Quantcast
Channel: News Berita Budhis Terkini | Buddhazine
Viewing all 1052 articles
Browse latest View live

Meneropong Cakrawala Borobudur bersama Salim Lee

$
0
0

Kamis, 28 November – 30 Desember 2019 Salim Lee, seorang pakar Buddhadharma kembali berkunjung ke Dusun Krecek. Ini adalah kali ketiga Om Salim datang ke Dusun Krecek, Temanggung. Seperti biasa, kedatangan Om Salim adalah untuk sharing pengetahuan Buddhadharma, terutama yang terkait dengan ajaran Borobudur.

Kepada masyarakat Dusun Krecek dan warga sekitar, Om Salim mengajar di Ruang Dhammasala pada malam hari. Kamis (28/11) membahas Borobudur Riwayatmu Dulu, sedangkan pada malam kedua, Jumat (29/11) Om Salim membahas Ngabekti ing Asepuh.

Di luar forum resmi diskusi dengan Om Salim berjalan lebih menarik. Hadirnya sahabat diskusi seperti dalang wayang kulit (Ki Eko Prastyo), pegiat pariwisata sejarah (Anton Ida Saputro), arkeolog yang juga Tim Ahli Cagar Budaya Temanggung (Goenawan A. Sambodo), Hendri Ang, dan Yosi Cahyono yang saat ini bertugas memugar Candi Liyangan.

Bagi Yosi, kehadiran Om Salim di Krecek menjadi daya tarik sendiri. Ia yang selama ini telah banyak melakukan pemugaran candi, mempelajari kesusastraan Nusantara, mempunyai banyak pertanyaan terutama terkait Borobudur. Karena itu, dalam kesempatan berjumpa dengan Om Salim, Yosi menanyakan banyak hal terkait Candi Borobudur. Pertanyaan serta jawaban dari Om Salim kemudian dicatat menjadi sebuah dialog berikut ini:

Yosi: Untuk apa Borobudur dibangun?

Salim Lee: Borobudur itu lebih dari sebuah monumen, namun merupakan ajaran. Dalam Borobudur dari kaki hingga puncak terdapat ajaran-ajaran moral ataupun Dharma yang menjadi pedoman hidup manusia. Pada candi-candi lain mungkin hanya ditujukan untuk pujabhakti ataupun memperingati sesuatu, namun Borobudur adalah ajaran. Itulah yang membedakan Borobudur dengan candi-candi lainnya.

Yosi: Apakah Borobudur merupakan candi yang berkiblat dari ajaran India?

Salim Lee: Tidak tepat dikatakan seperti itu, karena meskipun dari tradisi buddhis namun sudah dimasak sedemikian rupa supaya cocok dipraktikkan pada masyarakat Jawa.

Yosi: Buddha “Nusantara”?

Salim Lee: Iya boleh dikatakan begitu.

Yosi: Sang Hyang Kamahayanikan?

Salim Lee: Masih terlalu sedikit isi dari Sang Hyang Kamahayanikan untuk menjabarkan Borobudur. Kitab itu juga 2 abad lebih muda saat Borobudur mulai dibangun.

Yosi: Jika demikian apa sumber yang digunakan acuan untuk membangun Borobudur?

Salim Lee: Sejauh ini, banyak sekali sutra yang bisa digunakan untuk menjelaskan tiap panel dalam relief Borobudur. Namum sutra-sutra itu terpisah. Dengan berbagai bahasa dan tersebar di berbagai negara.

Yosi: Bisa dijelaskan lebih mendetail?

Salim Lee: Borobudur tidak dari sebuah kitab, namun dari Borobudur sekarang menjadi banyak sutra yang terpisah-pisah yang sejauh ini masih bisa ditelusuri.

Yosi: Tidak ada sutra pedoman Borobudur?

Salim Lee: Bukan begitu, justru dari Borobudurlah rangkuman-rangkuman dari banyak sutra itu ada. Saya menyebutnya Sutra Borobudur.

Yosi: Bisa dibuktikan?

Salim Lee: Kami sudah selesai mengumpulkam itu, mencoba menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia hingga dapat dipelajari dan dibaca seluruh masyarakat Indonesia. Untuk penerbitan kami sudah bekerjasama dengan Kemendikbud, hanya tinggal menyempurnakan tata bahasa, karena banyak kosakata Indonesia yang masih belum tepat untuk mengartikannya secara jelas dan mudah dipahami.

Yosi: Boleh saya katakan itu kitab suci yang divisualkan?

Salim Lee: Betul… Tepat sekali!

Yosi: Bagaimana dengan empat Buddha unfinished yang ditemukan di bawah pohon kenari itu? Adakah filosofisnya dalam buddhis? Dan di mana seharusnya arca itu berada?

Salim Lee: Sudah tepat ditanam di sana. Sejauh yang saya telusuri seluruh bentuk, model, penempatan arca ataupun relief dapat dikaitkan dengan sutra. Namun arca yang rusak tidak ada korelasinya. Jika kamu menjadi pemahat, dan memahat arca dewa ataupun rupang Buddha sebanyak itu. Mungkinkah kamu bekerja tanpa kesalahan? Berapa banyak kamu menemukan arca Buddha yang unfinished?

Yosi: Tidak lebih dari arca gagal produksi?

Salim Lee: Saya menyimpulkan begitu.

Yosi: Apa harapan ke depan untuk Borobudur?

Salim Lee: Borobudur bukanlah monumen biasa, bukan sekadar tempat wisata. Ada banyak sekali ajaran kebaikan di dalamnya. Tidak hanya untuk umat Buddha, namun bisa dilakukan oleh umat lain. Makna-makna itu yang sudah lama hilang, mungkin kita sudah selesai merekontruksi bangunannya, namun ajaran di dalamnya itulah yang lebih penting dan harus kita cari dan sebarkan.

Ajaran mengenai kebaikan, tata tertib, bhakti pada orangtua, dana, ketulusan, berlaku adil, keiklasan semuanya ada. Dan secara tidak langsung sudah dilakukan oleh orang Jawa khususnya sekarang. Dari Borobudur kita bisa menjadi diri yang sejati, yang lebih baik, Migunani Tumrap Ing Liyan. Itulah yang sebenarnya nenek moyang kita wariskan dan telah lama hilang.

Semoga dengan ini Borobudur tidak hanya sarana untuk selfie, tapi siapa pun, yang telah mengunjungi dan dapat memahami Borobudur, dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan ajarannya dapat dipraktikkan dalam bermasyarakat.

The post Meneropong Cakrawala Borobudur bersama Salim Lee appeared first on BuddhaZine.


Serunya Belajar Dharma dari Batik Syailendra

$
0
0

Pada pelatihan Pengembangan Batik Tulis menjadi Batik Cap “Prema Batik Syailendra” sebagai sarana pemberdayaan bagi Wandani Pati, Kudus, Jepara, dan Grobogan pada 22-24 November di Omah Batik, Ngawen, Kabupaten Pati, motif batik yang digunakan adalah motif batik bercirikan buddhis yang diambil dari relief di Candi Borobudur dan Mendut, seperti motif stupa, Dhamma Cakra, daun Bodhi, serta kombinasi cakra, dan teratai.

Pemilihan motif batik yang ada di relief Candi Borobudur dan Mendut supaya umat Buddha mengingat kembali ajaran Buddha, “Pemilihan motif batik dari relief candi sebagai usaha untuk mengingatkan kembali keagungan warisan Nusantara terutama ajaran Buddha yang terpahat di Candi Borobudur dan Mendut,” tutur Ketua tim PKM Batik Syailendra.

“Pilih pola itu tidak terlepas dari usaha kita untuk mengingatkan kembali simbol-simbol buddhis yang kaya makna. Sejauh ini motif buddhis sangat langka untuk dimanifestasikan dalam pola batik,” terang Suranto.

Apa saja makna dari motif batik ini?

Simbol-simbol Buddhis yang menjadi motif pada batik Syailendra juga memiliki makna sebagai simbol ajaran dan Buddha.

Stupa

Pada zaman India Kuno, stupa menjadi objek pemujaan yang dihormati setara dengan kitab dan rupang suci. Ketika zaman Kerajaan juga stupa menjadi tempat penyimpanan relik atau abu jenazah raja. Relik dari Buddha juga disimpan dalam stupa. Stupa juga dapat dijadikan objek meditasi dan simbol ucapan terima kasih pada Buddhadhamma. Karena di dalamnya mengingatkan kita pada relik Buddha yang telah menyebarkan Dhamma bagi umat manusia.

Dhamma Cakra

Dhamma Cakra biasa disebut dengan roda Dharma yang merupakan simbol kebenaran. Jari-jari Cakra beragam, ada yang 4, 8, dan 12. Masing-masing jari-jari memiliki makna. Jari-jari 4 adalah cattari ariya saccani atau empat kebenaran mulia (adanya dukkha, sebab dukkha, jalan menuju lenyapnya dukkha, dan akhir dari dukkha). Dengan memahami adanya dukkha dan jalan keluar dari dukkha, maka seseorang dapat mengatasi penderitaan yang muncul dalam dirinya. Misal, kita merasa direndahkan oleh orang lain. Tidak perlu menderita karena direndahkan, cukup mengetahui kalau direndahkan dan melakukan hal yang baik agar tidak direndahkan orang lain.

Jari-jari 8 adalah hastha ariya magga atau delapan jalan mulia berunsur delapan yakni perhatian benar, pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, penghidupan benar, dan konsentrasi benar. Melalui delapan jalan mulia berunsur delapan ini seseorang sebaiknya dapat menempatkan dirinya ke dalam hal-hal yang benar. Hal yang benar adalah sesuatu yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Bodhi

Nama lain Bodhi adalah ficus religiosa. Bodhi adalah simbol pencerahan, dahulu Pangeran Siddharta mencapai penerangan sempurna dengan melakukan meditasi di bawah Pohon Bodhi di Bodhgaya.

Pohon Bodhi menjadi objek puja untuk mengingat kembali bagaimana perjuangan Pangeran Siddharta dapat terbebas dari penderitaan. Pangeran Siddharta bermeditasi di bawah Pohon Bodhi selama 49 hari kemudian mencapai penerangan sempurna dengan nama Buddha Gautama.

Hendaknya sebagai umat Buddha dapat mengingat Buddha dalam Bodhi. Mempraktikkan ajaran untuk berbuat baik dan bermeditasi agar bebas dari penderitaan.

Teratai

Teratai adalah bunga indah yang tumbuh di air berkumpul dan kotor. Tetapi Teratai tetap bersih sehingga menjadikannya simbol kesucian. Sama seperti seseorang yang ingin mencapai kesucian harus terlebih dahulu membersihkan dirinya dari kekotoran batin, tetap bersih meski lingkungan sekitar kotor.

Menjadi orang seperti teratai cukup dengan berbuat baik, tidak merugikan orang lain, dan menjalankan Pancasila buddhis. Dengan berbuat baik maka seseorang tidak akan terpengaruh oleh tindakan jahat, karena ia sudah paham mana perbuatan baik dan tidak baik.

“Pesan Bhante Pannyavaro, kalau menggunakan batik bersimbol buddhis harus sebagai atasan. Tidak boleh untuk bawahan, itu sama saja tidak menghormati simbol buddhis,” terang Suranto.

The post Serunya Belajar Dharma dari Batik Syailendra appeared first on BuddhaZine.

8 Tahun BuddhaZine, Hidup yang Mencahayai

$
0
0

1 Desember 2019 menjadi momentum bersejarah bagi keluarga BuddhaZine. Hari itu, media buddhis online yang didirikan oleh Sutar Soemitro bersama Jo Priastana telah genap sewindu. Karena itu, sebagai bentuk syukur dan rasa cinta kepada mendiang Sutar, BuddhaZine menggelar saresehan dan gendurian peringatan 8 tahun BuddhaZine.

Sarasehan dan gendurian peringatan 8 tahun BuddhaZine dihelat pada Minggu (1/12), di Dusun Krecek, Temanggung. Acara ini menjadi salah satu rangkaian dari gelaran Festival Dusun Krecek 2019, dusun yang sekaligus menjadi lokasi kantor BuddhaZine sejak tahun 2019.

“Sebagai pendiri BuddhaZine, Sutar juga mempunyai perhatian khusus terhadap budaya dan kesenian Nusantara. Saya ingat betul, pada tahun lalu (2018) ketika peringatan 7 tahun BuddhaZine di Gombong, Sutar mempunyai cita-cita untuk menyelenggarakan festival kesenian, kalau bisa yang bercirikan buddhis. Karena itu, kegiatan malam ini kita dedikasikan kepada Sutar,” tutur Ngasiran dalam sambutannya sebagai perwakilan redaksi BuddhaZine.

Ngasiran kembali menegaskan bahwa BuddhaZine bukanlah aliran atau sekte dalam agama Buddha. BuddhaZine adalah media buddhis yang menyebarkan informasi Buddhadharma di Indonesia. “Kadang masih ada orang yang salah paham soal BuddhaZine, menganggap bahwa BuddhaZine adalah aliran baru dalam agama Buddha, itu tidak benar Bapak/Ibu. BuddhaZine adalah media berita, kami tidak terkait pada organisasi atau lembaga tertentu. Dan tujuan kami hanya satu, yaitu untuk menyebarkan Buddhadharma.”

Memaknai Urip iku Urup

Sarasehan 8 tahun BuddhaZine mengangkat tema Urip iku Urup dengan menghadirkan dua narasumber yaitu; Bhikkhu Dhammasubho (seorang budayawan serta anggota Sangha) dan Supriyadi (Direktur Urusan Pendidikan Agama Buddha Kementerian Agama RI) dipandu oleh Luna Kharisma sebagai moderator (Pengajar di Institut Seni Surakarta). Dalam acara tersebut, turut hadir Bhikkhu Sujano dan Bhikkhu Khemadiro, serta ratusan umat Buddha dari beberapa dusun sekitar.

Sarasehan dimulai dengan penampilan musik Mantram Nyawiji yang dinyanyikan oleh Anda Wardhana, pemimpin Sanggar Omah Wulanggreh, Jakarta. Dengan iringan gitar akustik, Anda Wardhana melantunkan syair-syair Jawa yang kaya makna, lagu itu sekaligus menuntun hadirin ke pokok bahasan yaitu memaknai Urip iku Urup.

Bhante Dhammasubho yang menjadi narasumber pertama memaknai kalimat urip iku urup sebagai sebuah bentuk penghargaan terhadap kehidupan itu sendiri. Sebagai umat Buddha, menurut bhante, menghargai segala bentuk kehidupan seperti yang diajarkan oleh Buddha adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh umat manusia.

”Buddha pun pernah menyatakan bahwa kesehatan adalah keuntungan yang terbesar. Makanya Buddha adalah manusia yang tidak pernah setuju dengan penghinaan, dengan penyiksaan apalagi tentang pembunuhan makhluk hidup. Setahu saya manusia pertama dan satu-satunya manusia yang tidak pernah memberi setuju tentang pembunuhan. Boleh dibuktikan, boleh buka sejarah dunia. Karena itulah kemuliaaan bahwa urip itu urup tanda-tandanya adalah kalau bisa menempatkan harga hidup di atas harga diri, harga diri di atas harga materi. Harga materi berada pada tingkat yang paling bawah,” terang Bhante.

Tapi kebanyakan yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak yang karena harga diri tega melenyapkan hidup orang lain, kalau seperti ini artinya menempatkan harga hidup di tataran rendah. Kalau sudah seperti ini akibatnya di mana-mana banyak terjadi kasus pembunuhan.

”Inilah bedanya Buddha yang menempatkan harga hidup di atas harga diri, menempatkan harga diri di atas harga materi. Orang kalau mengerti ajaran Buddha, meski hidupnya miskin sekalipun tidak akan melakukan kejahatan, lapar sekalipun tidak akan melakukan pencurian karena harga diri. Itulah artinya urip iku urup, orang yang hidup dia akan menyala, nampak sumringah berada di mana-mana,” tegasnya.

Sementara Supriyadi melihat dari sudut pandang perubahan sikap anak-anak muda saat ini yang seakan sudah melupakan petuah-petuah yang merupakan warisan para leluhur. Pak Supriyadi mencoba mengingatkan kembali makna urip iku urup bagi kalangan anak muda.

Urip iku urup. Saya beranjak dari fenomena saat ini di mana banyak anak muda yang sudah tidak lagi mengenal wewaler atau petuah warisan dari para leluhur terdahulu. Makna yang bisa saya ambil dari urip iku urup ini adalah walaupun kita sebagai anak muda, kita tidak boleh menganggap apa yang telah diajarkan oleh para leluhur dahulu adalah kuno dan tidak berguna lagi.

“Nah berkaitan dengan acara yang diadakan oleh umat dan anak-anak muda di Dusun Krecek ini menurut saya adalah suatu upaya untuk membangun kembali, melestarikan kembali nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para pendahulu dan menjadi tradisi warga dusun, sehingga bisa kembali menyinari kehidupan umat di Krecek ini. Karena itulah maka saya berharap dengan ulang tahun yang kedelapan ini BuddhaZine menjadi sebuah sumber nyala yang bisa menerangi umat yang ada di Krecek.

“Pesan lain ketika saya menghadiri acara ini adalah hal apa pun yang harus kita kerjakan entah karena jabatan, entah karena amanah, kita harus melakukannya dengan sepenuh hati. Bahwa apa pun yang kita kerjakan hendaknya melakukan atas dasar kesadaran, cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), keikhlasan, dan kesabaran. Dengan dasar inilah ketika kita melakukan suatu yang baik kita tidak merasa ada yang hilang dari diri kita, tapi kita sedang menanam perbuatan baik sehingga apa yang kita lakukan tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri namun juga bermanfaat juga bagi orang lain. Itulah makna kata urip iku urup,” pungkasnya.

Seusai acara ceramah dan diskusi budaya, acara dilanjutkan dengan genduri bersama sebagai wujud syukur bahwa sampai saat ini BuddhaZine masih tetap bertahan untuk mengabarkan Buddhadharma. Gendurian diawali doa oleh Bhante Dhammasubho untuk kemudian para umat dipersilahkan menyantap makanan yang tersaji. Sebagai penutup acara, umat disuguhi hiburan yaitu penampilan kesenian tradisional Soreng Mataram.

The post 8 Tahun BuddhaZine, Hidup yang Mencahayai appeared first on BuddhaZine.

Meditasi Pagi dan Pentingnya Makan Sayur

Gendurian Tradisi Bersyukur Masyarakat Jawa Buddha

$
0
0

Pagi itu, Minggu (8/12) sejak pagi hari ruang dapur Mbah Sukoyo, Kepala Dusun Krecek sudah terlihat mengepul. Hingga siang hari, bara api dalam pawon (tungku tradisional) tidak pernah berhenti menganga, melahap setiap kayu bakar yang dimasukkan. Tangan cekatan Sutiah (57), sang penguasa dapur sesekali terlihat membolak-balik karon nasi dengan centong kayu, kadang juga menambah kayu dalam tungku.

“Ini untuk makan orang satu dusun, jadi adange (menanak) nasinya harus banyak,” tutur Sutiah. Sutiah adalah istri kepala Dusun Krecek, sebagai pemilik dapur ia menjadi pimpinan memasak untuk hajatan dusun. Ia dibantu oleh puluhan ibu-ibu yang tak kalah sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang bertugas mencuci beras, mengupas aneka sayuran, memotong tempe, menggoreng dan menyiapkan bumbu. Semua dikerjakan dengan penuh kegembiraan. Obrolan-obrolan ringan dengan canda tawa dari ibu-ibu di dapur sesekali terdengar.

Sementara kaum perempuan sibuk di dapur, para laki-laki juga tak kalah sibuk menyiapkan keperluan di luar rumah. Mereka ada yang mengambil kayu bakar, ada yang menyiapkan lampu penerang jalan, mengambil daun pisang untuk alas makanan gendurian, meminjam karpet hingga menyapu jalanan yang akan digunakan untuk gendurian.

“Ini adalah hajatan bersama, pesta kita bersama jadi harus dikerjakan bersama-sama,” ajak Suyanto, Manggalia Dusun Krecek. Ya, hari itu masyarakat Dusun Krecek tengah bersyukur setelah berhasil menggelar upacara Merti Dusun dengan menyelenggarakan Festival Dusun Krecek, Sabtu 30 November – 2 Desember 2019. Juga sebagai syukuran penggunaan gamelan Arya Badracari yang baru diterima guna pinjam pakai masyarakat Dusun Krecek.

Baru-baru ini Dusun Krecek memang mendapat pinjaman gamelan dari Yayasan Dharmamega Bumi Borobudur. Tak sembarangan, gamelan itu adalah produksi Sanggar Bimo Putro, pimpinan Danang Suseno seorang putra dalang kondang Ki Manteb Soedarsono. Sebagai masyarakat dusun yang mencintai seni budaya, mendapat pinjaman gamelan adalah berkah yang luar biasa. “Tidak menyangka, saya kira becanda Om Salim bisik-bisik mau kasih pinjaman gamelan dan sekarang terlaksana. Tentu kita wajib bersyukur, ini adalah berkah yang luar biasa,” tutur Sukoyo.

Pukul 18.00 semua hidangan gendurian sudah siap di dapur. Sukoyo, sebagai sesepuh dusun keluar dari dapur membawa bara api beralas genteng menuju tempat gamelan. Di tengah-tengah gamelan, Mbah Sukoyo duduk bersila menyalakan kemenyan, doa dipanjatkannya, selesai membaca doa Mbah Sukoyo berdiri membunyikan beberapa gong, kendang, dan perangkat gamelan lain.

Gendurian dilakukan di jalanan dusun, tepat luar rumah Mbah Sukoyo. Mulai dari para sesepuh dusun, orang dewasa, pemuda, anak-anak, perempuan maupun laki-laki ikut dalam acara ini. Barisan rapi memanjang saling berhadapan terlihat di bawah cahaya rembulan yang temaram.

Upacara gendurian dipimpin oleh Suyanto, Manggalia Dusun Krecek dengan membacakan doa-doa dalam bahasa Jawa dan dilengkapi dengan pembacaan paritta pemberkahan. Semua proses berjalan dengan hening. Usai upacara, masyarakat makan bersama dengan lahap.

The post Gendurian Tradisi Bersyukur Masyarakat Jawa Buddha appeared first on BuddhaZine.

Kemeriahan Festival Dusun Krecek

$
0
0

Suasana dusun mendadak meriah, bergaung dari sebuah tempat yang berada di tengah-tengah perbukitan di area perbatasan Kota Temanggung dan Semarang. Penyelenggaraan festival yang dihelat di sebuah Dusun Buddhis, Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Temanggung pada Sabtu – Senin (30 November – 2 Desember 2019) ternyata mampu menarik banyak pengunjung baik dari Temanggung maupun dari kota-kota lain.

Festival Dusun Krecek merupakan perhelatan peringatan ulang tahun ke-8 BuddhaZine berpadu acara adat Merti Dusun (bersih desa) dengan tema; Merti Dusun, Mulat Sarira. Latar belakang Dusun Krecek dengan 99,9% penduduknya pemeluk agama Buddha menjadi alasan sebagai tempat penyelenggaraan festival.

Terselenggaranya Festival Dusun Krecek berkat dukungan dari para donatur dan kerjasama berbagai pihak seperti, organisasi pemerintah dan organisasi lintas agama di Kecamatan Kaloran.

Pembukaan acara pada hari pertama dihadiri oleh Bupati Temangggung H. Muhammad Al Khadziq beserta pejabat pemerintah tingkat kecamatan dan desa. Turut diundang juga tokoh lintas agama yang ada di Kecamatan Kaloran untuk mengisi sesi doa lintas agama sebagai pamungkas pembukaan.

Mbah Sukoyo, Kepala Dusun menyampaikan rasa syukurnya karena apa yang beliau dambakan dalam kurun waktu yang lama ternyata bisa terwujud. “Saya sangat bangga dan terharu atas penyelenggaraan festival ini, sejak 26 tahun yang lalu saya menjalani laku tirakat dan selalu melantunkan doa supaya di Krecek ini bisa menjadi tempat berkumpulnya banyak orang dalam suasana yang meriah dan ternyata saat ini bisa terwujud. Saya sangat bersyukur,” tuturnya.

Pawai adat dengan mengusung gunungan hasil bumi menjadi ritual pembuka sebelum acara di panggung utama dimulai.

Acara digelar dengan mengadakan bazar yang menjual berbagai produk lokal dan diikuti kurang lebih 16 stand yang buka mulai pukul 14.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB setiap harinya. Selain itu, di luar lokasi bazar terdapat kelas-kelas festival yang dilaksanakan sejak pagi hingga siang hari.

Setiap hari mulai pagi hari ada bermacam kegiatan dan terbagi dalam beberapa kelas diantaranya kelas meditasi yang dibimbing oleh Doktor Bram Hasto pada hari pertama dan Doktor Agung Eko Hertanto pada hari kedua. Dalam kelas-kelas itu kebanyakan diikuti oleh peserta festival yang datang dari luar kota, mereka live in (tinggal bersama) di rumah-rumah warga Dusun Krecek. Ada juga kelas sesaji yang menjelaskan tentang tradisi turun temurun yang tetap terjaga di Dusun Krecek, kelas sesaji diampu oleh Mbah Sukoyo yang merupakan sesepuh dan Kepala Dusun, Mbah Sukoyo menjelaskan ragam makna sesajian yang biasa digunakan oleh masyarakat Dusun Krecek ketika ada acara atau hajatan.

Satu kelas lagi yang tak kalah menarik yaitu kelas ngarit (mencari rumput) untuk pakan ternak. Para peserta nampak antusias mengikuti kelas ngarit ini, di samping asing bagi warga kota namun kelas ini terasa sangat unik. Di mana ngarit yang sudah terbiasa dilakukan warga desa namun menjadi kegiatan yang memberikan sensasi tersendiri bagi para peserta live in. “Ngarit merupakan sebuah bentuk kasih sayang manusia kepada hewan peliharaannya,” tutur Ngasiran sebagai pengampu kelas ngarit.

Acara festival terpusat di panggung utama festival Dusun Krecek selepas acara per kelas. Panggung utama yang terletak di depan stand-stand basar mulai dibuka untuk mengisi festival pada pukul 15.00 WIB setiap harinya hingga selesai acara pada malam hari. Berbagai penampilan kesenian lokal, baik berupa seni tari maupun seni musik dipertunjukkan di panggung utama ini. Permainan tradisional yang dimainkan anak-anak Sekolah Minggu Buddhis (SMB) pun turut memeriahkan acara festival. Sementara untuk mengisi acara pada malam hari lebih fokus untuk kegiatan ritual budaya maupun kegiatan kerohanian buddhis.

Di malam hari kedua, Minggu, 1 Desember bertepatan hari ulang Tahun BuddhaZine acara diisi dengan sarasehan budaya yang menghadirkan tiga Bhikkhu Sangha; Bhante Dhammasubho Mahathera, Bhante Sujano Mahathera, dan Bhante Khemadhiro. Selain para Bhikkhu Sangha juga turut diundang Bapak Supriyadi, Direktur Urusan Pendidikan Agama Buddha Kementerian Agama RI. sebagai salah satu pembicara. Bhante Dhammasubho selaku pembicara utama menyampaikan apresiasi serta pesan Dhamma yang dikemas dalam diskusi malam yang dihadiri para umat Buddha dari 18 vihara di sekitar Dusun Krecek.

Hari kedua merupakan acara puncak perayaan ulang tahun BuddhaZine yang ke delapan. Sementara di hari ketiga sebagai penutup festival juga merupakan acara puncak perayaan merti Dusun Krecek. Kesenian tradisional Dusun Krecek dipertunjukan dihari terakhir festival hingga malam hari acara dilanjutkan dengan pegelaran wayang kulit dengan Lakon “Dewa Ruci” yang dibawakan oleh Ki Eko Prasetyo sebagai penutup Festival Dusun Krecek secara keseluruhan.

Kemeriahan acara maupun suasana Dusun Krecek mengundang banyak komentar positif dari para pengunjung maupun para peserta live in dan bazar melalui media online instagramnya.

“Dua hal organik yang mengakar dalam tradisi Dusun Krecek, Temanggung, Jawa Tengah. Seni pertunjukan (tari, wayang, dan musik) menjadi sajian utama. Bagi warga sekitar, seni adalah medium untuk mengekspresikan rasa syukur, menghayati alam, dan mengapresiasi mekanisme kasih saya semesta.” Akun instagram seliradian (4/12).

“Hal unik yang pertama di dusun damai ini. kita jadi susah buat mikir. Berbeda dengan kondisi kota besar yang susah untuk tidak mikir, suasana dusun yang sangat meditatif ini seperti “nyirep” kami untuk berhenti mikir. Berhenti sejenak. istirahat. Dusun ini hampir seluruh penduduknya Buddhis, ada kurang lebih 54 KK dan masih memegang adat Jawa yang kuat. Bersih dan damainya mirip desa Panglipuran di Bangli, Bali. Tapi Dusun Krecek lebih meditatif menurut saya.” Akun instagram omah.wulangreh (4/12).

“Minggu, 1 Desember merupakan perayaan merti desa di Desa Krecek sekaligus ulang tahun BuddhaZine @buddhazine. Untuk merayakaannya di adakan serangkaian kegiatan spiritual, budaya, dan seni di Desa Krecek.” Akun instagram stab_syailendra.

The post Kemeriahan Festival Dusun Krecek appeared first on BuddhaZine.

Dewa Ruci: Kisah Pencarian Sunyata

$
0
0

Apabila kita memiliki suatu cita-cita, harus ditempuh dengan usaha dan tekad. Usaha berkaitan dengan apa saja yang dilakukan, tekad adalah kekuatan batin yang menjadi pendorong untuk berusaha mewujudkan cita-cita tersebut.” 

Berbeda dengan pertunjukan wayang biasanya, penampilan Ki Eko dan kawan-kawan wiyogo dari ISI Surakarta ternyata mampu mengundang para penonton dari berbagai daerah di Temanggung. Bahkan nampak anak-anak muda yang biasanya enggan untuk menonton wayang, kali ini ikut menonton. Di samping lakon yang menjadi favorit dan populer di kalangan pencinta seni wayang, penampilan dalang, dan wiyogo pun turut mempengaruhi minat masyarakat untuk menonton pertunjukan malam itu, Festival Dusun Krecek (2/12).

Ki Eko dengan nama asli Ki M.Ng. Eko Prasetyo, M.Sn yang kemudian oleh Bhante Dittisampano diberi tambahan nama Gutomo Carito adalah seorang dalang buddhis yang lahir di Lampung Tengah, 13 Juni 1984. Sejak kecil oleh orangtua memang digadang menjadi dalang. Untuk mewujudkan cita-cita orang tuanya, ia menempuh pendidikan seni di SMK N 8 Surakarta, jurusan Seni Pedalangan lulus 2002. Selanjutnya ia meneruskan kuliah di ISI Surakarta jurusan Karawitan, lulus tahun 2007, dan S2 Seni Teater, lulus 2014.

Aktivitas Ki Eko saat ini mengajar di Akademi Seni Mangkunegaran, Surakarta bidang Seni Pedalangan dan di STIAB Smaratungga, Ampel, Boyolali. Ia mengampu UKM Karawitan, di samping itu beliau juga sering mengisi pertunjukan wayang kulit utamanya dalam kegiatan-kegiatan vihara.

Atas permintaan warga Dusun Krecek, Ki Eko membawakan lakon Dewa Ruci, yang menurut warga Dusun Krecek, lakon ini lebih dekat dengan kisah-kisah hidup dan ajaran-ajaran Buddha.

Lakon Dewa Ruci diambil dari Kitab Nawaruci karya Mpu Siwamurti yang diperkirakan ditulis pada era Majapahit akhir. Kitab ini kemudian ditulis ulang oleh Yosodipuro I, Pujangga Keraton Kasunanan Surakarta periode paling awal yang berbentuk Macapat dengan judul Serat Dewaruci. Sumber ini kemudian banyak disalin dan kemudian dijadikan rujukan para dalang untuk menyusun lakon.

Alur carita lakon Dewa Ruci

Dikisahkan Bima sedang berguru tentang ajaran Sunyata kepada Resi Drona. Resi Drona memerintahkan Bima untuk mencari Kayu Gung Susuhing Angin. Perintah ini sesungguhnya adalah siasat Drona untuk melenyapkan Bima. Drona melakukan ini atas tekanan Doryudana dan Sengkuni yang selalu diliputi kebencian terhadap para Pandawa.

Bima adalah murid yang sangat patuh kepada gurunya. Ia berangkat menuju tempat berbahaya yang sudah ditentukan Drona. Tempat tersebut adalah Gua Sigrangga yang berada di hutan Tikbrasara, lereng Gunung Candramuka.

Namun, apa yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua dan sekitarnya diobrak-abrik hingga membuat terkejut dua raksasa yang tinggal di sana, yaitu Rukmuka dan Rukmakala. Kemudian terjadi perkelahian antara mereka dan membuat dua raksaksa tersebut terbunuh.

Tak lama kemudian, bangkai Rukmuka dan Rukmakala berubah wujud menjadi Batara Indra dan Bayu.

Dikatakan bahwa Kayu Gung Susuhing Angin adalah ukara pepindhan atau kalimat teka-teki. Kayu berarti Kajeng atau keinginan, Gung artinya besar, luhur, Susuhing Angin adalah napas. Jadi, siapa pun yang memiliki keinginan luhur, terlebih dahulu harus mampu mengamati napasnya sendiri dengan penuh kesadaran. Ini sebenarnya adalah ajaran Pranayama yang disampaikan oleh penulis kisah ini.

Setelah mendapatkan wejangan dari Indra (Sakha) dan Bayu, Bima kembali ke Astina. Agar untuk mencari air kehidupan, Sena di perintahkan agar kembali ke Astina.

Tirta suci

Di Astina, Drona pun memerintahkan Bima untuk menuju samudera demi mendapatkan Tirta Pawitra atau Tirta Amerta (Air Suci). Sebelum pergi, semua kerabat Bima melarang dan memperingatkan bahwa semua itu hanyalah jebakan. Namun Bima tetap teguh dan bertekad pergi demi melaksanakan titah sang guru. Bahkan jika ia harus menemui kemalangan pun ia siap, sebab ia sendiri memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah Dharma (kebenaran).

Sesampai di tepi laut, ia mengatur segala emosi yang timbul, ketakutan, keraguan di dalam diri atas sanggup dan tidaknya ia memasuki samudera raya. Dengan kesaktian aji Jalasegara yang ia dapatkan dari Batara Bayu pada perjalanan sebelumnya, ia memasuki dasar laut dengan menyibak air, bahkan sanggup bernapas di dalam air.

Alkisah ada naga sebesar pohon tal, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Bima sampai tubuhnya tak mampu bergerak. Tak disengaja, kuku Pancanaka milik Bima menancap di leher naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, laut berwarna merah jingga.

Bima pun mati. Di dalam kondisi itulah, Bima bertemu dengan sosok yang agung, Ia adalah Sang Nawa Ruci atau Dewa Ruci, atau juga disebut sebagai Sang Asyintya (yang tak terpikirkan, Jawa: Tan kena kinaya ngapa).

Di situ, Bima mendapatkan wejangan tentang “sunyata” sebagai tujuan tertinggi dalam kehidupan. Bagi orang Jawa, tujuan tertinggi bukanlah surga yang masih memiliki rupa, melainkan sunyata atau padamnya segala kondisi, segala kotoran batin.

Setelah selesai mendapatkan wejangan, Bima dihidupkan kembali. Kemudian diminta kembali ke kehidupannya untuk melanjutkan tugasnya sebagai seorang ksatria pinandita.

“Pesan yang paling mendasar dalam lakon ini adalah apabila kita memiliki suatu cita-cita, harus ditempuh dengan usaha dan tekad. Usaha berkaitan dengan apa saja yang dilakukan, tekad adalah kekuatan batin yang menjadi pendorong untuk berusaha mewujudkan cita-cita tersebut. Ini mirip dengan kisah Buddha saat berusaha mewujudkan cita-cita-Nya. Beliau bisa mencapai Pencerahan karena tekad yang kuat dan usaha yang pantang menyerah,” jelas Ki Eko.

“Mungkin dalam bahasa buddhisnya Saddha. Saya lebih suka menerjemahkan ini tekad, bukan keyakinan atau keimanan,” imbuhnya.

The post Dewa Ruci: Kisah Pencarian Sunyata appeared first on BuddhaZine.

Taman Baca Samudera: Mari Kita Arungi Samudera Ilmu dengan Bahtera Buku

$
0
0

Taman Baca Samudera (TBS) adalah rumah literasi yang menyediakan sejumlah bacaan yang berfokus utama mencerdaskan anak-anak di sekitaran Desa Sarongan, desa yang terletak di Pesanggaran, Banyuwangi. TBS dijadikan sebagai frasa nama karena Sarongan berada di daerah pesisir Banyuwangi bagian selatan, berbatasan dengan Samudera Hindia.

Selain menjadi sumber kehidupan laut, filosofinya, samudera memiliki kelebihan serta menyimpan banyak harta yang tidak habis di dalamnya. Mengarungi dan menyelami samudera artinya menjumpai pengalaman, kekayaan, dan ilmu yang berlimpah ruah. Demikian pula dengan keberadaan TBS diharapkan bisa menjadi tempat yang representatif guna menyelami dan menggali sejuta wawasan melalui bacaan. Sesuai dengan slogan ajakannya, “Mari Kita Arungi Samudera Ilmu dengan Bahtera Buku.”


TBS berdiri sejak 10 November 2015 silam, yang diinisiasi oleh Bhikkhu Virasilo selaku putra daerah. Bhante memiliki kegemaran membaca sejak kecil, memiliki pengalaman menyisihkan uang jajan untuk membeli koran, membaca lemekan koran bekas bungkus ikan teri, dan berangkat dari itu Bhante memiliki angan-angan hidup di antara tumpukan buku, memiliki kios atau menyewakan buku-buku.

Pada tahun 2014, ia berpikir bagaimana cara untuk mewujudkan itu semua. Puncaknya, setahun kemudian, bermula dari perbincangan dengan Bhikkhu Gunapiyo (sekarang Yogi Gunavaro), Atthasilani Dhammanandini, dan Atthasilani Gunanandini berdirilah TBS. Niat yang besar menjadi satu modal utama. Tapi tentu niat saja itu tidaklah cukup. Ketika awal-awal berdiri, Bhante membeli sejumlah buku dengan modal Rp. 400.000,-  serta membuatkan rak-rak untuk memajangnya.

Persiapan yang tidak kalah penting lainnya adalah tempat atau lokasi. Saat ini samudera ilmu itu bertempat di sebuah rumah milik Bapak dari Bhante Vira sendiri. Rumah berukuran sedang dan tidak terpakai. Didekorasi sederhana menjadi sebuah rumah dan taman baca yang menarik bagi anak-anak. Lokasinya terletak di luar lingkungan wihara.

Tidak terlalu jauh dari wihara Thirta Vana Jaya. Wihara tidak dipilih menjadi lokasi demi alasan agar anak-anak dari kalangan non-Buddhis juga tertarik dan bisa datang dengan hati lapang tanpa harus membawa perasaan sungkan. Sehingga mereka juga mendapatkan manfaat dari keberadaan TBS. Sebuah pertimbangan yang arif mengingat di Sarongan sangat kental dengan kemajemukan agama. Kebanyakan dari mereka yang kemudian datang ke TBS untuk membaca dan bermain beragam dan mayoritas bukan anak-anak Buddhis. Mereka datang dengan satu tujuan yaitu belajar.

Tepat satu tahun setelah keberadaannya, dirayakan sebuah acara yang dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi sekaligus syukuran. Sampai dengan hari ini, setiap bertepatan dengan hari jadinya, TBS selalu diramaikan oleh anak-anak beserta beberapa orang tua datang untuk sekadar kumpul merayakan momentum penting ini dan makan bersama.

TBS buka setiap hari kecuali Minggu. Dibuka dari pukul 10.00 WIB, jam pulang sekolah, sampai dengan 16.00 WIB. Rerata jumlah anak yang datang 20-an setiap hari. Jumlah yang tidak sedikit. Di samping itu, TBS juga memiliki agenda rutin seperti mengisi acara desa, anak-anak membacakan puisi sosial. Di lain kesempatan mereka juga unjuk diri ketika ada perlombaan. Anak-anak ini sudah dibekali di TBS, karena di lingkup TBS sendiri secara berkala selalu mengadakan perlombaan. Anak-anak yang hendak belajar membaca juga tidak jarang datang dan belajar di TBS.

Empat tahun berjalan, berangsur-angsur TBS menjelma tempat yang semakin nyaman untuk dijadikan rumah belajar. Perubahannya nampak secara signifikan dari tahun ke tahun. Baik dari segi dekorasi, sumber bacaan, tenaga penjaga, dan antusiasme anak-anak. Semuanya tidak terlepas dari sumbangsih banyak pihak. Sejauh ini TBS memiliki beberapa orang donatur tetap yang secara berkala menyumbangkan bahan bacaan atau berupa santunan untuk biaya operasional.

Ada pula orang-orang yang perhatian dan berbaik hati, yang meski mengetahui TBS hanya dari perantara maya menyumbangkan bacaan bekas layak baca, alat tulis bahkan cemilan. TBS juga tidak luput dari perhatian Pemda Banyuwangi bagian keperpustakaan. Mereka rutin setiap sebulan sekali membawa perpustakaan keliling sebanyak satu mobil buku. TBS mendapat jatah 10 buku, didrop lalu ambil dan diperbaharui pada bulan berikutnya.

Untuk penjaga dan membantu merawat, TBS memiliki sosok yang rajin, teliti, dan terutama senang hati berinteraksi dengan anak-anak. Namanya Ibu Sri Antini (55), asli Sarongan. Bu Sri merupakan penyandang disabilitas. Delapan tahun yang lalu kakinya diamputasi karena suatu kecelakaan lalu lintas. Saat ini beliau menggunakan bantuan kaki artifisial.

Ada harapan yang terbentang, suatu kelak, TBS memiliki gedung sendiri yang lebih luas dan sesuai. Tempat nyaman yang tidak saja menjadi taman baca untuk anak-anak melainkan pula bagi orang dewasa serta memberikan manfaat lebih dengan difungsikan menjadi tempat kegiatan sosial lainnya. Semoga ini terealisasi suatu hari nanti.

Harapan lain dan yang utama, dengan adanya TBS akan dapat menjadi tempat yang menjadikan generasi muda yang kompeten dan berdaya guna.

Mencetak generasi yang melek akan literasi.  Adalah kebahagiaan tersendiri ketika suatu hari nanti salah seorang dari anak-anak ini datang, saat Bhante atau Ibu Sri telah samar dengan wajah kecil mereka, mengenalkan diri bahwa mereka sudah sukses di bidang masing-masing. Ini bukan harapan yang berlebihan dan TBS bisa menjadi jembatan untuk sampai pada tujuan.

* Transkrip dari hasil wawancara oleh Bhikkhu Ratanajayo dengan Bhikkhu Virasilo dan Bu Sri. Ditulis dengan sedikit banyak tambahan oleh Bhikkhu Pabhajayo. Dengan kilasan singkat ini, harapan kami TBS semakin diketahui keberadaannya. Kami akan sangat senang hati menerima manakala ada tangan dan hati yang baik mendermakan bacaan untuk anak-anak kami. Namaste.

The post Taman Baca Samudera: Mari Kita Arungi Samudera Ilmu dengan Bahtera Buku appeared first on BuddhaZine.


Sugeng Tindak Suprapto Suryodharmo

$
0
0

Umat Buddha Indonesia kehilangan sosok seniman buddhis penuh dedikasi, Suprapto Suryodharmo, pencipta Wayang Buddha meninggal dunia di tanah kelahirannya, Solo, Minggu (29/12) dini hari pukul 01.45 WIB. Mbah Prapto – sapaan akrab Suprapto Suryodharmo – dikabarkan meninggal akibat serangan jantung, ia sempat dirawat di rumah sakit dr. Oen selama beberapa jam sebelum mengembuskan napas terakhir.

“Sekitar jam 01:45 di RS dr. Oen Bapak Prapto dipanggil kembali ke rumah Yang Maha Pencipta. Saya sama Mbak Melati dan Galih bersama beliau saat pernapasan terakhirnya,” tulis Diane Butler, rekan seniman Mbah Prapto, kepada BuddhaZine melalui pesan singkat.

Mbah Prapto lahir di Surakarta pada tahun 1945. Sejak kecil Mbah Prapto memang sudah gemar olah jiwa dan raga. Gerak tubuh dipelajari Mbah Prapto dari menari tari klasik Jawa dan mengikuti seni bela diri seperti pencak silat dan kungfu. Sedangkan seni olah jiwa didapat dari ayahnya yang menganut aliran Kejawen melalui laku prihatin, relaksasi Jawa (sumara).

Pada tahun 1970-an Mbah Prapto mulai mendalami gerak ekspresi bebas. Namun dalam perjalanan waktu, Mbah Prapto merasa ada kejanggalan dalam dirinya, sehingga ia harus mencari sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti. Dalam proses pencariannya itu, Ia bertemu dengan ajaran Buddha saat mengikuti meditasi vipassana di bawah bimbingan Bhante Jinaphalo.

“Pada hari terakhir vipassana, saya merasa mendadak menjadi seperti orang biasa lagi, mendadak sadar, menangis. Terus saya langsung minta ditahbiskan menjadi umat Buddha oleh Bhante Jinaphalo, dan saya ditahbiskan dengan nama Surya Dharma,” tutur Mbah Prapto kepada BuddhaZine tahun 2016 silam, di Hotel Pelataran Borobudur, Mungkid, Magelang.

Meditasi vipassana kemudian memengaruhi kreativitas Mbah Prapto dalam setiap pementasannya. Dari sana juga lahir tarian khas Mbah Prapto yang disebut sebagai Joget Amerta.

“Joget Amerta adalah bentuk dari gerak bebas, ada retret. Jadi memang gabungan vipassana bentuk meditasi Jawa (sumara) dan gerak bebas. Dilakukan di candi-candi, pasar,” katanya.

Di dunia pewayangan, Mbah Prapto juga terkenal mengenalkan jenis wayang baru yaitu Wayang Buddha. Wayang Buddha merupakan seni pertunjukan yang memadukan antara laku, mantra, dan meditasi vipassana. Sehingga dalam sebuah pertujukan seni tidak hanya menjadi sebuah tontonan saja, tetapi lebih dari itu, yaitu menyampaikan pesan moral kepada penonton.

Wayang ini dicipta oleh Mbah Prapto bersama Hajar Satoto, perupa yang juga berasal dari Solo. Meskipun diwarnai pro dan kontra, Wayang Buddha sempat mewarnai dunia pewayangan di Indonesia, bahkan sampai dipentaskan di berbagai negara.

Pentasnya ke Jerman (bersama koreografer Sardono W Kusuma) dalam Festival Pantomim Internasional tahun 1982 mempertemukannya dengan orang-orang yang memiliki pendekatan gerak bebas, sama dengan dirinya. Setiap tahun sejak lawatannya yang pertama itu, Mbah Prapto terus-menerus diundang untuk memberikan workshop dan mementaskan jogetnya di Eropa, Australia, Filipina, Korea, Jepang, dan Amerika Serikat.

Ketika jaringannya mulai tersebar di banyak negara, tahun 1986 ia mendirikan Padepokan Lemah Putih, sebuah wadah untuk menampung murid-muridnya. Di padepokan itulah kemudian lahir komunitas Sharing Movemen. Istilah ini untuk menyebut teknik mengajar Mbah Prapto yang lebih banyak sharing.

Mbah Prapto meninggal di usia 74 tahun. Jenazahnya kini disemayamkan di Rumah Duka Thiong Ting, Jebres, Solo. “Senin jam 12:00 WIB, akan disemayamkan di Taman Budaya Jawa Tengah di Solo. Kemudian diberangkatkan ke Delingan, Karanganyar untuk dikremasi,” tulis Diane Butler.

Selanjutnya, jenazah akan dibawa ke Delingan untuk dikremasi. Abu Mbah Prapto akan dimakamkan di samping makam istirnya di Tempat Pemakaman Umum Bonoloyo, Solo, Jawa Tengah.

The post Sugeng Tindak Suprapto Suryodharmo appeared first on BuddhaZine.

Meditasi di Gua Meditasi Dusun Guwo, Jepara

$
0
0

Jum’at (27/12), sejak matahari belum terbit ibu-ibu sudah sibuk mempersiapkan makanan lengkap dengan lauk dan sayur untuk kemudian di bawa ke tempat pelatihan. Di tempat pelatihan meditasi, mereka menata dengan rapi makanan. Mulai pukul empat para remaja putri, yang rata-rata masih duduk di bangku sekolah SMP hingga SMA, sudah mulai bangun dan membersihkan diri, mengenakan jubah putih, berjalan menuju  satu tempat, berjajar di depan rupang Buddha di sebuah goa kecil.

Para remaja yang kurang lebih tiga puluh anak tersebut sedang belajar untuk menata pikiran mereka dalam sesi meditasi pagi. Belajar untuk diam dalam keheningan. Mereka sedang mengikuti pelatihan atthasila selama kurang lebih enam hari sejak tanggal 24 hingga tanggal 30 Desember 2019 di Dusun Guwo, Desa Blingoh, Kec. Donorojo, Kab. Jepara.

Berbeda dengan pelatihan sebelumnya, kali ini peserta dari luar Jepara nampak lebih banyak di antaranya dari Kecamatan Kaloran, Kab. Temanggung, Kec. Sumowono dan Kec. Salatiga, Kab. Semarang.

“Seneng banget, selain bisa ikut latihan juga tambah banyak kenalan. Memang saya pernah ikut latihan di tempat lain, tapi di sini saya baru pertama kali. Tempatnya lebih menyenangkan dan latihannya juga lebih ketat. Kalau nanti ke depan ada pelatihan di sini lagi saya pengin ikut lagi,” ungkap pelajar SMK SPP Kanisius Ambarawa, Pargiyatun, peserta asal Dusun Semanding, Kab. Semarang.

“Lebih seneng lagi kalau pas sesi materi dari atthasilani dan sesi ulasan Dhamma dari Bhante, tapi kalau pas meditasi saya suka ngantuk,” imbuhnya disertai tawa kecil.

Beberapa peserta pun ada yang sudah kesekian kalinya mengikuti pelatihan namun tak pernah jenuh untuk ikut latihan lagi, salah seorang peserta mengakui selalu mendapatkan pengalaman berbeda dari setiap latihan yang mereka ikuti.

“Ya memang saya selalu ikut setiap ada pelatihan di sini, tapi saya selalu mendapatkan hal-hal berbeda dalam setiap latihan. Yang jelas bertambah teman karena setiap latihan selalu ada peserta baru dari tahun ke tahun dan juga ada tambahan sesi yang sebelumnya belum ada. Saya juga ingin semakin memperkuat keyakinan saya terhadap Buddhadhamma dan menambah ilmu keagamaan saya. Apalagi setiap ada pelatihan ada pengisi materi yang berbeda-beda jadi kita bisa belajar dari banyak guru di sini. Dan tambah asyik lagi ada kali ini Dhammayatranya agak jauh, ke Kopeng Salatiga,” pengakuan Siti Kartika, peserta asal Dusun Guwo, pelajar di SMA 1 Donorojo.

Bangun pagi, meditasi, baca paritta, mendengarkan ulasan Dhamma dan menjalankan atthasila, itulah yang mereka lakukan setiap harinya selama mengikuti pelatihan. Hujan yang turun di sela-sela waktu latihan pun tak menyurutkan semangat mereka untuk menggembleng kedispilinan dan cara hidup sesuai tuntunan ajaran Buddha.

Bhante Khemadhiro dibantu oleh Samanera Dilarjaya membimbing sesi meditasi dan baca paritta serta memantau kedisiplinan para peserta. Sementara dua atthasilani dari STAB Kertarajasa Batu, Malang yaitu Athasilani Upekhadasini dan Athasilani Khantidasini membantu mengisi sesi materi Dhamma.

Pemandangan lain di balik kelancaran latihan ada beberapa ibu-ibu yang tak pernah lelah  mempersiapkan tempat latihan. Sama sibuknya dengan peserta, mereka sudah bangun bahkan sebelum para peserta bangun, mengecek segala keperluan latihan dan selalu siaga kalau-kalau ada peserta yang membutuhkan bantuan.

“Pagi hari sebelum para peserta bangun saya dengan ibu-ibu yang lain harus sudah mempersiapkan keperluan mereka mulai dari membersihkan kamar mandi dan memastikan air di bak mandi tersedia kemudian membersihkan area latihan. Menjelang waktu sarapan dan makan siang kami membantu mempersiapkan tempat makan dan mempersiapkan minuman untuk peserta, nanti pas wktu istirahat malam ya kami membereskan apa saja yang perlu dibereskan setelah dipakai selama latihan siang hari,” tutur Panisah, salah satu relawan.

Sekitar pukul 10.30 WIB para ibu-ibu lain mulai nampak beriringan menyusuri sebuah jalan setapak menuju lokasi latihan. Mereka berduyun-duyun membawakan makanan untuk makan siang para peserta. Sungguh satu wujud dukungan dalam melestarikan dan mengembangkan Buddhadhamma yang patut mendapatkan apresiasi.

The post Meditasi di Gua Meditasi Dusun Guwo, Jepara appeared first on BuddhaZine.

Belajar dari Bhutan: Menemukan Rahasia Kebahagiaan Sejati

$
0
0

Belum lama ini yaitu tanggal 22 Desember 2019, Komunitas Namcho Semarang mengadakan serangkaian acara menjelang akhir tahun, di CES Hwa Ing, Purwodinatan, Semarang. Salah satunya adalah Dharmadesana bertajuk “Menemukan Rahasia Kebahagiaan Sejati”, yang dibawakan oleh Lopon Dorji Sherab dan Lopon Sangay Chopel, biksu Vajrayana dari Bhutan.

Acara ini diawali dengan presentasi “Rahasia Bhutan menjadi negara paling bahagia”, yang disampaikan oleh Catur Kumala Dewi, seorang praktisi Namcho yang sudah beberapa kali berkunjung ke Bhutan. Sebagai moderator dan pengantar acara ini, Catur menjelaskan “Di Bhutan, yang lebih penting ditekankan adalah GNH (Gross National Happiness) daripada GNP (Gross National Product) menjadi dasar perkembangan Bhutan.” Presentasi mengenai Bhutan ini disampaikan secara interaktif bersama Lopon Dorji Sherab dan Lopon Sangay Chopel.

Lopon Dorji Sherab juga menyebutkan bahwa yang membuat orang Bhutan bahagia adalah ajaran Buddha. Salah satu contoh adalah ajaran mengenai karma. Orang Bhutan memandang orang kaya dan miskin itu sesuai karma mereka masing-masing, jadi tidak perlu untuk iri hati dan gusar satu sama lain dalam melihat kekayaan orang lain. Selain itu juga diajarkan untuk tidak terlalu melekati sesuatu secara berlebihan. Itu yang membuat kesenjangan antara orang kaya dan miskin tidak terlalu jauh di Bhutan. Masyarakat hidupnya selalu puas dan merasa cukup.

Bhutan juga dikelola dengan prinsip keseimbangan yang sesuai dengan ajaran Buddha. Beberapa contoh seperti memancing, berburu, dan membunuh binatang akan didenda, menebang pohon harus memiliki izin dari pemerintah, bahkan ada cerita menarik tentang pemerahan susu sapi. Jika induk sapi memiliki anak-anak sapi, maka tidak boleh puting sapi induk tersebut diperah semuanya, tapi mesti menyisakan sebagian untuk anak-anak sapi.

Di Bhutan tidak ada penjagalan, jadi binatang hidup bahagia di alam dan tidak ada kandang khusus. Prinsip keseimbangan yang lain terkait dengan pentingnya keluarga.

Pemerintah tidak akan memisahkan keluarga dalam kepentingan dinas. Misalkan pegawai negeri mendapat mutasi kerja dan mesti pindah ke kota lain, maka pemerintah memberikan kebijakan bahwa keluarganya juga harus pindah ke kota tersebut.

Lopon Dorji Sherab menjelaskan bahwa GNH memilki empat pilar penting, yaitu: pemerintahan yang bagus (good governance), pembangunan sosial-ekonomi yang berkelanjutan (sustainable and equitable socio-economic development), pelestarian dan promosi budaya (preservation and promotion of culture), dan konservasi lingkungan (environmental conservation). Suatu bukti ajaran Buddha diterapkan dalam kebijakan pemerintah, terutama komitmen pemerintah dalam mengutamakan GNH.

Di akhir sesi, Lopon Sangay Chopel menjelaskan mengenai 9 ranah GNH, meliputi: kesejahteraan psikologis (psychological wellbeing), standar hidup (living standard), pemerintahan yang baik (good governance), kesehatan (health), pendidikan (education), vitalitas komunitas (community vitality), keanekaragaman dan ketahanan budaya (cultural diversity and resilience), penggunaan waktu (time use), dan keanekaragaman dan ketahanan ekologis (ecological diversity and resilience). Sembilan ranah ini menjadi indikator untuk mengukur GNH. Beberapa penerapan 9 ranah ini adalah seperti pendidikan dan layanan kesehatan yang gratis bagi orang Bhutan.

Menyimak Dharmadesana ini bukan sekadar informasi Bhutan yang dipahami sebagai Shangri-La terakhir, suatu kerajaan Buddhis yang menerapkan prinsip ajaran Buddha, tapi juga menjadi bahan refleksi untuk kita semua mengenai kebahagiaan.

Dalam menjalani hidup, terutama dalam mempraktikkan Dharma, seberapa besar kebahagiaan dari dalam kita ini? Seperti yang pernah diingatkan oleh Gyatrul Rinpoche, “Orang bijak melihat bahwa penderitaan dan kebahagiaan tergantung pada batin, sehingga mereka mencari kebahagiaan di dalam batin.”

The post Belajar dari Bhutan: Menemukan Rahasia Kebahagiaan Sejati appeared first on BuddhaZine.

Prof. Chau Ming: Mahayana adalah Tentang Kepedulian

$
0
0

Mahayana, merupakan salah satu aliran dalam agama Buddha. Aliran Mahayana lebih banyak berkembang di negara-negara Asia Timur seperti, Tiongkok, Jepang, dan Taiwan. Menurut Chen Chau Ming, seorang profesor dari Dharma Buddhis University, Malaysia, lahirnya aliran Mahayana merupakan sebuah proses sejarah. Mahayana lahir di India akibat reaksi terhadap usaha yang dianggap hanya mementingkan diri sendiri. Karena itu ajaran Mahayana fokus pada pengembangan maître karuna.

“Ajaran mendasar dalam aliran Mahayana adalah untuk menyelamatkan diri sendiri dan harus peduli dengan orang lain. Setiap orang harus bertanggung jawab teradap perbuatannya sendiri (karma) tetapi setiap orang juga harus peduli, harus mengembangkan maître karuna,” jelas dosen pengampu mata kuliah Mahayana, STAB Nalanda yang mengajar sejak tahun 1981.

Menurut Prof. Chau Ming, karena filsafat Mahayana sulit untuk dimengerti, sehingga muncul yang dinamakan upaya kausalya yaitu, sebuah metode menyampaikan ajaran yang sulit supaya lebih mudah dimengerti. “Memang filsafat Mahayana itu sulit ya, jadi para guru Mahayana sering menggunakan perumpamaan atau kisah-kisah untuk menyampaikan ajaran. Ada orang menggambarkan begini, apa itu Mahayana, sebenarnya apa sih aktualitasnya?

Upaya kausalya

“Ada 20 orang melakukan perjalanan bersama menuju suatu tempat. Mereka berjalan dari pagi hingga sore hari, tentu haus dan lapar. Pada saat itu, di tengah perjalanan dari kejauhan mereka melihat ada sumber air bersih. Tapi untuk menuju ke sana, harus menaiki bukit. Pada saat naik, ada orang berkata eh ada orang tua tertinggal di bawah, nah kita harus turun lagi untuk memapah orang tua itu untuk naik ke atas,” terang Prof. Chau Ming memberi contoh.

Kembali menjemput orang tua yang kelelahan kemudian memapah orang tua itu adalah wujud dari rasa peduli. “Rasa peduli itu harus ada, lepasnya maître karuna, Dharma Buddha itu tidak akan ada sukmanya. Harus peduli kepada orang lain dan harus peduli juga dengan persoalan sosial di masyarakat, bukan hanya menyembunyikan diri, meditasi. Apalagi di tengah-tengah masyarakat modern sekarang ini, kemiskinan, kebodohan, pengangguran kan lebih banyak kita jumpai. Melihat hal ini, dalam Mahayana kita harus berperan.”

Yang sangat dipentingkan dalam ajaran Mahayana adalah sikap peduli. Orang yang mampu harus membantu orang yang tidak mampu. Tapi kalau ada orang yang kaya raya diminta untuk membantu kemudian dia tidak bersedia membantu karena berpikir ‘ini hasil perjuangan saya selama berpuluh-puluh tahun’ secara rasional memang benar itu harta dia. “Perbedaannya kan mau ngga peduli, bagaimana mengembangkan kepedulian ini tentunya dengan cara melafalkan nama Buddha, namaskara, pujabhakti, dan samadhi. Itu semua adalah cara, yang disebut upaya kausalya sebenarnya seperti itu.

“Tapi tidak boleh berhenti pada konsep upaya kaulsaya yang seperti itu saja. Jadi jangan heran kalau ada orang datang ke vihara berpuluh-puluh tahun tapi tidak mengalami perubahan. Vegetarian berpuluh-puluh tahun, setiap pagi bangun baca doa tapi perilakunya keliatan sekali. Kita lihat ya, kenapa orang tidak bisa merubah karma buruknya, itu karena orang itu tidak mau peduli dengan orang lain, tidak mau berdana. Kemudian orang itu egois dan iri hatinya pun tinggi, hal-hal ini yang sehari-hari itu kita hadapi harus coba kita amati dan kembali melihat ke dalam diri. Tidak peduli itu siapa, guru atau pandita, umat Buddha siapa pun itu harus menerapkan ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-harinya,” jelasnya.

Perkembangan

Aliran Mahayana yang berkembang di masyarakat sekarang ini antara lain adalah Mahayana yang menitikberatkan pada puja, pelajaran, dan samadhi. “Sebenarnya pelajaran melakukan bakti puja dengan menyebutkan Namo Amitabha Buddhaya itu adalah metode psikologi yang baik sekali. Orang itu disuruh smerti dengan melafalkan nama Buddha agar timbul kebaikan. Tetapi karena kadang yang terlalu dititik-beratkan hanya pada upacara, akhirnya orang melupakan ajaran-ajaran yang memang sulit ya, filsafat Buddha itu memang sulit ya.

“Kemudian Mahayana Zen meditasi, bagus sekali tetapi itu juga sulit. Karena terlalu sulit sehingga biksu-biksu menggunakan kong-an. Kong-an itu dialog of the master. Contoh yang paling gampang; Seorang samanera sudah berdiam selama satu tahun di vihara. Pada suatu hari, samanera itu berkata kepada gurunya, ‘guru saya sudah tinggal di vihara ini satu tahun lebih, tapi saya tidak belajar apa-apa ya guru. Saya mau kembali saja ke rumah saya.’ Gurunya yang mendengar itu kemudian tercengang, ‘hah kamu tidak belajar apa-apa? Nyatanya waktu kami di sini, bangun pagi kamu ketemu dengan saya, kamu mengucapkan selamat pagi guru, saya juga menjawab selamat pagi. Ketika kita makan pagi bersama di sini, kamu mengangkat mangkuk dan bilang mari makan guru, saya pun menjawab, kenapa saya tidak mengajarkan apa-apa?’

“Kan ini metode kalau dilihat perkembangan sekarang, mengajar itu bukan semata-mata maembaca buku dan menghafal. Tetapi dengan contoh yang aktual. Sesungguhnya alangkah baiknya kalau orang-orang mau mempelajari filsafat atau ajaran Mahayana kemudian diterapkan dalam tindakan sehari-hari,” pungkas Prof. Chau Ming.

The post Prof. Chau Ming: Mahayana adalah Tentang Kepedulian appeared first on BuddhaZine.

Bhikkhu Hutan Bantu Relaksasi Relawan Kebakaran di Australia

$
0
0

Keberadaan para bhikkhu di markas Dinas Pemadam Kebakaran Wingello, New South Wales, Australia pada hari Selasa (7/1) adalah pemandangan tak terduga.

Orang-orang berjubah yang menetap di Vihara Hutan Sunnataram, tak terlalu jauh dari kantor pemadam kebakaran itu, ada di sana untuk menunjukkan penghargaan kepada petugas pemadam kebakaran yang telah berjuang untuk melindungi daerah tersebut.

Lantas apa bantuan yang ditawarkan para bhikkhu kepada sukarelawan dan penyintas kebakaran? Pijat atau relaksasi ala Thailand, atau Thai massage.

The Sydney Morning Herald melansir, sikap para bhikkhu yang berasal dari Thailand ini mencerminkan rasa terima kasih yang mendalam setelah sebelumnya sembilan warga Australia membantu menyelamatkan 12 anak laki-laki yang terjebak di gua Thailand yang banjir pada pertengahan 2018.

Bekerja sama dengan perwakilan pemerintah Thailand, para bhikkhu telah bergabung dengan yang lain dari seluruh Australia dan dunia dalam memberikan apa pun yang mereka bisa terkait bencana kebakaran besar di negeri kangguru.

Phra Mana Viriyarampo, kepala vihara yang sebelumnya terancam oleh kebakaran Morton, mengatakan para relawan telah melindungi fasilitas mereka dan para bhikkhu ingin menunjukkan penghargaan mereka.

“Kami mengagumi mereka. Mereka adalah orang-orang yang mempraktikkan cinta tanpa pamrih dan tidak mementingkan diri sendiri,” katanya, menyebut aksi heroik para pemadam kebakaran.

“Dua tahun lalu, orang Australia membantu menyelamatkan tim sepak bola di gua. Jadi orang Thailand mengatakan kepada saya bahwa mereka merasa bersalah karena ketika Thailand dalam kesulitan, orang Australia membantu.”

“Jadi kami baru saja mendiskusikan [apa yang bisa kami lakukan untuk membantu] … kami ingin memberikan beberapa penghargaan: pijat ala Thailand. Untuk semua petugas pemadam kebakaran, sukarelawan, dan korban dalam krisis ini … mungkin itu akan membantu mengurangi stres, kecemasan.”

Chakkrid Krachaiwong, Konsul Jenderal Thailand di Sydney, mengatakan pemerintahnya dan komunitas Thailand di Australia ingin menunjukkan rasa terima kasih mereka.

“Kami ingin melakukan apa pun yang kami bisa,” katanya.

Dengan semua jenis bantuan membanjiri komunitas Australia – termasuk makanan, pasokan, dan sumbangan jutaan dolar – tawaran pijat adalah salah satu jenis bantuan yang unik. Tapi itu sangat disambut oleh penduduk setempat di Wingello.

Gary Newham, seorang sukarelawan di Rural Fire Service Wingello, adalah salah satu di antara penduduk setempat yang mengatakan siap menikmati fasilitas Thai massage itu.

“Kami melakukan shift 24 jam di sini Sabtu malam. Jadi itu akan sangat bagus. Ya, kami pasti akan mencobanya,” pungkasnya. (Sumber: smh.com.au)

The post Bhikkhu Hutan Bantu Relaksasi Relawan Kebakaran di Australia appeared first on BuddhaZine.

Sambut Tahun Baru 2020 dengan Kebajikan

$
0
0

”Mari kita renungkan kebajikan apa yang telah kita lakukan dan apa yang belum kita lakukan dalam setahun yang kita lalui. Momen saat ini kita gunakan untuk evaluasi dan mempersiapkan diri untuk mengisi tahun depan dengan penuh kebajikan.”

Begitu sepenggal renungan yang diberikan Biksu Duta Arya saat malam pergantian tahun 2019/2020 kepada para peserta Latihan Atthasila yang kebanyakan diikuti oleh remaja-remaja pelajar SMP dan SMA di Pusat Pendidikan dan Latihan (PUSDIKLAT) Boddhidharma, Semarang pada Rabu (1/1). Pelatihan dimulai sejak tanggal 28 Desember dan berakhir pada 1 Januari 2020 yang diikuti oleh 62 peserta dari wilayah Semarang dan sekitarnya seperti Temanggung, Boyolali, Wonosobo, plus dari Tangerang.

Diawali dengan penerimaan peserta pada tanggal 28 Desember para peserta dididik untuk melaksanakan Atthasila serta diberikan beberapa materi berkaitan dengan Dhamma dan juga pengetahuan umum hingga pelatihan selesai. Bila ditahun-tahun sebelumnya hanya melakukan Atthasila dan diberikan materi Dhamma, di tahun ini para peserta diberikan Trisarana dan nama buddhis.

Kelas Dhamma diisi oleh beberapa tutor di antaranya; Suhu Duta Arya sebagai Acariya dan mengisi materi Tisarana dan Atthasila; Bu Kustiyani pengisi materi  Dhamma; Bhante Ditti mengisi kelas meditasi; Pak Jimo pengisi materi Dhamma; ada kelas mandarin yang diisi oleh Ermiyati salah satu alumni Pusdiklat Boddhidharma; sesi bedah film dan video-video motivasi diisi oleh Eka yang juga alumni Pusdiklat.

Selain aktivitas yang terbagi dalam kelas-kelas Dhamma, para peserta rutin mengikuti kegiatan ritual dan spiritual dalam vihara.

“Kalau pagi yang pasti kebaktian pagi jam lima terus ada olahraga pagi kemudian ada acara kelas Dhamma. Kemudian ada juga nienfo yaitu melafalkan nama Buddha sambil keliling ya semacam pradaksina dan pada malamnya juga kelas dan ditutup kebaktian malam. Terus yang setiap tahun pasti ada itu sam po impai (tiga langkah satu kali namaskara) yang diadakan pada tanggal 30 pagi,” jelas Dini Sulistiyani, sekeretaris kepanitiaan Asthasila.

Setelah selama dua hari para peserta menjalani kehidupan yang ketat dan penuh pengendalian diri akhirnya tiba juga di penghujung acara pelatihan, malam pergantian tahun 1 Januari 2020 yang merupakan acara puncak dan menjadi acara yang paling dinanti selama mengikuti pelatihan Atthasila.

Renungan dari Biksu Duta arya menjadi awal untuk acara malam pergantian tahun, yang kemudian dilanjutkan dengan penyalaan api unggun dan pesta kembang api untuk memeriahkan dan menyambut tahun baru 2020.

Kemeriahan semakin terasa dengan diadakannya acara pentas seni yang diisi oleh para peserta yang terbagi dalam beberapa kelompok. Para peserta saling menunjukkan kreativitas masin-masing kelompok dalam panggung pentas seni. Ada undangan khusus penampil pada tahun ini yaitu Band asal STAB Smaratungga Ampel, Boyolali yang juga turut menghibur para peserta Atthasila.

Dengan rangkaian acara dan perayaan tahun baru menghadirkan kesan yang menyenangkan bagi para peserta yang masih remaja seperti yang diungkapkan oleh peserta dari Kaliwungu perbatasan Boyolali dan Semarang.

“Di tahun ini saya merasa acaranya lebih menarik dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau tahun lalu sesi pelatihannya serasa lebih lama, sedangkan yang sekarang kan cuma dua hari dan untuk hari ketiga dari pagi hari kita sudah mengikuti acara bebas dan ceria. Saya sudah tiga kali ikut, dan yang sekarang khusus untuk perayaan tahun barunya lebih meriah dan lebih asyik meskipun ada pengalaman yang kurang bagus juga, saya baru kali ini pas mau acara tiba-tiba saya pingsan,” terang Nastiti salah satu peserta.

The post Sambut Tahun Baru 2020 dengan Kebajikan appeared first on BuddhaZine.

Tokoh Pendidikan Agama Buddha Mulyadi Wahyono Tutup Usia

$
0
0

Dunia pendidikan buddhis Indonesia kembali berduka, Mulyadi Wahyono seorang praktisi pendidikan buddhis wafat pada usia 76 tahun, Sabtu (11/1) di rumahnya. Jenazah mendiang Mulyadi Wahyono sempat disemayamkan di rumah duka Jl. Nipah Raya No.6, kemudian dimakamkan di TPU Tahan Kusir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan pada Minggu (12/1).

Mulyadi Wahyono lahir di Solo, 18 Septermber 1943. Pada tahun 1974 Mulyadi lulus Sarjana di Universitas Indonesia jurusan Hukum Perdata Internasional. Setelah lulus sarjana, ia kemudian melanjutkan pendidikan S2 di kampus yang sama dengan mengambil jurusan Arkeologi dan lulus pada tahun 2000.

Mulyadi Wahyono dikenal sebagai sosok yang mempunyai dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan buddhis. Hal itu tidak terlepas dari perannya dalam merintis Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda yang merupakan pendidikan tinggi buddhis pertama di Indonesia.

Berbagai jabatan penting di STAB Nalanda pernah ia emban. Ia menjadi direktur Akademi Buddhis Nalanda sejak di dirikan pada tahun 1979 – 1989. Bahkan setelah pergantian nama dari akademi Buddhis menjadi Sekolah Tinggi Agama Buddha, Pak Mul – sapaan akrab Mulyadi Wahyono – tetap dipercaya menjadi ketua STAB Nalanda hingga tahun 2002.

Memegang jabatan tertinggi sebuah kampus tak membuat Pak Mul berpangku tangan hanya mengurusi persoalan-persoalan pimpinan. Ia juga aktif mengajar sebagai dosen sejak Nalanda didirikan. Ia mengampu mata kuliah Antropologi Budaya serta Sejarah Perkembangan Agama Buddha dan Pendidikan sejak Nalanda didirikan hingga akhir hayatnya.

Karena itu tak heran bila Pak Mulyadi adalah sosok dosen yang sangat dihormati dan dicintai oleh para mahasiswanya. Karena itu kepergian beliau meninggalkan duka mendalam terutama bagi mahasiswanya.

“Saya mengenal beliau mulai tahun 1989 saat saya mulai kuliah, beliau sebagai ketua STAB Nalanda saat kampusnya masih di Jl. Kramat Raya No. 64. Beliau sebagai dosen sejarah perkembangan agama Buddha. Sebagai seorang dosen yang begitu lembut tutur katanya, dan akrab dengan mahasiswa/i-nya. Saat ada jam kosong atau pas istirahat beliau kadang suka ngobrol sama mahasiswa. Sampai saya selesai kuliah (wisuda) 1993,” kenang Kuncoro Weny, salah satu mantan mahasiswa Pak Mul.

Perempuan yang kini menjabat sebagai ketua Ikatan Alumni Nalanda (ILUNA) itu mengaku kagum dengan dedikasi Pak Mul. Menurutnya, Pak Mul adalah dosen yang luar biasa dan rela mendedikasikan seluruh hidupnya untuk perkembangan Buddhadharma, khususnya melalui jalur pendidikan. “Keluarganya semua muslim, tapi beliau pernah punya cita-cita yang besar terhadap agama Buddha. Beliau ingin agama Buddha punya sekolah yang setaraf Alazhar. Beliau minta para alumni Nalanda bisa merealisasikan hal itu,” katanya.

Yoni seorang mahasiswa STAB Nalanda menggambarkan sosok Mulyadi sebagai seorang bapak yang mengayomi. “Beliau baik sekali seperti bapak sendiri, bahkan saat saya ulang tahun, beliau memberikan ucapan dan menyuapi saya kue ulang tahun.”

Kesan itu juga dirasakan oleh Sari, mahasiswa semester 6 STAB Nalanda ini menggambarkan Mulyadi sebagai seorang motivator berhati dermawan. “Beliau sering memberi oleh-oleh jika dari luar kota, bahkan saya pernah diberi liontin saat beliau dari India dan sering membawa makanan,” kenang Sari.

Selain dikenal sebagai sosok kebapakan Mulyadi dikenal sebagai dosen yang disiplin dan bersemangat. “Selamat Jalan Bapak Muljadi Wahjono SH.,M.Hum (11/01). Dalam Kenangan Selalu! Membentangkan Panji Nalanda sepanjang Jalan Sunya Dharmayatra yang penuh berisi pengalaman mendidik bagi anak-anak yang sedang merajut kehidupannya.

“Bersama dalam setampuk persembahan bunga pada Buddha di Bodh Gaya yang terselipkan nama-nama siswa berbakti, meski cakrawala tidak lagi berpihak, namun keharuman dedikasimu akan senantiasa menembus waktu dan menghiasi setiap generasi Nalanda!” ucap salah satu rekan sesama dosen di Nalanda Jo Priastana sebagai rasa terima kasih yang mendalam atas dedikasi dari Pak Mul.

Tak hanya di dunia pendidikan, sejak muda ia juga aktif dalam berbagai organisasi Buddhis yang baru tumbuh. Beliau pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Perhimpunan Buddhis Indonsia (PERBUDDHI) pada tahun 1972 – 1974. Sebagai penghormatan dan ucapan terima kasih kepada Mulyadi, mahasiswa STAB Nalanda mengadakan pujabhakti pelimpahan jasa selama tujuh hari.

 

The post Tokoh Pendidikan Agama Buddha Mulyadi Wahyono Tutup Usia appeared first on BuddhaZine.


Manggalia: Makna dan Sejarahnya

$
0
0

Agama Buddha di Temanggung dideklarasikan pertama kali di rumah Y. Sutrisno, seorang tokoh agama Katolik pada tanggal 1 Juni 1968. Pada waktu itu dihadiri oleh lebih dari 500 orang. Sejak saat itu, agama Buddha kemudian berkembang ke pelosok-pelosok desa, khususnya di Kecamatan Kaloran.

Perkembangan agama Buddha di Kecamatan Kaloran tidak bisa lepas dari sembilan tokoh penting yang menjadi figur “kebangkitan” agama Buddha Temanggung. Mereka terdiri dari para kepala desa, sekretaris desa, dan tokoh masyarakat Kalora yang saat itu menjadi panutan masyarakat Temanggung. Dengan karisma dan kebijaksanaan para tokoh tersebut, agama Buddha berkembang dengan pesat masa itu dan bertahan hingga kini.

Salah satu bukti itu adalah munculnya istilah Manggalia sebagai sebutan pemimpin pemimpin umat Buddha di Temanggung. Menurut Gunawan, salah satu tokoh agama Buddha Kaloran, Manggalia adalah istilah yang diciptakan oleh Mendiang Mbah Mangun Sudharmo (Mbah Manggis) sebagai tokoh kunci “kebangkitan” agama Buddha Temanggung.

“Untuk istilah itu (Manggalia) saya memang tidak punya referensi yang pasti, yang jelas, istilah itu diciptakan oleh Mantan Lurah, Mbah Mangun Sudharmo. Ini hanya ada di Temanggung yang menjadi bukti kegeniusan Mbah Manggis – sapaan akrab Mangun Sudarmo – dan para tokoh umat Buddha masa itu,” kata Gunawan.

Kata Manggalia sendiri menurut penafsiran Gunawan, bisa diambil dari bahasa Jawa atau Pali. “Kalau dari bahasa Jawa, itu berasal dari kata Manggala (ejaan Jawa; Manggolo) dan Laya (loyo) atau dalam bahasa Pali juga ada kata Manggala (berkah). Kalau berdasarkan tugas dan fungsi Manggalia di masyarakat, mungkir arti yang lebih dekat dari bahasa Jawa, yaitu untuk mengurusi persoalan kematian. Manggala itu bisa diartikan doa, sedangkan laya (loyo) itu artinya kemarian,” lanjut Gunawan.

Bagi umat Buddha perdesaan Temanggung, Manggalian memang mempunyai peranan penting di masyarakat. Mereka bertugas membantu administrasi kependudukan umat Buddha, perkawinan, kematian mulai dari memandikan jenazah, memimpin membacakan paritta pelimpahan jasa, mengurus peti, kain kafan dan lain-lain. Di vihara, Manggalia  juga dijadikan sebagai sosok panutan yang memimpin upacara puja, hingga membabarkan Dharma.

Tidak hanya bertugas memimpin umat di vihara, di Temanggung Manggalia juga menjadi perangkat desa sebagai kepala urusan umat Buddha. Karena itu, mereka mendapat upah berupa bengkok (semacam tanah garapan bebas pajak). “Manggalia itu memang benar-benar kearifan Temanggung yang diciptakan dengan genius oleh Mbah Mangun Sudharmo dan kawan-kawan. Saya sendiri melihatnya ini sebuah cara untuk mengefektifkan tradisi yang lama yang ada kemudian dipadukan dengan agama Buddha yang pada masa itu baru berkembang,” pungkas Gunawan, seorang aktivis buddhis Temanggung.

The post Manggalia: Makna dan Sejarahnya appeared first on BuddhaZine.

Meditasi, Rahasia Keberhasilan Atlet Golf Dunia dari Thailand

$
0
0

Bintang baru dunia golf Thailand, Atiwit Janewattananond, disingkat “Jazz,” mengatakan minggu ini bahwa latihan meditasi yang ia pelajari saat menjadi seorang bhikkhu tetap penting bagi karirnya. Janewattananond, 24, yang kini berada di peringkat 40 besar dunia dan akan bermain di US Masters di Augusta, Georgia pada April, mengatakan bahwa dia masih bermeditasi setelah menjalani sebuah periode sebagai bhikkhu sementara di Thailand.

“Saya masih melakukannya,” ujar Jazz. “Tidak setiap saat, saya melakukannya ketika saya merasakan ada sesuatu yang tidak beres, atau saya merasa perlu kembali ke kedamaian atau ketika sesuatu menjadi gila.” (The Phuket News)

Bintang yang sedang naik daun – yang diberi nama singkat oleh ayahnya yang suka musik – adalah pemain termuda yang berhasil masuk ke acara Tour Asia di Bangkok tahun 2010 saat berusia 14 tahun. Setelah menjadi pemain profesional pada usia 15 tahun dan menghadapi beberapa tahun yang sulit, Janewattananond mengambil rehat dari golf dengan ditahbiskan sebagai bhikkhu pada tahun 2016.

Dia menghabiskan dua minggu hidup sebagai seorang bhikkhu, mengenakan jubah safron di sebuah wihara Theravada Thailand di utara kota Chiang Rai, dia menjalani rutinitas ketat yaitu makan terbatas, melafal, dan meditasi. Latihan penahbisan sementara bukanlah hal yang jarang bagi para pemuda di Thailand. Seperti yang dituliskan Thomas Borchert: “Sebagian besar pria Thailand akan ditahbiskan hanya untuk beberapa hari, meskipun seringnya selama dua minggu atau selama musim hujan. Tidak ada stigma sosial ketika mereka menanggalkan jubah mereka.” (Little Buddhas: Children and Childhoods in Buddhist Texts and Traditions, 250).

Di Chiang Rai ia belajar di bawah bimbingan Phra Maha Vudhijaya Vajiramedhi, yang telah diakui secara internasional atas upaya belas kasihnya melindungi para pengungsi. “Saya belajar darinya bahwa kebahagiaan adalah hal terbesar dalam hidup,” kata Janewattananond saat mengingat masanya mengenakan jubah.

“Sebelum itu, golf adalah segalanya bagi saya dan itu memberi saya banyak tekanan selama kompetisi. Saya telah bersaing dengan lebih sedikit tekanan sejak saat itu dan mulai mendapatkan hasil yang lebih baik.” (The Golf News Net)

Phra Vudhijaya Vajiramedhi menerima sebuah penghargaan dari PBB tahun 2018. Foto: nationthailand.com

Setelah lepas jubah, Janewattananond kembali memasuki kehidupannya sebagai pegolf profesional, memenangkan acara Tour Asia pertamanya beberapa bulan kemudian di Bangladesh. Sejak itu dia telah memenangkan lima acara Tour Asia lainnya, termasuk di India, Singapura, Korea, dan Thailand. Tahun 2019 ia memenangkan empat penghargaan Tour Asia termasuk penghargaan Pemain Terbaik Tahun Ini.

Mengomentari undangan untuk bermain di Masters di Augusta, Janewattananond mengatakan: “Saya hanya mencoba untuk membiarkannya berlalu karena saya tidak dikonfirmasi ikut Masters hingga sekitar empat minggu lalu. Banyak turnamen yang dikonformasi karena saya masuk ke dalam 50 besar. Saya mencoba mencari tahu dan mencoba meraih semuanya. Ini pertama kalinya bagi saya jadi saya harap ini akan baik-baik saja. Tujuan saya adalah menjadi 30 besar dunia – itu adalah tujuan jangka pendek saya,” tambahnya. (South China Morning Post)

Menyuarakan filosofi buddhis dalam komentarnya tentang kekalahan sebelumnya, dia mencatat: “Saya agak terlalu agresif. Anda harus bermain di lapangan, bukan untuk menundukkannya… bermain dengan hormat.” (The Phuket News). Sumber: buddhistdoor.net

The post Meditasi, Rahasia Keberhasilan Atlet Golf Dunia dari Thailand appeared first on BuddhaZine.

Menyongsong Harapan Baru STAB Nalanda, Jakarta

$
0
0

Setelah melalui serangkain proses seleksi, Muljadi Thio – pendiri Sekolah Nusantara Jaya – terpilih menjadi ketua baru Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda periode 2020 – 2025. Ia terpilih menggantikan Law Acep, ketua STAB Nalanda yang sebelumnya telah menjabat selama dua periode, tahun 2011 – 2015 dan 2015-2019.

“Pak Acep telah menunaikan kewajiban sebagai ketua STAB Nalanda selama 2 periode. Artinya berdasarkan statuta STAB Nalanda, beliau tidak bisa menjabat lagi. Oleh karena itu perlu dicari penggantinya,” kata Sutrisno, salah satu pimpinan STAB Nalanda.

Pemilihan ketua baru dilakukan melalui mekanisme penjaringan dan penyaringan nama-nama calon dengan membentuk panitia seleksi. Melalui sidang terbuka yang dipimpin oleh Jo Priastana, sebagai ketua panitia seleksi memutuskan memutuskan dua nama calon yaitu Dr. Muljadi Thio dan Ir. Soeljono, seorang dosen di Universitas Indonesia.

“Kedua nama calon ketua tersebut kemudian dibawa ke dalam rapat bersama Senat Pengajar dengan Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda. Kemudian ketua yayasan Tan Tjoe Liang dan jajaran mengadakan rapat singkat yang memutuskan nama Muljadi Thio sebagai ketua baru STAB Nalanda,” kata Sutrisno menjelaskan tahapan pemilihan ketua STAB Nalanda.

Pelantikan Dr. Muljadi sebagai ketua baru STAB Nalanda telah melantik dilaksanakan pada hari Sabtu (19/1) di Aula Kampus Nalanda, Jakarta. Acara itu dihadiri oleh 2 Bhikkhu Sangha, utusan dari Dirjen, beberapa Profesor, Doktor, para Dosen serta tamu undangan.

Tan Tjoe Liang, ketua Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda dalam sambutannya menyampaikan terima kasih atas pengabdian Law Acep. Menurutnya, keberadaan STAB Nalanda hingga kini tidak lepas dari perannya. “Nalanda bisa berkembang sampai saat ini tidak terlepas dari kepemimpinan Pak Acep,” katanya.

Untuk memajukan STAB Nalanda, Romo Tan – sapaan akrab Tan Tjoe Liang – memberikan 5 pesan dan harapan kepada dilakukan Muljadi Thio sebagai ketua baru. (1). Bahwa jabatan ketua adalah sebuah tanggung jawab yang harus diemban sebaik-baiknya sesuai tugas pokok dan kebutuhan. (2). Kami berharap Dr. mulyadi dapat menerapkan good university governance yang dicirikan adanya transparansi, awareness, accountability dan responsibility.

(3). Di era revolusi industri 4.0 yang dikenal dengan fenomena disruptive innovation kami berharap kepemimpinan Dr. Mulyadi dapat mempercepat adaptasi perkembangan global yang dinamis, yaitu melakukan inovasi-inovasi dan kreatifitas-kreatifitas yang tidak hanya sekedar bekerja bisnis as usual.

(4). Setelah STAB Nalanda eksis selama 40 tahun, kami berharap kepengurusan yang baru dapat mempercepat kemajuan STAB Nalanda menuju kampus berbasis teknologi yang statusnya bergerak dari sekolah tinggi menuju Universitas. (5). Kami mengharapkan dapat berkerjasama dengan semua pihak serta tidak melupakan jasa sesepuh yang sudah berjuang membangun Nalanda.

Pak Acep memberikan sambutan dimulai dengan menyampaikan sejarah Nalanda saat beliau mulai menjabat pada tahun 2007 setahap demi tahap hingga kini telah ada Prodi Pendidikan keguruan agama Buddha S1 dan S2 serta Dharma Husada, Acep juga mengemukakan harapan kedepan pada pemimpin baru Nalanda. “Setelah sekian lama saya melewati masa di Nalanda saya ingin melihat Nalanda lebih baik dari yang sebelumnya. Ke depan mungkin ada pemikiran penggunaan bahasa Inggris diperkuliahan, atau bahkan bisa kuliah online dengan dosen-dosen dari luar negeri.”

Selaku ketua STAB terpilih Mulyadi memberikan sambutan berupa visi misinya dalam lima tahun ke depan. “Ada beberapa langkah-langkah yang akan saya lakukan untuk program saya selama 5 tahun ke depan. Tahun ini kita melakukan kerjasama dengan ketua STIE Kasih Bangsa dengan membuat program Double Degree yang merupakan salah satu langkah untuk menuju Universitas.

“Saya mengharapkan 3-4 tahun ke depan ini Nalanda siap menjadi Universitas. Pada zaman revolusi industri ini penting untuk kita dapat bekerja sama. Kami akan bekerja sama dengan instansi pemerintah, sekolah-sekolah, dan beberapa perusahaan untuk memajukan prodi dan meningkatkan kualitas anak didik kita. Saya akan jamin lulusan Nalanda pasti akan kerja.” Demikian sambutan yang disampaikan Mulyadi yang diakhiri dengan tepuk tangan para tamu undangan.

The post Menyongsong Harapan Baru STAB Nalanda, Jakarta appeared first on BuddhaZine.

Kisah Delapan Teko di Pancoran, Jakarta

$
0
0

Apabila Anda pernah ke Pancoran, mungkin pernah mendengar cerita ini. Atau Anda sering ke Pancoran, namun tidak terlalu ngeh. Atau bagi Anda yang belum pernah ke Pancoran, ada sedikit cerita yang menarik.

Tepatnya di Jl. Pancoran No. 4-6 Glodok Tamansari 9, RT.9/RW.5, Pinangsia, Kec. Taman Sari, Kota Jakarta Barat, ada sebuah bangunan yang di depannya terpampang nama Pantjoran Tea House. Saat BuddhaZine jalan-jalan ke sana, ada beberapa bapak-bapak maupun ibu-ibu, bahkan anak-anak mengambil gelas dan menuangkan salah satu teko dari delapan teko yang diletakkan di depan rumah teh tersebut. Ada yang meminumnya, ada juga yang memasukkannya ke dalam botol kosong. Kemudian ada karyawan rumah teh yang memantau apakah teko sudah kosong atau masih ada isi dan membersihkan gelas yang telah dipakai.

Rupanya ada latar belakang kisah delapan teko tersebut, ceritanya bermula dari Kebaikan Kapiten Gan Djie dan istrinya yang menjadi teladan yang turun-temurun di jantung kawasan Glodok, Kota Tua Jakarta. Kantornya yang berlokasi di daerah Patekoan (kini terletak di Jalan Perniagaan), Kapitein der Chineezen (Kapiten warga Tionghoa) ketiga di Batavia dan istrinya selalu meletakkan delapan teko teh untuk pedagang keliling dan orang-orang yang kelelahan dan hendak menumpang berteduh.

Delapan (pat dalam bahasa Mandarin) teko ini menjadi asal mula nama daerah Patekoan tersebut. Semangat solidaritas keberagaman ini yang coba dituangkan oleh Lin Che Wei ke Gedung Apotek Chung Hwa yang terletak di Jalan Pintu Besar Selatan sekaligus mulut Jalan Pancoran, Glodok.

Gedung rumah teh ini merupakan gedung pertama di mulut pintu gerbang kawasan inti Kota Tua Jakarta yang telah dinominasikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada UNESCO sebagai World Heritage Site (Situs Wansan Dunia). Meski belum termasuk sebagai bangunan cagar budaya. Keberadaannya sejak 1928 menjadikan gedung ini sebagai saksi penting sejarah kawasan Glodok dan Jakarta.

Kawasan Glodok sendiri memiliki peran penting dalam proses berdirinya Batavia hingga berkembang menjadi Kota Jakarta. Di masa pemerintahan kolonial Belanda kawasan Pancoran Glodok adalah pintu gerbang utama menuju Kota Batavia dari arah selatan. Warga setempat menyebutnya “Glodok”, karena diambil dari suara air yang mengucur dari pancuran kanal di daerah tersebut. Bunyi air “grojok…grojok…” dari pancuran itulah oleh penduduk Tionghoa dieja sebagai “Glodok”. Adapun pancuran tersebut mengilhami nama daerah Pancoran.

Di Jalan Pancoran No. 6 inilah gedung Apotek Chunghwa berdiri. Gedung cagar budaya milik perseorangan ini kemudian direvitalisasi oleh arsitek, Ahmad Djuhara. Setelah 16 bulan pengerjaan, pada 15 Desember 2015 oleh Lin Che Wei, CEO Jakarta Old Town Revitalization Corp (JOTRC) diresmikan dan difungsikan menjadi rumah teh bernama Pantjoran Tea House.

Xin Nian Kuai Le. Mumpung masih suasana Imlek, mungkin Anda ingin bernostalgia, mencicipi harumnya teh, dan merasakan atmosfer kebaikan dari pasangan Kapiten Gan Djie dan istrinya.

The post Kisah Delapan Teko di Pancoran, Jakarta appeared first on BuddhaZine.

Kini Umat Buddha Sampetan di Lereng Merbabu Semakin Habis?

$
0
0

Masih terekam jelas dalam ingatan Hadi Wiyoto (72), pada suatu malam di tahun 1967, saat Pramono Wirono dibawa oleh aparat keamanan ke rumah Priyo Hartoyo, Kepala Desa Sampetan. Pramono Wirono diamankan karena dicurigai sebagai pelarian Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah menjalani interogasi selama satu malam, ia dilepaskan karena tidak terbukti sebagai anggota maupun simpatisan PKI.

Pramono Wirono, yang belakangan diketahui sebagai anggota dewan perwakilan rakyat dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), saat itu baru menyelesaikan laku prihatin, bertapa di Gua Lowo yang berada di lereng Gunung Merbabu. “Pak Pramono Wirono itu orang Salatiga, beliau penganut Buddha, jadi tidak ada kaitannya dengan PKI. Lha beliau itu tokoh PNI kok, namun karena saat itu masih dalam suasana geger, beliau dicurigai dan diamankan ke rumah Pak Lurah,” kata Hadi Suwito saat ditemui BuddhaZine di Pondok Meditasi Girisasono, Desa Sampetan, Kec. Ampel, Kab. Boyolali, Minggu (12/01).

Saat kejadian itu Mbah Hadi Wiyoto sudah berusia 19 tahun. Ia adalah kemenakan Prio Hartoyo yang menjabat sebagai Kepala Desa Sampetan masa itu. Kedekatannya dengan Lurah Sampetan membuat Mbah Hadi bisa menyaksikan jelas peristiwa yang menjadi awal masuknya agama Buddha di Desa Sampetan pasca kemerdekaan RI.

“Ya, kalau mau bicara agama Buddha di Desa Sampetan ini, awalnya dari Pak Pramono dan dimulai pada peristiwa malam itu,” tegas Mbah Hadi. Ia bercerita setelah (Pranomo Wirono) menyelesaikan laku prihatin, ia berjalan ke arah selatan sampai di rumah Mbah Tukinem, Dusun Ngrowosewu, Sampetan. Di sana Pak Pramono ditangkap oleh aparat keamanan dan dibawa ke rumah Pak Lurah untuk diinterogasi.

Dari situ menurut penuturan Mbah Hari, Pramono Wirono mulai membabar ajaran yang ia anut dan hendak mengajarkan kepada masyarakat yang ia temui. Gayung pun bersambut, Lurah Sampetan yang awalnya sudah mendalami spiritualitas kejawen merasa cocok dengan agama Buddha yang disampaikan oleh Pramono Wirono. “Mendengar ajaran Buddha, Pak De saya cocok. Seketika itu juga beliau mengikuti Pak Pramono.”

Setelah mendapat persetujuan dan dukungan Pak Lurah, masyarakat Sampetan segera mendeklarasikan agama Buddha. Deklarasi “kebangkitan” agama Buddha Sampetan dilaksanakan di rumah Bapak Harjo Kuri, Dusun Purwogondo pada hari Rabu Legi tahun 1967.

Tak hanya umat Buddha Sampetan dan Pak Pramono Wirono, dalam deklarasi itu juga dihadiri oleh tokoh-tokoh agama Buddha sekitar seperti; Romo Sariputra Sadono dari Semarang, Sutomo Dwijo Harmoko dari Ampel, Bapak Yoto dari Desa Ngadirojo dan sekitar 200 masyarakat yang sebelumnya menganut kejawen menjadi umat Buddha.

Usai deklarasi, agama Buddha kemudian menyebar keberbagai dusun yang ada di Desa Sampetan. Hingga tahun 1970’an setidaknya terdapat 11 Dusun yang menjadi basis agama Buddha.

“Yang menyebarkan itu Pak Lurah, tapi yang mengajarakan agama Buddha itu Pak Pramono. Saya itu kelahiran 1948,  jadi setelah itu ya mengikuti agama Buddha, dan mungkin saya adalah umat Buddha yang paling tua sendiri saat ini di Sampetan. Setelah sekitar dua tahun berjalan, agama Buddha menyebar ke berbagai dusun seperti, Karangboyo, Selorejo, Purwogondo, Mongsari, Purwosari, Gumuk, Guyang, Sokorame, Morosewu, Pereng, Baturejo, dan Dusun Sampetan, semua dusun-dusun ini menjadi basis Buddha saat itu,” jelas Mbah Hadi.

Sedikit disayangkan menurut Mbah Hadi, perkembangan Buddhadharma di Sampetan tidak segairah tahun-tahun 70’an. “Tetapi karena gelombang perpindahan ke agama lain, umat Buddha semakin menyusut,” tuturnya dengan suara lirih.

Sampetan adalah nama salah satu desa di Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Desa ini terletak di sebelah timur lereng Gunung Merbabu dengan ketinggian 800 meter di atas permukaan air laut. Desa ini berhawa sejuk dan bertanah subur sehingga mendukung sektor pertanian dan perkebunan sebagai mata pencaharian utama masyarakat.

The post Kini Umat Buddha Sampetan di Lereng Merbabu Semakin Habis? appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 1052 articles
Browse latest View live