Kamis, 28 November – 30 Desember 2019 Salim Lee, seorang pakar Buddhadharma kembali berkunjung ke Dusun Krecek. Ini adalah kali ketiga Om Salim datang ke Dusun Krecek, Temanggung. Seperti biasa, kedatangan Om Salim adalah untuk sharing pengetahuan Buddhadharma, terutama yang terkait dengan ajaran Borobudur.
Kepada masyarakat Dusun Krecek dan warga sekitar, Om Salim mengajar di Ruang Dhammasala pada malam hari. Kamis (28/11) membahas Borobudur Riwayatmu Dulu, sedangkan pada malam kedua, Jumat (29/11) Om Salim membahas Ngabekti ing Asepuh.
Di luar forum resmi diskusi dengan Om Salim berjalan lebih menarik. Hadirnya sahabat diskusi seperti dalang wayang kulit (Ki Eko Prastyo), pegiat pariwisata sejarah (Anton Ida Saputro), arkeolog yang juga Tim Ahli Cagar Budaya Temanggung (Goenawan A. Sambodo), Hendri Ang, dan Yosi Cahyono yang saat ini bertugas memugar Candi Liyangan.
Bagi Yosi, kehadiran Om Salim di Krecek menjadi daya tarik sendiri. Ia yang selama ini telah banyak melakukan pemugaran candi, mempelajari kesusastraan Nusantara, mempunyai banyak pertanyaan terutama terkait Borobudur. Karena itu, dalam kesempatan berjumpa dengan Om Salim, Yosi menanyakan banyak hal terkait Candi Borobudur. Pertanyaan serta jawaban dari Om Salim kemudian dicatat menjadi sebuah dialog berikut ini:
Yosi: Untuk apa Borobudur dibangun?
Salim Lee: Borobudur itu lebih dari sebuah monumen, namun merupakan ajaran. Dalam Borobudur dari kaki hingga puncak terdapat ajaran-ajaran moral ataupun Dharma yang menjadi pedoman hidup manusia. Pada candi-candi lain mungkin hanya ditujukan untuk pujabhakti ataupun memperingati sesuatu, namun Borobudur adalah ajaran. Itulah yang membedakan Borobudur dengan candi-candi lainnya.
Yosi: Apakah Borobudur merupakan candi yang berkiblat dari ajaran India?
Salim Lee: Tidak tepat dikatakan seperti itu, karena meskipun dari tradisi buddhis namun sudah dimasak sedemikian rupa supaya cocok dipraktikkan pada masyarakat Jawa.
Yosi: Buddha “Nusantara”?
Salim Lee: Iya boleh dikatakan begitu.
Yosi: Sang Hyang Kamahayanikan?
Salim Lee: Masih terlalu sedikit isi dari Sang Hyang Kamahayanikan untuk menjabarkan Borobudur. Kitab itu juga 2 abad lebih muda saat Borobudur mulai dibangun.
Yosi: Jika demikian apa sumber yang digunakan acuan untuk membangun Borobudur?
Salim Lee: Sejauh ini, banyak sekali sutra yang bisa digunakan untuk menjelaskan tiap panel dalam relief Borobudur. Namum sutra-sutra itu terpisah. Dengan berbagai bahasa dan tersebar di berbagai negara.
Yosi: Bisa dijelaskan lebih mendetail?
Salim Lee: Borobudur tidak dari sebuah kitab, namun dari Borobudur sekarang menjadi banyak sutra yang terpisah-pisah yang sejauh ini masih bisa ditelusuri.
Yosi: Tidak ada sutra pedoman Borobudur?
Salim Lee: Bukan begitu, justru dari Borobudurlah rangkuman-rangkuman dari banyak sutra itu ada. Saya menyebutnya Sutra Borobudur.
Yosi: Bisa dibuktikan?
Salim Lee: Kami sudah selesai mengumpulkam itu, mencoba menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia hingga dapat dipelajari dan dibaca seluruh masyarakat Indonesia. Untuk penerbitan kami sudah bekerjasama dengan Kemendikbud, hanya tinggal menyempurnakan tata bahasa, karena banyak kosakata Indonesia yang masih belum tepat untuk mengartikannya secara jelas dan mudah dipahami.
Yosi: Boleh saya katakan itu kitab suci yang divisualkan?
Salim Lee: Betul… Tepat sekali!
Yosi: Bagaimana dengan empat Buddha unfinished yang ditemukan di bawah pohon kenari itu? Adakah filosofisnya dalam buddhis? Dan di mana seharusnya arca itu berada?
Salim Lee: Sudah tepat ditanam di sana. Sejauh yang saya telusuri seluruh bentuk, model, penempatan arca ataupun relief dapat dikaitkan dengan sutra. Namun arca yang rusak tidak ada korelasinya. Jika kamu menjadi pemahat, dan memahat arca dewa ataupun rupang Buddha sebanyak itu. Mungkinkah kamu bekerja tanpa kesalahan? Berapa banyak kamu menemukan arca Buddha yang unfinished?
Yosi: Tidak lebih dari arca gagal produksi?
Salim Lee: Saya menyimpulkan begitu.
Yosi: Apa harapan ke depan untuk Borobudur?
Salim Lee: Borobudur bukanlah monumen biasa, bukan sekadar tempat wisata. Ada banyak sekali ajaran kebaikan di dalamnya. Tidak hanya untuk umat Buddha, namun bisa dilakukan oleh umat lain. Makna-makna itu yang sudah lama hilang, mungkin kita sudah selesai merekontruksi bangunannya, namun ajaran di dalamnya itulah yang lebih penting dan harus kita cari dan sebarkan.
Ajaran mengenai kebaikan, tata tertib, bhakti pada orangtua, dana, ketulusan, berlaku adil, keiklasan semuanya ada. Dan secara tidak langsung sudah dilakukan oleh orang Jawa khususnya sekarang. Dari Borobudur kita bisa menjadi diri yang sejati, yang lebih baik, Migunani Tumrap Ing Liyan. Itulah yang sebenarnya nenek moyang kita wariskan dan telah lama hilang.
Semoga dengan ini Borobudur tidak hanya sarana untuk selfie, tapi siapa pun, yang telah mengunjungi dan dapat memahami Borobudur, dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan ajarannya dapat dipraktikkan dalam bermasyarakat.
The post Meneropong Cakrawala Borobudur bersama Salim Lee appeared first on BuddhaZine.