadi malam saya ditungguin sampai jam 1 dini hari Mas. Mbok’e dan Pak’e terlihat habis menangis, mereka sedih hari ini harus berpisah,” ujarnya kepada BuddhaZine.


Sebenarnya Lissa sendiri tak mau menunjukkan wajah sedih apalagi menangis saat perpisahan itu terjadi. Bahkan, beberapa saat sebelum perpisahan Lisa masih terlihat cerita, bercanda dengan teman-temanya. Tetapi tak lama berselang, setelah ia pulang untuk merapikan barang bawaanya Lissa terlihat meneteskan air mata. “Sebenarnya saya tidak mau menangis, apalagi dihadapan Mbok’e, Pak’e. Gak tau kenapa air mata bisa keluar,” ungkapnya sambil mengusap air mata.


Tak jauh berbeda dengan Bella dan Lissa, Shiervine Angelica (21) yang sudah 3 kali berkunjung dan tinggal di Dusun Krecek juga merasakan hal yang sama. Menurutnya lingkungan Dusun Krecek saat ini mempunyai perubahan yang signifikan, meskipun begitu sikap ramah dan penerimaan masyarakat terhadap dirinya masih sama. “Sempat kaget, sekarang banyak tanaman di depan-depan rumah warga. Perubahannya begitu cepat dari pertama dan kedua kali saya datang. Meskipun saat ini saya sudah live in yang ketiga, tapi meninggalkan masyarakat dusun sini masih sangat berat.”

Kesedihan juga dirasakan oleh masyarakat Dusun Krecek, isak tangis dirasakan oleh warga dan masyarakat saat berkumpul menghantarkan para mahasiswa naik mobil L-300 bak terbuka. Air mata, pelukan, ciuman yang tulus begitu terasa. Bulu kuduk terasa berdiri saat teriakan terdengar, “Terima kasih warga Krecek,” terucap oleh mahasiswa dari atas mobil.


Pelajaran hidup

Bella Clarissa, Lissa Putri dan Shiervine Angelica adalah 3 dari 52 Mahasiswa Universitas Indonesia yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Indonesia (KMB UI). Selama 8 hari, dari tanggal 10 – 27 Agustus 2019 mereka live in di Dusun Krecek, ini adalah kali kedua bagi KMB UI.

Selama tinggal di Dusun Krecek, banyak program dilaksanakan, seperti; pelatihan perawatan hingga proses pasca panen kopi, mengajar sekolah untuk anak-anak pendidikan usia dini, mengajar Sekolah Minggu, hingga memberikan pendidikan khusus untuk anak-anak Dusun Krecek.

Kedatangan anak-anak KMB UI di Dusun Krecek memang dirasakan memberi manfaat besar bagi perkembangan masyarakat dusun. Begitu juga bagi para mahasiswa yang sebagian besar adalah orang kota, tinggal di keluarga baru, mengikuti aktivitas ke ladang dan bersentuhan dengan kehidupan warga desa sebagai pelajaran berharga.


“Sungguh pengalaman dan perjalanan yang sangat menyenangkan, menarik, dan langka. Banyak pelajaran yang dapat saya petik dari kegiatan ini. Mulai dari mengetahui biji kopi, panen kopi, kerja bakti tingkat rukun tetangga (RT), pentingnya kebersamaan, rajin untuk puja setiap hari. Warga dusun krecek sangat ramah dan sopan. Saya merasa sangat nyaman dan beruntung bisa berkumpul dengan warga Dusun Drecek. Tinggal di sana serasa di rumah sendiri, dengan keluarga sendiri.


“Lingkungannya juga bersih dan bebas polusi membuat saya kagum dengan dusun ini. Mungkin dari sejuta atau bahkan lebih orang, saya termasuk salah 1 orang yang paling beruntung bisa langsung mengenal warga Dusun Krecek. Walaupun susah sinyal dan harus numpang wifi di rumah-rumah tertentu, tetapi itu tidak menjadikan beban bagi saya. Anak anak di sana yang selalu mengajak untuk bermain, jajan, belajar, mereka selalu menghiasi warna warni hari saya. Tidak ada satu pun kata bosan dan capek di sana.

“Sungguh, 8 hari yang sangat menyenangkan dan akan terus saya kenang dalam hidup saya. Dari sini, saya belajar untuk bersyukur atas apa yang telah Buddha berikan kepada saya. Atas kesempatan untuk bertemu dengan warga Dusun Krecek, melihat langsung pertunjukan kuda kepang dan kuda lumping, belajar tentang kopi, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan warga di sana. Ternyata banyak orang-orang yang tidak seberuntung saya. Terima kasih Dusun Krecek telah menerima saya dengan baik,” tutur Bella terkesan.


Kesan mendalam juga disampaikan oleh Lissa Putri selamat tinggal di rumah keluarga Pak Surahmat. Bisa mengikuti aktivitas Pak Surahmat ke ladang, mengambil nira aren, memberi makan dan menyentuh ternak kambing dan sapi adalah pengalaman baru baginya. “Saya suka hewan-hewannya, waktu saya dikasih izin menyentuh sapi dan kambingnya itu menyenangkan sekali. Seumur hidup, baru kali ini saya bisa menyentuh hewan,” katanya bangga.

Tak hanya itu, Lissa juga mendapat kesempatan untuk menonton karnaval dan pertunjukan seni perayaan Kemerdekaan RI di Dusun Batursari, Desa Tleter, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. “Hari Senin, (26/8) kemarin saya ikut ke Batursari, ke rumah Ibunya Mbok’e. Di sana, saya diterima dengan ramah, disuruh masuk, dikasih makan rasanya benar-benar seperti ada ikatan emosional, saya senang sekali. Pengalaman seperti ini mungkin tidak akan saya dapatkan di kota, gotong royongnya dapat, saling membantu kepada sesama, semua orang tersenyum, ini adalah kebahagiaan yang sesungguhnya,” pungkas Lissa.

The post Usai Live In, Perpisahan Mahasiswa Universitas Indonesia dengan Masyarakat Krecek Diiringi Air Mata appeared first on BuddhaZine.

Umat Buddha Desa Kemudo Klaten Hanya Tersisa Lima Orang

$
0
0

Klaten, Jawa Tengah, mempunyai tiga candi bercorak Buddha. Di antaranya Candi Sojiwan, Candi Plaosan, dan Candi Sewu. Bahkan menurut penelitian Candi Sewu merupakan pusat kegiatan agama Buddha serta penyebaran Dharma, pusat politik, dan kehidupan urban.

Namun sayang itu hanya cerita lampau. Sekarang Klaten tak lagi menjadi pusat persebaran agama Buddha. Bahkan populasi umat Buddha sangat kecil di Kabupaten Klaten. Menurut data BPS tahun 2015, jumlah umat Buddha di Kabupaten Klaten hanya tersisa 200 jiwa. 

GEMBI (Gerakan Millenial Buddhis Indonesia) menelusuri salah satu desa di Kabupaten Klaten. Tepatnya Desa Kemudo, Kecamatan Prambanan yang di tahun 60’an menjadi titik pembinaan umat Buddha di Kabupaten Klaten. Sekarang sisa umat Buddha desa ini hanya tersisa 5 orang saja, yang terdiri dari para lansia.

GEMBI berbincang langsung dengan ketua Vihara Dharma Murti, Pak Tukiman Hartomiyanto. Ketika ditemui Pak Tukiman baru saja selesai dari ladang. Mayoritas warga di desa Kemudo adalah petani dan buruh tani.

Pak Tukiman bercerita Buddhadharma masuk kembali ke Desa Kemudo tahun 1968. Bertepatan dengan isu-isu penumpasan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang kala itu menjadi sangat ditakuti oleh masyarakat. Ajaran Buddhadharma yang mengajarkan banyak cinta kasih membuat orang-orang Desa Kemudo berbondong-bondong mempelajari Buddhadharma dan mempraktikkannya. Sampai tahun 1970’an penganut Buddhis di desa ini lebih dari 60% jumlah penduduk desa. Kala itu Pak Tukiman berusia 23 tahun.

Andil Bhante Girirakkhito kala itu yang mengabdikan diri keluar masuk desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menyebarkan Buddhadharma tak bisa dianggap remeh. Salah satunya Desa Kemudo yang waktu itu mendapat bimbingan Bhante Girirakkhito. Saat itu Desa Kemudo belum mempunyai vihara. Bimbingan Dharma hanya dilakukan di rumah warga.

Rumah tersebut adalah rumah almarhum Pak Pur Kardiman yang kemudian menjadi tokoh Buddhis di Desa Kemudo. Sampai akhir hayat Pak Pur Kardiman mengabdikan dirinya untuk pengembangan Buddhadharma di Desa Kemudo. Sejak muda Pak Tukiman bercerita bahwa dirinya selalu mengikuti arahan Pak Pur. Pak Pur dianggap sebagai panutannya.

Di desa ini terdapat satu vihara yang berdiri. Vihara tersebut bernama Vihara Dharma Murti. Vihara berdiri di desa sekitar tahun 1980. Cukup lama setelah ada ajaran Buddhadharma masuk lagi di desa ini. Karena mayoritas umat waktu itu hanya bekerja sebagai petani sehingga sulit untuk membangun secara swadaya. Sebelum ada vihara, warga Kemudo melakukan pujabhakti bersama dengan cara anjangsana. Dari rumah umat satu ke rumah umat yang lain. 

Tanah vihara ini juga merupakan tanah kas desa yang dipakai untuk umat Buddha desa tersebut. Jadi sewaktu-waktu ketika vihara sudah tidak digunakan lagi, desa bisa mengambilnya kembali untuk keperluan desa. Vihara sempat hancur pada bulan Mei tahun 2006 akibat gempa Yogyakarta yang cukup dahsyat kala itu.

Hampir seluruh bagian vihara hancur, hanya menyisakan bangunan kamar mandi yang utuh. Kemudian dibangun ulang dan diresmikan kembali pada November 2016. Namun bangunan kamar mandi lama itu tidak dihancurkan untuk mengenang tragedi tersebut, meskipun sudah tak lagi difungsikan.

Sewaktu GEMBI mengunjungi Vihara Dharma Murti keadaannya lumayan tak terurus. Pak Tukiman mengaku bahwa kegiatan pujabhakti sudah jarang dilakukan karena umatnya sedikit dan terdiri dari lansia semua. Bahkan ada satu umat yang sudah tak bisa berjalan.

Air di vihara pun tak bisa mengalir karena mesin pompa air sempat hilang dan sampai sekarang belum diganti. Dirinya mengaku belum pernah sama sekali mendapat kunjungan dan perhatian dari Kementerian Agama Kanwil Jawa Tengah. 

Jika ada kegiatan hari besar seperti Waisak, Kathina, Asadha, dan Maghapuja umat Desa Kemudo hanya diarahkan untuk mengikutinya di Vihara Bodhivamsa yang terdapat di pusat Kabupaten Klaten. Kegiatan umat Buddha di Klaten terpusat di Vihara Bodhivamsa.

The post Umat Buddha Desa Kemudo Klaten Hanya Tersisa Lima Orang appeared first on BuddhaZine.

Malam Puncak Live In, KMB UI Gelar Pesta Rakyat

$
0
0

Senin (26/8) jelang petang Pendopo Paud Saddhapala Jaya, Dusun Krecek, Desa Getas, Kec. Kaloran kembali ramai. Puluhan anak-anak berseragam batik rapi memperlihatkan wajah ceria. Mereka tengah bersiap mengikuti Buddhis Quiz Pesta Rakyat Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Indonesia (KMB UI).

Lomba Buddhis Quiz diikuti oleh anak-anak Sekolah Minggu Dusun Krecek. Mereka yang ikut bertanding adalah perwakilan dari masing-masing kelompok Rukun Tetangga (RT) yang ada di Dusun Krecek. Sebelumnya, anak-anak ini telah telah diajari berbagai pengetahuan Dharma oleh para mahasiswa yang tinggal di lingkungannya masing-masing. Perlombaan yang terbagi atas beberapa babak ini sekaligus menjadi hiburan dan ujian pengetahuan Buddhadharma untuk anak-anak Dusun Krecek.

Di sebuah kelas yang terletak di belakang pendopo, terlihat ibu-ibu muda tengah berdandan. Mereka mengenakan beragam busana layaknya model profesional. Busana yang mereka pakai adalah hasil olahan plastik bekas pakai yang dirangkai oleh tangan-tangan terampil masyarakat Kreceki. “Pakaian dari olahan sampah plastik ini sebenarnya dibuat untuk karnaval Perayaan Kemerdekaan di Dusun Porot, Desa Getas Atas hari Senin (24/8). Tetapi karena hari ini kita ada acara pesta rakyat sekalian kita lombakan tingkat dusun dalam bentuk peragaan busana yang diperankan oleh ibu-ibu perwakilan RT,” jelas Walmin.

Pembuatan busana dari olahan plastik ini menurut Walmin membutuhkan waktu lebih dari 2 minggu. Hampir setiap malam, ibu-ibu masing-masing RT berkumpul mengumpulkan, membersihkan sampah plastik untuk kemudian dirangkai menjadi sebuah busana yang indah. “Harapan kita ke depan, Dusun Krecek benar-benar bisa bebas dari sampah plastik. Meskipun ada plastik, harus bisa kita manfaatkan untuk sesuatu yang berguna, syukur-syukur bisa memiliki nilai ekonomi,” imbuhnya.

Selain lomba peragaan busana, khusus untuk Dusun Krecek malam itu juga digunakan sebagai momen pengumuman dan pembagian hadiah lomba penataan lingkungan. Lomba ini sebelumnya sudah dilakukan penilaian oleh beberapa juri dari tim puskesmas Kaloran, perangkat kelurahan dan mahasiswa jurusan arsitektur UI. Kalau pada lomba penataan lingkungan pertama juara 1 diraih oleh RT 1, lomba penataan lingkungan jilid 2 dimenangkan oleh RT 3.

Pentas kesenian

Bagi masyarakat Temanggung, pesta rakyat selalu identik dengan pentas kesenian. Ini juga yang terlihat dari pesta rakyat malam puncak live in KMB UI. Usai gelaran berbagai perlombaan, malam perpisahan itu juga diisi dengan pentas seni rakyat masyarakat Dusun Krecek dan drama yang dimainkan oleh anak-anak KMB UI.

Masyarakat Dusun Krecek mementaskan kesenian Kuda Kepang khas Temanggung. Dengan iringan gamelan, para penari yang didominasi oleh kaum pria bergerak lincah layaknya prajurit berkuda. Tak ayal, penampilan mereka menyedot perhatian khusus para mahasiswa dari kota yang sebelumnya tidak pernah menyaksikan kesenian. “Terlalu indah untuk dilewatkan, pentas kuda kepang masyarakat Dusun Krecek,” tulis Sharin Kevin di medsosnya.

Pesta Rakyat malam itu ditutup dengan penampilan drama anak-anak KMB UI. Drama yang mengambil cerita dari kisah Buddhis Samawati ini berkolaborasi dengan masyarakat Dusun Krecek sebagai pengiring musik gamelan. “Kita mengangkat kisah Samawati yang mengajarkan cinta kasih. Melalui drama ini kami ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat meskipun ada orang yang jahat penuh dengan iri dengki, jangan lelah untuk tetap menebarkan kebaikan, cinta kasih dan kasih sayang,” pungkas Lissa.

The post Malam Puncak Live In, KMB UI Gelar Pesta Rakyat appeared first on BuddhaZine.


Umat Buddha Desa Kotesan, Klaten, Menunggu Waktu untuk Habis?

$
0
0

Meski jumlah umat Buddha di Klaten tak banyak. Namun beberapa desa pernah menjadi basis umat Buddha. Salah satunya Desa Kotesan, Kecamatan Prambanan, Jawa Tengah. Desa Kotesan menjadi desa multi agama. Selain Buddha, ada juga yang beragama Islam dan Kristen.

Di Kotesan terdapat sebuah vihara bernama Vihara Buddha Murti. Vihara ini dibangun tahun 1969 dan selesai pada tahun 1971. Perlu waktu tiga tahun untuk menyelesaikan pembangunan vihara ini karena vihara dibangun dengan swadaya masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani.

Vihara dibangun di atas luas tanah 10×7 m hasil hibah dari tanah kas desa. Namun sempat runtuh di tahun 2006 karena gempa Jogja. Kemudian dibangun kembali pada tahun yang sama dengan bantuan banyak pihak. Rupang Buddha lama yang hancur pun diabadikan sebagai pengingat bahwa vihara pernah runtuh. Disimpan baik oleh pihak vihara di sebuah kotak kaca.

GEMBI (Generasi Millenial Buddhis Indonesia) menelusuri akar kesejarahan umat Buddha Desa Kotesan. Bertemulah kami dengan Pak Wiryanto sesepuh umat Buddha di desa ini. Pak Wir merupakan pensiunan guru sejarah dan kepala sekolah di sebuah SD dekat Desa Kotesan. Pak Wir menceritakan awal mula Buddhadharma masuk di desa ini sekitar Tahun 1968. Dahulu orang-orang di Desa Kotesan bisa disebut kaum “abangan”.

Istilah “abangan” dalam analisa sosio-politik masyarakat Jawa, golongan abangan sering disebutkan sebagai kategori yang penting dan yang “primordial” (yaitu, yang tetap ada dan berakar jauh di zaman dulu). Dalam buku The Religion of Java (1960) karangan Clifford Geertz digambarkan abangan sebagai mayoritas dalam masyarakat, yang terdiri dari orang biasa, terutama petani yang berhubungan dengan dunia desa.

Menurut Geertz, kebudayaan “abangan” terpengaruh terutama oleh kebudayaan setempat. Kata “abangan” baru ditemukan abad ke-19. Dalam istilah abangan merujuk kepada golongan sosial yang kurang menjalankan rukun kebiasaan agama.

Pak Wiryanto menceritakan yang berperan besar dalam menyebarkan agama Buddha di Kotesan adalah Pak Warno, Sontowirono seorang perangkat desa untuk urusan pengairan sawah, serta Pak Harto yang semuanya asli dari Kotesan. Pembinaan sangat intens dilakukan oleh Romo Basuki dari Solo dan Romo Sukardi dari Wedi, Klaten. Jumlah umat di Desa Kotesan pada tahun 70’an mencapai 125 KK.

Namun umat mulai bertahap habis pada tahun 80’an. Di tahun-tahun itu sangat sulit untuk menikah secara agama Buddha, apalagi ditambah semakin kencangnya pemerintah untuk menegakkan administrasi pernikahan dan kependudukan.

Banyak warga yang frustasi sehingga akhirnya berpindah agama, agar dimudahkan mengurus administrasi pernikahan. Karena di zaman itu advokasi administrasi di kalangan umat Buddha masih sangat lemah. Untuk punya KTP beragama Buddha dan surat nikah agama Buddha di desa cukup sulit. Bahkan di zaman sekarang, praktik-praktik seperti ini pun masih banyak terjadi di desa-desa.

Pembinaan agama Buddha di Desa Kotesan pun masih lemah. Alhasil sekarang umat Buddha Desa Kotesan yang tadinya sekitar 125 KK, sekarang hanya tinggal 15 KK yang didominasi oleh orang-orang lansia. Rata-rata anak mudanya sudah berpindah semua karena alasan menikah dan lain sebagainya.

Kiranya realitas di atas menjadi pekerjaan rumah bersama untuk komunitas Buddhis. Umat-umat di desa banyak yang tidak terekspos dan tidak diperhatikan, padahal potensinya tidak kalah dengan umat di kota.

Jika dibiarkan secara terus menerus, vihara tanpa umat akan hanya menjadi rumah kosong tak berpenghuni, tanpa napas cinta kasih di dalamnya, tanpa nyawa spritual di dalamnya.

The post Umat Buddha Desa Kotesan, Klaten, Menunggu Waktu untuk Habis? appeared first on BuddhaZine.

Belajar Agama Buddha Jawi Sanyata

$
0
0

Agama Jawa peninggalan Kerajaan Nusantara di masa setelah reformasi seolah-olah bangkit kembali. Sesuai dengan hasil ramalan Sabdo Palon, bahwa agama Nusantara akan kembali berjaya. Agama yang pernah berjaya di Nusantara tentunya Hindu dan Buddha, yang mana peninggalan peradabannya masih bisa kita temukan lewat prasasti dan candi.

Beberapa pengurus GEMBI (Gerakan Millenial Buddhis Indonesia) berkesempatan langsung untuk belajar tentang agama Jawa langsung dengan penganutnya. Pak Mardiyono salah satu penganut agama Jawa di Kabupaten Klaten.

Rumah Pak Mardiyono cukup jauh dari pusat kabupaten Klaten. Tepatnya di sebuah dusun tepat di lereng Gunung Merapi. Persisnya di Dusun Nadri, Desa Dompol, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Ajaran Pak Mardiyono merupakan ajaran Jawa yang juga dianut oleh umat Desa Ngadas Bromo-Kab.Malang. Ajaran tersebut bernama Buddha Jawi Sanyata.

Keluarga Pak Mardiyono menjadi satu-satunya keluarga penganut ajaran ini yang tersisa di Desa Dompol. Dahulu di tahun 60’an menurut Pak Mardiyono penganut ajaran ini sangat banyak. Bahkan untuk melakukan peribadatan sampai satu sanggar tidak muat. Hal itu berlangsung sampai tahun 70’an awal. Tahun 70’an kasus penumpasan PKI (Partai Komunis Indonesia) menjadi babak baru. Pengikut ajaran ini banyak takut karena dicap sebagai simpatisan PKI. Akhirnya satu per satu mulai meninggalkan ajaran ini.

Pak Mardiyono dan istri setiap hari melakukan puasa atau upawasa. Hanya makan sekali di pagi hari, sisanya hanya minum. Pak Mardiyono hanya tinggal berdua dengan istrinya, sebab 4 orang putranya sudah menikah semua dan meninggalkan rumah.

Setiap jam satu dini hari mereka melakukan peribadatan sebagai rasa syukur kepada “Ing Jagad” atau bisa kita tafsirkan sebagai Tuhan Yang Maha Esa lalu melakukan semacam meditasi yang disebut “semedi meneng” selama satu jam. Kemudian sebelum matahari terbit dan sesudah matahari terbenam mereka bersujud kepada bumi guna mengucapkan rasa syukur karena telah menyediakan banyak kebutuhan manusia agar tetap hidup.

GEMBI diterima dengan baik di rumah Pak Mardiyono. Bahkan sempat bermalam selama dua malam untuk berdiskusi soal spiritual dan banyak falsafah Jawa yang diyakini oleh Pak Mardiyono. Pak Mardiyono hidup dengan sederhana bersama istrinya. 

Bahkan ketika banyak dari orang Desa Dompol yang berganti profesi menjadi penambang pasir, Pak Mardiyono tetap setia dengan aktivitas taninya. Kebetulan Dompol menjadi salah satu titik penambangan pasir di Klaten dalam beberapa dekade terakhir.

Aktivitas tambang pasir tak pernah berhenti selama 24 jam. Bahkan ada lebih dari 25 titik penambangan di desa Dompol. Sehingga ketika di Dompol jalan selalu dalam keadaan berdebu karena pasir, juga truk-truk besar yang sibuk lalu lalang tanpa henti.

Pak Mardiyono percaya bahwa mengeksploitasi alam secara terus menerus tidak akan berdampak baik, justru berdampak buruk untuk kehidupan manusia di kemudian hari. “Manusia serakah dan tak pernah merasa cukup akan mencelakakan kehidupannya,” jelas Pak Mardiyono.

The post Belajar Agama Buddha Jawi Sanyata appeared first on BuddhaZine.

Pementasan Ketoprak Lalitavistara STAB Syailendra, Semarang

$
0
0

STAB Syailendra, Semarang, menyelenggarakan bazar yang berlangsung selama tiga hari sejak tanggal 6 hingga 9 September 2019. Berbagai UKM binaan STAB Syailendra mempromosikan karya, salah satunya dari UKM Seni dengan menampilkan seni ketoprak.

Untuk lebih memeriahkan bazar, dua hari pertama diadakan pertunjukan seni daerah yaitu warok dan lain-lain, sedangkan ketoprak sendiri ditampilkan di penghujung penyelenggaraan bazar pada Senin (9/9) malam. Pertunjukan ketoprak merupakan bagian awal dari UKM seni STAB Syailendra untuk membangkitkan kembali seni ketoprak yang saat ini kian redup. Untuk misi inilah dalam pertunjukan ketoprak pihak STAB menjalin kerjasama dengan seniman-seniman umat Vihara Deplongan untuk menjadi pengiring/penabuh gamelannya.

Hal menarik tersendiri dari penampilan ketoprak STAB Syailendra adalah mengambil tema Buddhis yang diambil dari salah satu relief yang terukir di Borobudur yaitu Lalithavistara. Para pemain ketoprak melibatkan kurang lebih 25 mahasiswa dengan tambahan 2 pemain dari Solo dan Temanggung.

Menurut Wilis Rengganiasih selaku dosen sekaligus pembimbing seni mahasiswa STAB Syailendra, alasan besar mengambil tema Lalitavistara karena waktunya yang masih dekat dengan Waisak sehingga pesan-pesan yang akan disampaikan dalam lakon ketoprak pun sangan relevan.

“Berhubung ini masih belum terlalu lama dengan Waisak maka kami mengambil tema yang masih deket-deket dengan Waisak yaitu Lalitavistara. Karena di dalam Lalithavistara sendiri sudah mengandung pesan dari kisah Pangeran Siddharta yang berani mengorbankan kenyamanannya sendiri untuk kebahagiaan semua makhluk hidup dengan meninggalkan kehidupan nyaman dan mewahnya sebagai seorang putra mahkota dan menjalani hidup sederhana sebagai pertapa,” katanya.

Namun pesan dalam lakon ketoprak tidak hanya berlaku pada masa lampau, pesan lebih luas dari pengorbanan Pangeran Siddharta hingga menjadi Buddha sangat sesuai dengan kondisi pada saat ini. “Kondisi saat ini yang marak dengan terjadinya bencana seperti kebakaran hutan, sebagai contoh kebakaran hutan Amazon Brazil, kebakaran di Kanada, California, Afrika, sebetulnya karena ulah manusia yang rakus.

Namun meskipun dengan bencana yang terjadi seakan belum bisa membuka kesadaran bagi sebagian umat manusia. Bahkan tidak sedikit yang telah mendapatkan hidup yang serba enak, nyaman, malah semakin mengeksploitasi alam.

Apa yang telah dilakukan oleh Pangeran Siddharta bisa menjadi contoh untuk mengurangi bahkan melenyapkan keserakahan, menekan egonya sendiri demi makhluk lain. Dengan mengurangi keserakahan manusia bisa lebih menjaga alam dan hidup harmonis dengan alam, nah ini menjadi benang merah untuk mengingatkan kita dan juga para penonton,” lanjut Wilis.

Hal lebih penting yang harus dihadapi dan membuat Wilis merasa bangga yaitu dengan adanya pentas ketoprak ini justru tercipta suasana yang guyup rukun di antara para mahasiswa dan juga para dosen serta pemain tambahan dari luar.

The post Pementasan Ketoprak Lalitavistara STAB Syailendra, Semarang appeared first on BuddhaZine.

Lukisan Buddha Gaya Ultraman di Thailand Jadi Kontroversi

$
0
0

Beberapa lukisan Buddha, yang digambarkan sebagai Ultraman (jagoan super dari Jepang) dikecam oleh kelompok Buddhis konservatif di Thailand. Kelompok garis keras Buddhis di Thailand itu telah mengajukan gugatan ke polisi terhadap seorang seniman perempuan muda pada hari Rabu (11/9).

Reuters, 11 September 2019 memberitakan, gugatan ditujukan atas empat lukisan, yang ditampilkan Minggu lalu di sebuah pusat perbelanjaan di timur laut Thailand. Seperti diketahui, agama Buddha sendiri adalah agama mayoritas yang dianut oleh lebih dari 90 persen warga Thailand, sehingga Buddha adalah tokoh yang sakral di negara monarki tersebut.

Lukisan Ultraman berkepala Buddha itu lantas dipindahkan dari pameran minggu lalu. Seorang mahasiswi tahun keempat Nakhon Ratchasima Rajabhat University yang namanya dirahasiakan, secara terbuka juga meminta maaf kepada bhikkhu kepala Provinsi Ratchasima dan publik.

Tetapi pada hari Rabu, kelompok konservatif Buddha Power of the Land mengatakan pihaknya telah mengajukan aduan ke polisi terhadap artis tersebut dan empat orang lainnya yang terlibat dalam pameran tersebut. Mereka menganggap membandingkan Buddha dengan figur Ultraman adalah tidak sopan.

Kelompok itu menginginkan kelima orang tersebut dituntut berdasarkan hukum penistaan agama yang memungkinkan pelakunya dipenjara hingga tujuh tahun. “Lukisan-lukisan itu memalukan dan menyinggung umat Buddha dan merusak harta nasional,” ujar Wakil Buddha Power of the Land, Charoon Wonnakasinanone.

Kelompok Buddhis itu juga ingin lukisan yang sudah dibuat dihancurkan.

Di Thailand, sesuai hukum yang berlaku, polisi harus menyelidiki pengaduan dan merekomendasikan apakah ada alasan untuk mengajukan tuntutan pidana, suatu proses yang biasanya memakan waktu setidaknya tujuh hari. Otoritas resmi Buddhis Thailand menentang tuduhan kriminal terhadap artis tersebut.

Direktur Kantor Buddhis Nasional Pongporn Pramsaneh, mengatakan bahwa ia menganggap masalah itu ditutup setelah adanya permintaan maaf ke publik. “Siapa pun yang ingin mengambil tindakan hukum, kami tidak akan terlibat,” ujar Pongporn.

Seniman yang bersangkutan tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar, dan pusat perbelanjaan yang mengadakan pameran juga menolak memberikan komentar.

Semua lukisan Buddha Ultraman dijual minggu lalu, dan salah satu pembeli telah memutuskan untuk melelangnya untuk amal. Lukisan Buddha Ultraman telah mencapai 500.000 baht atau Rp 230 juta pada hari Rabu (11/9). Hasilnya akan disumbangkan ke rumah sakit di Thailand.

The post Lukisan Buddha Gaya Ultraman di Thailand Jadi Kontroversi appeared first on BuddhaZine.

Lokakarya Komunitas: Tinggalan Cagar Budaya Harus Dilestarikan?

$
0
0

Bangsa Indonesia memiliki harta karun berlimpah berupa warisan cagar budaya, berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya. Cagar budaya merupakan tinggalan peradaban masa lalu yang memiliki nilai sejarah dan karya seni tingkat tinggi.

Untuk membangun kerja sama pelestarian cagar budaya antara masyarakat sipil dan pemerintah, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah menyelenggarakan lokakarya komunitas pelestari cagar budaya se-Jawa Tengah. Kegiatan ini digelar selama 4 hari, Selasa hingga Jumat (10 – 13/9) di Pandanaran Hotel, Simpang Lima, Kota Semarang. Sebanyak 70’an peserta dari 27 komunitas di Jawa Tengah terlibat dalam kegiatan ini.

“Gol yang ingin kita capai dalam lokakarya ini adalah membangun ekosistem kebudayaan di bidang pelestarian cagar budaya, sehingga dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Sesuai undang-undang cagar budaya nomor 10 bahwa cagar budaya itu tidak hanya dilestarikan tetapi bagaimana cagar budaya dapat bermanfaat atau dimanfaatkan oleh masyarakat,” pesan Sukronedi, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah dalam pembukaan lokakarya, Selasa (10/9).

Dalam lokakarya ini, peserta diajak diskusi tentang etika pelestarian cagar budaya dan dinamika pelestarian cagar budaya dengan dua narasumber; Dr. Yunus Satrio Atmodjo dan Ir. A. Kriswandono, M.Hum. Selain itu, peserta dengan latar belakang komunitas pelestari cagar budaya yang sudah banyak melakukan aksi pelestarian cagar budaya juga pelbagai aksi mereka dalam upaya pelestarian cagar budaya.

“Komunitas Kandang Kebo terdiri dari orang-orang yang sangat berdedikasi. Mereka belajar literasi, mencari informasi dari tulisan-tulisan Belanda. Dari informasi itu kemudian kami menelusuri (blusukan) mencari tinggalan-tinggalan sejarah,” turut Maria Tri Widayati. Selain blusukan, Komunitas Kandang Kebo juga aktif menggelar diskusi, sarasehan, bedah buku, bersih lingkungan candi, memberi masukan dan informasi kepada instansi terkait tentang keberadaan suatu temuan.

“Saat blusukan, selain mencari dan mengunjungi situs temuan, kami juga berjumpa dengan masyarakat. Saat itu kami memberi edukasi terkait nilai benda cagar budaya yang harus dilestarikan. Karena itu, kami memberi apresiasi kepada BPCB Jawa Tengah yang menggelar acara ini,” lanjutnya.

Selain melakukan diskusi-diskusi di ruangan terkait pelestarian cagar budaya, sebagai rangkaian dari lokakarya, peserta lokakarya juga melakukan aksi bersih Kawasan Situs Candi Gedong Songo, Kamis (12/9). Peserta dibagi menjadi lima kelompok. Masing-masing kelompok membersihkan area-area yang sudah ditentukan mulai pukul 09.00 – 15.00.

Selain menyapu dan memungut sampah, perwakilah peserta juga memberikan edukasi kepada pengunjung candi tentang pentingnya merawat dan menjaga kelestarian peninggalan leluhur dengan membagikan selebaran dan memberi suvenir.

Menghasilkan kesepakatan

Cagar budaya adalah warisan adiluhung bangsa yang wajib dilestarikan. Pelestarian benda cagar budaya tak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah saja. Keterlibatan individu, komunitas, dan masyarakat dibutuhkan untuk menjaga warisan leluhur bangsa. Karena itu di penghujung lokakarya dirumuskan kesepakatan dari berbagai komunitas dan pemerintah terkait pelestarian benda cagar budaya ke depan.

Beberapa kesepakatan yang ditandatangani oleh perwakilan seluruh komunitas itu antaranya:

(1). Penguatan peran dan kerja sama kemitraan antara komunitas pelestari cagar budaya dengan lembaga pemerintah yang menaungi pelestarian cagar budaya.

(2). Penguatan kerja sama antar komunitas pelestarian cagar budaya di berbagai wilayah dalam hal program, informasi serta aksi bersama dalam pelestarian cagar budaya.

(3). Komunitas pelestari cagar budaya diharapkan mampu menaati kaidah serta etika dalam pelestarian cagar budaya sebagaimana yang diamatkan UU No. II tahun 2010.

(4). Mendorong keterbukaan dan kemudahan atas akses informasi penanganan pelestarian cagar budaya yang dilakukan oleh pemerintah maupun komunitas, sehingga mendukung suksesnya program registrasi nasional.

(5). Memanfaatkan medsos sebagai salah satu sarana dalam menyampaikan kampanye cagar budaya.

The post Lokakarya Komunitas: Tinggalan Cagar Budaya Harus Dilestarikan? appeared first on BuddhaZine.

Umat Buddha di Kaki Gunung Lawu Magetan

$
0
0

Gunung Lawu merupakan gunung yang terkenal sebagai gunung angker di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Konon ceritanya, Gunung Lawu merupakan tempat petilasan terakhir Brawijaya ke-V raja terakhir Majapahit pasca dikalahkan Demak. Gunung ini berada di antara Kab. Karanganyar dan Kab. Magetan. Lawu menjadi salah satu gunung favorit para pendaki karna memicu adrenalin dengan berbagai kisah legenda dan sejarah yang ada di gunung tersebut.

Di kaki gunungnya bisa kita temui Dukuh Wonomulyo, Desa Genilangit, Kab. Magetan, Jawa Timur. Siapa sangka di tempat ini berdiri sebuah Vihara Vimalakirti. Umat Buddha di Wonomulyo kurang lebih berjumlah 250 orang atau sekitar 70’an KK (Kepala Keluarga). Umat Buddha di Wonomulyo kebanyakan adalah petani dan tukang bangunan.

Baik laki-laki atau perempuan di sini semua bekerja. Bahkan pekerjaan mengangkat batu juga dilakukan para perempuan di desa ini. Jalanan pegunungan yang terjal dan curam tak menjadi halangan. Pertanian di  Wonomulyo pun sudah terbilang cukup modern, untuk mengganti hujan yang sudah 6 bulan tidak turun, para warga yang sebagian besar adalah umat berinovasi membuat hujan buatan melalui pipa yang mengalirkan air ke ladang atau biasa disebut sprinkle.

Tanamannya pun bervariasi, mulai dari wortel, tomat hingga bawang prei. Bahkan, para pemuda sedang mencoba menanam asparagus, namun kesulitan dalam pemasarannya karena pasar sudah dihegemoni oleh tengkulak.

Kelompok pemuda desa ini bisa dibilang cukup maju dalam bertindak dan kritis dalam berfikir, salah satu pemuda desa ini baru saja menyelesaikan studinya di Liverpool, Inggris, setelah menyelesaikan S1-nya di fakultas Psikologi UI. Bahkan mereka berhasil menyelenggarakan kegiatan pelatihan profesional muda yang diikuti seluruh pemuda se-Indonesia yang berjumlah sekitar 300’an orang yang diselenggarakan kurang lebih 4-5 hari.

Menurut Pak Jono, sejak zaman Majapahit, tempat ini merupakan Padepokan Ki Hajar Wonokoso. Ki Hajar Wonosoko merupakan Rsi Kerajaan Majapahit, sekaligus tokoh yang membabat alas Dukuh Wonomulyo, Desa Genilangit, Kecamatan Poncol, Kabupaten Magetan.

Bahkan pernah ditemukan sebuah arca kepala yang menyerupai raksasa di desa ini. Hingga pada masa Ketika orde lama mulai tumbang, desa ini menjadi tempat pelarian kaum Marhaen (loyalis Soekarno) dari kejaran rezim orde baru yang berupaya melakukan de-Soekarnoisasi.

Namun, ditengah ganasnya rezim orde baru pada saat itu masyarakat tetap mendukung Soekarno, bahkan hingga saat ini nasionalisme masyarakat di sini tidak dapat diragukan lagi. Setiap bulan Agustus, desa ini menjadi warna-warni karena dipenuhi oleh lampu kelap-kelip, bendera di setiap rumah dan sepanjang jalan sebagai simbol dan semangat atas kemerdekaan bangsa Indonesia.

Toleran

Walaupun baru dibangun sebuah pesantren di sekitar desa, masyarakat tetap hidup berdampingan dengan rukun dan saling membantu dalam kegiatan-kegiatan keagamaan apa pun. Masyarakat selalu memperingati Nyepi dan Galungan walaupun bukan beragama Hindu, karena sudah membudaya sebab dahulu corak Hindu cukup kuat di wilayah ini.

Sebelum agama Buddha masuk ke wilayah ini, masyarakat banyak yang menjadi penghayat kepercayaan, namun sekitar tahun 1978, agama Buddha mulai masuk ke dukuh Wonomulyo dibawa oleh mbah Wiro kayun (Ayah dari Pak Jono) yang melakukan babad alas dari arah Solo dengan jalan kaki melintasi hutan belantara dan tebing-tebing terjal.

Saat kami datang, Vihara Vimalakirti sedang direnovasi dan diperluas. Pemugaran vihara ini dilakukan secara gotong-royong oleh para pemuda dan pemudi dari pagi hingga malam walaupun pada malam hari suhu udara di sini bisa mencapai 12°C.  Selama vihara dipugar, kegiatan sembahyang dilakukan di rumah warga secara bergantian sampai vihara selesai di bulan Desember.

Menurut penuturan dari Mas Winarto (tokoh pemuda Buddha di Wonomulyo), ke depan selain menjadi objek wisata alam, desa ini digadang-gadang akan menjadi pusat wisata religi Buddhis di Kabupaten Magetan malahan di Jawa Timur karena dalam waktu dekat diwacanakan akan di bangun kuil berskala internasional yang pastinya sangat potensial jika diarahkan untuk kesejahteraan umat serta pengembangan agama Buddha jangka panjang.

Di tengah pesatnya pembangunan di desa ini, para umat sedari dulu memiliki prinsip hidup mandiri dan tidak suka meminta-minta sumbangan walaupun mayoritas kehidupan di sini kurang begitu sejahtera. Mereka sangat berdikari dan gotong royong dalam segala hal, walaupun jika ada yang ingin berinisiatif untuk menyumbang tentu tidak akan ditolak sebagaimana budaya Jawa yang cukup kental di desa ini yaitu menghargai tamu yang berkunjung dengan niat baik yang dibawanya.

The post Umat Buddha di Kaki Gunung Lawu Magetan appeared first on BuddhaZine.

Dies Natalis STAB Syailendra Berikan Kontribusi Nyata ke Masyarakat

$
0
0

Kampus STAB Syailendra menyelenggarakan Dies Natalis yang berlokasi di aula kampus STAB Syailendra Salatiga, Semarang. Sebelum acara resmi penyematan gelar Sarjana kepada mahasiswa STAB Syailendra pada Selasa (10/09), tiga hari sebelumnya diadakan bazar dan pertunjukan berbagai seni daerah.

Penyelenggaraan Dies Natalis merupakan perwujudan Misi dan Visi STAB Syailendra. “Bahwa STAB Syailendra ini akan menjadi STAB yang unggul dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Maka hashtag dan tema dalam Dies Natalis kali ini adalah cendikia, berdaya, dan berbudaya. Cendikia ini kita tidak melepaskan nilai akademisi yaitu hasil penelitian, hasil kajian-kajian, salah satunya dengan seminar pemberdayaan. Kemudian berdaya, yaitu bagaimana masyarakat ini juga mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat yang salah satunya dengan adanya basar ini,” jelas Suranto, ketua STAB Sailendra.

Basar yang digelar merupakan publikasi berbagai produk dari UKM-UKM di bawah binaan STAB Syailendra, ada setidaknya 12 UKM yang ikut serta dalam bazar ini.

Tentang UKM STAB Syailendra

Sejak lima tahun silam tepatnya tahun 2014 STAB Syailendra Semarang sudah melaksanakan program pengabdian masyarakat dengan programnya yang bernama Samasamboghasewa. Di awal pembahasan program Samasamboghasewa pihak STAB lebih mengutamakan dalam pemberdayaan soft skill. Wujud dari program ini salah satunya dengan pemberdayaan potensi masyarakat yang dibarengi pendampingan baik oleh dosen maupun melalui program Pengabdian Masyarakat (PM) mahasiswa STAB Syailendra sendiri.

“Dimulai dari pemberdayaan masyarakat sekitar STAB yang menghasilkan Premamart yang kemudian diturunkan menjadi prema Bekery, ada juga batik, dan juga ada pendampingan di sisi spiritual. Sementara itu dari hasil PPL Mahasiswa menghasilkan pupuk organik yang dilakukan di wilayah terdekat STAB meskipun saat ini masih dalam tahap pembelajaran dan belum siap untuk dipublikasikan. Pengolahan pupuk organik bermula dengan keprihatinan mahasiswa melihat banyaknya sayuran sisa hasil panen yang seringkali hanya dibuang sia-sia dan kadang berceceran di pinggir-pinggir jalan. Pemandangan ini akhirnya menjadi pemicu ide para mahasiswa untuk mengolahnya menjadi pupuk organik,” terang Suranto.

Seiring berjalannya waktu daerah cakupan pemberdayaan masyarakat mulai merambah ke wilayah lain, sebagai contoh yang saat ini dilakukan KKN di Kebumen. Dalam KKN di Kebumen ini para mahasiswa melakukan bimbingan dengan memberdayakan kelapa mengingat daerah kebumen merupakan daerah penghasil kelapa. Demi menaikkan daya jual kelapa yang relatif rendah, para mahasiswa berupaya untuk membuat minyak kelapa yang alami.

Di sisi lain pemberdayaan tidak hanya fokus pada produk-produk olahan, namun saat ini pihak STAB juga mendapatkan tantangan untuk melakukan pendampingan di daerah Wisata yang berada di sekitar STAB. Tantangan ini mengarah ke Dusun Thekelan yang mempunyai potensi destinasi wisata untuk basecamp  pendakian Gunung Merbabu dan tugas pendampingan ini menjadi kesempatan bagi STAB untuk melebarkan sayap pengabdiannya dalam bidang wisata.

Hingga saat ini ada sebanyak 12 UKM di bawah binaan STAB Syailendra dengan berbagai produk yang siap untuk dipublikasikan.

Berhubungan dengan tema Dies Natalis tahun ini Suranto menegaskan bahwa sudah selayaknya sebuah kampus memberikan kontribusi yang nyata kepada masyarakat. Kemasan rangkaian acara Dies Natalis yang digelar menjadi wujud nyata dari STAB Syailendra dengan berbagai karya dan produknya yang bisa diberikan kepada masyarakat selama 19 tahun sejak berdirinya STAB Syailendra.

Selain basar produk, di sisi kemanusiaan juga mengadakan donor darah dan pementasan ketoprak Lalitavistara yang bisa menjadi tuntunan untuk lebih mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Suranto pun memaparkan harapan kedepan STAB Syailendra bisa lebih profesional dalam pengabdiannya kepada masyarakat. Selain telah menjalankan standar prinsip pengelolaan perguruan tinggi, untuk menyongsong harapan ini pihak STAB telah melakukan berbagai upaya di antaranya dengan adanya keterlibatan mahasiswa dan dosen dalam bidang penelitian dan program pengabdian masyarakat.

“Target kita adalah melibatkan mahasiswa untuk ikut terjun baik dalam penelitian maupun pemberdayaan masyarakat. Untuk pemberdayaan masyarakat tahun ini juga sudah diimplementasikan dalam program-program mahasiswa, yaitu dalam PM yang dilakukan di Kebumen. PM ini sudah mulai mengarah bagaimana memberdayakan masyarakat sehingga tidak hanya berbicara tentang keagamaan saja tapi bagaimana nilai-nilai keagamaan itu diterapkan dalam lingkup sosial, ekonomi dan juga dalam aktivitas-aktivitas sosial lain. Sebagai contoh kita melakukan one day mindfullness kemudian juga ada pemberdayaan apotik hidup, dan untuk pemberdayaan lain berupa pemberdayaan Virgin Coconut Oil (VCO) yaitu pengolahan minyak kelapa alami,” pungkasnya.

The post Dies Natalis STAB Syailendra Berikan Kontribusi Nyata ke Masyarakat appeared first on BuddhaZine.


Seluruh Sutra Teridentifikasi; Ajaran Borobudur Semakin Jelas

$
0
0

Semua relief naratif Candi Borobudur yang berjumlah sebanyak 1.460 penel telah berhasil diidentifikasi. Mulai dari Karmawibhangga di lantai dasar, Jataka dan Avadana di laintai 1 dan 2, Sutra Lalitawistara di lantai 1, Sutra Gandawyuha di lantai 2, 3 dan 4 dan diakhiri dengan Bhadracari di lantai 4.

Keberhasilan mengidentifikasi seluruh panel ukiran relif dengan berbagai teks dan sutra-sutra terkair dianggap mampu memberi sudut pandang baru untuk memahami Candi Borobudur secara utuh dan menyeluruh. Hal ini setidaknya yang diungkapkan oleh dua cendekiawan Buddhis; Firman Lie dan Wiliam Kwan usai mengikuti seminar Menyingkap Lantai Dasar Borobudur: KARMAWIBHANGGA; Ajaran Borobudur sebagai landasan hidup susila, cerdas, dan terampil, di Bollroome, Mal Emporium Pluit, Jakarta Sabtu (14/9).

“Aku senang sekali sih dapat pandangan yang berbeda, artinya selama ini kan relief Candi Borobudur kalau saya studi, saya melihatnyakan secara visual, secara arsitektural. Kemudian hari ini Om Salim memberikan gambaran langsung bagaimana hubungan kitab itu dengan visualnya, tetapi tidak hanya sekedar menguraikan ilustrasi kan, tetapi ada spirit yang lain memasukkan juga pesan-pesan. Saya kira itu keren, itu bagus!” Kata Firman Lee.

Sebagai seorang seniman grafis yang mempelajari Borobudur secara arsitektural, Firman Lee sebelumnya memaknai sebagai objek pradaksina. “Kalau saya dulu belajarnya kan arsitektural ke pradaksina itu penting, lalu bukan sekadar pradaksina kan kalau Borobudur, kalau lihat dari bawah dindingnya kan sempit, kalau pradaksina itu menggambarkan seperti itulah pikiran orang kalau baru mulai menapak.

Kalau di utara kamu hanya lihat di utara, kalau di selatan kamu hanya dapat melihat selatan. Lalu semakin di atas, makin kelihatan cakrawala makin luas, kemudian makin ke atas semakin gak ada batas. Nah dulu saya belajar secara arsitektural seperti itu, dan hari ini saya dapat lebih detail lagi. Saya pikir itu yang menyenangkan hari ini,” pungkasnya.

Sementara itu, Wiliam Kwan, Direktur Institut Pluralisme Indonesia (IPI) merasa bersyukur bisa mengikuti seminar. Menurutnya, keberhasilan Om Salim Lee dan Komunitas Jinabhumi Borobudur mengidentifikasi seluruh teks dan sutra Borobudur memberi tiga arti penting bagi perkembangan kajian Borobudur maupun perkembangan Buddhadharma ke depan, yaitu;

Pertama, kita bisa melihat Borobudur dengan cara yang berbeda. Sebelumnya kan kajian Borobudur itu lebih banyak berdasarkan ilmu arkeologi. Para ilmuan melihat dari sisi artefak-artefak tinggalan, kemudian mereka mencoba menghubungkan dengan sumber-sumber aneka rupa. Dan hari ini kita melihat, ternyata Borobudur itu bisa dimaknai dari sutra-sutra Buddhis.

Setelah dicocokkan, antara yang di sutra dengan relief-relief dan tatanannya itu sinkron semuanya. Ini menunjukkan bahwa kita sebagai umat Buddha harusnya semakin yakin untuk menggunakan sumber-sumber sutra itu, untuk mulai mempelajari segala hal tentang Buddhis, mulai dari sejarah perkembangan Buddhadharma, tentang interaksi sosial dalam komunitas Buddha kita, interaksi kita dengan umat agama lain, ya kerja bersama kita gak bisa hanya diam-diam saja sekarang. Kita harus mulai bergerak, itu satu hal yang menurut aku sangat bermanfaat pada sore ini.

Yang kedua, saya sebenarnya ikut prihatin juga dengan Borobudur. Borobudur itu memang kalau kita lihat sangat luar biasa sebagai warisan budaya, menjadi salah satu dari lima destinasi wisata utama di Indonesia. Dan ke depan pasti akan terus dikembangkan, karena itu saya ada sedikit kekawatiran juga kalau arahnya pariwisata tetapi tidak dimaknai dari sisi sesungguhnya yaitu; spiritualitas dan makna sosialnya, itu hanya nanti terjadi kekosongan melihat Borobudur. Kita hanya kagum pada bangunan fisik saja, nah umat Buddha dalam hal ini penting juga untuk ikut terlibat dalam menjaga Borobudur. Jangan hanya hadir pas Waisak saja, kita harus ikut berjuang.

Yang ketiga, Borobudur sebagai monumen agung yang dimiliki bangsa Indonesia tentu saja tidak bisa hanya dilihat menjadi satu bagian agama, termasuk agama Buddha itu sendiri. Tetapi harus digunakan sebagai simbol universal yang bisa mempersatukan elemen bangsa Indonesia untuk bekerja bersama, bekerja apa saja yang penting untuk persatuan. Lintas agama harus mulai dari situ, salah satu aspek yang bisa dikerjakan bersama ya di ekonomi, itu perlu dikerjakan.

Di Borobudur itu kan banyak orang membuat arca-arca, rumah makan itu untuk ekonomi. Tetapi kalau dilihat dari semangatnya kalau kita mau membantu mengembangkan wisata Borobudur kita bisa mulai menggarap spiritualitasnya. Dengan menggandeng kelompok lintas agama itu sangat kuat,” pungkas Wiliam Kwan yang juga seorang penggerak ekonomi masyarakat melalui pengembangan batik.

Seminar Menyingkap Lantai Dasar Borobudur: KARMAWIBHANGGA; Ajaran Borobudur sebagai landasan hidup susila, cerdas, dan terampil menghadirkan Salim Lee sebagai pembicara tunggal. Lebih dari 700 orang dari perlbagai kalangan hadir dalam acara ini, mulai dari para bhikkhu, tokoh lintas agama dan akademisi.

Salim Lee atau yang oleh murid-muridnya akrab disapa Om Salim adalah seorang praktisi dan guru Buddha dharma yang telah belajar dari banyak guru besar. Beliau merupakan pelopor riset-riset terobosan mengenai Muara Jambi dan banyak naskah Nusantara, termasuk naskah-naskah terkait Candi Borobudur.

Bersama Komunitas Jinabhumi Borobudur, sejak 10 tahun belakangan Om Salim secara intensif melakukan studi, penelitian dan kajian khusus mengenai nilai dan ajaran-ajaran Candi Borobudur. “Naskah fisik Borobudur yang digunakan sebagai cetak biru disain membangun Borobudur memang sampai sekarang tidak ditemukan. Hal ini dikarenakan kemungkinan besar pada waktu itu naskah-naskah tersebut tertulis di atas daun lontar. Akan tetapi, menjadi sangat jelas bahwa justru panel-panel relieh itulah naskah Borobudur yang terukir di batu. Sewaktu menelusuri dan menelitinya, meskipun merupka suatu tantangan, ternyata masih terdapat cukup banyak teks dan sutra-sutra dalam berbagai bahasa yang merupakan naskah ‘turunan’ pendukungnya,” tulis Jinabhumi Borobudur dalam release.

Studi dan kajian ini akan dibukukan dalam serial Buku Putih Borobudur yang akan mengungkap setiap ukiran telief dengan sutra-sutra terkait. Buku Putih Borobudur akan segera diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

The post Seluruh Sutra Teridentifikasi; Ajaran Borobudur Semakin Jelas appeared first on BuddhaZine.

Keren, Wihara Ini Daur Ulang Botol Plastik Jadi Jubah Bhikkhu

$
0
0

Sebuah wihara di Thailand telah berhasil mengatasi masalah botol plastik yang cukup banyak. Caranya sangat “suci”, dengan mengubahnya menjadi jubah baru untuk para bhikkhu.

“Jangan berpikir bahwa masalah sampah tidak dapat diselesaikan. Buddha mengajarkan kita bahwa selalu ada solusi untuk setiap masalah,” kata Wakil Kepala Wihara (Wat) Chak Daeng, Phra Maha Pranom Dhammalangkaro, seperti diberitakan khaosodenglish.com, belum lama ini.

Wihara itu mengelola kampanye yang meminta sumbangan botol plastik, yang lalu diproses menjadi serat sintetis dan digunakan untuk membuat jubah. Sangat efektif hasilnya. Sejak tahun lalu saja, aksi daur ulang ini telah mereduksi 40 ton sampah plastik.

Mereka yang mengunjungi wihara tersebut mungkin dapat dengan mudah keliru menganggapnya sebagai pabrik pengolahan limbah. Sebab di sana terdapat para relawan yang memilah sampah di gudang besar. Sementara di tempat lain bhikkhu menuangkan limbah makanan ke dalam mesin kompos untuk membuat pupuk organik dan biogas. Keributan pengolahan botol plastik di sana lebih dominan daripada paritta yang dilantunkan para bhikkhu.

Proyek daur ulang ini dimulai lebih dari satu dekade lalu pada tahun 2005, dipelopori oleh Phra Maha Pranom. Biarawan itu tidak pernah menerima pendidikan formal dalam sains, tetapi limbah plastik yang menumpuk di tepi sungai memicu hasratnya untuk melakukan pengelolaan limbah, dan akhirnya memunculkan gagasan untuk membuat jubah daur ulang.

Sebagai seorang guru studi Buddhis, ia juga mengaku terinspirasi oleh ajaran agama dan kitab suci, yang menggambarkan beberapa tugas wihara yang mirip dengan praktik daur ulang zaman modern.

“Buddha telah menjadi panutan untuk daur ulang. Kanon Buddha berkata bahwa dia membuat jubah dari kain yang dibuang dari tumpukan sampah dan jenazah, yang kemudian dia bersihkan dan dijahit menjadi jubah,” kata Phra Maha Pranom.

“Bahkan ketika kain itu menjadi tua, Buddha akan menggunakannya sebagai kasur. Ketika kasur menjadi tua, dia akan menggunakannya sebagai alas lantai. Dia telah memberikan contoh bagi para pengikutnya untuk melihat seberapa banyak penggunaan yang dapat mereka lakukan dari selembar kain,” tambah wakil kepala wihara itu.

Phra Maha Pranom awalnya memulai proses daur ulangnya dengan mencoba mengekstraksi minyak dari botol plastik dalam proses yang disebut pirolisis. Dalam proses ini, plastik dipanaskan dalam ruang hampa untuk mengekstraksi minyak. Namun, ia meninggalkan proses itu karena dua puluh kilogram plastik hanya untuk menghasilkan kurang dari satu liter minyak.

Akhirnya, ia berjumpa dengan Yayasan Royal Chaipattana yang sudah berhasil membuat kemeja dari botol plastik. Dari situ ia belajar menerapkan teknologi yang ada untuk membuat jubah menggunakan plastik.

Setelah tiga tahun uji coba dan kolaborasi dengan perusahaan kimia, set pertama “jubah daur ulang” diluncurkan pada tahun 2018. Bhante Phra Maha Pranom mengklaim bahwa tekstur kain yang dihasilkan tidak sekasar kantong plastik, namun lembut dan halus seperti sutra. Jubah juga memiliki sifat anti-bau karena dijahit dengan untaian seng poliester antibakteri.

Namun, prosesnya sangat teliti dan padat karya. Hanya botol yang terbuat dari polyethylene terephthalate (PET) yang dapat digunakan. Mereka dikirim ke pabrik, di mana mesin merobek-robek plastik, sementara yang lain mengeluarkan benang poliester. Benang dicampur dengan kapas dan untaian antibakteri untuk membuat kain, sebelum dicelupkan ke pewarna kunyit.

Pabrik kemudian menjual kain itu kembali ke kuil, di mana sekelompok relawan lainnya memotong dan menjahit jubah. Sepotong jubah mengkonsumsi 15 botol plastik. Satu set jubah bhikkhu lengkap membutuhkan empat potong jubah, atau 60 botol plastik.

Seperti banyak “produk hijau” lainnya, harga jubah daur ulang lebih tinggi. Satu set “jubah daur ulang” dijual seharga 5.000 baht (sekitar Rp 2,3 juta) dibandingkan dengan 3.000 baht (sekitar Rp 1,3 juta) untuk satu set jubah biasa.

Selain melestarikan lingkungan, prakarsa ini menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat dan menghasilkan pendapatan untuk wihara juga. Phra Maha Pranom juga berharap untuk bisa mendirikan pusat konservasi bersama dengan lembaga studi Buddhis.

“Plastik itu tidak jelek. Jangan biarkan bias (pikiranmu) menmbingungkanmu. Plastik itu seperti energi nuklir, yang memberi manfaat luar biasa bagi umat manusia, tetapi juga bisa melenyapkan peradaban kita. Plastik membutuhkan waktu untuk terurai, tetapi juga dapat digunakan kembali untuk banyak tujuan,” tambah Phra Maha Pranom.

Selain botol plastik, Wat Chak Daeng juga memproses jenis limbah lainnya termasuk kantong plastik, karton minuman, botol kaca, styrofoam, kertas, dan kaleng aluminium.

Apakah wihara-wihara di Indonesia ada yang mau membuat proyek daur ulang semacam ini?

The post Keren, Wihara Ini Daur Ulang Botol Plastik Jadi Jubah Bhikkhu appeared first on BuddhaZine.

Jalan-jalan ke Agrowisata Wangi Hijau, Belitung Timur

$
0
0

Bentang alam perbukitan dengan hutan yang masih terjaga kelestariannya, air terjun, hewan-hewan endemik Belitung, menawarkan nuansa baru wisata Pulau Belitung. Kolam renang lengkap dengan wahana permainan anak, Klenteng dengan arsitektur Tiongkok di tengah bukit dan aneka tanaman buah segar pemanja lidah. Semua tersaji di Agrowisata Wangi Hijau.

Matahari belum mampu menembus awan langit Kota Belitung hingga pukul 07.00 saat Kim Fuk (43) tiba di Hotel Joyful, Jalan Madura, Kota Tanjung Pandan, tempat kami menginap sejak kemarin. Hari itu, Sabtu (28/9) Pria yang menguasai setiap sudut jalanan Pulau Belitung ini akan kembali menemani kami, mengunjungi Agrowisata Wangi Hijau, Desa Nyuruk, Kecamatan Dendang, Belitung Timur.

Dari Tanjung Pandan, pusat Kota Pulau Belitung, Wangi Hijau berjarak sekitar 29 km, dapat ditempuh dengan waktu 30 – 40 menit dengan kendaraan pribadi. Kami memulai perjalanan dari Hotel Joyful pukul 07.10. “Di Belitung tidak ada macet, jadi kita bisa memperkirakan waktu, tak perlu buru-buru,” kata pria yang akrab disapa Aon, menerangkan.

Infrastrukur Pulau Belitung memang tertata rapi, jalanan lebar beraspal mulus, tidak ada lubang, petunjuk arah juga terpampang di setiap sudut peremparan atau pertigaan jalan. Pada hari Sabtu, jalanan lengang, tidak banyak kendaraan melintas, hal ini tak jauh berbeda dengan hari-hari biasa.

Sebuah pemandangan yang  jarang ditemukan di daerah Jawa. Melintasi sepanjang jalanan pulau Belitung, serasa berjalan di sebuah perdesaan Jawa tahun 80’an dengan infrastruktur modern.

Setelah berjalan sekitar 20 menit, kami masuk wilayah Kabupaten Belitung Timur. Suasana Belitung Timur berbeda dengan Tanjung Pandan sebagai Ibukota Pulau Belitung, Belitung Timur lebih sepi. Rumah-rumah warga yang berjejer di kanan dan kiri jalan terlihat saling berjauhan. Hal ini memperlihatkan kalau Belitung Timur belum padat penduduk.

“Pekarangan rumah masyarakat memang masih luas, jadi rumah-rumah seperti berjauhan. Penduduk Belitung juga masih sedikit, ini sudah ditambah masyarakat yang transmigrasi dari Jawa dan Madura” terang Aon. Meskipun begitu, kehidupan masyarakat tetap berjalan harmonis. Perbedaan suku, agama dan budaya nampaknya tak menjadi persoalan bagi masyarakat Belitung untuk hidup bersama dengan penduduk asli Suku Melayu.

Tak saja merasakan ketenangan di tengah kehidupan harmonis. Di Pulau Belitung juga minim tindakan kriminal. “Sejauh saya tau, sangat jarang terjadi pencurian maupun tindakan kriminal lain,” kata Aon memberi kesaksian.

Setelah melewati beberapa desa kami sampai di kawasan Agrowisata Wangi Hijau. Waktu menunjukkan pukul 7.45 saat kami tiba di sana. Mendung masih menyelimuti taman wisata hutan ini, tak lama berselang gerimis tipis datang. Memang, tak jauh berbeda dengan daerah lain di Indonesia, hingga saat ini masih belum pernah turun hujan sejak musim kemarau tahun ini.

“Wah bagus ini, berkah ada orang mau datang hujannya turun. Minimal bisa menghilangkan debu,” kata Pak Aon. Pagi itu, di Agrowisata Wangi Hijau sedang ada bakti sosial pengobatan gratis dan pembagian sembako kepada masyarakat 4 dusun sekitar. Ini adalah penyelenggaraan bakti sosial yang ke-3 sejak wisata ini diresmikan pada tahun 2017.

“Setiap tahun kami ingin berbagi sedikit dari berkah yang kita terima,” tutur Alex Wijaya, pemilik Agrowisata Wangi Hijau. Hal ini sesuai dengan tujuan pengembangan Agrowisata Wangi Hijau yaitu memberi manfaat perekonomian masyarakat dan membantu pengembangan Kabupaten Belitung Timur disektor pariwisata.

Ini juga yang disampaikan oleh Pak Gurdi, kepala Desa Nyuruk. Menurutnya, dengan dikembangkanya sektor wisata Belitung Timur, khususnya di Desa yang ia pimpin memberi manfaat ekonomi kepada warganya. “Tentu kami senang ada investor yang mau mengembangkan wisata di sini. Bisa secara langsung berdampak pada perekonomian warga, ada yang bisa ketema kerja di sini dan otomatis bila ini berkembang, desa kami juga akan banyak dikunjungi orang. Karena itu, saya sangat berharap wisata ini semakin berkembang,” katanya, kepada BuddhaZine.

Wihara Sak San Miaw ikon wisata Wangi Hijau

Mulai dibangun sejak tahun 2007, Wisata Wangi hijau menawarga berbagai spot wisata unik dan menarik. Hutan perbukitan dengan berbagai jenis tumbuhan alami seluas 36 hektar bisa menjadi pilihan bagi jiwa-jiwa petualang. Air terjun bidadari yang keluar dari batuan khas pulau belitung memberikan kesejukan di tengah penatnya kesibukan sehari-hari.

Kolam renang yang dilengkapi dengan wahana permainan anak, mini zoo, aneka tanaman buah; kelapa hijau wangi pandan, jambu lilin madu Thailand, durian montong, jeruk, nanas madu organik langsung bisa dinikmati di tempat. Meskipun berada di tengah hutan, jauh dari pemukiman penduduk, di sini juga ada restoran.

“Konsep kita memang agrowisata, mengembangkan perkembunan buah. Yang paling unik dan hanya ada di sini adalah kelapa wangi pandan,” jelas Toni Wijaya, pengelola Wisata Wangi Hijau.

Selain kelapa wangi pandan, yang menjadi ikon wisata adalah Vihara Sak San Miaw. Wihara ini dibangun di tengah bukit dengan gaya arsitektur Tiongkok. “Kami menawarkan sesuatu yang berbeda, selain wisata alam dengan segala perlengkapanya, pengunjung juga bisa wisata reliji (spiritual), bagi umat Buddha bisa sembahyang di Vihara, sekarang juga ada Musola bagi umat Muslim,” lanjut Toni.

Tetapi yang menarik menurut Toni, setiap tempat memiliki sejarah mistis. Ini juga yang Toni, karyawan dan para pengelola rasakan di Wangi Hijau. “ihara Sak San Miaw misalnya, sebelumnya kami tidak ada rencana untuk memangun wihara. Tapi seperti ada kekuatan yang mendorong kami untuk membuat tempat ibadah ini,” tutur Toni.

Menurut penuturan Toni dan para karyawan wangi hijau, dibangunnya ihara Sak San Miaw berawal dari sebatang kayu besar yang oleh masyarakat Belitung disebut kayu ‘melapis’. Kayu ini sebelumnya tergeletak di dasar jurang, menurut cerita Pak Awi, karyawan yang sejak awal ikut membangun Wangi Hijau menuturkan banyak kejadian mistis dalam mengankat kayu ini. “Kayu itu di dasar jurang, tidak mungkin bisa diangkat hanya oleh 2 orang, karena bobotnya hampir 1 ton. Tapi tiba-tiba sudah di atas truk sendiri, sopir dan dua kernet truk yang waktu itu mengangkut merasa keheranan,” kata Pak Awi, memberi kesaksian.

Kayu tersebut kemudian dikirim ke Jepara untuk diukir. Tetapi cerita mistis tak hanya berhenti sampai di situ. Di Jepara, sang seniman pahat sempat merasa kebingungan untuk mengukit kayu itu. “Senimanya sempat cerita kebingungan mau diapakan, tapi entah mendapat inspirasi dari mana, setelah dibuat jadi patung Datuk Bentayan,” lanjut Pak Awi. Kini patung Datuk Bentaian di tempatkan di salah satu altar dalam Vihara Sak San Miae. Dalam vihara ini juga terpasang rupang Buddha pada altar utama.

Sejak dibuka pada tahun 2017, Wisata Wangi hijau telah ramai pengunjung setiap hari Sabtu, Minggu dan hari-hari libur. Tetapi sebagai tempat wisata yang telatif masih baru, dengan kondisi pulau Belitung yang belum ramai memiliki banyak tantangan dalam pengelolaan wisata. “Kendala kita saat ini harga tiket pesawat ke Belitung mahal, penerbangan masih terbatas jadi pengunjung akhir-akhir ini sedikit berkurang. Kalau dulu, pada hari minggu bisa terjual tiket 200 – 300 bahkan saat rame bisa sampai 600, akhir-akhir ini terjadi penurunan penjualan tiket. Jadi kami berharap pemerintah daerah bisa menudukung dalam hal promosi dan perbaikan infrastruktur, terutama jalan,” harap Toni.

Untuk ke depan, Wangi Hijau akan terus berbenah dan melengkapi fasilitas. Meskipun begitu, Toni tetap optimis jalannya Wangi Hijau, bahkan ia akan menambah fasilitas-fasilitas pendukung. “Kedepan target kami ada penginapan dan sarana meditasi, jadi wisatawan bisa menginap juga juga berlatih meditasi,” pungkas Toni.

The post Jalan-jalan ke Agrowisata Wangi Hijau, Belitung Timur appeared first on BuddhaZine.

Panggilan Hati Membantu Sesama di Belitung Timur

$
0
0

Sabtu (28/9/2019), sejak pukul 8.30 kawasan Agrowisata Wangi Hijau, Desa Bentaian, Kec. Dendang, Kabupaten Belitung Timur telah ramai dipadati pengunjung. Bukan oleh wisatawan, tetapi warga sekitar yang hendak periksa kesehatan, berobat gratis dan menerima sembako dari Sahabat Nasional Belitung (Sahnasbel).

Bakti sosial pengobatan dan pembagian sembako akan dimulai tepat pukul 9 pagi. Dua orang dokter beserta 20 tenaga medis dari dinas kesehatan Kabupaten Belitung Timur telah bersiap sejak pagi buta. Dengan senyum ramah penuh ketulusan, mereka melayani setiap pasien yang hendak berobat, atau sekedar periksa kesehatan hingga pukul 15.00.

“Kita patut bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada penyelenggara acara ini. Bagi orang desa, kadang abai terhadap kesehatan, padahal kontrol kesehatan itu penting. Jadi momentum seperti ini, selain kita memberi pelayanan kesehatan, juga bisa menjadi sarana edukasi kepada masyarakat,” kata Ibu Yatie, salah satu perwakilan dinas kesehatan Kabupaten Belitung Timur, kepada BuddhaZine.

Selain dokter dan tenaga medis, dinas kesehatan juga menyediakan 100 paket obat. “Ada dua dokter umum dan 20 tenaga medis. Jadi masyarakat nanti bisa memeriksa gula darah, asam urat dan berbagai keluhan sakit lain. Kita juga sediakan obat-obatan untuk penyakit ringan seperti; paracetamol, vitamin, obat asam urat, kolesterol. Nah, intinya kami dari dinas sangat sangat mendukung kegiatan seperti ini, kalau bisa kami minta kepada penyelenggara minimal 6 bulan sekali diadakan di sini,” pinta Ibu Yatie.

Bagi warga dan pemerintah setempat, bakti sosial di Wangi Hijau selalu disambut baik. Mereka juga berharap kegiatan semacam ini lebih sering dilakukan, juga banyak kelompok-kelompok lain yang mengadakan. “Kami dari Kecamatan Dendang menyambut baik, karena secara langsung membantu masyarakat, mereka bisa memeriksa kesehatan dan berobat secara gratis. Kami berharap hal seperti ini bukan hanya grup sahnas yang membuat,” turut Maduridi, sekretaris Camat Dendang.

Burhan (65), salah satu warga Desa Bentaian, mengaku ikut berobat karena merasakan sakit di salah satu bagian pinggulnya. “Pinggul saya sakit, tadi diperiksa dan dapat obat,” katanya sambil menunjukkan bagian tubuhnya yang sakit.

Panggilan hati membantu sesama

Bakti sosial pengobatan dan pembagian sembako ini terselenggara berkat kerjasama antara Sahnasbel, Agrowisata Wangi Hijau dan Dinas Kesehatan Belitung Timur. Bagi Wangi Hijau, bakti sosial sudah menjadi kegiatan rutin setiap tahun, sejak diresmikan pada tahun 2017.

“Saya asli kelahiran Belitung tapi tinggal di Jakarta, khusus untuk acara ini kami pulang. Hampir semua kawan-kawan yang hadir di sini juga berdomisili di Jakarta, kecuali ketua Sahnas, Pak Ayin. Anggota kami dari bermacam agama, tetapi kami memiliki satu keyakinan bahwa kebaikan itu bisa dilakukan oleh siapa saja dan kepada siapa saja. Intinya, sebagai putra-putri Belitung, walaupun kecil kami juga ingin membantu sesama dan memberi kemajuan untuk tanah kelahiran kami,” tutur Winda, salah satu anggota Sahnasbel.

Bersatu layaknya keluarga, membantu sesama dan memberi kontribusi bagi kemajuan tanah kelahiran, adalah tiga hal yang ingin dilakukan oleh Sahabat Nasional Belitung (Sahnasbel). Sahnasbel berdiri sejak tanggal 26 Maret 2016, saat ini beranggotakan sekitar 70 orang kelahiran Belitung yang tersebar di seluruh Nusantara.

“Pertama melalui grup WA kami mencoba melacak dan menghubungi teman-teman yang rata-rata sudah diatas 30 sampai 40 tahun tidak pernah bertemu dan berkomunikasi. Dari situ, kami sepakat untuk membuat grup dan melakukan aksi-aksi sosial bagi tanah kelahiran,” kata Ayindra Yapriadi, ketua dan penggagas berdirinya Sahnasbel.

Meskipun tidak tinggal lagi di Belitung, seluruh anggota Sahnasbel siap pulang kapan saja dibutuhkan untuk aksi kemanusiaan. Banyak aksi kemanusiaan telah mereka lakukan, seperti membantu korban bencana alam, memberi sumbangan ke sekolah-sekolah, rumah ibadah hingga orang sakit.

“Anggota kami terdiri dari berbagai macam latar belakang berbeda; suku ras dan agama. Tetapi kami bisa saling menghormati dan bekerja sama, karena yang menjadi utama adalah misi kami, demi kemanusiaan. Kami pernah membantu korban bencana alam, memberi sumbangan ke masjid, wihara, Gereja juga memberi bantuan untuk pendidikan,” tambah Pak Ayin.

Membantu pengembangan tanah kelahiran juga dilakukan oleh Pak Alex Wijaya dalam bidang pengembangan Agrowisata Wangi Hijau, Belitung Timur. Anggota Sahnasbel yang berdomisili di Tangerang ini bahkan mengaku sering pulang kampung ke Belitung. “Ke Belitung jika ada kegiatan atau pembangunan sarana di Wangi Hijau. Kalau memang tidak ada, ya minimal 2 – 3 bulan sekali baru pulang,” katanya.

Sesuai dengan dorongan pemerintah menetapkan Pulau Belitung sebagai Kawasan Khusus Wisata, Pak Alex berinisiatif menggembangkan Agrowisata Wangi Hijau sejak tahun 2007. “Potensi wisata Pulau Belitung besar, alamnya indah, masyarakat toleran, juga aman. Ini modal besar sebuah kawasan wisata. Kebetulan saya suka alam, ini juga yang melatarbelakangi saya membangun Wangi Hijau.”

Wangi hijau dikonsep sebagai agrowisata yang mengembangkan berbagai tanaman buah, seperti; kelapa pandan wangi, jambu, jeruk, nanas madu, kelengkeng dan durian. Semua ditanam organik tanpa pupuk kimia. “Sasaran kita sebenarnya masyarakat ekonomi lemah, khususnya bagi penduduk Belitung yang tidak mampu berwisata keluar. Selain itu, kahadiran Wangi Hijau juga memberi variasi baru wisata Belitung yang selama ini hanya mengandalkan wisata bahari,” tambahnya. Selain menikmati pemandangan alam dengan segala isinya, ke depan Wangi Hijau juga akan melengkapi sarana spiritual dengan membangun pondok meditasi.

The post Panggilan Hati Membantu Sesama di Belitung Timur appeared first on BuddhaZine.

Minimnya Pembinaan Umat Buddha di Kayong Utara, Kalimantan Barat

$
0
0

Secara historis wilayah Kayong Utara adalah bagian dari Kerajaan Tanjungpura di masa lalu yang merupakan kerajaan tertua di wilayah Kalimantan Barat. Kerajaan Tanjungpura tidak dapat lepas dari corak Hindu dan Buddha karena merupakan bagian dari wilayah kerajaan Sriwijaya dan kemudian menjadi bagian dari kerajaan Majapahit.

Kota Sukadana pernah menjadi ibukota Kerajaan Tanjungpura sekaligus pusat perdagangan, sehingga tidak heran apabila banyak masyarakat keturunan Tionghoa yang menetap di wilayah ini yang mana banyak pedagang dan pekerja dari Tiongkok yang mengunjungi Sukadana.

Kabupaten Kayong Utara masa kini adalah sebuah kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat dan ibu kotanya adalah Sukadana. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan undang-undang Nomor 6 Tahun 2007 pada tanggal 2 Januari 2007. Kabupaten Kayong Utara terdiri dari 6 Kecamatan yaitu Kepulaun Krimata, Pulau Maya, Sukadana, Simpang Hilir, Seponti dan Teluk Batang dengan total 43 desa.

Jumlah umat Buddha menurut data Kementerian Agama Kabupaten Kayong Utara pada tahun 2010 berjumlah 982 jiwa yang tersebar di Kecamatan Teluk Batang, Simpang Hilir, Sukadana dan Pulau Maya.

Tempat ibadah agama Buddha hanya ada 3 yaitu Vihara Kwan Im di Desa Rantau Panjang, Simpang Hilir; Vihara Zi Heng (Zi Heng Fo Tang) di kampung Ampera, Simpang Hilir dan Vihara He Xin di Desa Sungai Paduan, Teluk Batang. Sedangkan di wilayah Sukadana hanya ada kelenteng yang dipakai untuk ritual oleh umat Buddha dan Khonghucu.

Komunitas Buddhis tersebar di tiga Kecamatan yaitu Sukadana, Simpang Hilir dan Teluk Batang. Salah satu kantong umat Buddha adalah desa Padu Banjar yang terletak di Kecamatan Simpang Hilir. Bahkan kepala desanya adalah umat Buddha yang bernama Kasdy.

Infranstruktur desa sudah cukup bagus karena berada di jalan poros Sukadana-Pontianak (jalan provinsi). Masyarakat Desa Padu Banjar di dominasi oleh suku Melayu dan Tionghoa dengan mata pencaharian sebagai nelayan, petani dan pedagang.

Berbicara masalah pembinaan di bidang agama dan keagamaan Buddha dapat dikatakan sangat minim bahkan nihil, khususnya yang dilakukan oleh pemerintah melalui kementerian agama yaitu bimas Buddha. Tidak ada pihak yang perlu dipersalahkan namun hal ini harus menjadi perhatian agar ada perubahan ke arah yang lebih baik.

Wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang sangat luas dengan sumber daya manusia dan anggaran bimas Buddha yang terbatas memang sering dianggap sebagai salah satu kendala utama minimnya pembinaan kepada umat di daerah-daerah hampir seluruh wilayah Kalimantan Barat. Belum lagi bicara jarak dan akses transportasi yang cukup menantang dari ibu kota provinsi ke daerah-daerah yang menjadi kantong umat Buddha.

Realita demikian hendaknya menjadi pemacu semangat untuk terus berjuang dalam memberi pelayanan terbaik dalam menjaga Buddhadhamma. Berbagai permasalahan yang ada bukanlah halangan namun kesempatan sebagai ladang kebajikan yang harus diolah. Problem utama adalah lemahnya pembinaan umat di bidang keagamaan dan pendidikan.

Minimnya pengetahuan agama Buddha menjadi titik lemah sehingga banyak yang goyah keyakinanya. Di kehidupan sosial sulitnya untuk menikah secara agama Buddha dan mendapat akta perkawinan secara agama Buddha karena tidak ada petugas yang melayani perkawinan agama Buddha, akhirnya banyak umat yang hanya menikah secara tradisi atau bahkan cari jalan pintas menikah di agama lain.

Demikian juga di bidang pendidikan, tidak adanya guru agama Buddha, hampir semua siswa beragama Buddha terpaksa memilih ikut agama Katolik atau Protestan di sekolah dan dampaknya sudah dapat diketahui banyak siswa yang akhirnya pindah agama.

Kenyataan demikian memberi stigma bahwa menjadi umat Buddha itu berat, susah, sulit dan banyak tantangan karena status double minority (Tionghoa-Buddhis). Bagi yang kokoh keyakinanya mampu untuk bertahan, namun bagi yang lemah akan memilih jalan lain dengan pindah agama dengan alasan mencari kemudahan terhadap akses sosial dan sebagainya.

Sebagai seorang penyuluh yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah melalui kementerian agama, ini merupakan kesempatan besar untuk memberi pelayanan terbaik dan memberi solusi kepada umat Buddha agar ada perubahan yang lebih baik.

Salah satu upaya yang di tempuh adalah pendataan siswa beragama Buddha di sekolah-sekolah negeri, menjalin komunikasi dengan pihak sekolah agar ada kegiatan pembinaan secara agama Buddha dan upaya mendatangkan guru agama Buddha untuk membimbing para siswa agar hak sebagai siswa dapat dipenuhi. Ini adalah sebuah awal menuju sejarah baru untuk menyiram benih Dhamma di Bumi Tanjungpura, meski benih itu kini sedang layu.

Tradisi Tionghoa menyelamatkan agama Buddha

Keberadaan umat Buddha di kalangan masyarakat Tionghoa tidak lepas dari keberadaan tradisi yang masih tetap di jaga. Ritual agama, adat dan budaya Tionghoa telah menyatu dengan agama Buddha dan juga agama lain seperti Tao dan Khonghucu.

Tanpa adanya tradisi yang dijaga maka agama Buddha juga sudah luntur, hal ini terlihat dari kenyataan yang mana apabila masyarakat Tionghoa masih kuat dalam memegang tradisi leluhur mereka maka agama Buddha di situ juga tetap bertahan khususnya secara kuantitas. Namun sebaliknya di lingkungan masyarakat Tionghoa yang kurang menjaga tradisinya maka agama Buddha juga luntur, banyak yang sudah beralih keyakinan dengan berbagai alasan.

Kenyataan ini terlihat jelas di kalangan masyarakat Tionghoa di wilayah Kayong Utara, dimana mereka masih cukup kuat menjaga tradisi dan budayanya maka disitu agama Buddha juga masih terjaga meski hanya sebatas identitas.

Masyarakat masih melakukan berbagai ritual, acara adat dan kegiatan budaya Tionghoa secara baik sehingga nilai-nilai tersebut juga diajarkan pada anak-anak mereka, dengan demikian identitas sebagai umat Buddha juga diturunkan dari generasi ke generasi.

Namun semua itu kini sedang berada di persimpangan ketika arus moderenisasi telah menerjang sendi-sendi tradisi. Siar agama dengan menyerang tradisi juga menjadi ancaman tersendiri. Anak-anak masa kini digiring untuk menghakimi tradisi dan budaya leluhurnya karena dianggap kuno, ribet, bahkan di cap sesat.

Tradisi bakti pada orangtua atau leluhur memiliki tempat yang sangat penting dalam budaya Tionghoa. Mereka yang sudah meninggal akan selalu di kenang oleh generasi berikutnya dengan berbagai cara berupa ritual dan sebagainya. Kirim doa dan sembahyang pada leluhur merupakan tradisi yang wajib bagi warga Tionghoa.

Sembahyang dengan membakar dupa, pasang bunga, buah dan makanan sudah diwariskan turun temurun. Dalam sudut pandang agama Buddha, hal ini tidak ditentang karena tradisi tersebut memiliki nilai-nilai luhur secara etis dan filosofis, oleh karena itu ketika keluarga Tionghoa masih menjaga tradisinya maka agama Buddha juga ikut terjaga, demikian juga sebaliknya.

Namun kenyataan berbeda ketika salah satu anggota keluarga Tionghoa sudah beralih keyakinan, maka tradisi sembahyang pada leluhur dapat menjadi masalah, karena dianggap memuja setan karena membakar dupa, memakai sesajen dan lain-lain.

Akhirnya terjadi gesekan kuat antara tradisi dan dogma agama. Apabila menghormat leluhur yang sudah meninggal dianggap menyembah setan maka ajaran bakti kepada leluhur menjadi luntur. Agama terkadang menjadi penghancur tradisi dan budaya, yang sesungguhnya memiliki nilai-nilai luhur yang pantas untuk dijaga dan dilestarikan yang selanjutnya diwariskan dari generasi ke generasi.

Dusun rangkap, kampung Tionghoa Buddhis yang terkikis

Kampung Rangkap adalah kampung paling ujung di desa Penjalaan, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara. Kampung yang di huni oleh mayoritas masyarakat Tionghoa. Rumah-rumah tidak berdiri saling berdekatan namun cukup jauh antara rumah satu dengan yang lain bisa berjarak 30 sampai 50 meter bahkan lebih, dan terpisahkan oleh kebun kelapa.

Rumah-rumah kayu dengan atap seng atau rumbia di kelilingi pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi, dengan daun rindang dan buah yang lebat memberi suasana teduh di kampung Rangkap. Kelapa menjadi sumber penghasilan utama warga kampung Rangkap, selain kebun karet dan ada juga kandang walet atau ternak seperti kambing.

Terdapat sekitar 30 keluarga yang tinggal di kampung Rangkap, ada satu sekolah dasar negeri 21 yang kini sudah tutup sehingga anak-anak kampung Rangkap harus menuju ke sekolah yang ada di desa induk dengan jarak sekitar 3 km. Ketika musim hujan anak-anak tidak bisa sekolah karena jalan berlumpur cukup dalam tidak bisa di lalui sama sekali. Pembangunan jalan yang baru di mulai, menjadi harapan adanya perubahan bagi warga kampung yang selama ini terisolir.

Secara tradisi mayoritas warga Rangkap yang Tionghoa adalah Buddhis atau Khonghucu, namun sekarang mereka seperti kehilangan identitas keagamaan tradisional. Sebagian sudah ada yang pindah Katolik atau Protestan, ini terjadi karena melalui sekolah yang tidak ada guru agama Buddha serta melalui pernikahan beda agama. Mereka tak punya pilihan, karena tidak ada pembinaan agama Buddha.

Dalam administrasi kependudukan seperti akta pernikahan, warga mengalami kesulitan bila menikah secara agama Buddha. Banyak yang menikah secara tradisi apabila sesama agama Buddha atau Khonghucu, tetapi bila menikah dengan agama lain pasti pindah agama. Masalah ini sudah berlangsung cukup lama, sejak negeri ini berdiri hingga hari ini.

Kini masyarakat Rangkap sudah tidak terlalu peduli soal agama, apalagi untuk generasi muda, hampir semua sudah tidak kenal dengan agama Buddha meski hanya sebatas identitas. Mereka semua ikut agama Nasrani di sekolah. Ini adalah masalah klasik bagi masyarakat Buddhis di Indonesia yang hingga kini belum terselesaikan dan entah sampai kapan akan selesai. Harus ada upaya strategis sebelum umat di daerah semakin terkikis habis.

Kami tak punya pilihan

Beberapa umat mengatakan bahwa umat Buddha kurang mendapat perhatian dari pemerintah, khususnya pembangunan rumah ibadah tidak pernah dapat bantuan, berbeda dengan mesjid.  Umat mendapat kesulitan ketika mengurus akta perkawinan, di bidang pendidikan kami sebagai orangtua mendapat kesulitan berkaitan dengan pelajaran agama di sekolah.

Tidak ada guru agama Buddha di sekolah, akhirnya kami terpaksa mengikutkan anak kami gabung dengan siswa Katolik atau Protestan yang ada guru agamanya meskipun itu sekolah negeri. Bahkan ada yang ikut Islam karena tidak ada guru agama lain disekolah. Kami pasrah, yang penting anak kami bisa dapat nilai agama dan lanjut sekolah, kami tak punya pilihan.

Bahkan hari minggu anak kami harus ikut kegiatan gereja sebagai syarat mendapat nilai agama Katolik, kalau tidak ikut ke gereja maka nilainya pasti rendah hanya batas KKM saja meskipun mampu mengerjakan soal tes. Ada juga yang sudah pindah ke Katolik karena sering ikut kegiatan di gereja.

Kami berharap ada guru agama Buddha yang mau mengajar di sekolah anak kami agar mereka juga bisa belajar agama Buddha, karena kami memang beragama Buddha. Kalau begini terus lama-lama bisa habis generasi umat Buddha disini, kata beliau dengan penuh harap.

Mendengar curhatan umat tersebut tentu ada rasa perihatin dan sesak di dada, saya yakin realita ini juga banyak dialami umat kita di daerah lain, khususnya anak-anak kita yang belajar di sekolah negeri apalagi sekolah swasta di bawah yayasan keagamaan.

Di satu sisi umat kita bisa bertahan karena memiliki keyakinan kepada agama Buddha secara turun temurun, namun keyakinan tersebut semakin tergerus oleh lingkungan khususnya di bidang pendidikan karena orangtua juga tidak memiliki pengetahuan tentang agama Buddha, sehingga tidak mampu mengajarkan kepada anak-anak mereka, yang dilakukan hanya mengajarkan ritual dan tradisi saja.

Berdasarkan hasil pendataan di sekolah-sekolah negeri yang ada di wilayah kecamatan Simpang Hilir dan Teluk Batang, siswa beragama Buddha tersebar di sekitar 15 sekolah negeri baik SD, SMP, SMA dan SMK. Karena tidak ada guru agama Buddha di sekolah maka mereka mengikuti pelajaran agama Nasrani untuk mendapat nilai agama.

Sedangkan bentuk pembinaan agama Buddha yang mulai di lakukan adalah kegiatan sekolah minggu di vihara/kelenteng. Dimana para siswa beragama Buddha di sekolah-sekolah di himbau untuk mengikuti kegiatan sekolah minggu di vihara/kelenteng sebagai bentuk kegiatan ekstrakurikuler tambahan. Oleh karena itu kebutuhan yang cukup mendesak adalah guru agama Buddha untuk mengajar di sekolah-sekolah negeri di wilayah Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat.

The post Minimnya Pembinaan Umat Buddha di Kayong Utara, Kalimantan Barat appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 1052 articles
Browse latest View live