Quantcast
Channel: News Berita Budhis Terkini | Buddhazine
Viewing all 1052 articles
Browse latest View live

Pemuda Menjadi Tumpuan Keberlangsungan Buddhadharma di Pulau Belitung

$
0
0

Minggu menjadi hari yang ditunggu-tunggu bagi anak-anak dan remaja Buddhis Kabupaten Belitung. Hari itu, mereka bisa menghabiskan waktu seharian untuk bermain, pujabhakti, belajar Dharma dan  berjumpa dengan kawan-kawan se-Dharma.

Minggu (29/9), pukul 8 pagi terik mentari sudah terasa menyengat saat kami sampai di Vihara Tathagata Buddha, Kota Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung. Pagi itu, vihara ini sudah ramai dengan wajah ceria anak-anak Sekolah Minggu, tingkat SD. Sekolah Minggu Buddhis, Vihara Tathagata Buddha terbagi menjadi 2 sesi. Sesi pertama, pukul 8 – 10 pagi untuk anak-anak sekolah dasar, sedangkan sesi kedua (sesi siang) pukul 10 – 12 untuk anak-anak remaja SMP dan SMA.

Sekolah Minggu memang menjadi penting sebagai peletak pondasi dasar pengetahuan Buddhadharma bagi anak-anak Buddhis Belitung, di luar sekolah formal. Di vihara, mereka berkawan, berinteraksi dan belajar mengenal nilai-nilai dharma dari para pembimbing. Hal ini setidaknya yang dirasakan oleh Desy Rostarina (20), salah satu remaja Vihara Tathagata Buddha. “Saya mulai aktif ke vihara ini sejak SMP, memang diharuskan oleh guru-guru agama Buddha di sekolah,” kata Desy kepada BuddhaZine.

Hampir sama dengan anak-anak dan remaja Buddhis di Pulau Belitung, Desy berlatar keluarga yang tidak mengenal vihara. Hanya di sekolah, ia tercatat sebagai siswa beragama Buddha. Perjumpaannya dengan guru agama Buddha di sekolah itulah yang mendorongnya untuk datang ke vihara.

“Kalau aku, dulu orang tuaku malah gak mengenal vihara. Pas SMP diharuskan sama guru agama Buddha di sekolah, dan setelah mengenal vihara, banyak kegiatan, banyak kenalan ternyata asik dan keterusan sampai sekarang,” terang Desy bercerita.

Di Vihara Tathagata Buddha, Desy termasuk salah satu remaja yang aktif. Dia pernah menjabat sebagai ketua muda-mudi vihara periode tahun 2014 – 2017. Berbagai tanggung jawab seputar kegiatan vihara pernah diembannya, mulai dari mengajar sekolah minggu untuk anak-anak sekolah dasar, mengurus bursa vihara hingga merencanakan kegiatan muda-mudi Buddhis.

“Vihara di sini sangat tergantung dengan kegiatan anak-anak Sekolah Minggu dan muda-mudi. Kalau muda-mudi ada kegiatan, yang datang ke vihara banyak. Tapi kalau tidak ada kegiatan muda-mudi di vihara atau kegiatan di luar, ya hanya hari Minggu saja ke viharanya. Jadi, keberadaan muda-mudi, di vihara ini sangat penting,” lanjut Desy.

Menyadari pentingnya peran dirinya di vihara, setiap hari Minggu Desy selalu menyempatkan diri datang ke vihara. Bahkan hingga kini, di tengah kesibukannya bekerja menjadi kasir di salah satu rumah makan di Belitung, ia tetap datang, membimbing adik-adiknya.

“Sekarang saya kerja, setiap hari Minggu sengaja ambil shift malam supaya bisa ke vihara. Jadi kegiatan saya pada hari Minggu, bangun jam 6 pagi, pukul 8 harus sudah sampai vihara. Ngajar sekolah minggu untuk anak-anak SD, urus bursa vihara, mendengarkan dhammadesana dari para guru agama Buddha, ngobrol dengan kawan-kawan remaja Buddhis untuk merencanakan kegiatan, kira-kira sampai jam 2 siang, setelah itu pulang dan malamnya kerja,” pungkasnya.

Saat ini, setidaknya terdapat 20 muda-mudi yang aktif di Vihara Tathagata Buddha. Mereka menjadi tumpuan bagi keberlangsungan generasi Buddhis, Pulau Belitung mendatang. “Yang paling aktif ada sekitar 20 orang saat ini, kalau kami bikin kegiatan bersama biasanya bergabung dengan vihara lain. Kalau anak-anak sekolah minggu, seperti hari ini sekitar 70’an anak yang hadir,” kata Kiki Hermanto (19), yang saat ini menjabat sebagai ketua aktif muda-mudi Vihara Tathagata.

Umat Buddha di Pulau Belitung sebenarnya cukup signifikan. Berdasarkan data BPS jumlah umat Buddha di Pulau Belitung berada di urutan nomor dua setelah muslim. Siswa-siswa yang tercatat beragama Buddha di sekolah juga cukup banyak. Menurut penuturan Sunyi Suzana, salah satu guru agama Buddha di Pulau Belitung, ada beberapa sekolah yang mayoritas beragama Buddha. “Di sekolah tempat aku mengajar saja, ada 102 siswa yang beragama Buddha,” kata Sunyi.

The post Pemuda Menjadi Tumpuan Keberlangsungan Buddhadharma di Pulau Belitung appeared first on BuddhaZine.


Senja, Kopi, dan Dharma

$
0
0

Gabungan Sekolah Minggu Buddhis (SMB) ANANDA mengadakan Dhamma Camp yang melibatkan peserta anak-anak sekolah minggu dari sebelas vihara. Dhamma Camp dilaksanakan di lapangan Desa Cemara, Kecamatan Wonoboyo Temanggung ini diikuti oleh remaja Sekolah Minggu yang sudah memasuki jenjang SMP dan SMA. Kegiatan berlangsung selama dua hari satu malam (5-6/10) dengan peserta sebanyak 35 remaja SMB.

Selain untuk menambah semangat dan mengajak refreshing anak-anak Sekolah Minggu pemilihan tempat kegiatan juga bermaksud untuk memperkenalkan anak-anak SMB kepada umat Buddha Desa Cemara.

“Memang kita memilih tempat di Cemara ini karena alamnya indah, tapi kita juga ingin memberikan wawasan kepada mereka bahwa di Cemara ini juga ada saudara-saudara kita yang Buddhis. Dengan kegiatan ini diharapkan bisa menambah semangat dan keyakinan dalam Buddhadharma baik untuk anak-anak SMB maupun umat Desa Cemara,” jelas Sumarmi, ketua panitia Dhamma Camp.

Kegiatan diawali dengan pujabhakti bersama di Vihara Virya Dhamma Ratana, Desa Cemara pada pukul 19.00 WIB. sebagai pembuka kegiatan Dhamma Camp. Setelah usai waktu makan malam para peserta diajak berkumpul di lapangan yang sudah dipasang tenda-tenda camp para peserta. Rangkaina acara pada malam hari diisi dengan malam keakraban dan pembekalan materi Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yaitu pembekalan dini pada anak-anak untuk perencanaan pendidikan serta perencanaan masa depan.

“Meskipun anak-anak atau peserta Dhamma Camp masih remaja namun dari program PUP ini sebagai perencanaan, bagaimana anak-anak bisa merencanakan untuk persiapan kerja ataupun untuk persiapan berkeluarga,” lanjut Sumarmi.

Banyak kegiatan yang digalakan dalam Dhamma Camp ini, terutama kegiatan yang bertujuan untuk pengembangan potensi atau bakat yang dimiliki oleh masing-masing peserta. Berdasarkan tujuan tersebut kegiatan berupa unjuk kebolehan diselenggarakan pada malam hari sebelum acara api unggun. Api unggun mulai dinyalakan menjelang waktu istirahat yang menambah suasana semakin berkesan seiring dinginnya malam di Lereng Gunung Perahu.

Meskipun acara Dhamma Camp penuh dengan suasana keceriaan ala remaja, namun tidak meninggalkan nilai-nilai kerohanian dan spiritual. Dini hari saat suasana hening dengan semilirnya angin pegunungan sekitar pukul 02.00 WIB para peserta diajak bermeditasi, mengembangkan cinta kasih serta konsentrasi yang dilanjutkan dengan acara santapan rohani yaitu materi Dhamma.

Sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan sosial serta mendidik para remaja akan pentingnya kepedulian terhadap sesama, para peserta diajak untuk baksos pada pagi harinya. Untuk pembiayaan kegiatan Dhamma Camp pihak panitia menggalang dana dengan cara iuran dari vihara-vihara yang terlibat kegiatan, dana kas sekolah minggu serta sokongan dana dari para donatur.

Pemilihan lokasi Dhamma Camp yang berada di lereng pegunungan serta rangkaian acara yang di siapkan secara matang memberikan kesan tersendiri bagi para peserta Dhamma Camp. Hal ini pun diungkapkan oleh Rini Setiyani, “Untuk Dhamma Camp SMB saya baru ikut pertama kali ini, dan ternyata asyik sekali apalagi di sini di pegunungan alamnya sejuk, dingin bahkan. Tapi aku juga bisa tahu bahwa di sini yang jauh dari tempatku ternyata masih ada saudara-saudara Buddhis dan saya senang sekali bisa mengenal mereka. Saya juga bisa lebih akrab sama temen-temen SMB dari vihara-vihara lain,” terang peserta yang masih duduk di kelas XII SMA Pringsurat dari Dusun Gandon.

Hal yang sama pun diungkapkan oleh Pratna Dian Pratiwi peserta dari Vihara Dharma Sambhara Gandon, “Rasanya seneng sekali bisa refreshing tapi juga bisa mendapatkan pendalaman tentang Dhamma. Kan jarang sekali kita bisa seperti ini, apalagi di sini suasananya sejuk, pemadangannya juga bagus. Acaranya juga asyik, di sini kita bisa berlatih untuk pengembangan rasa percaya diri,” pungkasnya.

The post Senja, Kopi, dan Dharma appeared first on BuddhaZine.

Di Pekan Kebudayaan Nasional, Astakosala Angkat Kisah Mpu Prapanca yang Terasing

$
0
0

“Tityang sakendela walang alas, akemul mega, akandang langit, merak kang angemuli, kijang kang anyusoni, tan wara bumi astana (Aku ini seperti belalang hutan, bertilam mega, beratap langit, burung merak yang menyelimutiku, rusa yang menyusuiku, negeri tiada, tempat tinggal pun tak tetap)” teks Tutur Panji.

Syair di atas menjadi pembuka pertunjukan musik Astakosala, di Panggung Guyub, Istora Senayan, Jakarta, Kamis (10/9), dalam perhelatan Pekan Kebudayaan Nasional. Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) digelar selama 7 hari, mulai tanggal 7 – 13 Oktober 2019. Astakosala yang menjadi salah satu pengisi melantunkan 6 lagu yang diambil dari syair sastra Jawa Kuna. Kali ini mengangkat tema besar pertunjukan musik Samar Tan Prapanca.

Samar Tan Prapanca, mengisahkan tentang lakon Mpu Prapanca, abad ke-14 yang disingkirkan dari Istana Majapahit oleh para elit penguasa yang iri padanya. “Prapanca adalah nama pena pujangga yang menulis Nagarakrtagama pada masa Hayam Wuruk.

“Sebelumnya ia punya jabatan sebagai Dharmmadyaksa Kasogatan, pejabat yang mengurusi keagamaan khususnya agama Buddha. Tapi ia dipecat dan diasingkan, dalam kesepiannya ia menulis tentang Majapahit; alamnya, tata kelola pemerintah, khususnya pada masa Hayam Wuruk,” terang Udi, Public Relations Astakosala, kepada BuddhaZine.

Dalam catatan itu, lanjut Udi, ia juga menulis seperti apa dirinya, betapa buruk tindakan dan fisiknya dahulu yang sampai tak layak menjadi pejabat Dharmmadyaksa Kasogatan. “Tetapi justru catatannya menjadi referensi dan sumber utama tentang kejayaan Majapahit bagi kita semua saat ini. Lalu kaitanya dengan syair lagu yang dibawakan oleh Astakosala dalam PKN kemarin adalah, kita semua ini seperti Prapanca. Punya sebuah posisi, yaitu sebagai manusia.

Namun kadang kita melakukan hal-hal yang tidak baik bahkan meninggalkan sisi kemanusiaan kita, misalnya merusak alam. Lalu ketika kita sadar, apa yang bisa kita lakukan? Berharap, kembali menyadari bahwa kita hanya manusia yang sebenarnya lebih kecil daripada semesta itu sendiri. Berharap, agar alam raya ini kembali seimbang, kita masih punya harapan meskipun kecil. Seperti Mpu Prapanca yang punya harapan untuk memperbaiki dirinya sendiri, lewat menulis sebuah jurnal tentang Majapahit,” terangnya.

Astakosala membawakan 6 lagu yang dianggap memiliki semangat yang sama dengan Mpu Prapanca. Alamkara yang indah dengan syair “jatuh cinta”, Amurti Niskala yang bisa menyampaikan perasaan manusia yang ragu dan kembali berpasrah pada Hyang Widi-nya setelah sadar melakukan “ketersesatan” di dunia, Ilir-ilir dan Padang Bulan yang membuat kita percaha bahwa harapan baik itu masih ada.

Muhammad Muhklisin, praktisi pendidikan merasa kagum kepada Astakosala yang mempunyai dedikasi dalam mengenalkan kesusastraan Jawa Kuna. Menurutnya, dalam pendidikan musik menjadi media penting untuk menanamkan nilai-nilai kebudayaan.

“Sudah berabad-abad lalu, para sastrawan dan budayawan Jawa menggunakan gamelan dan karawitan sebagai strategi. Astakosala memperbaharui dengan kreativitas khas anak muda. Saya menikmati betul alunan kendang berharmoni dengan gitar dan musik elektronik. Saya kagum dengan anak-anak muda Astakosala ini. Penuh talenta dan berdedikasi pada kebudayaan,” katanya memberi pujian.

The post Di Pekan Kebudayaan Nasional, Astakosala Angkat Kisah Mpu Prapanca yang Terasing appeared first on BuddhaZine.

Di Vihara Avalokiteshvara Madura Ada Arca Buddhis Era Majapahit

$
0
0

Vihara Avalokiteshvara (Klenteng Kwan Im Kiong) Pamekasan merupakan salah satu dari 3 klenteng yang ada di Madura. Lokasinya terletak di Dusun Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, 14 km sebelah timur Kota Pamekasan, di sekitar Pantai Talang Siring. Apa uniknya?

Awalnya klenteng ini adalah sebuah bangunan bercungkup dengan atap daun kelapa yang dibangun sekitar awal tahun 1900-an, untuk menampung temuan patung-patung dari kerajaan Majapahit yang dikirim untuk salah satu kerajaan di Pamekasan.

Sekitar tahun 1400 M, Kerajaan Jamburingin (Proppo-Pamekasan) berencana membuat candi di pusat kraton. Majapahit sebagai induk penguasa wilayah Jamburingin membantu pembangunan candi dengan mengirim beberapa arca (patung) pemujaan.

Patung-patung tersebut dikirim dengan kapal laut lewat Pelabuhan Talang yang berjarak kurang lebih 35 km dari Jamburingin. Namun pengiriman ke lokasi candi gagal karena angkutan rusak. Penguasa Jamburingin lantas memutuskan untuk membangun candi di sekitar Pelabuhan Talang.

Saat Islam mulai menyebar di daerah Pamekasan, yang menyebabkan pembangunan candi di Pantai Talang pun tak kunjung terlaksana. Patung-patung kiriman dari Majapahit ditinggalkan orang, terbengkalai dan perlahan lenyap tertimbun tanah.

Hingga pada awal 1800-an patung-patung tersebut tidak sengaja ditemukan kembali oleh seorang petani ketika menggarap ladangnya. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan Bupati Pamekasan saat itu, Raden Adullatif Palgunadi yang bergelar Panembahan Mangkuadiningrat I (1804-1842) untuk mengangkat dan memindahkan patung-patung tersebut ke Kadipaten Pamekasan.

Namun, karena keterbatasan sarana, patung-patung tersebut gagal lagi untuk diangkut. Akhirnya patung-patung tersebut tetap dibiarkan berada di tempat semula ketika ditemukan.

Seratus tahun berselang, sekitar tahun 1900, sebuah keluarga keturunan Tionghoa membeli tanah yang mana patung-patung tersebut berada. Setelah dibersihkan, diketahui bahwa itu adalah patung-patung Buddhis aliran Mahayana versi Majapahit.

Patung-patung tersebut dikumpulkan dalam sebuah bangunan bercungkup dengan atap daun kelapa. Seiring waktu mulai dibenahi dan jadilah Vihara Avalokiteshvara (Kwan Im Kiong) Kelenteng Pamekasan sampai saat sekarang.

Masterpiece di sini adalah patung Bodhisattwa Avalokiteshvara (Kwan Im Pho Sat) gaya Majapahit dengan ukuran tinggi 155 cm, tebal tengah 36 cm dan tebal bawah 59 cm. Kwan Im bermudra anjali ini diapit dua pendampingnya yang merupakan arca baru.

Arca era Majapahit lain yang ditemukan di tempat ini adalah Tri Buddha (Sam Po Hud), yang di sini meliputi Buddha Amitabha, Buddha Amogasiddhi, dan Buddha Ratnasambhava. Semua arca terbuat dari batu hitam, namun sekarang diwarnai kuning keemasan.

Selain itu, keunikan lain adalah adanya pura Hindu dan langgar di dalam kompleks tempat ibadah Tridharma ini. Karena itulah, vihara ini memperoleh rekor MURI tahun 2009 sebagai vihara terunik yang di dalamnya terdapat bangunan ibadah agama lain.

The post Di Vihara Avalokiteshvara Madura Ada Arca Buddhis Era Majapahit appeared first on BuddhaZine.

Kehidupan yang Harmonis, Harapan Ribuan Umat Buddha di Vihara Mendut untuk Presiden

$
0
0

Minggu (20/10), pasangan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019 – 2024 dilantik. Ir. Joko Widodo dan Kyai Haji Ma’aruf Amin mengucapkan sumpah sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada sidang paripurna MPR RI di gedung MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta.

Di hari yang sama, di Vihara Mendut, Kota Mungkid, Magelang, ribuan umat Buddha berkumpul dalam acara Sangha Dana, perayaan Kathina. Acara dihadiri oleh 11 bhikkhu dan samanera, Bhikkhu Sri Pannyavaro mengajak umat Buddha untuk berdoa dan membacakan paritta agar pelantikan dapat berjalan dengan lancar.

”Saudara-saudara, hari ini akan berlangsung pelantikan kepala negara kita. Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa lima tahun yang akan datang, Bapak Insinyur Joko Widodo dan Prof. Dr. Kiyai Haji Ma’aruf Amin. Tentu para bhikkhu dan umat Buddha melakukan pattana, berdoa agar kepala negara bisa memimpin masyarakat, bangsa, dan negara ini,” tutur Bhante Sri Pannyavaro.

Bhante Pannyavaro berharap Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang dilantik dapat membawa kemajuan bagi bangsa. “Kita semua berharap, semoga Bapak Ir. Joko Widodo dan Prof. Dr. Kiyai Ma’aruf Amin bisa membawa Indonesia ini menuju kesejahteraan, kemakmuran, kehidupan masyarakat yang damai, dan harmonis.

“Saya mohon, kepada semua umat Buddha bersikap anjali, dan para bhikkhu bersama kami membacakan paritta manggala (keberuntungan/berkah) untuk kepala negara kita, presiden kita dan wakil presiden kita,” ajak bhante.

Pembacaan paritta manggala dilakukan oleh para bhikkhu yang dipimpin langsung oleh Bhante Sri Pannyavaro. Ribuan umat Buddha yang hadir bersikap anjali dan menundukkan kepala sembari merenungkan makna lantunan paritta-paritta suci yang dibacakan oleh para bhikkhu.

The post Kehidupan yang Harmonis, Harapan Ribuan Umat Buddha di Vihara Mendut untuk Presiden appeared first on BuddhaZine.

Melihat Perayaan Kathina Dana Umat Buddha Pulau Dewata

$
0
0

Hari Jumat, (18/10) pada pukul 15.00 WIT, di Vihara Dhammadana Jl. Baturiti Bedugul, Kecamatan Baturiti, Kab. Tabanan, Bali, mulai dipadati oleh ratusan orang. Mereka adalah umat Buddha Bali yang hendak mengikuti Sanghadana, perayaan Kathina 2019.

Sebelum itu, para umat yang hadir bercengkerama menikmati berbagai hidangan makanan yang sudah disediakan oleh panitia. Senyum terpancar dari wajah setiap orang, suasana terlihat begitu hangat, setiap orang menikmati perjumpaan dengan kawan sedhammanya.

“Memang kalau di Bali, hari raya umat Buddha yang paling disambut antusias adalah Kathina. Kita seperti muter terus ke vihara-vihara secara bergantian. Menjalin silaturahmi dengan umat Buddha dari daerah lain,” kata Pak Eddy Kencana, salah satu umat Buddha Bali memberikan keterangan.

Sebelum sore, umat sudah mulai memasuki ruang dharmasala, mereka duduk berbaris rapi dengan penuh keheningan. Ruang dharmasala berukuran besar dan tenda penuh oleh umat Buddha yang hadir. Puluhan umat bahkan harus duduk tanpa tenda peneduh.

Sanghadana dihadiri oleh lima orang bhikkhu perwakilan Sangha; Bhante Sucirano, Bhante Saccadhammo, Bhante Jayadhammo, Bhante Upasilo, dan Bhante Dhammaratano. Mereka adalah para bhikkhu pembina umat Buddha Pulau Bali dan Lombok yang melakukan masa vassa di dua pulau tersebut.

Masa vassa adalah masa berdiam di musim hujan bagi para bhikkhu. Di India dimana agama Buddha berasal, musim hujan biasanya jatuh sekitar Agustus – Oktober. Di zaman awal berkembangnya agama Buddha, bepergian di musim hujan bisa membuat kita menginjak hewan-hewan kecil dan tunas-tunas tumbuhan, juga tidak baik bagi kesehatan karena dahulu para bhikkhu berjalan kaki di hutan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, akhirnya selama tiga bulan musim hujan para biksu berdiam menetap di suatu tempat sekaligus digunakan sebagai kesempatan untuk melatih diri secara intensif. Keberhasilan para bhikkhu dalam menjalankan masa vassa ini kemudian disambut gembira oleh umat Buddha, dengan melakukan Sanghadana, memberikan persembahan kebutuhan pokok para bhikkhu.

“Sore ini, formasi bhikkhu lengkap. Bhante Sucirano bisa hadir di tengah-tengah kita, kesehatan beliau mulai membaik, semoga terus membaik. Ada budaya yang coba kita jaga dan lestarikan, yaitu berkumpulnya semua umat Buddha dari seluruh Bali, minimal perwakilan dari vihara-vihara. Sayang tahun ini dari Lombok tidak bisa hadir, hanya diwakili oleh para bhikkhu saja, karena kami habis terkena bencana gempa,” terang Bhante Saccadhammo, mengawali pesan Dhamma.

Senada dengan yang dituturkan oleh Eddy Kencana, bhante juga mengatakan bahwa perayaan Kathina Dana bagi umat Buddha Bali menjadi momentum reuni setahun sekali. “Ini adalah reuni tahunan, ini melebihi momentum hari raya lain dalam agama Buddha. Kita tidak meragukan hari Waisak yang menjadi perayaan umat Buddha di seluruh dunia. Tetapi khusus kita di Bali ini, saat Waisak, Asadha, Maghapuja belum tentu semua bhikkhu hadir selengkap ini. Karena saat Waisak, setiap vihara melakukan perayaan sendiri-sendiri. Tetapi Sanghadana, diusahakan dihadiri oleh para bhikkhu,” lanjut bhante.

Selain sebagai ajang berkumpul umat Buddha, Sanghadana juga menjadi kesempatan untuk berbuat kebajikan. Seperti pada masa sekarang, yang mana situasi bangsa Indonesia sedang panas jelang pelantikan presiden, bhante berharap umat Buddha juga peduli terkait situasi tersebut. “Saya juga mendapat pesan dari pembimas Buddha Provinsi Bali, beliau meminta kita semua untuk ikut mendoakan bangsa. Karena kalau kita membaca dan melihat di media-media suasana masih panas.

“Tetapi doa dalam agama Buddha ini tidak semata-mata meminta kepada para brahma, para dewa, bodhisattwa maupun kepada Buddha tetapi doa dalam agama Buddha harus hadir dari hati, serta dilaksankan dalam tindak-tanduk sehari-hari. Saya kira momen Sanghadana ini adalah momen kebajikan. Saya percaya bapak ibu ini sudah memahami bahwa kebajikan (dana) tidak hanya materi.”

Bhante juga menjelaskan tentang lima pihak yang layak menerima dana atau persembahan. Mereka adalah; Pertama, orang yang datang (tamu). Kedua, kepada orang yang bepergian. Ketiga, orang yang terkena musibah, gempa, banjir, kebakaran, kecelakaan. Kita memberi kepada mereka, karena kita tahu mereka membutuhkan dan layak untuk dibantu. Keempat, kepada orang sakit. Kelima, kepada orang-orang yang melakukan latihan moral, menjalankan sila,” pungkasnya.

Selesai mendengarkan ceramah Dhamma, para umat memberi persembahkan dana kepada bhikkhu Sangha.

The post Melihat Perayaan Kathina Dana Umat Buddha Pulau Dewata appeared first on BuddhaZine.

Jalan Terjal Pengembangan Buddhadharma di Tanah Belitung

$
0
0

Vihara Tathagata Buddha, Kota Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung menjadi pusat pembelajaran Buddhadharma anak-anak, dan remaja Pulau Belitung. Di vihara itu, setiap hari Minggu, ratusan anak-anak dan remaja melakukan pujabhakti, meditasi, bermain, dan belajar Dharma bersama guru agama Buddha yang mengajar mereka di sekolah.

Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Belitung, per 31 Agustus 2013, umat Buddha Belitung berada di urutan kedua setelah Muslim, yaitu sebesar 6,37%. Umat Buddha Pulau Belitung didominasi oleh masyarakat keturunan Tionghoa yang melakukan sembahyang di Klenteng. Karena itu, kehadiran Vihara Tathagata Buddha yang dibangun satu kompleks dengan Klenteng Kwan Im menjadi babak baru perkembangan agama Buddha di Pulau Belitung.

Klenteng Kwan Im sendiri telah ada sejak masa penjajahan Belanda. Menurut cerita masyarakat setempat, pembangunan Klenteng Kwan Im berawal dari kedatangan seorang tabib dari Tiongkok berjuluk Suhu Chong. Semasa hidupnya, Suhu Chong kerap membantu masyarakat dalam hal pengobatan. Hingga suatu masa, muncul penyakit-penyakit aneh yang tidak dapat disembuhkan dan berujung pada kematian.

“Dalam kondisi seperti itu, mendorong Suhu Chong untuk pulang ke Tiongkok. Sekembalinya dari Tiongkok, Suhu Chong membawa satu patung Kwan Im dan dibikin tempat kecil untuk sembahyang. Perpaduan spiritual dan ilmu pengobatan Tiongkok ini yang dipakai oleh Suhu Chong untuk mengobati masyarakat waktu itu. Di sini kemudian banyak penduduk yang terbantu yang akhirnya membantu dana untuk membangun klenteng kecil,” turur Romo Aryindra Yapriadi, Ketua Vihara Tathagata Buddha kepada BuddhaZine, Minggu (29/9).

Seiring berjalannya waktu, Klenteng Kwan Im semakin berkembang. Seorang bernama Aliung, kelahiran Belitung mengajak para umat Klenteng untuk proses pengembangan Buddhadharma dengan membangun vihara, vihara itu kemudian diberi nama Vihara Tathagata Buddha dan diresmikan pada tahun 1994. “Kami menggandeng Sangha dan Majelis Buddhayana untuk membangun vihara. Kemudian mendatangkan guru-guru agama Buddha dari Jawa, dari Boyolali. Di sini mulai diajarkan agama Buddha yang ‘sesungguhnya’,” lanjut Romo Aryin.

“Jadi pada waktu itu saya juga sebagai guru banyak sekali kendala,” tutur Kundarto, seorang guru agama Buddha mengenang.

 

Perlu terobosan baru

Dengan segala keterbatasan tenaga, guru-guru agama Buddha fokus mendidik anak-anak dan remaja Buddhis. Datang ke vihara pada hari Minggu menjadi wajib bagi siswa-siswi di sekolah Pak Kundarto, Pak Eko Purnomo, dan guru-guru agama Buddha lain. “Anak-anak, SD, SMP dan SMA itu generasi yang menjadi fokus kita. Kalau orang tua itu masih kuat tradisinya, kita ajak kebaktian itu susah, mereka sembayang sendiri di klenteng. Kalau kita ajak kumpul di vihara, kemudian kita kasih ceramah susah.” terang Eko Purnomo, guru asal Lampung.

Eko Purnomo, menjadi generasi ke dua guru agama Buddha yang datang ke Pulau Belitung. Ia mengajar di SD Negeri 5 Tanjung Pandan dan beberapa sekolah SMP dan SMA sebagai guru tambahan. “Waktu pertama kali masuk ada 90 siswa Buddha, tapi semakin ke sini semakin kurang. Sekarang murid saya tinggal 25 orang di SD 5 Tanjung pandan, kalau SMP saya juga ngajar SMP PGRI ada sekitar 70’an siswa. SMA ada ratusan, tapi saya ngajar hanya kelas 10 sekitar 40 orang”.

Sedangkan Sunyi Suzana, Guru Agama Buddha SMK Negeri Tanjung Pandan mengajar 102 siswa beragama Buddha. “Sebenarnya di beberapa sekolah, siswa Buddhis jumlahnya cukup banyak. Di sekolah saya saja lebih dari 10% dari jumlah keseluruhan siswa. Tetapi pengetahuan Buddha Dharmanya masih sangat minim, baru setelah ada guru agama Buddha, anak-anak mulai belajar Dharma,” kata guru yang baru tiga bulan tinggal di Belitung itu.

The post Jalan Terjal Pengembangan Buddhadharma di Tanah Belitung appeared first on BuddhaZine.

Ribuan Umat Secara Khusyuk Mengikuti Perayaan Kathina di Wihara Ekayana Serpong

$
0
0

Sekitar seribu delapan ratus umat Buddha merayaan Kathina di Wihara Ekayana Serpong yang berlangsung hari Minggu pagi tanggal 3 November 2019. Umat sangat antusias merayakan hari Kathina bersama seluruh anggota keluarganya.

Perayaan Kathina diadakan setelah berakhirnya masa vassa, yaitu masa para biksu dan biksuni berdiam di satu tempat selama tiga bulan. Selama masa tersebut mereka meningkatkan latihan meditasinya, sehingga mengalami banyak kemajuan batin. Oleh karena itu, umat perumahtangga sangat bahagia jika pada saat perayaan hari Kathina dapat memberi persembahan kepada Sangha (komunitas para biksu dan biksuni).

Pada perayaan Kathina ini, umat Buddha secara khusus berdoa untuk keselamatan dan kejayaan negara dan bangsa Indonesia. Steven Surya sebagai Ketua Panitia Perayaan Kathina mengatakan bahwa momen Kathina ini merupakan suatu berkah bagi umat Buddha untuk berdana kepada Sangha. Perayaan ini dihadiri oleh Pimpinan Wihara Ekayana Bhante Aryamaitri Mahasthawira serta anggota Sangha lainnya.

Perayaan Kathina diawali dengan pindapata yang merupakan kesempatan bagi umat perumahtangga mempersembahkan dana bagi pengadaan salah satu kebutuhan pokok para biksu/biksuni, yaitu makanan. Para biksu-biksuni dengan membawa mangkuk terlihat berjalan hening, eling, dan waspada di halaman Wihara Ekayana Serpong untuk menerima persembahan dari umat perumahtangga.

Setelah pujabhakti, sekitar seratus umat mengikuti Upacara Wisudhi Trisarana dan Upasaka/Upasika. Tujuan wisudhi adalah memperteguh keyakinan kepada Buddha, Dharma, dan Sangha, serta berlatih sebagai umat awam melaksanakan Pancasila Buddhis.

The post Ribuan Umat Secara Khusyuk Mengikuti Perayaan Kathina di Wihara Ekayana Serpong appeared first on BuddhaZine.


Sarasehan Kebangsaan di Surabaya Ingatkan Kembali Jadi Manusia Indonesia

$
0
0

Persatuan Indonesia telah digaungkan sejak 91 tahun silam. Seruan itu muncul dari gagasan generasi muda, yang kini kita kenal sebagai hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Untuk merayakan peristiwa bersejarah itu Young Biddhist Association (YBA) menggelar sebuah acara Sarasehan Kebangsaan bertajuk Merayakan Indonesia, Senin (28/10). Acara ini digelar di Auditorium Fakultas Kedokteran, Gedung MA lantai 6 Kampus Universitas Surabaya Tenggilis, Jl. Raya Kalirungkut, Surabaya.

Tidak tanggung-tanggung dalam Sarasehan Kebangsaan menghadirkan tiga tokoh Bangsa, yaitu; Bhikkhu Nyana Suryanadi dan Kyai Haji Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) serta seorang pengusaha dan aktivis sosial Harjanto Halim dengan moderator Prof. Sujoko Efferin, seorang dosen senior yang menjabat sebagai Ketua Pusat Kewirausahaan dan Inovasi Universitas Surabaya (Ubaya).

Pertunjukan salah satu seni daerah, tari Gaba-gaba dari Manado, Maluku Utara yang dibawakan oleh kolaborasi mahasiswa pertukaran pelajar menjadi pembuka acara ini. Hal ini memberikan pesan betapa keragaman dan budaya Indonesia dapat dicintai dan dapat diterima oleh seluruh bangsa-bangsa. “Saya sangat suka dengan budaya Indonesia, ketika saya melihat dan mendengar tarian itu (Gaba-gaba) dari dosen, saya tertarik untuk belajar,” kata salah satu penari.

Penari dari Negara Panama itu menurutkan banyak pelajaran berharga selama berlatih dan menari Gaba-gaba. Ia mengaku membutuhkan 8 Minggu untuk bisa menari bersama, mengatur kekompakan. “Ada dua pelajaran yang bisa kita petik dalam tarian ini, yaitu kerjasama dan ekspresi kebahagiaan,” imbuhnya.

Pesan para guru

Harojanto Halim, sebagai narasumber pertama menyampaikan beberapa tiga poin penting yang bisa dijadikan prinsip dalam menjaga keharmonisan dalam keberagaman. Pertama menghapus stereotipyng, berdasarkan pengalamannya sewaktu penjadi penggerak perayaan Kopi Semawis di Semarang, ternyata beliau pun baru menyadari bahwa di dalam dirinya menyimpan stereotipyng yang menjadi salah satu faktor sulitnya menerima dan berdamai dengan perbedaan yang ada dalam dirinya dan orang lain.

“Saya sangat senang sekali ketika Kopi Semawis ini berjalan lancar bahkan saya sempat lihat seorang perempuan yang pasti muslim karena berjilbab. Perempuan ini sedang foto di depan shio yang dipajang. Kan ada 12 shio yang dipajang untuk foto-foto, dan perempuan ini foto di depan gambar shio babi, dan akhirirnya saya penasaran saya tanya, ‘lho mbak kamu kok fotonya di depan gambar babi?’ Dia jawab, ‘lho itu shio saya kok.’ Saya tanya lagi, ‘lho kamu kok tahu kalau shio kamu Babi?’ Dia jawab lagi, ‘lha kan emak saya Tionghoa.’ Oalah, saya bergumam.

“Tapi dari hal ini saya baru saja tersadarkan ternyata saya pun muncul stereotipyng, ‘ini perempuan berjilbab nggak mungkin kalau tahu tentang shio, apalagi foto di depan shio babi’.  Tapi ini benar terjadi. Artinya apa? Kita sering kali sadar atau tidak telah melakukan stereotipyng. ‘Owh Cina itu pelit, isinya cuma duit aja, macem-macem tapi intinya dosa, banyak dosa. Inilah stereotipyng yang muncul.

“Nah terkait pembelajaran berbangsa jelas harus juga mengikis stereotipyng. Tidak semua Tionghoa begitu, tidak semua Jawa begitu, tidak semua muslim begitu, tidak semua Nasrani begitu dan yang lain-lain. Ini yang harus dikikis, stereotipyng yang mendegradasi nilai kemanusiaan,” lanjutnya.

Kedua melestarikan budaya dan tradisi. “Dalam perjumpaan saya di Semawis, di sekolah Karang Turi, saya menjumpai berbagai macam hal yang menurut saya, saya selalu harus masuk untuk tanda petik mendidik dan mengarahkan. Di kantor bahkan di rumah saya selalu menggelorakan apa itu kearifan lokal. Saya itu tiap kali buka kantor, dan setiap Suro saya pasti selamatan. Itu di kantor, kalau di rumah saya ngundang modin. Lho muka saya gini tapi Alfatikah saya apal,” ungkapnya disambut riuh tawa audiens.

Ketiga, kontekstualisasi ritual keagamaan dengan alam dan tradisi setempat. Harjanto memberikan contoh,”Saya pengurus satu perkumpulan Tionghoa yang tertua. Dan mungkin itu satu-satunya perkumpulan Tionghoa yang di altar leluhurnya ada papan nama dengan tulisan K.H. Abdul Rahman Wahid, mantan Presiden Republik Indonesia.

“Kemudian kaitannya dengan alam, kalau di Buddhis ada yang namanya Fangsen. Ketika Fangsen menurut saya juga harus memperhatikan lingkungan alam atau habitat hewan yang akan di Fangsen. Misalnya, kalau mau Fangsen burung emprit yang ditangkap di desa yang masih banyak tanaman padinya kemudian dilepas di perkotaan apalagi perkotaan yang padat jelas tidak ada area pertanian atau tanaman-tanaman penyedia pangan burung emprit. Lalu bagaimana nasib burung emprit yg dilepas di perkotaan ini, mau makan apa setelah dilepas? Ini salah satu contoh kotekstualisasi ritual keagamaan dengan alam,” pungkasnya.

Sedangkan Bhikkhu Nyana Suryanadi berbagi pemikiran yang melihat dari kacamata modernisasi yang kian mengancam keharmonisan dalam perbedaan. Beliau memberikan kiat-kiat bagaimana menjaga keberagaman dalam era digital.

Tidak mungkin kita menjalani kehidupan ini sendiri, tanpa bantuan orang lain bahkan sekalipun orang lain itu mungkin kadang kita benci karena berbeda dengan kita. Namun dengan kesadaran bahwa hidup ini saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain.

Sementara sudut pandang lain yang tidak kalah menarik dikemukakan oleh Gus Mus seorang Guru Besar yang merupakan tokoh intelektual Islam kelahiran Rembang, Jawa Tengah. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, Leteh, Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU.

Dalam salah satu pesan singkatnya beliau mengajak dan mengajarkan kita bagaimana berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan yang memberikan anugerah istimewa kepada kita dalam wujud negara Indonesia.

“Sudah selayaknya kita bersyukur sebagai manusia dengan menjaga kemanusiaan kita, menjaga akal, dan nurani kita. Kemudian kita bersyukur diberi anugerah Indonesia dengan menjaga Indonesia ini dengan sebaik-baiknya. Jaga Indonesia beserta keragamannya. Saya mengajak bersyukur kepada semuanya kita diciptakan sebagai manusia terlebih sebagai manusia Indonesia. Dan saya lebih bersyukur lagi anak-anak muda di sini masih mau menjaga Indonesia dengan mengadakan sarasehan kebangsaan merayakan Indonesia Raya ini dalam rangka Sumpah Pemuda,” pesan Gus Mus.

The post Sarasehan Kebangsaan di Surabaya Ingatkan Kembali Jadi Manusia Indonesia appeared first on BuddhaZine.

Buddhis-Muslim Perlu Memperkuat Komunikasi

$
0
0

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama RI, Caliadi secara resmi membuka International Buddhist Conference Indonesia (IBCI) 2019 di Auditorium Royal Orchid Garden, Batu, Malang, pada Selasa (5/11). Didampingi oleh Bhante Santacitto, Supriyadi, dan Kadek Yudi Murdana selaku ketua panitia penyelenggara, Caliadi membuka acara dengan dentang suara gong.

International Buddhist Conference Indonesia (IBCI) 2019 digelar oleh Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Kertarajasa bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian RI. Acara yang diikuti oleh ratusan mahasiswa, dosen, akademisi serta delegasi berbagai kampus Buddhis di Indonesia menghadirkan 22 pemateri dari negara-negara ASEAN; Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Myanmar.

“Konferensi Buddhis Internasional ini mengundang 22 pembicara dari Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Indonesia. Tujuan konferensi ini adalah untuk mengekspolrasi upaya untuk mempererat hubungan Buddhis dan Muslim, mengetahui upaya media untuk merepresentasikan harmoni antara Buddhis dan Muslim; menemukan nilai moral antara Buddhis dan Muslim melalui histori, dan praktik, pengetahuan, dan ritual; dan upaya yang dapat dilakukan perempuan untuk menciptakan kedamaian,” jelas Bhante Santacitto memberi sambutan.

Sedangkan Caliadi berharap perhelatan akbar itu membawa banyak manfaat terutama bagi PTAB di Indonesia. “Upaya peningkatan Perguruan Tinggi Agama Buddha di Indonesia untuk menghasilkan karya ilmiah berkualitas dan dapat berperan di dunia internasional, untuk bertukar informasi, menjalin kerja sama antar PTAB dan secara internasional, dan membuka peluang untuk artikel ilmiah para panelis dapat terbit dalam jurnal internasional,” paparnya.

Konferensi berlangsung selama 3 hari, Selasa – Kamis, 5 – 7 November 2019. Berbagai pokok bahasan yang bertujuan untuk memperkuat relasi Buddhis-Islam di Asia Tenggara akan dibahas dalam empat panel besar.

Pertama, upaya institusi pendidikan, social work, dan welfare organisasi dalam memperkuat hubungan Buddhis dan Islam. Kedua, upaya media dan literasi media dalam memperkuat harmoni relasi Buddhis-Islam. Ketiga, menemukan nilai-nilai yang bermanfaat antara Buddhis dan Islam secara histori, teks, praktik, pengetahuan, dan ritual. Keempat, partisipasi dan promosi perdamaian dan harmoni religius.

Memperkuat relasi Buddhis Muslim di Asia Tenggara

Mantan Menteri Agama RI, Lukman Hakim dan Imtiyaz Yusuf menjadi pembicara utama mengawali konferensi. Mereka berdua masing-masing membawakan materi.

Lukman Hakim Syaifuddin, sebagai pembicara utama mengawali konferensi menyatakan bahwa dalam memaknai ajaran suatu agama yang beragam diperlukan kearifan, karena keberagaman is given. Kemajemukan dalam ajaran agama adalah apa adanya yang tidak bisa ditolak siapa pun. Untuk memahami ajaran agama secara tekstual ada dua jenis menurut mantan Menteri Agama itu, yakni konservatif dan liberalisasi.

“Cara kita mengikapi teks agama, masuk pada wilayah ekstrem. Yang dimaksud ekstrem di sini adalah berlebihan. Pertama, secara konservatif dengan pemahaman untuk memelihara kemurnian suatu agama tanpa melihat konteks. Sedangkan cara memahami agama secara liberalisasi adanya kebebasan untuk menerjemahkan suatu teks. Kalau liberalisasi, begitu bebasnya menerjemahkan teks, sehingga jadi terlalu bebas, diperlukan moderasi cara beragama, bukan agama yang dimoderasi,” katanya.

Setiap agama pada dasarnya memiliki ajaran yang sama untuk menghargai dan menghormati. “Jadi, melalui konferensi adalah untuk mengetahui titik temu antara dua agama, Islam dan Buddha. Tujuan konferensi ini adalah untuk mengetahui inti pokok ajaran Buddha dan Islam dapat dipahami dengan baik agar hidup lebih baik,” imbuhnya.

Untuk memoderasi cara beragama, dibutuhkan budaya dan pendidikan. Secara umum, ajaran agama agar bisa membumi harus membaur dengan budaya setiap daerah. Cara merawat budaya juga dengan menanamkan kebajikan yang bersumber dari nilai-nilai agama. Supaya nilai agama dapat dibudayakan, maka diperlukan sistem pendidikan yang baik agar memelajari agama tidak hanya secara teks melainkan sesuai konteks.

Imtiyaz Yusuf yang menjadi pembicara kedua membawakan materi Former Minister of Religion Affairs dan Stregthening Buddhist-Islam Relation in South East Asia. Dalam pemaparannya, DR. Imtiyaz mengatakan bahwa agama Buddha dan agama Islam adalah agama yang memiliki populasi hampir sebanding di Asia Tenggara. Penganut agama Buddha sekitar 40% sedangkan agama Islam 42%. Karena itu, menurut Imtiyaz kedua agama ini berperan penting dalam membentuk harmoni agama di Asia Tenggara.

“Kalau ditanya mengapa saya tertarik dengan agama Buddha? Jawabannya adalah ‘takdir’. Saya memelajari Buddha secara detail di Thailand. Saya suka ajaran belas kasih, kebaikan, dan toleransi yang merupakan ajaran dari Buddha,” kata Imtiyaz memulai pemaparannya.

“Pada abad 12-17, Buddhis dan Islam masuk ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Yang kemudian muncul namanya pondok pesantren (Buddhist Temple School) dari tradisi Buddhis,” Jelasnya.

“Ada pesan kebenaran yang sama antara Buddha dan Muhammad. Kalau Buddha tentang ajaran cinta kasih, belah kasih, perdamaian yang berujung pada Nibbana/Sunyata. Muhammad mengajarkan bebas dari penderitaan yang berujung pada Allah,” tegas Dr. Imtiyaz Yusuf.

Masih ada ketidakharmonisan di antara keduanya, “Sebenarnya masalah yang terjadi hingga saat ini adalah kesalahpahaman antara Buddhis dan Muslim,” tegas Dr. Imtiyaz Yusuf. Oleh karena itu, diperlukan dialog yang lebih mendalam dan praktik toleransi supaya tidak terjadi kesalahpahaman.

Pada ujung pemaparannya, Dr. Imtiyaz Yusuf menyimpulkan bahwa Buddha dan Islam memiliki persamaan budaya, dialog akan membantu menyelesaikan masalah, dan dari Islam bisa mengundang bhikkhu untuk mengajarkan tentang welas asih dan sebaliknya.

The post Buddhis-Muslim Perlu Memperkuat Komunikasi appeared first on BuddhaZine.

Kebudayaan Sebagai Akar Bersama

$
0
0

Salah satu pokok bahasan penting dalam perhelatan Internasional Conference Buddhist Indonesia (IBCI) 2019, di Batu, Malang adalah peranan media dalam membangun relasi Buddhis-Muslim. Di era keterbukaan informasi seperti saat ini, pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik mempunyai pengaruh besar terhadap cara pikir masyarakat.

“Sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakan media sosial seperti WhatsApp, Instagram, Twitter, dan Facebook. Semua media sosial tersebut pada dasarnya menjadi media penyebaran berita juga, dan tidak dapat dihindari juga hoax bisa menjalar ke mana pun,” kata Wahyudi Akmalia, seorang peneliti di pusat kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Wahyudi Akmaliah menjadi salah satu dari tujuh panelis dalam panel dua dengan pokok bahasan; Peran Media dalam Menciptakan Harmoni Relasi Buddhis-Muslim, Selasa (5/11).

Pengunaan internet khususnya masyarakat Indonesia semakin meningkat apabila ada salah satu topik yang hangat. Terutama bila berkaitan dengan isu politik, mendekati pemilihan umum. “Ini benar-benar kita rasakan menjelang, saat dan setelah pemilu 2019 kemarin. Penggunaan internet oleh sebagain besar rakyat Indonesia juga semakin meningkat. Hal ini membuktikkan bahwa media berpengaruh besar terhadap opini masyarakat untuk mengikuti berita hangat dan sedang berlangsung,” jelas Wahyudi.

Salah satu contoh dahsyatnya pengaruh pemberitaan media dan hoax juga terjadi tahun 2016, kasus Meliana. Berdasarkan hasil penelitian Dr. Irwansyah (Kepala Program Studi Sosiologi-Agama di Universitas Islam Sumatera Utara) dan Muhammad Jailani (Dosen Program Studi Sosiologi-Agama di Universitas Islam Sumatra Utara), kasus yang dialmi oleh Meliana hanya karena kesalahpahaman akibat hoax melalui media sosial.

“Saat itu menurut pengakuan Meliana, beliau sedang sakit dan minta suara adzan di masjid dekat rumahnya untuk dikecilkan. Lalu pukul 21.00 rumah Meliana didatangi oleh warga Muslim setempat. Kemudian pukul 23.00 rumah Meliana dan beberapa tempat ibadah umat Buddha dilempari batu, dibakar,” terang Irwansyah.

Agar kesalahpahaman dalam memahami agama lain tidak terjadi perlu adanya sikap kritis dalam menganalisis berita. “Membaca fakta yang dikonstruksi suatu berita. Intinya kita harus kritis, kritis memahami berita. Sehingga, media dapat membantu menyebarkan harmoni toleransi khususnya dalam relasi Buddhis-Muslim,” tegasnya.

Peran BuddhaZine 

Ngasiran, wartawan BuddhaZine yang menjadi salah satu panelis dalam forum ini bercerita bagaimana BuddhaZine mampu menjadi jembatan relasi harmoni antaragama. “Pada awalnya, BuddhaZine didirikan untuk menghadirkan berita terbaru tentang Buddhadharma di Nusantara dan perkembangan Buddhadharma internasional. Kemudian berkembang ke arah penyebaran informasi tentang budaya, sejarah, arkeologi, dan isu sosial yang berkorelasi dengan agama Buddha,” tutur Ngasiran.

Menurut Ngasiran, kontribusi BuddhaZine semakin terlihat nyata setelah diputuskan secara bersama untuk berpindah kantor dari kota (Jakarta) ke sebuah dusun Buddhis di Temanggung. Berbagai pemberitaan tentang nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Temanggung, khususnya Dusun Krecek, Desa Getas, Kec. Kaloran setidaknya menawarkan referensi baru bagi relasi antaragama.

Tahun ini (2019), kami pindah kantor dari Jakarta ke Dusun Krecek, Temanggung, karena kami ingin lebih dekat dengan masyarakat desa. Tetapi itu tidak mengubah tujuan BuddhaZine, yaitu memberitakan Buddhadharma dari seluruh tanah air dan Indonesia. Hanya saja, intensitas pemberitaan memang lebih banyak pemberitaan dari desa, seperti Temanggung, nilai-nilai lokal dari beragam tradisi dan budaya masyarakat desa yang kadang luput dari perhatian media ini menurut saya sangat menarik diberitakan.

Perubahan ke arah positif juga terlihat bagi perkembangan Dusun Krecek saat ini. Dengan masyarakat 99% beragama Buddha, Dusun Krecek tidak menutup diri dari dunia luar. Bahkan dalam perkembangannya, selain menjadi pusat kegiatan umat Buddha, Krecek juga sudah menjadi rumah bersama bagi masyarakat lintas agama.

Kebudayaan sebagai akar bersama

Sebagai contoh ketika Waisak. Waisak secara sederhana merupakan perayaan besar bagi umat Buddha. Namun di wilayah Temanggung rata-rata dirayakan secara bersahaja. Dalam konteks yang lebih luas, karena masyarakat Temanggung menganut berbagai ragam keyakinan agama, pertemuan antara para pemeluk agama yang berlainan tersebut berbaur dalam nilai-nilai kearifan lokal.

Salah satu bentuk kearifan lokal tersebut adalah Nyadran. Nyadran sendiri merupakan sebuah acara adat yang mampu menembus sekat agama. Nyadran yang dimaknai sebagai bentuk bakti pada leluhur, misal pada upacara Nyadran di Dusun Gletuk, Desa Getas, Kaloran, yang digelar setiap tahun. Di sana masyarakat yang turut hadir dari elemen masyarakat Dusun Krecek dan Dusun Gletuk.

Dusun Gletuk didominasi oleh pemeluk agama Islam, Dusun Krecek didominasi oleh pemeluk agama Buddha. Dari dua dusun tersebut perbedaan menjadi lebur, hal ini tercermin saat pelaksanaan upacara Nyadran di makam, masyarakat yang hadir bisa duduk dan berbaur menjadi satu, doa dari umat Islam dan doa dari umat Buddha beriringan saling mengisi. Tak ada yang mendebatkan, siapakah yang harus berdoa terlebih dahulu, ataupun doa dari umat manakah yang lebih baik, karena sudah tak ada lagi sekat agama.

Kesenian tradisi termasuk dalam ruang perjumpaan antaragama. Ketika masyarakat Temanggung khususnya, beraktivitas kesenian mereka tak pernah membeda-bedakan agama. Ada suatu peristiwa menarik, ini terjadi pada 2018, peristiwanya adalah ketika ada perayaan Waisak di Candi Borobudur saat itu, ada kelompok seni kuda kepang Kaloran yang secara anggotanya didominasi oleh umat Buddha lebih memilih untuk memenuhi undangan pertunjukan seninya daripada khusyuk beribadah namun abai dalam kerukunan sosial.

The post Kebudayaan Sebagai Akar Bersama appeared first on BuddhaZine.

Mbah Ngari, Pemeluk Buda Jawi Wisnu Terakhir di Dukuh Gedangan, Malang

$
0
0

Kali ini kita akan jalan-jalan ke Malang, bedanya adalah ini bukan jalan-jalan biasa. Kita akan sowan ke sesepuh desa, di Dukuh Gedangan, Desa Gondowangi, Kec Wagir, Malang. Transportasi ke dukuh ini kurang lebih dapat ditempuh dalam 45-60 menit dari stasiun kereta dengan menggunakan mobil.

Mbah Ngari sekarang berusia 75 tahun, ketika sedang sowan, beliaunya usai keluar dari rumah sakit karena perawatan kesehatan, meski demikian beliau tetap menyediakan waktu untuk berbagai pengalaman hidup.

Sebelum sesi tanya jawab dengan Mbah Ngari, apa itu Buda Jawi Wisnu? Buda Jawi Wisnu mulai berdiri pada tanggal 25 November 1925, dengan pemimpinnya Resi Kasumodewo berasal dari Solo, menurut penjelasan Mbah Ngari. Sebaran dari Buda Jawi Wisnu secara garis besar ada di Jawa Tengah maupun Jawa Timur

Berikut sesi tanya jawab bersama Mbah Ngari pada Kamis (7/11) di kediamannya.

Ada berapa penganut Buda Jawi Wisnu di sini Mbah?

Ya tinggal saya saja, karena sudah tidak ada temannya lagi. Secara administrasi ya di KTP kolom agamanya Hindu.

Buda Jawi Wisnu itu apa?

Mohon maaf karena tidak bisa menerangkan secara terang, pada intinya adalah ajaran yang ada di tanah Jawa, kawruh tentang sangkan paraning dumadi.

Mantramnya bagaimana?

Mantram itu kalau dalam bahasa Islam ya doa, kurang lebih begini, “Hong wilaheng awignam astu nama sidham, luputta sarik lan sandi, luputta dendaning tawang towang jagat dewa bathara yang jagat  pramu dhita buwana langgeng.”

Maknanya, lha ya agar supaya semua mendapat berkah kebaikan, dijauhkan dari keburukan.

Apakah di mantram tertentu menyebut Buddha Gautama?

Tidak ada.

Menyebut Avalokiteshvara ada?

Tidak ada.

Bagaimana dengan sesajinya?

Kalau Jawa Buda, itu mempersembahkan pisang satu tangkep. Daksina, bumbu masak, kelapa wungkul. Untuk pisangnya, pisang raja. Bunga, sari, dupa, telur ayam.

Apakah setiap bulan purnama atau bulan mati, ada menghaturkan sesaji?

Ya, ada.

Resi Kasumodewo dari mana?

Beliau dari Solo dan yang menyebarkan Buda Jawi Wisnu ini.

Kalau sembahyang objek sucinya apa atau bagaimana?

Kalau saya, sembahyang Buda Jawi objeknya ya napas. Kemudian ya doa itu tadi.

Di Buda Jawi Wisnu apakah menyembahyangi sumber-sumber mata air?

Kalau setau saya kok tidak, lebih menekankan pada aspek mengolah batin. Lebih banyak mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih pada Tuhan.

Di altar ada patung?

Di altar ya tidak ada apa-apa, hanya membawa sesaji saja. Malam Rabu (Buda) biasanya. Di meja ya tidak ada foto siapa-siapa, untuk taplak mejanya pun tidak ada ketentuan warna apa pun.

Ada persyaratan saat sembahyang?

Ya, bersuci dulu dengan air agar bersih. Kalau pakai sarung, sarungnya sidomukti. Kalau pakai atasan, atasannya surjan. Menggunakan iket atau blangkon.

Kalau ada Waisak, ikut?

Tidak, itu kan Buddha.

Jadi hari rayanya kapan?

Setiap Rabu Wage, bulannya Suro. 1 Muharram, Rabu Wage.

Ada acara apa ketika hari raya?

Ya, saling silaturahmi. Syukuran.

Sebelum jatuh hari raya, ada laku khusus?

Puasa sebulan penuh. Kalau Buda, berbuka dan sahurnya hanya sekali saja setiap jam lima sore misalnya. Selama satu bulan pun tidak boleh berhubungan suami istri. Kalau melanggar, ya mandi besar atau mandi keramas.

Kok bisa penganut Buda Jawi Wisnu hanya tinggal Mbah Ngari saja di sini?

Ya bagaimana, administrasi negara juga. Anak muda ya ada, tapi itu dulu, sekarang sudah pada tua-tua, dan juga sudah banyak yang meninggal juga.

Ada acuan kitab sucinya?

Nah, itu masalahnya, bukunya itu sudah dimakan rayap. Kitab sucinya ya laku hidup, kalau saya. Kalau untuk bukunya secara intisari ya tentang berbagai macam pelajaran hidup. Ditulis dalam aksara Jawa.

Di rumah ini ada foto Semar, apa maknanya?

Samaran. Sem peteng, mar padang. Manusia itu bisa gelap, bisa juga terang. Manusia itu ada dua pilihan, pilihan menjadi terang atau gelap, tergantung pada manusianya.

Bagaimana laku Buda Jawi Wisnu?

Sabar lan narima, sabar dan menerima, tidak mudah terpancing emosi. Karena kawruh itu, artinya mekar sebelum melihat. Contoh, kalau perbuatan kita itu akan menghasilkan hasil yang tidak baik, ya tidak perlu dilakukan. Susah menjalankannya kalau tidak sering diterapkan.

 Agar menjadi Buda Jawi Wisnu tahapannya bagaimana?

Ya itu, yang penting lakunya. Kalau saya dulu jadi penganut Buda itu karena almarhum bapak juga penganut Buda. Lakunya sabar lan narima. Karena apa pun penganut agamanya, kalau sudah menjalankan laku ini, ya kebenaran itu kan bisa untuk semua.

Rela kalau Buda Jawi Wisnu akan lenyap?

Ya mau bagaimana, saya legowo. Hanya sayang saja. Ajaran Buda ini tidak ada jeleknya.

Ada saran Mbah, agar ajaran ini tidak lenyap dari tanah Jawa?

Laku itu tadi. Kalau secara administrasi negara kan sudah tidak bisa. Orang hidup itu kan yang penting lakunya.

Meditasinya bagaimana?

Ya, biasanya setiap jam dua belas malam, setiap malam Rabu (Buda). Meditasinya ya semampunya saja.

Ada pesan lagi Mbah?

Saya hanya mau menyampaikan, ke depan yang bakal dirindukan oleh orang Jawa di tanah Jawa itu…

(*Untuk yang terakhir tadi mohon jangan ditulis, silakan buka sastra Sabda Palon Nayagenggong, pungkas Mbah Ngari mengakhiri pembicaraan kami.)

The post Mbah Ngari, Pemeluk Buda Jawi Wisnu Terakhir di Dukuh Gedangan, Malang appeared first on BuddhaZine.

8 Rekomendasi Konferensi Buddhis Muslim

$
0
0

Semua agama memiliki esensi perdamaian dan harmoni yang sama yakni kebahagiaan semua makhluk. Meskipun begitu, ketegangan antarpemeluk agama masih sering terjadi, termasuk hubungan buddhis – muslim, dan itu perlu dipertimbangkan sebagai fakta sejarah.

Sebagai contoh; konflik yang terjadi di antara perbatasan Myanmar dan Bangladesh, masalah terjadi pada minoritas etnis Rohingya yang sebagian besar muslim, mereka mendapatkan tindakan tidak adil dari masyarakat tertentu atas nama umat Buddha. Sebaliknya di Indonesia, gesekan mayoritas muslim ke umat Buddha juga terjadi. Seperti pada tahun 2014 beberapa orang yang mengatasnamakan muslim menyerang sejumlah vihara Buddha di Sumatera.

Hubungan harmonis, relasi buddhis-muslim sebenarnya sudah terjalin dan mengakar di masyarakat perdesaan Indonesia. Berdasarkan laporan penelitian Centre of Asian Studies (Cenas), yang diterbitkan dalam buku berjudul; Berpeluh Berselaras Buddhis-Muslim Meniti Harmoni tahun 2010, menjunjukkan keselarasan hidup antarpemeluk agama Buddha dan Islam.

Dari tidak daerah yang menjadi sampel Cenas yaitu; Bayuwangi, Temanggung, dan Malang memperlihatkan fakta-fakta menarik tetang hubungan relasi Buddhis-Muslim yang bisa dijadikan bahan pelajaran berharga saat ini. Di Temanggung misalnya, kearifan lokal, warisan budaya dan memori kolektif masyarakat yang mampu menjadi pemersatu kedua komunitas berbeda keyakinan namun memiliki kesamaan akar.

Seperti juga yang disampaikan oleh Prof. Imtiyaz Yusuf, pakar relasi buddhis-muslim, sejarah kedekatan buddhis muslim di Asia Tenggara telah terjadi sejak berabad-abad lalu. Karena itu, Ia memberi arahan supaya dialog buddhis-muslim bisa kembali diadakan. “Perlunya kembali ada dialog bersama diantara Umat Buddha dan umat Islam, ini bisa dimulai dari common history pertemuan Buddhis dan Islam di Asia Tenggara yang khas. Pertemuan dan saling belajar dari umat muslim di abad-abad awal menjadi bukti dekatnya dan akrabnya hubungan kedua umat ini perlu dihidupkan kembali,” katannya.

Menurut Prof. Imtiyaz, relasi buddhis – muslim di Asia Tenggara berperan penting dalam mempromosikan perdamaian dan harmoni. “Demografi di Asia Tenggara memiliki jumlah umat Buddha dan Islam yang seimbang dan karenanya akan memainkan peran penting dalam mempromosikan perdamaian dan harmoni di wilayah ini. Dan upaya bersama dalam mengatasi ekstremisme dan radikalisme di kawasan ASEAN akan sangat mempengaruhi dunia,” tegasnya.

Prof. Imtiyaz Yusuf hadir sebagai pembicara utama dalam perhelatan International Buddhist Conference Indonesia (IBCI) 5 – 7 November 2019 di Hotel Royal Orchid Garden, Batu, Jawa Timur. Dengan mengangkat tema besar International Conference on Strengthening Buddhist-Muslim Relation in Southeast Asia, konferensi Buddhis Pertama di Indonesia itu menghadirkan 22 panelis yang terbagi atas 4 pokok bahasan terkait relasi buddhis-muslim di Asia Tenggara.

Menghasilan 8 rekomendasi

Konferensi ini cukup representatif menampilkan relasi Islam dan Buddha di Asia Tenggara dengan hadirnya sejumlah pembicara berlatar akademisi, tokoh agama, dan aktivis dari Indonesia, Myanmar, Thailand, dan Malaysia. Dari permasalahan yang terjadi di tingkat institusi pendidikan dan organisasi keagamaan, kemudian mempertajam makna kehadiran teknologi komunikasi di masyarakat yang telah terkoneksi secara digital, 4.0, lalu mencoba kembali menggali khasanah perjumpaan masa lampau untuk merefleksi pada situasi kekinian dan diakhiri peran nyata dari kaum perempuan yang sangat penting sebagai penjaga kebersamaman yang damai dan harmonis di masa yang akan datang.

Delapan rekomendasi itu adalah;

Pertama, perlu merencanakan sistem endowment atau komitmen dalam hal pendanaan untuk mendukung program-program yang dilakukan kaitannya dengan relasi buddhis – muslim agar menghasilkan program yang sustainable.

Kedua, membentuk sebuah institut buddhis – muslim yang fokus terhadap isu-isu relasi buddhis and muslim di Nusantara. Institut ini adalah wadah bagi para scholars, pegiat dan ahli yang menekuni dan tertarik pada isu-isu terkait hubungan kedua agama. (Rekomendasi ini khususnya ditujukan kepada STAB Kertarajasa sebagai bentuk tindak lanjut nyata mengikuti konferensi Internasional yang telah diselenggarakan).

Ketiga, untuk memberikan time and space yang bertujuan untuk memfasilitasi kedua komunitas untuk saling terbuka dan berdiskusi bahkan berdebat.

Empat, melakukan program saling kunjung secara berkala antar komunitas buddhis – muslim yang bertujuan untuk memperkenalkan kedua komunitas dan menciptakan ruang-ruang untuk diskusi dan inklusif.

Lima, memberikan upaya dan aksi mengkounter negative stereotyping dengan positive stereotyping. Masih berkaitan dengan ini, positive stereotyping bisa dilakukan melalui media populer. Yaitu dengan mengangkat atau memberitakan relasi kultural dan sosial kedua komunitas dalam media terkait.

Enam, media pemberitaan menyediakan rubrik khusus yang memberitakan ruang-ruang perjumpaan kedua komunitas di masyarakat terutama yang terjadi di tingkat akar.

Tujuh, kedua komunitas menguatkan relasi dan kerjasama melalui community engagement, social work, dan isu-isu lingkungan.

Delapan, rekomendasi terhadap pemerintah kaitannya dengan kurikulum pembelajaran agama: Pembelajaran lintas agama dan mata kuliah agama diampu oleh masing-masing guru/dosen yang ahli di bidangnya.

The post 8 Rekomendasi Konferensi Buddhis Muslim appeared first on BuddhaZine.

Pasca Renovasi, Wihara Ekayana Arama Diberkahi Tiga Tradisi

$
0
0

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, para monastik, dan sekitar tiga ribu umat Buddha pada Minggu 17 November 2019 menghadiri pemberkahan pasca renovasi gedung Wihara Ekayana Arama. Acara pemberkahan wihara yang terletak di Duri Kepa, Jakarta Barat, merupakan bentuk terima kasih dan apresiasi kepada seluruh umat dan simpatisan yang telah bergotong royong memberikan sumbangsih bagi perbaikan sebagian bangunan yang terbakar pada 4 Agustus 2019 silam.

Selama tiga bulan setelah musibah kebakaran, para monastik di bawah kepemimpinan Bhante Aryamaitri berusaha mengembalikan kondisi gedung seperti sedia kala. Dengan didukung panitia pembangunan dan gotong royong umat, bagian gedung yang terkena dampak api kini sudah rampung direnovasi dan bangunan pun tampak lebih indah dan megah. Semua ini tidak lepas dari adanya perhatian yang besar dari pemerintah yang mengharapkan agar fungsi sebagai tempat umat Buddha belajar dan berpraktik Dharma dapat segera berjalan normal.

Acara pemberkahan diawali dengan 108 persembahan kepada Para Buddha dan Bodhisattwa, sebagai ungkapan sujud, syukur, dan kasih atas segala kebaikan yang telah menyertai seluruh umat. Dalam kata sambutannya, Kepala Wihara Ekayana Arama, Bhante Aryamaitri, menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada panitia pembangunan, para umat, dan pemerintah yang telah memberikan dukungan sehingga bangunan dapat diperbaiki dalam waktu singkat.

Mewakili pemerintah, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Caliadi, dalam kata sambutannya mendorong monastik dan pengurus Wihara Ekayana Arama untuk meningkatkan peran wihara melalui perbaikan manajemen wihara, memperluas kegiatan dan program kerja, serta memaksimalkan potensi umat Buddha, sehingga dapat terus berperan aktif memberikan kontribusi dan mendukung program-program pemerintah, yang paling utama adalah menjaga iklim sejuk kerukunan dalam kehidupan beragama.

Wihara Ekayana Arama adalah wihara dengan semangat non-sektarian, para umat dapat mempelajari ajaran Buddha dari ketiga tradisi, yaitu Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Oleh karena itu, pemberkahan dalam acara ini juga dilakukan dengan tiga tradisi. Di samping Ketua Umum Sangha Agung Indonesia, Bhante Khemacaro, tampak hadir dalam pemberkahan ini Ketua Umum Sangha Mahayana Indonesia, Bhante Kusalasasana, Nayaka Sangha Theravada Sangha Agung Indonesia, Bhante Nyanasuryanadi, dan tamu kehormatan dari tradisi Vajrayana yaitu Thaye Dorje, H.H. 17th Gyalwa Karmapa.

Gyalwa Karmapa dalam pembabaran Dharmanya menyampaikan, “Ada banyak praktik Buddhadharma di berbagai belahan dunia. Esensi dari Buddhadharma adalah Dharma yang dapat dipraktikkan dalam sehari-hari, salah satu bentuk mempraktikkan Dharma itu adalah bakti, tanpa bakti penerapan Dharma menjadi kurang mendalam.”

Dalam sesi ceramahnya, Karmapa mengungkapkan kebahagiaannya saat melihat berbagai aliran di dalam Buddhadharma dapat berkumpul dan berdoa bersama-sama, meskipun dari berbagai latar tradisi yang berbeda.

The post Pasca Renovasi, Wihara Ekayana Arama Diberkahi Tiga Tradisi appeared first on BuddhaZine.

Menyongsung Satu Windu BuddhaZine

$
0
0

Tanggal 1 Desember 2019, tepat satu minggu dari sekarang, BuddhaZine genap berusia delapan tahun. Belum lagi dewasa, namun bagi sebuah media pemberitaan yang dikelola oleh segelintir mantan anak muda, delapan tahun bukan waktu yang singkat. Apakah keberadaan BuddhaZine memang sudah memberi manfaat bagi masyarakat, khususnya untuk perkembangan Buddhadharma?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami berupaya untuk mengumpulkan pendapat dari para pembaca, penulis, akademisi, hingga pengamat media.

 

Kris Budiman | Dosen Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, kritikus sastra, novelis, penulis, dan antropolog.

Makan waktu cukup lama penantian saya hingga pada akhirnya datanglah di tengah-tengah kita sebuah media buddhis yang beda! Bukan hanya lantaran ia sebuah media daring, tetapi yang membuatnya distingtif adalah konten dan orientasi audiensnya.

Konten BuddhaZine bukan semata-mata berita langsung (straight news), tetapi terutama feature, esai, opini, bahkan kisah perjalanan, dengan kemasan bahasa Indonesia yang baik dan gaya penulisan yang ringkas dan padat, sangat sesuai dengan semangat zaman digital. Orientasi pembaca atau audiens yang ditargetnya, saya duga-duga, bukan hanya sebatas kaum buddhis, melainkan bisa siapa saja yang tertarik dengan topik-topik yang dilontarkan.

Lebih dari itu, sekali lagi ini dugaan saya, BuddhaZine menyasar pembaca-pembaca urban-terpelajar. Ini sungguh bagus mengingat urgensi atas penguatan kelompok intelektual Buddhis di negeri ini, yang berwawasan progresif dan tidak minderan.

 

Efi Latifah | Pengamat Media, Dosen STAB Kertarajasa, dan Aktivis Perempuan.

Di BuddhaZine semangat keberagaman liputan dan artikel mengenai Buddha di Indonesia, tanpa sekat aliran atau sekte.

BuddhaZine juga memberi suara pada komunitas buddhis yang selama ini kurang mendapat ruang. Lebih dari itu, BuddhaZine menebarkan metta yang transformatif dengan mengangkat kasus-kasus aktual dunia buddhis global yang menjadi refleksi pentingnya menerima perbedaan dalam beragama. Bukan hanya ruang berita, ruang Dharma terasa begitu akrab karena mengangkat masalah-masalah yang aplikatif dalam keseharian. Tulisan-tulisan seperti ini perlu diperbanyak dengan variasi tema dan gaya penulisan.

Semoga literasi media di kalangan buddhis dan masyarakat secara umum dapat diharapkan meningkatkan keterlibatan dan apresiasi terhadap BuddhaZine yang signifikan keberadaannya sebagai counter wacana yang bersifat mencerahkan dan membebaskan. Ruang media seperti citizen dapat menjadi lebih meriah dengan kontribusi yang lebih terbuka dari berbagai kalangan, termasuk non-Buddhis sehingga dapat menjadi ruang pertemuan dialog yang lebih hidup yang menggambarkan dinamika Buddha sebagai “a living religio”.

 

Muhammad Mukhlisin | Kepala Sekolah Guru Kebhinekaan

BuddhaZine menjadi media alternatif yang menyajikan kesejukan dan kedamaian dalam beragama. Di Indonesia, tidak banyak media seperti, penuh filosofi.

Secara pribadi, saya pernah menjadi intoleran karena sejak kecil hidup di tengah komunitas yang homogen. BuddhaZine membantu saya untuk meluruhkan sikap intoleransi itu dengan membuka ruang perjumpaan. Saya bisa bertukar pikiran, refleksi, dan meretas sekat prasangka dengan medium BuddhaZine.

BuddhaZine juga mengajarkan saya untuk bagaimana berpikir, dan bertindak secara sadar atau mindfulness. Saya justru bisa menjadi seorang muslim penuh keberkahan setelah belajar dari BuddhaZine.

 

Alam Wijaya Yap | Pembaca Setia BuddhaZine

Menurut saya, BuddhaZine sebagai media buddhis sangat bermanfaat bagi masyarakat, baik kalangan buddhis maupun non Buddhis. Banyak inovasi berita yang selalu up to date, bervariasi dan tidak menjemukan. Karena itu, saya berharap BuddhaZine terus berinovasi dalam mengabarkan umat Buddha dari berbagai daerah.

The post Menyongsung Satu Windu BuddhaZine appeared first on BuddhaZine.


Tantrayana di Nusantara Menurut Para Pakar

$
0
0

Borobudur Writers and Cultural Festival 2019 kembali digelar, difokuskan di kawasan Candi Borobudur Jawa Tengah, 22-23 November 2019. Pada sesi simposium di hari kedua, terdapat beberapa pakar yang menyampaikan materi bertema “Membedah Tantrayana di Nusantara”.

Ida Bagus Putu Suamba dari Politeknik Negeri Bali saat menjelaskan konsep tantrayana di Bali menjelaskan, raja-raja di Bali dan Jawa kuna umumnya mempelajari dan mempraktikkan ilmu tantra. Ini utamanya digunakan untuk kepentingan sosial politik, untuk mengendalikan negara.

“Tapi untuk tujuan spiritualnya adalah pembebasan, enlightenment,” jelas dia.

Terkait tantra di Bali, menurutnya secara teknis itu merupakan proses pengolahan aksara di tubuh manusia untuk mencapai pembebasan, bersatunya mikrokosmos dan makrokosmos. Aksara sendiri menurutnya adalah sesuatu kekuatan yang kekal, tak terlahirkan/terhancurkan, dan hanya bisa berganti wujud.

“Alam semesta ini adalah suara. Aksara akan menggetarkan tubuh, membangkitkan Kundalini,” jelasnya.

Ery Soedewo dari Balai Arkeologi Medan menjelaskan, kawasan Padang Lawas di Sumatera Utara adalah salah satu kawasan yang memiliki banyak situs candi yang memiliki karakteristik buddhis tantrik. Dari catatan era Belanda, menurutnya tercatat ada lebih dari 20 situs candi.

“Tapi sekarang yang ditemukan baru 17, beberapa di antaranya berubah fungsi jadi tempat hiburan, jadi kolam pancing,” ungkapnya.

Dari kawasan Padang Lawas menurutnya cukup banyak ditemukan peninggalan arca. Yang terkenal adalah arca Hevajra atau yang oleh kalangan lain disebut sebagai arca Heruka.

“Namun sayang saat ini sudah tidak diketahui [arca Hevajra itu] jejaknya di mana,” paparnya.

Ia melanjutkan, “Di Padang Lawas, peninggalan visual relief sosok-sosok tantrik berkepala hewan atau raksasa yang terlihat berpose seperti menari ditemukan juga di kawasan itu.” Ery berpendapat, tampaknya dari artefak tersebut hendak menggambarkan ritual yang dilakukan di Padang Lawas saat itu. Ia lalu membandingkan dengan ritual Buddhis tantrik menggunakan tarian dan topeng di Tibet, Nepal, Bhutan, atau India utara yang masih eksis hingga kini.

Sementara, terkait kenapa tradisi tantrik buddhis bisa lenyap dari Padang Lawas, Ery berpendapat bisa saja itu karena adanya invasi. “Ada yang menyebut karena kurangnya interaksi dengan India, sesudah agama Buddha menurun di sana,” urainya.

Di Padang Lawas sendiri, saat ini masih ditemui adanya lesung atau tempat menumbuk padi yang diberi (diukir) semacam mantram dan mandala. Dan hingga kini pun, masih dijumpai pula juga ritual adat yang masih menggunakan mantram dan mandala tersebut.

“Jadi itu tampaknya adalah sisa-sisa memori dari tradisi leluhur yang hidup di Padang Lawas,” ungkapnya.

Pembicara lain, Guru Besar Universitas Indonesia Noerhadi Magetsari menjelaskan, tantra buddhis Guhyasamaja pernah dipraktikkan di Nusantara. Ini diketahui dari konsep Panca Tatagatha yang ada di Candi Borobudur, yang memang menjadi objek pemujaan dalam tantra tersebut.

Namun ada perbedaan. Noerhadi berargumen, menurut teks Guhyasamaja yang asli berbahasa Sanskerta, Buddha Vairocana adalah yang ada di tengah-tengah Mandala, dikelilingi empat Buddha lain yakni Amitabha, Ratnasambhava, Aksobhya, dan Amogasiddhi.

Meski begitu, dalam tradisi Tantra Guhyasamaja yang masih hidup dan eksis hingga sekarang –lewat agama Buddha Tibet– yang ada yang di pusat Mandala adalah Buddha Aksobhya.

“Kalau di Nusantara (Borobudur) yang di tengah adalah Vairocana, namun mudranya Vitraka Mudra, bukan Dharmachakra,” jelasnya.

Terkait keberadaan rupang Buddha di Borobudur, ia memiliki pandangan yang berbeda dari pandangan umum. Ia meyakini, arca Buddha yang ada di dalam stupa (di lantai atas) bukanlah Buddha, melainkan Bodhisattwa.

Noerhadi meyakini, yang ada di dalam stupa adalah Bodhisattwa level tinggi, paling tidak sudah mencapai level ketujuh atau Acala (tak tergoyahkan) dari sepuluh tingkatan Boddhisattwa. Menurutnya, di sini, Boddhisattwa sebenarnya sudah bisa melepaskan diri dari lingkaran samsara, namun memilih untuk tinggal di samsara, demi menolong semua makhluk.

“Sesungguhnya arca-arca yang diletakkan di dalam stupa adalah arca-arca Bodhisattwa, bukan arca Tatagatha,” tegas Noerhadi.

The post Tantrayana di Nusantara Menurut Para Pakar appeared first on BuddhaZine.

Danang Suseno Penggubah Komposisi Musik Kidung Prajnaparamita Versi Jawa

$
0
0

Om sujud kepada Arya Bhagavati Prajnaparamita!

Saat itu, Arya Avalokiteshvara sedang menyelami Prajnaparamita, namun yang tampak dalam pengamatan beliau hanyalah panca-skandha yang bersifat sunya dari svabhava.

Oh Sariputra, wujud adalah sunyata, sunyata adalah wujud; sunyata tak lain dari wujud, wujud tak lain dari sunyata; wujud apa pun itu sunyata, sunyata apa pun itu wujud. Begitu juga sensasi, pembedaan, aktivitas-aktivitas mental yang lain, dan kesadaran.

Oh Sariputra, semua Dharma bersifat sunya; tiada yang muncul dan tiada yang lenyap; tidak bernoda dan tidak murni; tiada yang kurang dan tiada yang lengkap.

Oleh karena itu, Sariputra, dalam sunyata tiada wujud, tiada sensasi, tiada pembedaan, tiada aktivitas-aktivitas mental yang lain, tiada kesadaran; tiada mata. Tiada telinga, tiada hidung, tiada lidah, tiada badan, tiada unsur kesadaran.

Tiada wujud, tiada suara, tiada bebauan, tiada rasa, tiada objek sentuhan, dan tiada Dharma. Tiada indra penglihatan, dan sebagainya, termasuk tiada unsur kesadaran. Tiada kesalahpengertian, tiada berakhirnya kesalahpengertian, dan sebagainya, termasuk tiada penuaan dan kematian, tiada berakhirnya penuaan dan kematian.

Tiada dukha, tiada sebab duhkha, tiada berakhirnya duhkha, tiada jalan untuk mengakhiri dukha. Tiada pengertian, tiada yang dicapai, dan tiada yang tidak dicapai.

Maka Sariputra, karena tiada yang ingin dicapai, dengan mengandalkan Prajnaparamita, Bodhisattwa bebas dari segala gangguan pikiran. Karena bebas dari segala gangguan pikiran, mereka tidak gentar. Dan dengan mengatasi penyebab halangan-halangan, pada akhirnya mereka mencapai Nirvana.

Semua Buddha di tiga masa, mencapai tingkat yang tak terbandingkan, Penggugahan agung yang lengkap dan sempurna, dengan mengandalkan Prajnaparamita.

Maka ketahuilah Prajnaparamita adalah mantra agung, mantra pengetahuan agung, mantra yang tertinggi, mantra yang tak terbandingkan, yang secara tuntas mengatasi semua dukha. Mantra yang seyogianya dimengerti sebagai kebenaran sejati, yang tidak mungkin palsu. Dengan Prajnaparamita, diutarakanlah mantra ini:

Tadyatha Gate Gate Paragate Parasamgate Bodhi Svaha

Syair di atas diambil dari Prajnaparamita Hrdaya Sutra yang diterjemahkan dari bahasa Sanskerta oleh tim Potowa Center, Jakarta. Oleh Danang Suseno, seorang penggubah gamelan, Prajnaparamita Hrdaya Sutra digubah menjadi sebuah kidung dengan iringan musik gamelan Jawa. Prajnaparamita Hrdaya Sutra dianggap memiliki makna yang mendalam, menjelaskan sebuah kebenaran sejati. Pembuatan kidung Prajnaparamita, baik dalam bahasa Sanskerta maupun dalam bahasa Indonesia mendapat respon positif, juga dapat dinikmati oleh semua kalangan.

Kidung dalam versi syair bahasa Indonesia seperti yang diunggah di akun YouTube Albert Song tanggal 13 Agustus 2014, sudah ditonton lebih dari 31 ribu kali, disukai oleh 546 orang dan mendapat 62 komentar bernada positif. “Seperti kembali ke Indonesia abad ke-8, semua orang mawas diri, eling, dan waspada mendengar sutra dibacakan,” tulis akun Subroto Xing. “Ditunggu sutra-sutra yang lain. Menenangkan batin,” tulis akun Parmin Savano.

“Saya Pandita Hindu dari Malaysia, mengagumkan rasanya, universal, menciutkan rohku, syahbas saudara! Moga Jagat ketenganan dan Om Shanti,” tulis akun Ramakrishnan Sinnasamy.

Sementara, kidung Prajnaparamita dalam syair bahasa Sanskerta mendapat respon positif lebih banyak dari masyarakat. Sejak diposting di akun Youtube bernama Konsultan Karen Sasikirana Ashalina pada 1 Februari 2018, sudah ditonton lebih dari 331 ribu kali, disukai oleh 4,4 ribu orang dan mendapat 888 komentar bernada positif. Komentar positif tak hanya berasal dari umat Buddha.

Akun Dodik Setiawan misalnya, menuliskan komentar, “Meskipun agama saya Islam tapi saya sangat menyukai kidung ini, sungguh tenang, nyaman, dan damai. Semoga semua makhluk berbahagia. Rahayu sagung dumadi.”

“Pakai langgam Jawa jadi enak didengar. Walaupun saya Katolik, tapi kakek dan buyut saya beragama Buddha dan Hindu Kejawen. Jadi ingat dulu pernah diajak berdoa bareng di tempat semadi pas masih kecil,” tulis akun Febrian Adhika.

Sepintas Danang Suseno dan Proses Kreatifnya

Kidung Prajnaparamita, baik versi bahasa Sanskerta maupun dalam versi Indonesia dengan iringan gamelan Jawa adalah garapan Danang Suseno, putra Ki Manteb Soedarsono. Seolah membuktikan pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” laki-laki kelahiran Karangpandan 21 November 1980, itu juga mengikuti jejak bapaknya, menjadi seniman wayang kulit.

Sebagai seorang putra dalang, memegang wayang dan gamelan memang sudah menjadi keseharian Danang Suseno. Baginya, gamelan menjadi medium Ayahnya dalam mendidik dan mengarahkan karakternya menjadi pribadi yang mencintai seni dan kebudayaan Jawa.

“Sejak kecil, kalau saya pulang sekolah, pulang dari bermain itu Bapak kan pasti sedang di depan gamelan. Memang itu aktivitas keseharian Bapak. Kadang saya dipanggil, kalau minta sangu (uang jajan), Biasanya Bapak bilang kene (sini) tak ajari, kene ngarep rene. Kalau permainan saya bagus biasanya dikasih seratus ribu, kalau kurang bagus ya lima puluh ribu, kalau bagus ya ditambahi lagi, itu cara Bapak mendidik,” tutur Mas Danang kepada BuddhaZine.

“Tapi saya menyadari itu cara mendidik ya sekarang ini waktu sudah dewasa. Waktu saya masih mbujang, masih sekolah, durung ndue dugo ya mikirnya Bapak ini sibuk mayang terus, mau ketemu, mau ngajak dolan saja tidak punya waktu,” imbuhnya.

Melalui tempaan itu, kini Danang Suseno menjadi seorang dalang handal berjuluk Ki Danang S. Tak hanya menjadi dalang, pemilik sanggar Bimo Putro ini juga membuka usaha membuat gamelan sekaligus menjadi penggubah gending-gending Jawa. Kidung Wahyu Kolosebo, Prajnaparamita dalam dua versi bahasa menjadi beberapa karyanya yang fenomental dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia.

“Saya kan nggak tau doanya teman-teman Buddhis Mas. Jadi dalam penggarapan itu saya tidak berani sembrono, apalagi itu sebuah sutra, sebuah mantra dengan makna mendalam. Bimbingan Om Salim Lee dan teman-teman komunitas Potowa Center sangat membantu saya dalam membuat gending itu,” kata Mas Danang berkisah proses pembuatan penciptaan gending Prajnaparamita kepada BuddhaZine.

Kidung Prajnaparamita digarap Mas Danang sekitar tahun 2013. Setidaknya membutuhkan waktu 1 bulan unntuk garapan mentah. “Karena itu perlu inspirasi, proses digital yang harus memasukkan ornamen gamelan satu persatu membutuhkan waktu cukup lama. Hampir ratusan kali kita muter itu terus, karena kita harus ngolah terus menerus. Musik, lagu itu kan kumpulan dari pecahan-pecahan nada, ornamen-ornamen itu kita masukkan satu persatu dengan karakteristiknya masing-masing. Nah kebetulan kok ya karya saya diterima,” jelasnya.

“Terus kenapa gamelan,” lanjut Danang.  “Ya, karena saya wong Jowo, apa pun aliran musiknya saya ingin tetap identitas sebagai orang Jawa, tetap ada gamelan yang menjadi identitas diri kita, sebagai orang Indonesia. Ternyata karya saya diterima Prajnaparamitta terus Karaniya Metta Sutta, Wahyu Kolosebo juga yang mendorong saya untuk terus berkarya.

“Yang penting bagi saya berani urun karya, tidak usah takut karya kita dianggap jelek, jelek masih bisa diperbaiki. Intinya kalau karya kita direspon positif dan banyak disenangi orang-orang ya Alhamdulilah. Kebetulan saya tidak sendiri, ada Om Salim yang sudah saya anggap seperti orangtua saya, juga guru saya. Apalagi dekat dengan Bapak dan teman-teman dari Potowa Center juga.

Mas Danang juga berpesan kepada para seniman untuk berani berkarya. “Yang penting kita berani untuk ikut menciptakan sejarah untuk anak-anak dan cucu kita,” pungkasnya.

The post Danang Suseno Penggubah Komposisi Musik Kidung Prajnaparamita Versi Jawa appeared first on BuddhaZine.

Bon Anniversaire BuddhaZine!

$
0
0

Menulis buat sebagian orang menjadi kegiatan yang membosankan, buang-buang waktu, paling cuma buat iseng-iseng doang. Tapi, menulis itu nggak semudah yang kita pikirkan. Ketik… ketik… ketik.. di laptop langsung jadi, nggak semudah itu juga. Nyatanya, menulis itu butuh imajinasi dan keterampilan lebih untuk mengolah kata-kata menjadi kalimat bermakna dan saling menyambung. Hal terpenting dari menulis adalah “tulisannya bisa dipahami dengan baik oleh para pembaca”.

Lumayan susah membuat tulisan yang bagus, alur jelas, makna ada, dan mudah dipahami. Butuh waktu dan kebiasaan buat menghasilkan tulisan yang bagus. Begitu pula denganku, aku bukan orang yang pandai menulis, tapi ya suka aja dengan menulis. Aku ada pengalaman menulis di media online BuddhaZine karena kebetulan aku ikut seminarnya mereka di kampusku.

Kurang lebih tahun 2018 BuddhaZine mengadakan seminar di kampus aku, STAB Syailendra, Semarang. Di sana ada Ngasiran dan Andre Sam yang jadi pembicara. Kalau Ngasiran, dia wartawan lama di BuddhaZine. Kadang ngiri juga baca tulisannya keren, banyak yang baca, tapi tukang ngarit. Ngasiran tinggal di Temanggung sudah menikah dan punya anak satu.

Nah, kalau Andre Sam asli Solo sih katanya, dia itu redaktur BuddhaZine, orangnya kocak, gila abis, baik pula. Dia yang nerbitin beberapa tulisanku di BuddhaZine. Andre Sam juga sudah menikah dan punya anak satu.

Ada satu lagi wartawan namanya Ana Surahman, orang Temanggung, belum menikah. Tulisannya juga bagus, banyak yang baca. Dia orangnya baik, jadi partner guyonan kalau lagi ngumpul bareng.

Kalau aku, nggak perlu sebut nama, deh. Masih kuliah dan suka makan. Aku gabung di BuddhaZine kurang lebih 1,5 tahun. Banyak sekali pengalaman yang aku dapat selama di BuddhaZine. Mulai dari liputan kegiatan di luar kota dan ikut acara yang tentunya membawa pengaruh positif dan menambah ilmu buat aku. Ngasiran dan Ana Surahman jadi panutan aku ketika nulis berita dan artikel lainnya. Dari BuddhaZine-lah aku tahu banyak informasi tentang buddhis dan belajar menulis tentang berita buddhis dan artikel lainnya.

Nah, BuddhaZine ini lahir 1 Desember 2011, sekarang dia berusia delapan tahun. BuddhaZine didirikan oleh Sutar Soemitro dan Jo Priastana. Kang Sutar ini dulunya mahasiswa STAB Nalanda, Jakarta, anak STAB yang mendirikan majalah buddhis online sama dosennya, Jo Priastana.

Tapi, sekarang Kang Sutar sudah di alam lain. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya. Sebelum meninggal, Kang Sutar sempat cerita padaku, satu hal kunci sukses orang menulis. Dia bilang, “Nek arep pinter nulis, ya kudu maca buku. Maca buku kuwe ana jutaan ide. Nah, baru koe bisa nulis. Nek urung maca ya aja nulis.” Itu pesannya, yang artinya, “Kalau mau pintar menulis, harus membaca buku. Membaca buku itu ada jutaan ide. Nah, baru kamu bisa menulis. Kalau belum membaca ya jangan menulis.”

Memang benar pesan Kang Sutar, kalau mau pandai menulis, harus banyak membaca dulu. Orang yang pandai menulis cerpen dan novel, karenanya sebelumnya dia pasti banyak membaca cerpen, novel, dan membaca kisah kehidupan dengan berbagai sudut pandang. Kalau orang pandai menulis berita, itu karena dia sering membaca berita, dan tahu alur menulis berita. Nah, kalau orang pandai menulis artikel, itu karena dia sering membaca berbagai artikel, jadi bisa menulis artikel yang bagus dengan gaya yang berbeda.

So, Bon anniversaire BuddhaZine. Semoga di usia yang ke-8 ini BuddhaZine terus menjadi media belajar dan berbagi informasi untuk semua orang. Semoga tulisan-tulisan yang ada semakin berbobot. Dan untuk para penulis terus semangat menulis.

Merci..

The post Bon Anniversaire BuddhaZine! appeared first on BuddhaZine.

Dari Komodo Hingga Alien, Presentasi Baru Relief di Borobudur

$
0
0

Sabtu pagi, 23 November 2019, puluhan orang peserta Borobudur Writers & Cultural Festival memadati area utama Candi Borobudur. Mereka terlihat antusias berjalan sambil sesekali berhenti mendengarkan Handaka Vijjananda, pendiri Ehipassiko Foundation mendongeng tentang relief-relief menarik di candi tersebut.

Tampaknya apa yang disajikan Handaka membuat kagum para peserta. Sebab berbagai hal baru diungkapkan oleh Handaka, yang mendongeng dengan penuh semangat, walau sempat mengalami kendala microphone.

Sehari sebelumnya, Jumat 22 November 2019, Handaka sudah menyajikan presentasi tersebut dalam ceramah berjudul “Cerita Relief Borobudur, Bukan Misteri Lagi” di Ruang Vitarka, Hotel Manohara, Borobudur. Ini adalah bagian dari perlelatan yang tahun ini mengangkat tema “Tuhan dan Alam: Membaca Ulang Panteisme, Tantrayana dalam Kakawin dan Manuskrip-Manuskrip Kuno Nusantara”.

Presentasi itu memang sangat menarik, disertai penampilan foto-foto relief dan data grafis. Namun tentunya lebih menarik bagi peserta, bila melihat langsung relief itu pada Sabtu pagi.

“Siapa yang kemarin mendengarkan ceramah saya?” tanya Handaka sebelum memulai perjalanan mengitari Borobudur. Ternyata hanya sebagian kecil yang mengacungkan jari. Sehingga masih banyak peserta yang belum mengetahui, apa yang akan didongengkan Handaka.

Tur relief itu berlangsung sejak pukul 06.00 hingga pukul 08.30. Peserta berjalan memutari setiap lantai candi dengan cara pradaksina, atau memutari candi searah jarum jam. “Selalu dimulai dari arah timur,” pesan Handaka. Penjelasan pun dimulai dari area 4 1/2 panel relief Karmawibhangga hingga stupa puncak.

“Jangan memegang dan bersandar pada candi agar tak rusak. Keringat kita akan merusak candi,” kata Handaka mengingatkan seluruh peserta.

Lantas apa saja yang didongengkan Handaka? Ia memulai dengan menjelaskan jumlah relief yang ada di candi. Bangunan bersejarah yang berdiri selama 12 abad itu dianggapnya istimewa karena punya banyak relief. “Candi dengan relief terbanyak di dunia,” tegasnya.

Handaka menjelaskan, total ada 2.672 relief, yang terdiri dari relief naratif dan dekoratif. Relief naratif adalah relief yang memiliki cerita. Sementara relief dekoratif adalah relief figur atau hiasan dekoratif yang tidak bercerita. Total ada 1.212 relief dekoratif dan 1.460 relief naratif.

Handaka mengaku bersama tim Ehipassiko telah melakukan riset tentang relief itu selama 5 tahun lebih. Hasilnya akan ditulis dalam 27 buku, di mana sebagian telah diterbitkan, seperti buku relief Gandavyuha dan Lalitavistara. Itu adalah buku-buku terbitan Ehipassiko yang ditulis oleh Bhikkhu Anandajoti, yang seyogyanya menjadi salah satu narasumber dalam Borobudur Writers & Cultural Festival, namun urung datang karena masalah kesehatan. “Terpaksa saya yang menggantikan,” kata Handaka.

Dari perjalanan mendongeng selama lebih dari dua jam, Handaka menghabiskan paling banyak waktu untuk menceritakan kisah kehidupan lampau g Buddha yang tertuang dalam relief Jataka. Karena memang di situlah banyak terdapat pahatan-pahatan yang unik dan bahkan lucu, terkait kisah binatang.

Salah satunya adalah kisah seekor gajah dengan pengorbanan yang luar biasa. Gajah itu menjatuhkan dirinya ke jurang supaya bisa menjadi makanan bagi ratusan manusia yang tersesat di hutan.

Yang menarik dari kisah ini adalah sang gajah berbohong kepada manusia yang kelaparan dengan berkata bahwa di suatu tempat ada bangkai gajah yang bisa dimakan dagingnya. Rupanya, setelah mengatakan itu, sang gajah segera menuju ke tempat yang dimaksud, dan melakukan bunuh diri. Sejak awal bertemu manusia kelaparan, ia memang berniat mengorbankan dirinya untuk dimakan dagingnya. Para manusia yang lalu menyadari hal ini pun lalu mendirikan stupa untuk menghormati sang gajah.

Tak kalah menarik dari relief Jataka, adalah relief Avadana. Di sini, menurut Handaka ada beberapa relief ikonik, salah satunya adalah relief kinara-kinari, pasangan peri burung, yang menjadi simbol keabadian cinta. “Ini adalah relief paling indah di Borobudur,” kata Handaka.

Relief di Avadana lain yang menurutnya istimewa adalah relief kumpulan satwa. Salah satunya tampak seperti kadal besar, yang Handaka yakini sebagai komodo. Benar atau tidak, memang belum bisa diklarifikasi 100 persen. Namun dengan menyebut itu sebagai komodo, menurut Handaka akan meningkatkan nilai jual Borobudur. “Jadi kalau mau lihat komodo tidak usah jauh-jauh ke Pulau Komodo, cukup Borobudur,” katanya.

Satu lagi yang menurut Handaka sangat istimewa, adalah relief bocah, yang ia sebut sebagai alien. Bocah itu unik, karena terlihat memiliki telinga besar berbentuk segitiga. “Bocah alien, bukan manusia, bukan dewa, tapi ya semacam itu, tapi bayi. Seperti Master Yoda di Star Wars,” jelas Handaka.

Handaka juga sempat menunjukkan relief Garuda, yang terkenal sebagai wahana atau tunggangan Dewa Wisnu dalam mitologi Hindu. Di Borobudur, hanya ada satu relief Garuda.

Tak kalah unik, di relief Gandavyuha, ia menjelaskan panel yang memperlihatkan Genta Tanpa Suara, yang di sekitarnya terdapat Pohon Bodhi. Di sampingnya terlihat Sudhana, tokoh utama dalam kisah Gandavyuha berlutut menghadap menara yang berisi satu lonceng besar dan beberapa lonceng kecil. “Genta tanpa suara itu seperti filosofi Zen, seperti bagaimana suara bertepuk satu tangan,” kata Handaka.

Hal menarik lain, Handaka mengaku, bersama tim Ehipassiko kini tengah mengembangkan aplikasi smartphone yang bisa digunakan secara real time untuk menampilkan informasi mengenai relief, saat kita berdiri di sebuah relief di Borobudur. Diperkirakan ini akan terwujud dalam lima tahun ke depan, sehingga akan memudahkan siapapun untuk mengetahui kisah relief Borobudur yang dilihat langsung di depan mata. Semoga segera terealisasi.

The post Dari Komodo Hingga Alien, Presentasi Baru Relief di Borobudur appeared first on BuddhaZine.

Diiringi Suara Kentongan yang Bertalu, Bupati Temanggung Buka Festival Dusun Krecek

$
0
0

Bupati Temanggung (Muhammad Al Khadziq), Perwakilan Gubernur Jawa Tengah (Agus), Kepala Dusun Krecek (Sukoyo), dan Ketua Panitia (Walmin) secara bersama membunyikan kentongan sebagai tanda dibukanya Festival Dusun Krecek, Sabtu (30/11). Pembukaan dilakukan di panggung utama yang berlokasi di area Paud Saddhapala Jaya, Dusun Krecek, Temanggung.

Festival Dusun Krecek dikemas dalam bentuk suguhan berturut-turut selama tiga hari; Sabtu 30 November – Senin 2 Desember 2019. “Ini spesial bagi kami masyarakat Dusun Krecek, kalau sebelumnya Merti Dusun (bersih desa) hanya dilakukan secara sederhana yaitu, membersihkan area lingkungan dusun, gendurian bersama sebagai bentuk rasa syukur terhadap berkah yang kami terima dan menggelar pentas kesenian satu hari, kali ini kami buat berbeda yaitu menggelar festival,” turut Walmin, ketua panitia acara ini.

Festival Dusun Krecek menyuguhkan berbagai pentas seni rakyat khas Temanggungan seperti; kuda kepang, topeng ireng, lengger juga musik kontemporer dengan yang masih terkait dengan kebudayaan Jawa. “Kami ingin melestarikan kebudayaan dan kesenian yang menjadi salah satu kekuatan identitas masyarakat Temanggung,” lanjut Walmin.

“Melalui festival ini, kami juga ingin membantu meningkatkan usaha kecil menengah masyarakat perdesaan. Karena itu, kita juga buka bazar produk-produk UKM (Unit Kegiatan Masyarakat) desa seperti kopi yang menjadi produk andalan masyarakat Temanggung, juga banyak stand kerajinan tangan masyarakat. Bapak/Ibu nanti bisa mengunjungi stand-stand bazar,” ajak Walmin mengakhiri laporannya.

Sementara itu, Muhammad Al Khadziq, Bupati Temanggung memberi apresiasi kepada masyarakat Kaloran yang mempunyai inisiatif menyelenggarakan festival. Gotong royong, toleransi yang menjadi napas kehidupan masyarakat sehari-hari juga menjadi nilai tersendiri, “Saya bangga Dusun Krecek dan Kecamatan Kaloran pada umumnya menjadi wilayah yang masyarakatnya memegang erat persatuan sehingga mampu menjadi banteng kebhinnekaan bagi Temanggung dan Indonesia.

“Saya senang dengan inovasi anak-anak muda Dusun Krecek, saya juga bahagia bisa ikut datang dalam pembukaan acara festival. Masyarakat berpesta Bupati diundang. Berbeda dengan biasanya, masyarakat senang Bupati tidak diundang, tapi kalau susah curhat di media sosial,” katanya disambut tepuk tangan hadirin.

Hujan cukup lebat mengguyur Dusun Krecek saat pembukaan festival berlangsung. Meskipun demikian, tak menyurutkan antusias masyarakat yang hadir dari berbagai daerah, baik dari Temanggung, Jakarta, Solo dan Surabaya. Selain masyarakat, acara pembukaan Festival Dusun Krecek juga dihadiri oleh pejabat Muspika dan Muspida, Bhikkhu Sangha, dan tokoh lintas agama.

Dalam rintik hujan, usai pembukaan di panggung festival, seluruh hadirin dan masyarakat yang hadir melakukan arak gunungan hasil bumi sebagai bentuk rasa syukur atas berkah yang didapat.

The post Diiringi Suara Kentongan yang Bertalu, Bupati Temanggung Buka Festival Dusun Krecek appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 1052 articles
Browse latest View live