Quantcast
Channel: News Berita Budhis Terkini | Buddhazine
Viewing all 1052 articles
Browse latest View live

Meditasi di Gua Meditasi Dusun Guwo, Jepara

$
0
0

Jum’at (27/12), sejak matahari belum terbit ibu-ibu sudah sibuk mempersiapkan makanan lengkap dengan lauk dan sayur untuk kemudian di bawa ke tempat pelatihan. Di tempat pelatihan meditasi, mereka menata dengan rapi makanan. Mulai pukul empat para remaja putri, yang rata-rata masih duduk di bangku sekolah SMP hingga SMA, sudah mulai bangun dan membersihkan diri, mengenakan jubah putih, berjalan menuju  satu tempat, berjajar di depan rupang Buddha di sebuah goa kecil.

Para remaja yang kurang lebih tiga puluh anak tersebut sedang belajar untuk menata pikiran mereka dalam sesi meditasi pagi. Belajar untuk diam dalam keheningan. Mereka sedang mengikuti pelatihan atthasila selama kurang lebih enam hari sejak tanggal 24 hingga tanggal 30 Desember 2019 di Dusun Guwo, Desa Blingoh, Kec. Donorojo, Kab. Jepara.

Berbeda dengan pelatihan sebelumnya, kali ini peserta dari luar Jepara nampak lebih banyak di antaranya dari Kecamatan Kaloran, Kab. Temanggung, Kec. Sumowono dan Kec. Salatiga, Kab. Semarang.

“Seneng banget, selain bisa ikut latihan juga tambah banyak kenalan. Memang saya pernah ikut latihan di tempat lain, tapi di sini saya baru pertama kali. Tempatnya lebih menyenangkan dan latihannya juga lebih ketat. Kalau nanti ke depan ada pelatihan di sini lagi saya pengin ikut lagi,” ungkap pelajar SMK SPP Kanisius Ambarawa, Pargiyatun, peserta asal Dusun Semanding, Kab. Semarang.

“Lebih seneng lagi kalau pas sesi materi dari atthasilani dan sesi ulasan Dhamma dari Bhante, tapi kalau pas meditasi saya suka ngantuk,” imbuhnya disertai tawa kecil.

Beberapa peserta pun ada yang sudah kesekian kalinya mengikuti pelatihan namun tak pernah jenuh untuk ikut latihan lagi, salah seorang peserta mengakui selalu mendapatkan pengalaman berbeda dari setiap latihan yang mereka ikuti.

“Ya memang saya selalu ikut setiap ada pelatihan di sini, tapi saya selalu mendapatkan hal-hal berbeda dalam setiap latihan. Yang jelas bertambah teman karena setiap latihan selalu ada peserta baru dari tahun ke tahun dan juga ada tambahan sesi yang sebelumnya belum ada. Saya juga ingin semakin memperkuat keyakinan saya terhadap Buddhadhamma dan menambah ilmu keagamaan saya. Apalagi setiap ada pelatihan ada pengisi materi yang berbeda-beda jadi kita bisa belajar dari banyak guru di sini. Dan tambah asyik lagi ada kali ini Dhammayatranya agak jauh, ke Kopeng Salatiga,” pengakuan Siti Kartika, peserta asal Dusun Guwo, pelajar di SMA 1 Donorojo.

Bangun pagi, meditasi, baca paritta, mendengarkan ulasan Dhamma dan menjalankan atthasila, itulah yang mereka lakukan setiap harinya selama mengikuti pelatihan. Hujan yang turun di sela-sela waktu latihan pun tak menyurutkan semangat mereka untuk menggembleng kedispilinan dan cara hidup sesuai tuntunan ajaran Buddha.

Bhante Khemadhiro dibantu oleh Samanera Dilarjaya membimbing sesi meditasi dan baca paritta serta memantau kedisiplinan para peserta. Sementara dua atthasilani dari STAB Kertarajasa Batu, Malang yaitu Athasilani Upekhadasini dan Athasilani Khantidasini membantu mengisi sesi materi Dhamma.

Pemandangan lain di balik kelancaran latihan ada beberapa ibu-ibu yang tak pernah lelah  mempersiapkan tempat latihan. Sama sibuknya dengan peserta, mereka sudah bangun bahkan sebelum para peserta bangun, mengecek segala keperluan latihan dan selalu siaga kalau-kalau ada peserta yang membutuhkan bantuan.

“Pagi hari sebelum para peserta bangun saya dengan ibu-ibu yang lain harus sudah mempersiapkan keperluan mereka mulai dari membersihkan kamar mandi dan memastikan air di bak mandi tersedia kemudian membersihkan area latihan. Menjelang waktu sarapan dan makan siang kami membantu mempersiapkan tempat makan dan mempersiapkan minuman untuk peserta, nanti pas wktu istirahat malam ya kami membereskan apa saja yang perlu dibereskan setelah dipakai selama latihan siang hari,” tutur Panisah, salah satu relawan.

Sekitar pukul 10.30 WIB para ibu-ibu lain mulai nampak beriringan menyusuri sebuah jalan setapak menuju lokasi latihan. Mereka berduyun-duyun membawakan makanan untuk makan siang para peserta. Sungguh satu wujud dukungan dalam melestarikan dan mengembangkan Buddhadhamma yang patut mendapatkan apresiasi.

The post Meditasi di Gua Meditasi Dusun Guwo, Jepara appeared first on BuddhaZine.


Inilah Penggambaran Tertua Buddha yang Terdata

$
0
0

Foto yang Anda lihat di atas adalah salah satu peninggalan historis dunia yang paling berharga. Mengapa? Sebab itu adalah penggambaran Buddha dalam wujud manusia yang paling tua yang dapat dilacak masa pembuatannya, yakni dari tahun 50 sampai 60 Masehi. Itulah yang membuatnya menjadi salah satu objek terpenting yang disimpan di The British Museum.

Disebut Bimaran Casket, atau Bimaran Reliquary, objek itu adalah tempat penyimpanan perhiasan atau benda berharga yang menampilkan representasi Buddha yang bersifat Helenistik Yunani. Ini menampilkan Buddha dalam pose contrapposto, mempunyai bundel rambut dan kumis, serta bersifat realistis.

Tangannya memperlihatkan Mudra Abhaya. Ia diapit oleh dewa-dewa utama India, Brahma dan Śakra, di dalam relung melengkung (disebut homme arcade) dengan arsitektur Yunani-Romawi. Selain itu ada juga sosok misterius yang belum bisa diidentifikasi secara pasti. Karena kalung, gelang, dan perhiasan lengan, dan lingkaran cahaya yang ada, sosok itu kemungkinan besar merupakan representasi Bodhisattwa. Ia menyatukan tangan dalam sikap hormat Mudra Anjali.

Benda itu dibuat dari emas yang dicetak, dan ukurannya relatif kecil, dengan tinggi 7 cm. Ini dianggap sebagai karya seni Yunani-Buddhis Gandhara. Waktu ditemukan, berisi koin yang berasal dari abad pertama Masehi di wilayah Gandhara, yang sekarang masuk bagian utara Pakistan dan Afganishtan. Benda tersebut ditemukan di dalam sebuah stupa di Bimaran, dekat Jalalabad, timur Afganishtan, antara tahun 1833 sampai 1838, oleh arkeolog Charles Masson. Daerah ini dulunya merupakan jalur perdagangan yang ramai dari India ke Tiongkok.

Profesor Paul Williams lewat bukunya “Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations” menulis, penggambaran paling awal tentang figur Buddha dalam seni India berasal dari sekitar abad pertama masehi di wilayah Gandhara, di bawah pengaruh Hellenistik yang kuat. Pakar yang lain Donald Lopez sependapat dengan itu, dan menyebut bahwa para pematung Gandhara, yang dipengaruhi oleh estetika Yunani, menggambarkan rambut Buddha dengan sebuah sanggul di atas kepalanya. Lopez menyebut, perhatian utama para seniman adalah pada keindahan, bukan ortodoksi teks.

Bimaran Casket sendiri memiliki kemiripan dengan Kanishka Casket, yang ditemukan di Stupa Kanishka di Peshawar, Pakistan, pada tahun 1909. Namun benda yang kini berada di Museum Peshawar Pakistan ini memiliki umur yang “agak” lebih muda, karena dibuat sekitar tahun 127 Masehi.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine
 
 

The post Inilah Penggambaran Tertua Buddha yang Terdata appeared first on BuddhaZine.

Umat Buddha Sampetan Boyolali Lestarikan Tradisi

$
0
0

Tujuh samanera duduk rapi di kursi mengelilingi meja yang telah tersedia hidangan makan siang persembahan dari umat. Menunggu tiba saatnya makan siang, para samanera membacakan paritta pelimpahan jasa, sementara sambil merenungkan alunan paritta dari para samanera dua umat pemilik rumah melakukan ritual penuangan air di depan altar Buddha sebagai simbol pengiriman doa, pelimpahan jasa kepada salah satu anggota keluarga yang sudah meninggal.

Seorang perempuan paruh baya yang sedari pagi sudah nampak sibuk keluar masuk rumah rupanya pemilik rumah yang mengundang para samanera untuk membacakan paritta pelimpahan jasa. Waktu itu Senin (13/1) adalah hari dimana suami perempuan itu, Ibu Lestari (umat Buddha Dusun Gumok, Sampetan, Boyolali), meninggalkannya 100 hari yang lalu. Ibu Lestari bukan satu-satunya orang yang melakukan tradisi peringatan kematian/pengiriman doa, pemandangan seperti ini memang sudah menjadi tradisi umum terutama  masyarakat Jawa. Yang membedakan hanyalah ritual pengiriman doa, namun intinya untuk pelimpahan jasa (ngirim).

Di Dukuh Gumok, Sampetan, sendiri sudah menjadi tradisi setiap peringatan kematian sejak 3, 7, 40, 100, hingga 1000 hari diadakan ritual pengiriman doa. Begitu juga dengan umat Buddha di Sampetan. Peringatan kematian di rumah Bu Lestari adalah salah satu contoh dan gambaran bagaimana umat Buddha di Sampetan masih kokoh melestarikan tradisinya. Kecuali mengundang Bhante atau Samanera  yang memang pada hari itu sedang menetap di Sampetan, rangkaian acara peringatan sudah menjadi adat bagi warga Sampetan. Upacaranya berlangsung sehari semalam yang terbagi dalam beberapa ritual dan ini menjadi khas ritual ngirim doa di Sampetan.

“Ya ini kan memang kebetulan sedang ada samanera di sini mas, jadi saya undang untuk pembacaan paritta untuk ngirim doa. Jadi gak setiap ngirim doa harus selalu mengundang Bhante atau samanera, tapi ada juga beberapa warga yang melakukan Fang Shen tapi itu juga tidak semua, hanya beberapa saja. Kalau untuk acara yang lain semua warga di sini pasti melakukan itu, karena memang sudah adat,” jelas Lestari.

Dimulai siang hari, para anggota keluarga mendiang melakukan ziarah dan sembahyang/pembacaan paritta di makam mendiang. Sepulang dari makam para anggota keluarga menyiapkan santapan dan perlengkapan untuk acara kondangan. Kondangan sendiri merupakan acara mengundang seluruh warga dusun untuk hadir dan turut memberikan doa kepada mendiang. Setelah melakukan doa bersama para warga yang hadir akan melakukan kendurian/makan bersama dengan hidangan yang disediakan oleh keluarga mendiang.

Kesibukan keluarga mendiang belum selesai meskipun acara kondangan siang harinya telah usai, mereka masih harus mempersiapkan segala keperluan untuk acara puncak peringatan di malam harinya. Mulai dari menata ruangan dalam rumah, mengosongkan ruangan untuk kemudian dipasang tikar, menata altar Buddha, mempersiapkan keperluan puja bakti. Sementara ibu-ibu yang membantu di dapur hilir mudik mempersiapkan masakan yang akan menjadi hidangan malam harinya. Setelah semua perlengkapan dirasa cukup, ada waktu jeda sesaat untuk menghela nafas dan santai sejenak menunggu hingga waktu kedatangan para umat Buddha satu dukuh datang.

Acara malam hari adalah acara pujabhakti bersama yang mengundang seluruh umat Buddha. Sanak saudara dan tetangga terdekat yang dari umat lain pun turut diundang meski tak ikut pujabakti.

“Untuk malam harinya nanti kita mengundang umat untuk pujabhakti pelimpahan jasa kepada mendiang (Pujalaya) jam tujuh kita mengundangnya. Mungkin sekitar 100an umat yang hadir nanti baik laki-laki maupun perempuan dan ada saudara-saudara, tetangga yang umat lain juga kita undang untuk ikut hadir. Ini juga sudah menjadi tradisi umat sini,” imbuh Sulastri.

The post Umat Buddha Sampetan Boyolali Lestarikan Tradisi appeared first on BuddhaZine.

Serunya Membaca Prasasti tentang Pelayan Raja Era Majapahit

$
0
0

Pekan lalu, Sabtu (25/1), BuddhaZine secara khusus mengikuti Goenawan A. Sambodo – seorang arkeolog yang juga ahli sastra Jawa Kuno – membaca prasasti Kamtan. Prasasti itu disimpan oleh seorang warga Kota Salatiga. Menurut warga tersebut, prasasti itu diperoleh dari orang tuanya.

“Ini dulu dari suwargi (mendiang) Bapak. Kalau dari cerita Bapak, beliau dapat dari seseorang katanya disuruh memilih salah satu dari tiga barang, nah Bapak memilih ini, mungkin ada maknanya gitu. Jadi sampai sekarang saya simpan,” tutur warga tersebut.

Prasasti Kamtan tertulis dalam lempeng tembaga berukuran panjang 340 mm, lebar 100 mm dengan ketebalan 3 mm. Menurut Mbah Gun – sapaan akrab Goenawan A. Sambodo – Prasasti Kampan ditulis pada era pertengahan Majapahit.

“Ini aksara Jawa Kuna (Bahasa Kawi), berdasarkan tulisannya kemungkinan besar ditulis pada era Majapahit,” kata Mbah Gun. Namun sedikit disayangkan, menurut Mbah Gun, prasasti itu adalah lempeng nomor dua. “Harusnya ada yang nomor satu, perkiraan minimal 3 – 4 lempeng prasasti,” lanjutnya.

Dalam prasasti itu terdapat 10 baris tulisan, dengan masing-masing lima baris setiap bagiannya. Setelah diterjemahkan, prasasti itu berbunyi sebagai berikut;

II.A.

  1. Hyaŋ padĕmapuy, manimpiki, pamaṇikan, limus, galuḥ, paṅinaṅin, pakatimaŋ, sukun, halu warak.
  2. Kutak, maniga, tan katamana wuluḥ panawi, paturus, pahapitan, maresamgĕt, paṅuraŋ, paranakan,
  3. pakaliṅkiŋ, wadihati, parmmasan, maŋribci, °akudur, sinagiha, pawur, tapahai, bdar haji, parumban, lablab, ku
  4. kap, tṛpan kula, paṅkur, paraŋ, wiji kawaḍ, sikpan, pacadaran, kula pamgĕt, suṅgiŋ, suṅsuṅ, paṅuri, katan
  5. daṇḍa kudaṇḍa, maṇḍihalādi, paṅtu waṅi, suŋsuŋ nāyaka, wilaŋ wanda, manī, salwi, śaluit, sahulun śrī ma

II.B.

  1. hārāja tan tama irikaŋ wanua i kamtan, muaŋ kawinayasa wargga kabeh. °aŋ wanua masa magri 7, 8. waluḥ ru
  2. mambat iŋ natar, waṅke kabunan, tan knana mayang tanpa wwaḥ, °amijilakĕn wuryyaniŋ kikir, ludan, tudan,
  3. °amuk amuŋpaŋ, tan capala, °aṅśa pratyaṅśa, hasta capala, hidu kasirat, duhilatĕn, tan tama irikaŋ wanua
  4. i kamtan sawargga gumanti tekaŋ rāma manadhaḥ saŋ hyañja haji riŋ muhara, juru kakibatan, buyut
  5. kakilagoyaŋ, °amiŋkiga si copet, °amiŋpat si cadar, °agurit si lumale, °añjuŋ°añjuŋ

“Inti dari isi prasasti ini adalah semua semua pelayan śrī maharaja tidak diperbolehkan masuk ke desa Kamtan. Nama jabatan para pelayan itu adalah seperti yang tertulis dari lempeng A baris 1 hingga akhir baris 5.

“Lempeng B, berisi tentang hukum yang tidak boleh dilanggar seperti, membiarkan mayat berada di halaman tanpa diketahui sebabnya, menuduh tanpa bukti, memperluas batas halaman tanpa bukti, mengeluarkan senjata tajam dan lain-lain,” jelas Mbah Gun.

The post Serunya Membaca Prasasti tentang Pelayan Raja Era Majapahit appeared first on BuddhaZine.

6 Anjuran Preventif Protektif terhadap Koronavirus

$
0
0

Dewasa ini seluruh dunia sedang cemas melihat perkembangan wabah NCoV alias “flu ganas” yang disebabkan oleh korona virus varian baru yang berepisentrum di Kota Wuhan.

Penyakit flu koronavirus baru tersebut di atas menyerang sistem pernapasan (paru-paru) melalui penularan droplet dan kontak dengan lendir mengandung virus. Gejalanya menyerupai wabah virus korona SARS yang terjadi di sekitar tahun 2003.

Salah satu prinsip terapi dalam ilmu pengobatan tradisional komplementer (TCM) adalah bahwa penyakit berbeda, terapinya sama jika sindromnya sama; sebaliknya, penyakit yang sama terapinya berbeda jika sindromnya berbeda. Oleh karena itu, prinsip terapi terhadap SARS dapat diterapkan terhadap flu baru ini, meskipun patogen virusnya berbeda. Salah satu caranya adalah menggunakan metode herbal, yang pada umumnya memiliki efek berspektrum luas.

Dalam upaya preventif dan protektif terhadap potensi wabah flu terbaru itu, hendaknya masyarakat memperhatikan 6 hal berikut:

1. Memperhatikan anjuran kesehatan yang dikeluarkan oleh jajaran Kementerian Kesehatan RI, khususnya anjuran yang dikeluarkan akhir-akhir ini terkait flu NCoV tersebut.

2. Masing-masing individu menjaga pola hidup berimbang dalam bekerja dan beristirahat, sehingga energi dan daya tahan tubuh terhadap penyakit dapat terjaga dengan baik.

3. Daya tahan tubuh dapat menurun di saat perubahan cuaca yang ekstrem, juga akibat beban pikiran (stress), khususnya bagi kelompok rentan, lansia, anak-anak, wanita hamil, nifas, dan penderita penyakit kronis perlu memperhatikan makanan sehat sesuai anjuran tenaga medis/kesehatan.

4. Bagi individu yang bertubuh lemah, dengan gejala antara lain lekas letih, mudah masuk angin/ flu, takut dingin, mudah berkeringat, tak nafsu makan, dapat meningkatkan kekuatan tubuhnya dengan memilih bahan makanan tonik antara lain ginseng, temulawak, kunyit, telur ayam/ itik/ puyuh, bidara, duren, buah anggur, jamur kayu/kuping, hioko/ jamur jengkol, seledri, daging burung pipit/ayam/itik, dikonsumsi 2-3 jenis setiap hari secara berturutan, sampai gejalanya membaik.

5. Bagi individu yang sistem paru-paru/pernapasannya mudah terserang sesak napas, batuk, bersin, masuk angin, suara lemah, dapat meningkatkan kekuatan paru-parunya dengan mengonsumsi bahan makanan tonik sistem pernapasan, yang pada umumnya bercita rasa agak pedas dan menimbulkan liur, antara lain lobak, oyong/blustru, wortel, belimbing manis, jeruk purut, madu, ubi jalar, labu parang, telur ayam/itik, buah delima, (minyak) kacang tanah, sawi, aprikot/ plum, buah biwa/lokwat, sampai gejalanya membaik.

6. Anjuran makanan hendaknya tidak dikonsumsi berlebihan. Jika keluhannya sudah lenyap, anjuran bahan makanan tersebut dapat dikonsumsi seminggu sekali atau dua kali saja.

Demikian sekedar berbagi pengetahuan dalam menghadapi masalah kesehatan masyarakat dunia yang berimbas ke Indonesia dewasa ini. Semoga membawa manfaat bagi kita semuanya.

*Willie Japaries, pengajar di STAB Nalanda, Jakarta

 

The post 6 Anjuran Preventif Protektif terhadap Koronavirus appeared first on BuddhaZine.

Anjangsana Umat Vihara Indraloka Singkap Keunikan Dusun Krecek

$
0
0

Minggu (9/2/2020), sebanyak 50 umat Buddha Vihara Indraloka, Dusun Dalangan, Desa Sumogawe, Kec. Getasan, Kab. Semarang melakukan anjangsana ke Dusun Krecek. Ini adalah kunjungan umat tahap pertama dengan peserta semua kaum laki-laki.

“Kami melihat mengamati perkembangan dusun maupun umat Buddha Krecek ini sangat baik. Jadi, inti dari kunjungan kami hari ini adalah untuk belajar banyak hal dari masyarakat Dusun Krecek,” kata Utomo, koordinator rombongan.

Sekitar pukul 10:00 pagi, rombongan sampai di Dusun Krecek. Mereka diterima dengan hangat oleh pengurus vihara dan warga di dhammasala Vihara Dhammasarana, Dusun Krecek, Desa Getas, Kec. Kaloran. Setelah melakukan puja bakti dialog dimulai.

“Sampai hari ini, masyarakat Dusun Krecek memang mayoritas memeluk agama Buddha. Kalau ditanya mengenai program kenapa dusun ini bisa maju, ini tak lepas dari semangat warga dalam membangun dusunnya,” jelas Walmin, perwakilan warga Dusun Krecek, mengawali dialog.

Lebih lanjut Walmin bercerita awal-awal perkembangan agama Buddha di Dusun Krecek. “Di sini hampir sama dengan desa-desa di Kaloran, agama Buddha muncul sekitar tahun 1966. Berawal dari para tokoh seperti Mbah Mangun Sudharmo, Mbah Noro dan lain-lain. Kemudian diperkuat oleh Romo Among dari Jogja. Sejak saat itu, masyarakat Dusun Krecek memeluk agama Buddha hingga hari ini.”

“Kemudian kenaapa bisa bertahan hingga sekarang,” lanjut Walmin. “Memang banyak faktor, tapi saya kira lestarinya budaya yang bisa berjalan seiringan dengan Buddhadharma saya kita ini menjadi salah satu kunci.”

Dalam sesi tanya jawab, salah satu peserta bertanya mengenai altar puja yang dibangun di depan-depan rumah umat. “Saya tadi melihat setiap depan rumah warga kan ada altar puja. Bisa minta diceritakan bagaimana ide awal dan kegunaanya untuk apa?”

“Awalnya sederhana, kami membuat lomba penataan lingkungan. Ada tiga lingkungan (RT) di Dusun Krecek, masing-masing lingkungan kami bebaskan untuk menentukan tema lingkungannya. Nah, awalnya dari lingkungan RT 3 yang merupakan tempat keberadaan vihara memilih membuat altar puja. Dalam perjalanan kemudian diikuti oleh warga lingkungan lain.

“Kemudian terkait dengan kegunaanya, memang kami tidak memberi program khusus atau menganjurkan untuk dibuat sembahyang. Tapi rata-rata itu digunakan untuk puja pribadi, menyalakan dupa setiap pagi dan sore hari,” jelas Walmin.

Dialog berjalan sekitar 1,5 jam di vihara. Selesai itu, dengan dipandu oleh kepala dusun dan warga, para tamu diajak jalan keliling lingkungan dusun. Curug Pertapan sebagai destinasi unggulan wisata Krecek juga tak luput dari perhatian.

“Hari ini merupakan hari yang membahagiakan bagi kami, di awal tahun 2020 umat Buddha Vihara Indraloka Dalangan mendapatkan karma baik berkunjung ke Dusun Krecek tepatnya Vihara Dhammasarana yang merupakan Dusun Buddhis. Kami merasakan benar-benar nyaman di tempat ini, tempatnya sejuk dan indah, bersih. Dan yang sangat mengesankan adalah keramahan dan penyambutan penuh cinta mereka pada kami. Selain itu, banyak ilmu dan saran kegiatan yang berguna bagi kemajuan umat Buddha di Vihara Indraloka Dalangan,” kata Utomo terkesan.

Ajangsana ke Dusun Krecek akan kembali dilaksanakan pada tanggal 23 Februari 2020 dengan peserta sekitar 80 orang. “Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh warga Dusun Krecek, jangan kapok karena tanggal 23 nanti kami akan kembali ke sini dengan rombongan berbeda,” pinta Utomo. Ia berharap persaudaraan antar umat Buddha dalam melakukan kegiatan anjangsana tetap berlanjut dan saling menguatkan.

The post Anjangsana Umat Vihara Indraloka Singkap Keunikan Dusun Krecek appeared first on BuddhaZine.

Novel Tanah Putih, Perjalanan Mencapai Pencerahan yang Dihidangkan Secara Kompleks

$
0
0

Novel Tanah Putih sebenarnya mengisahkan sebuah perjalanan untuk mencapai pencerahan menurut paradigma Buddhis. Namun novel ini menuturkan banyak hal yang kompleks, yang membuatnya menjadi suatu bahan bacaan yang cukup berat, meski tergolong bukan novel yang tebal.

Hal tersebut mengemuka dalam acara Bincang Buku Tanah Putih karya Kris Budiman, yang digelar di UGM, Jumat (14/2/2020) pagi. Acara tersebut digelar oleh Prodi Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM.

Sita Hidayah, Ph.D, dosen jurusan antropologi UGM selaku pembahas buku mengatakan, kisah yang tertuang dalam novel bukanlah cerita biasa, tapi perjalanan spiritual, yang bersifat sangat Buddhis. Bagian-bagian di novel itu, menurutnya diekspresikan seperti komposisi sebuah lagu.

“Ada intro, coda, ada reverse, jadi saya membayangkan, itu seperti dalam teknik komposisi lagu,” katanya.

Ia menjelaskan, di musik ada terminologi textpainting, di mana suatu lagu tentang sesuatu yang sedih atau berat, akan disusun dengan nada minor. Novel ini menurutnya adalah kebalikannya.

“Saya menyadari ada pola-pola decresendo, ada suara kuat di awal, lalu turun-turun, lirih, lalu sepi,” jelasnya.

Sita mengakui, ada pembahasan terkait cinta di novel itu. Namun ia memastikan, Novel Tanah Putih bukanlah cerita cinta, namun mengenai perjalanan spiritual yang sulit. Bukan catatan seperti travelogue tapi catatan reflektif ke dalam.

“Ini melampaui cinta yang melekat, kebebasan, tapi bukan freedom, tapi liberation, pencerahan
Buddhism yang melampaui dualisme,” katanya.

Ia merasa buku ini cukup berat, sebab banyak konsep, banyak cerita klasik, dan banyak unsur visual dimasukkan di buku ini. Citra candi dijadikan sebagai alat untuk menyadari diri sendiri, mencari pemahaman yang lebih tinggi. Candi menjadi ruang bagi pembaca menyadari tentang identitas diri, juga konsep waktu.

“Ini tentang perjalanan spiritual mencapai pencerahan sejati, tapi caranya ke mana-mana,” tegasnya.

Kris Budiman selalu penulis mengaku, novelnya yang kedua ini sebenarnya lebih tipis dari novelnya yang pertama, Lumbini. Jika di Lumbini ia betul-betul merancang plot dan skema secara mendetail, di Tanah Putih ia seperti “lepas setang”.

“Ada satu kata kunci, surealisme yang memuja fragmen-fragmen,” terang Kris.

Ia mengingatkan pembaca novelnya untuk tidak berharap menemukan alur yang konvensional. Meski demikian, ia mengaku rancangan perjalanan di novel Tanah Putih berdasar model dari relief Gandavyuha Sutra yang ada di Borobudur.

“Sukhema [tokoh utama dalam novel Tanah Putih] itu saya ambil dari Sudhana [tokoh sentral dalam Gandavyuha], yang bertemu banyak kalyanamitra, sahabat kebajikan,” ungkap Kris.

Dirinya menganggap, tidak ada ajaran Buddhisme di novelnya ini, tidak seperti di novel Lumbini. Judul novel pun menurutnya tidak terkait dengan Vihara Tanah Putih di Semarang, namun lebih ke pengalaman visual yang didapatnya ketika Jogja tertutup abu Merapi beberapa tahun lalu, sehingga semuanya berwarna putih.

“Itu soal asosiasi pembaca saja,” katanya santai.

Acara bincang buku diwarnai dengan pembacaan petikan novel Tanah Putih oleh Endah Sr. Selain itu Kris Budiman juga ikut membacakan penggalan novel, meski hanya dua paragraf.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film, dan spiritualitas tanpa batas.

The post Novel Tanah Putih, Perjalanan Mencapai Pencerahan yang Dihidangkan Secara Kompleks appeared first on BuddhaZine.

Potret Kehidupan Toleransi di Sampetan, Boyolali

$
0
0

Keberagaman yang ada di Indonesia merupakan anugerah namun juga merupakan tantangan bagi warga Indonesia untuk mewujudkan suatu kehidupan yang tetap harmonis dan rukun. Sikap saling menghargai dan meningkatkan rasa toleransi satu sama lain sangat dibutuhkan dalam menjalin hubungan sosial di antara warga negara.

Perbedaan-perbedaan yang ada seringkali menimbulkan konflik dari berbagai skala. Tak terlewatkan, perbedaan agama juga menjadi salah satu pemicu konflik yang muncul.

Perbedaan agama bahkan meliputi seluruh wilayah di Indoneia mulai dari perkotaan hingga pedesaan dengan potensi konflik yang sama.

Menyadari dan menyikapi akan adanya potensi konflik yang timbul karena adanya perbedaan agama ini, telah banyak pergerakan dan seruan untuk mengkampanyekan sikap saling toleransi antar umat beragama

Salah satu yang BuddhaZine temukan pada Minggu (13/01), adalah kehidupan toleransi yang ada di Desa Sampetan Kabupaten Boyolali.

Kesadaran warga akan pentingnya menjaga kerukunan mendorong mereka untuk melakukan aksi yang memperkuat kerukunan antar warga. Untuk mempermudah dalam komunikasi, warga Sampetan membentuk suatu wadah forum lintas iman  yang mereka namakan “Gotong Royong Tri Dhamarsari” yang consern dalam merencanakan dan melakukan aksi sosial pendorong kerukunan.

Sejak terbentuknya lebih dari tiga puluh tahun yang lalu kini forum “Gotong Royong Tri Dhamarsari” telah beranggotakan 130 kepala Keluarga (KK) dari berbagai latar belakang agama yang ada di Sampetan. Tidak semua dusun yang ada di Sampetan tergabung dalam forum ini. Ada empat dukuh dan saling berdekatan yang menjadi anggota forum yaitu Gumok, Purwosari Lor, Purwosari Kidul, dan Mongsari.

Para anggota forum mengakui mendapatkan banyak manfaat yang diperoleh ketika menjadi anggota forum, seperti pengakuan Surono, salah satu anggota forum.
”Intinya forum ini terbentuk untuk kegiatan sosial dan toleransi yang mendukung kerukunan warga di sini. Selama saya ikut dalam forum ini saya merasakan banyak sekali manfaatnya terutama kalau ada punya gawe seperti mantu, membangun rumah, juga ketika ada kematian.”

“Dari sini kita bisa merasakan adanya guyup rukun. Di samping itu juga ketika ada kematian dari setiap RT yang ikut forum ini mengadakan iuran sebagai dana talangan pembiayaan kematian. Dari peti sampai ke pemakaman semua ditanggung dengan dana talangan dari forum ini. Nanti bisa dikembalikan lagi dananya setelah 3 hari atau lebih,” katanya.

Selain merawat tradisi gotong royong yang memang sudah menjadi naluri bagi warga Sampetan, hal lain yang berkaitan langsung dengan agama yang ada di sampetan juga menjadi agenda khusus dari forum ini. Hasil nyata forum ini terlihat dari cara warga sampetan dalam perayaan hari besar setiap agama. Menjelang hari besar dari setiap  agama seluruuh warga saling mengucapkan selamat dan bahkan ikut membantu dalam banyak hal.

“Di forum ini kita juga mengadakan gotong-royong untuk perayaan hari besar agama yaitu dengan melibatkan semua warga dusun. Contohnya ketika Hari Raya Waisak semua warga yang tergabung dalam forum ini ikut iuran untuk membantu perayaan Waisak begitu juga sebaliknya ketika perayaan agama Islam maupun Kristen kita semua ikut membantu dalam hal biaya. Di samping itu semua warga juga ikut merayakan perayaan setiap hari besar agama yang ada disini. Ini semua demi terjaganya toleransi dan kerukunan antar umat dan antar warga meskipun kami di sini menganut tiga agama yang berbeda.”

“Dalam aplikasinya contoh ketika Idul Fitri, bagi warga yang Muslim duduk di rumah menyediakan makanan dan umat non Muslim yang berkunjung ke rumah-rumah warga Muslim untuk mengucapkan selamat. Begitu juga ketika Natal dan Waisak, bagi umat yang sedang merayakan hari besarnya duduk dirumah menyediakan makanan dan yang dari umat lain datang untuk mengucapkan selamat,” imbuh Surono.

Menurut keterangan Surono bahkan tidak hanya dalam hal perayaan dan saling mengucapkan hari besar agama, namun setiap ada perayaan hari besar salah satu agama semua warga ikut membantu dalam pendanaan perayaan hari besar.

Untuk mempertahankan dan terus mengembangkan kegiatan forum, para anggota forum melakukan rapat atau pertemuan rutin setiap 35 hari (selapan) secara bergiliran. Sistem kepengurusan dilakukan pemilihan ulang setiap lima tahun sekali.

 

The post Potret Kehidupan Toleransi di Sampetan, Boyolali appeared first on BuddhaZine.


Target 3 Tahun Menuju Universitas, Nalanda Mulai Konsolidasi Internal

$
0
0

STAB Nalanda menggelar acara gathering dengan tema United for Growth di Telaga Sampireun Ancol Jakarta, Minggu (16/2/2020). Acara ini itu dihadiri oleh seluruh keluarga besar STAB Nalanda yang terdiri dari; pengurus Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda, pimpinan, para dosen, staf, mahasiswa, alumni dan Keluarga Mahasiswa Buddhis (KMB) se-Jabodetabek.

“Kita akan menuju universitas, suatu perjuangan yang memerlukan energi. Karena itu, kita perlu bersatu dan bekerjasama untuk mencapainya. Belum lama ini kita telah mengadakan perubahan organisasi pimpinan, banyak wajah baru yang menduduki posisi penting, saya mengucapkan selamat datang di Nalanda, semoga anda bisa berkontribusi untuk memajukan Nalanda menjadi lebih baik,” kata Romo Tan Tjoe Liang, ketua Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda dalam sambutannya.

Lebih lanjut Romo Tan menyampaikan, selain sebagai ajang konsolidasi internal, pertemuan yang melibatkan seluruh civitas akademika Nalanda beserta simpatisan itu juga digunakan sebagai syukuran bersama atas terselenggarannya peringatan 40 tahun STAB Nalanda.

“Kita baru saja melaksanakan peringatan 40 tahun Nalanda. Acara itu berjalan lancar dan sukses tentu karena kerja keras Anda semua, seluruh panitia. Karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh panitia yang telah mendukung berjalannya acara ini.”

Siang itu suasana kekeluargaan begitu terasa, semua orang tampak akrab dan menyatu. Individu-individu yang pada hari-hari biasa terpisah jarak status dan jabatan akademik, seolah hari itu sirna. Berbagai permaian ice breaking yang dipimpin Sarjono tambah mencairkan suasana. Karena itu, acara gathering pertama yang digagas oleh STAB Nalanda ini mendapat sambutan baik dari staf maupun mahasiswa Nalanda.

“Dari acara Nalanda gathering ini kita dapat melihat staf, pimpinan, KMB, alumni, para  yang jarang ketemu bahkan dosen yang sudah tidak mengajar bisa berkumpul bersama, bercengkrama bersama, makan bersama. Ini adalah kegiatan Nalanda gathering yang pertama dan berjalan dengan luar biasa karna bisa yang menunjukkan suasana kekeluargaan dari semua orang yang datang apalagi saat kegiatan ice breaking kelihatan sekali guyubnya,”  ungkap Vivi, salah satu staf STAB Nalanda.

Kesan itu juga dirasakan Yoni Fitriana, mahasiswi semester 6 Pendidikan Keagamaan Buddha. Menurutnya, acara gathering semacam ini bisa menjadi ajang silaturami antar dosen, mahasiswa dan keluarga mahasiswa Buddhis di luar Nalanda.

“Hal yang paling berkesan ketika melihat ketua yayasan bernyanyi, di situ saya meneteskan air mata, melihat baru pertama kali beliau bernyanyi. Karena sebelumnya beliau menyuruh ku untuk bernyanyi, dan aku bilang Romo aja yang nyanyi, belia menjawab, ‘berantakan nanti kalo saya nyanyi’ di situ saya senyum dan tertawa. Dan tiba-tiba bernyanyi di depan dengan lagu kemesraan. Sontak saya inget dengan mantan dosen saya yang bernama Jeny Harianto dan Pak Sugeng. Banyak kenangan dan ilmu yang saya dapat dari beliau,” katanya.

Di akhir acara, Muljadi yang baru beberapa bulan dilantik sebagai ketua baru STAB Nalanda menyampaikan beberapa program baru. Salah satunya adalah program 9 in 1. Yaitu; pelatihan Public Speaking, pelatihan Komunikasi Dhammaduta, pelatihan  Ilmu Manajemen, pelatihan Mutimedia Design, pelatihan Kemampuan Keuangan, pelatihan Kemampuan Bahasa Inggris dan Mandarin, pelatihan Kemampuan Pengelolaan Data keuangan, pelatihan Kemampuan Digital Marketing dan STAB Nalanda juga memberikan jaminan kerja.

“Kita akan mengadakan program 9 in 1 Nalanda yang berisi kegiatan-kegiatan pengembangan skill sebagai langkah awal untuk meningkatkan kualitas lulusan Nalanda. Kita juga memiliki tujuan menuju universitas oleh karena itu kita perlu bekerjasama dan bersatu,” pinta Muljadi.

The post Target 3 Tahun Menuju Universitas, Nalanda Mulai Konsolidasi Internal appeared first on BuddhaZine.

Biksu Korea, Pomnyun Sunim, Memenangkan Penghargaan Perdamaian Niwano ke-37

$
0
0

Niwano Peace Foundation (Yayasan Perdamaian Niwano) mengumumkan pada Senin bahwa Master Seon (Zen) Pomnyun Sunim* (법륜스님), yang telah populer di negara asalnya Korea Selatan dan di seluruh dunia atas khotbah Dharmanya yang mudah diakses, serta penghargaan atas aktifitas kemanusiaannya yang meluas sebagai seorang Buddhis yang terlibat secara sosial, adalah penerima Penghargaan Perdamaian Niwano ke-37.

Penghargaan itu, yang akan secara resmi diberikan pada 3 Juni di Tokyo, telah diserahkan sebagai pengakuan atas kerja kemanusiaan internasional, aktifitas lingkungan dan sosial, dan usaha beliau yang tanpa kenal lelah untuk membangun kepercayaan dan niat baik antar komunitas dari berbagai agama dan budaya yang berbeda, demi mencapai perdamaian dunia. Penghargaan Perdamaian Niwano ini diberikan dalam bentuk sebuah sertifikat, sebuah medali, dan uang sebesar ¥20 million (US$182,000).

Pomnyun Sunim “telah menunjukkan sebuah komitmen yang panjang dan luas untuk memajukan perdamaian dalam sebuah kerangka Buddhis, dalam kemitraan dengan mereka yang beragama lain”, khususnya agama Kristen, ucap Komite Penghargaan Perdamaian Niwano tentang pencalonan tersebut. Anggota komite menyebutkan bahwa mereka juga “terkesan dengan fokusnya pada pekerjaan di luar Korea, atas nama mereka yang beragama lain”, termasuk Muslim di Mindanao, Filipina; umat Hindu dan komunitas lain di India; dan Muslim Rohingya di Myanmar dan Bangladesh (Yonhap News Agency).

Pomnyun Sunim telah mendirikan berbagai organisasi, inisiatif, dan proyek yang aktif di seluruh dunia. Diantaranya, Jungto Society, sebuah komunitas berbasis sukarelawan yang didirikan berdasarkan ajaran Buddhis dan mengekspresikan kesetaraan, kesederhanaan, dan keberlanjutan; yang didedikasikan untuk mengatasi masalah-masalah sosial modern yang menyebabkan penderitaan, termasuk degradasi lingkungan, kemiskinan, dan konflik sosial. Join Together Society, sebuah organisasi bantuan internasional, bekerja untuk mengentaskan kemiskinan dan kelaparan melalui bantuan kemanusiaan dan pembangunan berkelanjutan. Pomnyun Sunim juga bekerja sama erat dengan International Network of Engaged Buddhists (INEB) yang berbasis di Thailand.

Didirikan oleh Nikkyo Niwano (1906-99), salah satu pendiri dan presiden pertama organisasi Buddhis Rissho Kosei Kai di Jepang, Yayasan Perdamaian Niwano diresmikan pada 1978 dengan aspirasi untuk mewujudkan perdamaian dunia. Yayasan ini mempromosikan penelitian dan aktifitas lain dalam bidang-bidang seperti pendidikan, sains, budaya, dan filsafat. Yayasan ini membuat Penghargaan Perdamaian Niwano, yang telah dianugerahkan setiap tahun sejak 1983, untuk mengakui dan mendorong individu dan organisasi yang telah mengamalkan tujuan perdamaian dunia dengan berkontribusi secara signifikan pada kerja sama antaragama.

Penerima penghargaan ini sebelumnya antara lain pendiri INEB dan aktivis sosial Sulak Sivaraksa yang memenangkan penghargaan pada 2011; Biksuni Taiwan Master Cheng Yen, pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi yang memenangkan penghargaan pada 2007; dan Biksu Kamboja dan aktivis perdamaian YM. Maha Ghosananda yang memenangkan penghargaan pada 1998.

*Sunim adalah gelar dalam bahasa Korea untuk menyebut biksu/biksuni senior.

Oleh Craig Lewis

The post Biksu Korea, Pomnyun Sunim, Memenangkan Penghargaan Perdamaian Niwano ke-37 appeared first on BuddhaZine.

Aktivis Biksu Buddhis dan Nomine Nobel Perdamaian Thich Quang Do Meninggal di Usia 91 Tahun

$
0
0

Biksu Buddhis dari Vietnam yang sangat dihormati, Thich Quang Do, seorang aktivis sosial yang blak-blakan dan pejuang hak asasi manusia serta kebebasan beragama, meninggal pada Sabtu (22/2/2020) malam pada usia 91 tahun di Kuil Tu Hieu di Kota Ho Chi Minh.

Sebagai salah satu dari dua patriark Gereja Buddha Bersatu Vietnam (UBCV), Quang Do telah dinominasikan di beberapa kesempatan untuk Hadiah Nobel Perdamaian karena pembelaannya untuk hak asasi manusia dan demokrasi. Pada tahun 2001, Quang Do menulis “Seruan untuk Demokrasi,” menyerukan pembangkang di Vietnam utara dan selatan untuk mengesampingkan perbedaan kebudayaan dan membentuk satu kesatuan pada tahun 2005. Pada tahun 2006, beliau adalah penerima Hadiah Peringatan Thorolf Rafto Norwegia “Atas keberanian dan ketekunan beliau selama tiga dekade sebagai oposisi damai melawan rezim komunis di Vietnam.” (Yayasan Rafto)

Dalam pernyataan secara terbuka pada hari Minggu, UBCV mengumumkan permintaan Quang Do atas kehendaknya sendiri, yang ditandatangani pada April 2019, untuk “pemakaman secara sederhana, tidak lebih dari tiga hari.” Pernyataan itu kemudian ditambahkan lebih lanjut oleh Quang Do bahwa: “Setelah kremasi, abuku akan disebarkan di laut.” (The Japan Times)

UBCV juga meminta para pengikut dan pelayat untuk tidak mengikuti kebiasaan umum membawa persembahan uang tunai ke pemakaman: “Tidak akan ada kata-kata terakhir, tidak ada biografi, tidak ada pertunjukan emosional. . . Hanya berdoa. ” (The Japan Times)

UBCV didirikan pada tahun 1964 dengan tujuan menyatukan berbagai aliran sekolah Buddhisme di Vietnam, sebagai tanggapan terhadap permusuhan pemerintah terhadap orde Buddhis selama Perang Vietnam. Sebelas dari 14 orde Buddhis di Vietnam disatukan di bawah UBCV. Dua patriark UBCV — Thich Quang Do dan Thich Huyen Quang — ditempatkan sebagai tahanan rumah oleh pihak berwenang atas penentangan mereka terhadap pembatasan negara terhadap agama yang didirikan oleh pemerintah komunis pada tahun 1975. Pada tahun 1981, pemerintah baru mengonsolidasikan semua organisasi Buddhis di bawah Sangha Buddha Vietnam, melarang Gereja Buddha Bersatu Vietnam dan organisasi lain yang tidak disetujui oleh negara.

Thich Quang Do* lahir pada November 1928 dari keluarga pedesaan di provinsi Thai Binh di Vietnam Utara, dan ditahbiskan sebagai samanera pada usia 14 tahun. Ketika ia berusia 17 tahun, Quang Do melihat gurunya, Biksu Thich Duc Hai dieksekusi oleh pengadilan komunis, yang kemudian menjadi titik balik kehidupannya. Dalam sebuah surat terbuka kepada sekretaris Partai Komunis pada tahun 1994, Quang Do menyatakan: “Mulai saat ini, saya bertekad untuk melakukan semua yang dapat saya lakukan untuk memerangi fanatisme dan intoleransi serta mencurahkan hidup saya untuk mengejar keadilan melalui ajaran Buddhis, tiada kekerasan.” (Straits Times).

Quang Do melanjutkan pendidikan Buddhisnya selama tahun 1950-an dengan melakukan perjalanan keliling Asia, termasuk India dan Sri Lanka, selama periode tujuh tahun beliau juga terlihat mengajar sebagai akademisi di universitas. Beliau akhirnya kembali ke Saigon untuk mengajar agama Buddha, menulis beberapa buku teks Buddhis dan menerjemahkan sejumlah teks Buddha ke dalam bahasa Vietnam.

Pembangkang Vietnam yang diasingkan, Dieu Cay, menjelaskan, meninggalnya Quang Do sebagai “kerugian besar bagi UBCV serta gerakan untuk kebebasan dan demokrasi di Vietnam.” (Berita BBC)

* Nama keluarga Thich dapat diterjemahkan sebagai “dari klan Shakya,” dan diadopsi oleh semua biarawan Buddha dari tradisi Mahayana di Vietnam, menekankan afiliasi mereka dengan komunitas Buddha atau sangha dari Buddha Shakyamuni.

Sumber : https://www.buddhistdoor.net

The post Aktivis Biksu Buddhis dan Nomine Nobel Perdamaian Thich Quang Do Meninggal di Usia 91 Tahun appeared first on BuddhaZine.

Kisah Robert Thurman, Mantan Biksu & Profesor Lulusan S3 Harvard

$
0
0

Perjalanan hidup Bob boleh terbilang luar biasa. Dia adalah putra dari Elizabeth Dean Farrar dan Beverly Reid Thurman. Sebagai pemuda yang cerdas, dia menjalani pendidikan di Phillips Exeter Academy tahun 1954 hingga 1958. Beberapa saat setelahnya dia melanjutkan studi di Universitas Harvard, tempat dimana dia memperoleh gelar S1, S2, dan S3-nya.

Di usianya yang muda kala itu (18 tahun), dia menikahi kekasihnya yang bernama Marie-Christophe de Menil pada 1959. Sayangnya pada 1961 dia mengalami kecelakaan yang menyebabkannya kehilangan bola mata kiri. Rasa stress dan sakit membuatnya menceraikan istrinya. Akhirnya dia sadar untuk memfokuskan lagi hidupnya dan berpetualang ke Turki, Iran dan India dari tahun 1961 hingga 1966.

Di India, dia mengajarkan bahasa Inggris kepada para tulku (sebutan untuk mereka yang dipercayai sebagai reinkarnasi lama Tibet). Setelah kematian ayahnya, Bob kembali ke Amerika Serikat. Dia kemudian bertemu dengan seorang biksu dari Mongolia bernama Geshe Wangyal di New Jersey. Biksu ini menjadi gurunya dan sejak itu dia menjadi seorang Buddhis.

Dia kembali lagi ke India. Dengan pengantar dari gurunya, dia belajar dibawah bimbingan Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14. Bob menjadi seorang biksu pada 1965 dan dikenal sebagai biksu Amerika pertama dari tradisi Buddhis Tibet. Keduanya pun menjadi sahabat baik.

Pada 1967, Bob kembali ke Amerika Serikat. Disana dia memutuskan untuk lepas jubah dan menikah dengan istri keduanya bernama Nena von Schlebrügge. Bob melanjutkan studi dan meraih gelar M.A. pada 1969 dan Ph.D. pada 1972 dari Universitas Harvard. Karir akademisnya dimulai dengan menjadi profesor agama di Amherst College tahun 1973-1988. Setelahnya, dia menerima tawaran menjadi profesor agama dan Sansekerta di Universitas Columbia.

Pada 1986, Bob mendirikan Tibet House US (Rumah Tibet AS) dengan Nena, Richard Gere, dan Philip Glass atas permintaan Dalai Lama. Rumah Tibet AS adalah sebuah organisasi nirlaba dengan misi untuk melestarikan budaya Tibet dalam pengasingan. Dia juga dianggap sebagai seorang pencetus, penerjemah kreatif dan handal dari literatur Buddhis bagi publik luas. Matthew Kapstein – seorang profesor di Universitas Chicago, dan Jan Nattier – seorang cendekiawan Buddhis menyanjung karya terjemahan Bob sebagai salah satu karya terjemahan terbaik dari naskah-naskah Buddhis.

Atas kerja kerasnya, Majalah Time memasukkan Bob sebagai salah satu dari 25 orang Amerika paling berpengaruh tahun 1997. Pada 2003, dia mendapatkan penghargaan Light of Truth. Majalah New York menyebutnya sebagai salah satu orang yang berpengaruh di bidang agama pada 2006. Baru-baru ini dia memperoleh penghargaan Padma Shri dari Pemerintah India atas dedikasinya di bidang literatur dan pendidikan.

Ya, dialah Robert Alexander Farrar Thurman, ayah dari artis terkenal Uma Thurman.

The post Kisah Robert Thurman, Mantan Biksu & Profesor Lulusan S3 Harvard appeared first on BuddhaZine.

Talkshow #ItStartsFromYourMind: Surga atau Neraka Tergantung dari Pikiran Kita

$
0
0

Dalam rangka perayaan Vesak Festival 2020, Young Buddhist Association bekerjasama dengan Unit Kegiatan Kerohanian Buddha Universitas Surabaya, Universitas Airlangga, Universitas Ciputra, Institut Teknologi Sepuluh November, Universitas Widya Kartika, Komunitas Mitra Uttama mengadakan Talkshow #ItStartsFromYourMind yang berlangsung pada Sabtu (29/2/2020).

Talkshow yang diadakan di Spazio Hall ini mengusung tema “Surga atau Neraka Tergantung dari Pikiran Kita”, yang membahas pikiran sebagai pelopor dari segala hal. “Pikiran yang akan mengarahkan kita, dan pikiran juga yang akan menentukan kita terlahir di surga / neraka, oleh karena itu kita harus bisa mengendalikan pikiran,” papar Albert Christian Chandra, selaku Ketua Acara.

Sebelum masuk dalam sesi Talkshow, acara diawali dengan pembacaan doa oleh Suhu Neng Rui. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua Acara, Albert Christian Chandra dan Evelyn Hartono, selaku ketua Vesak Festival 2020, dilanjutkan dengan penyampaian sesi materi oleh narasumber Y.M. Bhiksu Bhadra Pala Sthavira (Suhu Xian Bing), selaku Wakil Ketua Umum Sangha Mahayana Indonesia (SMI).

Dalam talkshow dikemukakan bahwa Sang Buddha bersabda “Sucikan Hati dan Pikiran”, tetapi hati tidak bisa bahagia jika pikiran belum bahagia. Ketika melakukan suatu hal yang tidak disukai, kita seringkali merasa jengkel dan membuat pikiran kita menjadi tidak bersih. Satu-satunya hal yang dapat dilakukan untuk membersihkan pikiran adalah dengan mengubah cara pandang terhadap suatu hal dan mengontrol pikiran kita agar tidak berpikir buruk. Hal ini akan melatih kita agar bisa tetap tenang walaupun melakukan hal yang tidak disukai.

Diskusi hari itu mengajak pengunjung untuk mau mengubah kebiasaan berpikir kita yang tidak baik, melepaskan kemelekatan, dan bagaimana menghendaki kehidupan kita sesuai dengan pikiran yang benar. Dimulai dari memahami diri sendiri, bersyukur, dan memahami orang lain. “Ketika kita bisa menciptakan mudita [turut berbahagia ketika orang lain berbahagia], maka kita bisa bersyukur dengan apa yang didapat dan pikiran pun menjadi bahagia,” ujar Suhu.

Narasumber juga menjelaskan, ketika suatu hal terjadi dan tidak sesuai dengan yang diinginkan, janganlah langsung menghakimi dan berusahalah melihat dari sisi yang lain, karena terkadang apa yang pertama kali kita lihat dan pikirkan belum tentu benar adanya. Cara kita memikirkan sesuatu itulah yang akan menentukan surga / neraka. Hal lain yang bisa dilakukan untuk melatih pikiran adalah dengan melakukan latihan dan meditasi. Dengan melakukan meditasi, kita dapat memfokuskan pikiran serta dapat lebih mengenal diri kita sendiri.

“Maka dari itu, kita harus bisa melatih pikiran kita agar terbebas dari pikiran buruk, karena pikiran merupakan pelopor dari segala hal yang kita lakukan dan sangat berdampak terhadap kehidupan.”

Talkshow kemudian ditutup dengan penyerahan plakat kepada Suhu Xian Bing, Penyerahan dana untuk Mudita Center, serta foto bersama.

The post Talkshow #ItStartsFromYourMind: Surga atau Neraka Tergantung dari Pikiran Kita appeared first on BuddhaZine.

Melacak Keindahan Motif Tekstil Nusantara di Era Kejayaan Hindu-Buddha

$
0
0

Kekayaan budaya Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan budaya di masa kejayaan Hindu-Buddha. Berbagai motif tekstil banyak berkembang di era itu, yang bisa dilacak dari keberadaan arca dan candi yang masih eksis hingga saat ini.

Hal itu disampaikan Sandra Sardjono Ph.D saat menjadi pembicara dalam Simposium Internasional Budaya Jawa: Busana dan Peradaban Keraton Yogyakarta, yang digelar 9 Maret 2020 di Royal Ambarrukmo Yogyakarta. Sandra adalah peneliti dan kurator independen, dan Presiden Tracing Pattern Foundation, sebuah organisasi nirlaba yang mempromosikan studi tekstil. Ia juga merupakan anggota Dewan Seni Tekstil di Museum Seni Rupa San Francisco, Amerika Serikat.

Alumni Universitas California ini berbicara tentang gambaran tekstil di Jawa Kuna (abad ke 8-15). Ia mengaku, tak banyak bukti mengenai bukti tekstil (batik maupun tenun) pada masa itu, selain dari peninggalan sejarah berbahan batu dan logam.

Menurut Sandra, Jawa menjadi pusat konvergensi budaya antara India dan Tiongkok, di masa Jawa Kuna. Hingga tahun 900-an, tekstil motif bunga banyak berkembang. Ini banyak dijumpai dari motif bawahan yang dipakai dalam arca dewa atau bodhisattwa peninggalan zaman tersebut.

“Motif bunga ini juga banyak dipakai dalam tekstil Dinasti Tang di China,” terangnya.

Ia meneruskan, motif ini juga banyak berkembang di kawasan Jalur Sutera. Dan di India sendiri, arca dengan motif bunga baru berkembang sekitar abad ke-11. “Kemungkinan ini meniru yang di China,” sambung Sandra.

Selanjutnya, motif tekstil yang berkembang juga di Jawa era itu adalah motif titik dan lingkaran. Arca Shiwa, Durga, hingga Bodhisattwa Avalokitesvara di abad ke-10 banyak yang diukir memakai motif ini.

“Motif ini juga ditemukan dalam tekstil di China sejak tahun 300 hingga 600-an,” jelas dia.

Sandra meneruskan, motif tekstil juga banyak ditemukan di candi, salah satunya di Candi Sewu. Di sini ada 16 panel relief dengan motif tekstil. Di beberapa panel dijumpai motif bunga, rusa, dan singa, masing-masing dalam lingkaran.

“Pola binatang dalam lingkaran juga banyak dipakai di area Jalur Sutera. Sementara pola bunga dalam lingkaran terkenal di masa Dinasti Tang,” paparnya.

Selanjutnya, memasuki era Kerajaan Singasari dan Majapahit banyak ditemukan motif bunga yang lalu saat ini dikenal sebagai motif batik Jlamprang. Motif ini salah satunya ditemukan dalam arca Buddhis Prajna Paramita yang terkenal karena kecantikannya itu.

Sementara, di era Majapahit, pola yang paling populer menurut Sandra adalah era lingkaran bersinggungan yang kini dikenal sebagai motif batik Kawung. Motif ini masih banyak dipakai hingga era kerajaan Mataram Islam.

“Karena berhubungan dengan simbol status, motif-motif yang banyak dipakai zaman dahulu banyak terinspirasi dari China dan India, bukan motif Austronesia. Tapi ada juga patung kecil yang memakai pola mirip dengan pola tapis dari Sumatera,” ungkapnya.

Sementara itu, Siti Maziyah, pembicara lain dalam simposium ini menjelaskan, penduduk Nusantara sudah berhubungan dengan bangsa asing sejak awal masehi. Arkeolog dari Universitas Diponegoro ini menjelaskan, Itulah yang membuat tekstil bangsa kita menjadi beraneka ragam.

“Masyarakat Jawa sangat kreatif menerima budaya asing menjadi milik sendiri. Saya dulu mengira motif Kawung itu asli Jawa, tetapi kalau ditelusuri itu dari luar juga,” jelasnya.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film, dan spiritualitas tanpa batas.

The post Melacak Keindahan Motif Tekstil Nusantara di Era Kejayaan Hindu-Buddha appeared first on BuddhaZine.

Melihat Borobudur Yang Hidup dalam Pembukaan Nyadran Perdamaian 2020

$
0
0

“Nyadran, bagi saya adalah sebuah tradisi dan saya percaya ini bukan tradisi Buddha, buka tradisi Islam juga bukan tradisi Kristen, tapi ini tradisi asli Nusantara,” kata Romo Fajar Muhammad, ketua Paroki Gereja Katolik Temanggung saat mengawali pengantar Nyadran Perdamaian Krecek – Gletuk, Selasa (10/03/2020).

Dari tradisi Nyadran itu Romo Fajar melihat Dusun Krecek seperti Borobudur yang hidup. “Semua orang ingin melihat Borobudur. Orang Amerika, Inggris, China, Arab dan sebagainnya ingin melihat Borobudur, tetapi itu hanya wujud batu, patung dan candi. Tetapi di sini, orang bisa melihat Borobudur yang hidup, karena orang dari mana-mana datang ke sini untuk melihat dan mengalami, damai.

“Walaupun ada ke tidak adilan juga, karena ketika sodara-sodara kita datang ke Borobudur, mbayar,” lanjut Romo. “Masak orang sembahyang mbayar. “Tadi saya guyonan dengan Pak Kepala Dusun dari Jambi. ‘Pak kalau njenengan salat Ied di Masjid Istiqlal mbayar ndak?’ beliau Jawab ‘ndak’ lha ini masak umat Buddha bakan bhikkhu-bhikhunya datang untuk sembahyang ke Borobudur mbayar. Jadi kita harus ikut prihatin soal ini,” Romo Fajar berkelakar disambut tepuk tangan hadirin.

Dusun Krecek tak sekedar Borobudur yang hidup, tetapi juga memperlihatkan prakti nyata pengamalan Pancasila. “Kalau mau kita urut dari kanan ke kiri, kita sama-sama duduk setara, duduk bersama, nanti juga akan makan-makanan yang sama. Jadi ada keadilan di sini, sila kelima. Dan kita bisa bermusyawarah, sila keempat, lalu kita membina persatuan sila ketiga, kalau sudah ada kesatuan orang menjadi lupa agamane opo karena ada aspek yang adil dan beradap, sehingga nanti di sini kalau pulang bisa manembah kepada Tuhan yang Esa itu. Jadi saya mengatakan ini bukan hanya Borobudur, tetapi juga Pancasila yang hidup,” tutupnya.

Ahmad Nurcholis, Wakil Direktur Eksekutif Indonesia Conference On Religion and Peace (ICRP) yang menjadi narasumber kedua, menganggap Nyadran adalah kekayaan bangsa Indonesia yang wajib dilestarikan. Menurutnya, banyak pelajaran berharga yang bisa diambil dari tradisi ini.

“Pertama, kita yang datang ke sini, hari ini berasal dari daerah dan latar belakang yang berbeda. Dari sini ada ruang perjumaan, interaksi berdialog lalu bersama-sama juga untuk gotong royong.

“Gotong royong ini adalah nilai kedua yang saya pelajari di sini. Gotong royong ini adalah nilai kearifan lokal yang penting bagi kita sebagai bangsa yang mempunyai latar belakang berbeda. Karena dari gotong royong kita bisa mewujudkan hal-hal yang kita inginkan bersama, termasuk gotong royong dalam membangun perdamaian, apapun latar belakang kita.

Yang ketiga, tradisi seperti ini tidak asing bagi saya. Saya berasal kapung dengan tradisi pesentren. Nah, di pesantren ini kita biasa makan bersama seperti ini. Jadi nyadran ini mengingatkan saya dengan tradisi pesantren. Oleh karena itu, Nyadran Perdamaian menjadi penting karena ini bisa menjadi ruang pembelajaran bagi kita semua. Kita punya keearifan lokal yang menjadi kekayaan kita, kita perlu menjaganya,” pungkasnya.

Sedangkan Suranto, seorang cendekiawan Buddhis yang telah beberapa kali melakukan penelitian terkait tradisi nyadran mengatakan bahwa tradisi nyadran memang sangat lekat dengan orang Jawa. Menurutnya, itu adalah wujud rasa bakti yang dimiliki oleh orang Jawa.

“Sadran itu secara etimologi, secara harafia berasal dari kata srada bahasa Sansekrerta yang artinya yakin atau keyakinan. Kenapa Sadranan itu cocok dengan budaya Indonesia, itu karena sikap kita yang mempunyai rasa bakti yang tinggi, kemauan manekung atau menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai agung,” jelas Suranto.

Pembukaan acara Nyadran Perdamaian dilakukan di jalanan Dusun Krecek, Desa Getas, Kec. Kaloran, Temanggung. Acara ini dihadiri oleh perangkat-perangkat Desa Getas, Dusun Gletuk – Krecek, peserta live in Nyadran Perdamaian dan seluruh warga Dusun Krecek.

Nyadran merupakan kearifan lokal yang hampir ada di semua wilayah, khususnya di Jawa. Setiap tahun masyarakat Jawa melaksanakan tradisi Nyadran sebagai bentuk rasa syukur, melakukan bakti dan penghormatan leluhur. Banyak makna dari tradisi Nyadran yang bisa dipelajari dari tradisi Nyadran. Karena itu, untuk mempelajari nilai-nilai perdamaian dari upacara Nyadran, Aman Indonesia, BuddhaZine, ICRP, STAB Nalanda dan beberapa lembaga lain membuat kegiatan Nyadran Perdamaian.

Nyadran Perdamaian dengan tema “Menjaga Tradisi Lintas Generasi” ini digelar jelang Nyadran Krecek Gletuk dan diikuti oleh sekitar 40 peserta live in dari berbagai daerah di Indonesia. Di antaranya; Jakarta, Jogja, Semarang, Solo, Banyuwangi, Jambi juga beberapa mahasiswa dari kampus seperti, Nalanda, Syailendra, Unnes, Sekolah Tinggi Multi Media Yogyakarta dan Brawijaya Malang. Acara akan berlangsung selama 4 hari; Selasa – Jumat (10 – 13/03).

The post Melihat Borobudur Yang Hidup dalam Pembukaan Nyadran Perdamaian 2020 appeared first on BuddhaZine.


Hubungan Garuda dan Motif Batik

$
0
0

Masyarakat Indonesia tentunya mengenal Garuda sebagai lambang negara. Aslinya, Garuda adalah sosok mitologis dari tradisi India, yang ditemukan baik dalam agama Hindu maupun Buddha.

Dalam tradisi Hindu, Garuda adalah sosok yang sangat dihormati, karena merupakan wahana atau tunggangan Dewa Wisnu. Kisah Garuda tertuang dalam kitab Mahabharata dan juga Purana.

Sementara kisah Garuda dalam tradisi Buddhis antara lain bisa dijumpai dalam Maha-samaya Sutta dari Sutta-pitaka Pali (Digha Nikaya 20). Di sini dikisahkan Sang Buddha mendamaikan kaum Naga dan Garuda yang bertikai.

Dalam Buddhisme Tibet, Garuda adalah salah satu dari empat hewan spesial yang mewakili karakteristik seorang Bodhisattwa. Keempat binatang itu adalah naga yang mewakili kekuatan, harimau yang mewakili keyakinan, singa salju yang mewakili rasa takut, dan garuda mewakili kebijaksanaan.

Garuda adalah subjek umum seni Buddhis dan seni rakyat di banyak daerah di Asia. Patung Garuda seringkali dipasang guna “melindungi” kuil. Tataghata Buddha Amoghasiddhi terkadang juga digambarkan mengendarai Garuda.

Di dalam tradisi Nusantara, khususnya Jawa, motif Garuda banyak ditemukan dalam kain batik. Salah satunya dalam motif Semen, yang hampir semua jenisnya selalu mengandung ornamen Garuda.

Retno Wulandari, dosen Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta memaparkan, motif Semen dimaknai sebagai penggambaran dari “kehidupan yang semi” (kehidupan yang berkembang atau makmur). Terdapat beberapa jenis ornamen pokok pada motif-motif semen. Salah satunya adalah ornamen yang menampilkan Gurdo atau Garuda, yang terwakili dari sayapnya.

“Garuda adalah simbol kekuatan, kekuasaan, yang mengayomi,” terangnya saat menjadi salah satu pembicara di hari kedua Simposium Internasional Budaya Jawa yang digelar Kraton Jogja, Selasa (10/3/2020) di Royal Ambarrukmo.

Ia menambahkan, salah satu motif Semen yang terkenal adalah Semen Rama, yang seringkali dihubungkan dengan cerita Ramayana yang sarat dengan ajaran Hastha Brata, atau ajaran keutamaan melalui delapan jalan. Ajaran ini adalah wejangan keutamaan dari Ramawijaya kepada Wibisana ketika dinobatkan menjadi raja Alengka. Isinya tentang sifat-sifat utama yang seharusnya dimiliki oleh seorang raja atau pemimpin rakyat.

“Ini yang membuat saya kagum dengan batik, ada makna dibalik simbol-simbol di dalamnya,” kata Retno.

 

The post Hubungan Garuda dan Motif Batik appeared first on BuddhaZine.

Perayaan Hari Waisak PBB ke-17 Dibatalkan karena Risiko Coronavirus

$
0
0

Mengingat ketidakpastian dan risiko yang terkait dengan wabah COVID-19 internasional yang berkembang, Dewan Internasional untuk Hari Waisak (ICDV) telah memutuskan untuk membatalkan acara Perayaan Waisak ke 17 PBB yang akan datang, sebuah peringatan internasional tentang kelahiran Buddha, pencerahan, dan mahaparinirvana, yang dijadwalkan akan diadakan di Thailand pada bulan Mei.

“Karena adanya wabah penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) baru-baru ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan penyakit ini sebagai ‘Darurat Kesehatan Masyarakat dari Kepedulian Internasional,’ dan Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand, pada 26 Februari 2020, telah menetapkannya sebagai penyakit menular yang berbahaya.” ICDV menyatakan dalam surat tertanggal 6 Maret dan dibagikan secara luas di media sosial.

“Karena alasan ini, Dewan Tertinggi Sangha Thailand, pada tanggal 28 Februari 2020, mengeluarkan Resolusi No.137 / 2563 tentang langkah-langkah pencegahan terhadap penyebaran Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19). Butir no. 4 menyatakan: ‘Pejabat kepala religius harus mempertimbangkan untuk berhenti atau menunda mengundang orang dari luar negeri untuk bergabung dalam pertemuan atau kegiatan Sangha di Thailand. ‘

“Dengan mempertimbangkan situasi ini, Dewan Internasional untuk Hari Waisak telah memutuskan untuk membatalkan Hari Waisak ke 17 PBB pada tahun 2020 yang akan diselenggarakan di Thailand.”

Surat itu ditandatangani oleh YM. Pra Brahmapundit, anggota Dewan Tertinggi Sangha Thailand dan presiden Dewan Internasional untuk Hari Waisak.

Pada saat penulisan artikel ini, infeksi coronavirus global dilaporkan berjumlah 114.186, dengan 4.019 kematian yang sudah dikonfirmasi. Mayoritas infeksi coronavirus dan kematian telah terjadi di Cina daratan, yang telah melaporkan jumlah kematian 3.136 orang dan total 80.754 infeksi, menurut data resmi dari otoritas kesehatan China. Angka resmi di Thailand menunjukkan 50 infeksi dan satu kematian terkait dengan wabah tersebut. COVID-19 diyakini pertama kali menyebar dari pasar satwa liar ilegal di Kota Wuhan di Cina, di provinsi Hubei tengah. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan tingkat kematian akibat virus tersebut 2-5 persen, dengan orang tua dan orang-orang yang memiliki kondisi kesehatan mendasar dianggap paling berisiko.

Waisak, juga dikenal sebagai Buddha Purnima (atau lebih tepatnya Hari Kelahiran Buddha), memperingati tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha, Shakyamuni, yang mewakili kelahiran agama Buddha: kelahiran, pencerahan (Skt: sopadhishesa-nirvana), dan kematian dari dunia ini (Skt: mahaparinirvana) dari Buddha Shakyamuni. Acara ini adalah hari libur umum di banyak negara di Asia dan dirayakan oleh jutaan umat Buddha di seluruh dunia. Secara tradisional diamati pada atau sekitar tanggal bulan purnama di bulan Mei, yang tahun ini jatuh pada tanggal 6 Mei.

Majelis Umum PBB secara resmi mengakui Hari Waisak sebagai peringatan internasional pada 15 Desember 1999, yang bertujuan untuk menghormati nilai-nilai kebijaksanaan, belas kasih, dan toleransi umat Buddha sebagai sarana untuk memelihara perdamaian dunia. Perayaan resmi pertama diadakan di markas PBB di New York pada tahun 2000.

Thailand sejauh ini telah menjadi tuan rumah KTT Hari Waisak PBB sebanyak 11 kali, yang terbaru pada tanggal 24-27 Mei 2018, dengan tema “Kontribusi Buddhis untuk Pembangunan Manusia.” * Tahun lalu, perayaan Waisak ke 16 PBB diadakan di Vietnam pada tanggal 12-14 Mei dengan tema “Pendekatan Buddhis untuk Kepemimpinan Global dan Tanggung Jawab Bersama untuk Masyarakat Berkelanjutan.” **

“Dalam masa meningkatnya intoleransi dan ketidaksetaraan, pesan Buddha tentang anti-kekerasan dan pelayanan kepada orang lain lebih relevan dari sebelumnya,” kata Sekretaris Jenderal PBB António Guterres. (PBB)

Sumber : https://www.buddhistdoor.net

The post Perayaan Hari Waisak PBB ke-17 Dibatalkan karena Risiko Coronavirus appeared first on BuddhaZine.

Corona Menghantui Tradisi Nyadran Dusun Kandangan

$
0
0

Wabah Corona menjadi momok setiap warga, tidak hanya yang di perkotaan tetapi juga bagi warga yang hidup di perdesaan. Bahkan untuk melaksanaan tradisi tahunan satu dusun pun terkendala karena penyebaran virus tersebut. Seperti halnya perayaan Nyadran Dusun Kandangan, Desa Tempuran, Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung yang diadakan pada Jumat (20/03/2020).

Tradisi tahunan yang biasa dihelat pada hari Jumat Kliwon di bulan Rejeb atau Ruwah (nama bulan dalam kalender Jawa) ini menjadi terasa seperti hari-hari biasa, seakan tak ada acara apa pun. Memang Nyadran di tahun ini kurang berkesan seperti tahun-tahun sebelumnya, terasa sepi. Hal ini karena mewabahnya penyakit menular yang disebabkan Covid-19.

Para warga pun merayakan Nyadran dengan disertai rasa cemas dan khawatir akan penyebaran virus ini. Bahkan acara pentas seni untuk memeriahkan Nyadran yang sedianya akan diadakan selama dua malam pun harus dibatalkan, karena empat hari sebelum hari-H Pemerintah Kabupaten Temanggung mengeluarkan surat edaran berupa imbauan kepada masyarakat untuk melakukan social distancing termasuk mengadakan pertunjukkan seni yang mengundang banyak penonton.

Dalam proses musyawarah dusun pun cukup membuat para tokoh masyarakat bingung untuk melanjutkan tradisi Nyadran karena Nyadran sendiri sebenarnya menjadi salah satu kategori kegiatan yang diimbau oleh pemerintah untuk dihindari. Beberapa pertimbangan pun dilakukan. Jika harus membatalkan tradisi Nyadran sendiri para tokoh tidak berani mengingat selain sudah menjadi tradisi yang telah melekat lama juga ada sisi lain yang menjadi pendorong sehingga Nyadran seakan sudah menjadi keharusan untuk dilakukan.

Di samping itu warga yang menghadiri Nyadran mayoritas hanya dari warga yang tinggal di Dusun Kandangan sendiri, meski ada yang dari luar dusun tapi hanya beberapa. Akhirnya disepakati bersama bahwa Nyadran tetap harus dilaksanakan meski tanpa kemeriahan pentas seni.

Proses Nyadran di Dusun Kandangan biasanya dimulai sejak dua hari sebelum perayaan hari-H, mulai dari kerja bakti membersihkan makam dan jalan-jalan menuju makam, mengumpulkan daun pisang, dan besreh (ziarah makam leluhur) yang dilaksanakan hari Rabu dan Kamis.

Bagi warga Dusun Kandangan banyak nilai yang mereka serap dari tradisi Nyadran ini, selain sebagai wujud syukur dan sarana pelimpahan jasa, Nyadran juga menjadi sarana untuk mempererat tali persaudaraan, menjalin kebersamaan, dan sebagai sarana pemersatu perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat. Secara keagamaan sendiri di Dusun Kandangan ada tiga pemeluk agama yaitu Islam, Buddha, dan Kristen namun ketika sudah berbaur dalam perayaan Nyadran semua perbedaan lebur menjadi satu, harmoni.

Upacara keagamaan pun dilaksanakan pada Kamis malam, bagi umat Muslim terlebih dahulu mengadakan tahlil di area makam kemudian bergantian dengan umat Buddha melaksanakan pujabhakti pelimpahan jasa yang dilaksanakan di pelataran makam. Mbah Mariyono selaku sesepuh Dusun dan sesepuh umat Buddha Dusun Kandangan memberikan pesan kepada umat Buddha setelah sesi meditasi malam.

“Memang kondisi sekarang sedang tidak baik, ada wabah penyakit yang membuat kita semua khawatir yang disebut banyak orang Corona. Tapi jangan menjadikan kita terlalu cemas, kalau kata sesepuh Jawa dulu, Dadi uwong kui ojo gampang was-was mengko ndak tiwas, ojo gampang sumelang mengko ndak ilang (Jadi manusia itu jangan gampang was-was atau cemas nanti bisa kejadian beneran, juga jangan gampang khawatir yang berlebihan nanti bisa hilang),” sepenggal pesan dari mantan Manggalia Dusun Kadangan.

Keesokan harinya merupakan hari-H perayaan. Acara dimulai dengan sesi sambutan oleh Kepala Dusun dan dilanjutkan makan snack.

“Nyadran menjadi pengingat bahwa kelak kita juga akan bersemayam di tempat ini bersama para leluhur kita, itulah kenapa Nyadran dilaksanakan di makam. Tetepi memang Nyadran sekarang ini tidak seperti biasanya yang meriah dan nyaman. Kita semua tahu bahwa saat ini sedang mewabah penyakit karena virus Corona (Covid-19) yang mana menurut berita di media, di Jawa tengah sendiri sudah ada beberapa orang yang positif Corona. Tetapi saya menghimbau kepada semua warga untuk tetap menjaga ketenangan dan tetap waspada menjaga kesehatan, tidak perlu panik, kita ikuti saja aturan atau himbauan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah supaya kita terhindar dari wabah penyakit ini. Nyadran ini juga menjadi sarana bagi kita untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga kita semua khususnya warga Kandangan terhindar dari wabah penyakit Corona ini,” pesan Widarwanto selaku Kadus Dusun Kandangan.

Seusai sesi sambutan dan makan snack warga melakukan kenduri yang merupakan puncak perayaan Nyadran. Acara kenduri terlebih dahulu diawali dengan doa yang dipimpin oleh seorang perwakilan agama yang ada di Dusun Kandangan.

Nilai toleransi akan nampak ketika sesi doa, karena di Nyadran Dusun Kandangan pemimpin doa akan berbeda-beda setiap tahunnya. Pemimpin doa adalah perwakilan dari setiap pemeluk agama yang ada di Dusun Kandangan yang pembagiannya secara bergiliran dari tahun ke tahun. Kebetulan untuk Nyadran tahun 2020 ini adalah perwakilan dari umat Buddha sebagai pemimpin doa.

Makan bersama menjadi penutup acara Nyadran, sebelum para warga bubar meninggalkan lokasi perayaan.

The post Corona Menghantui Tradisi Nyadran Dusun Kandangan appeared first on BuddhaZine.

E-Talkshow “How to Deal with Anger” – Corona Bukan Penghalang untuk Belajar Dhamma Bersama

$
0
0

Adanya pandemik virus corona bukanlah penghalang bagi kita semua untuk belajar menjadi lebih baik. Justru dengan adanya tantangan seperti ini, menjadi sarana untuk mencari cara lain agar dapat belajar bersama. Salah satunya adalah E-talkshow dengan topik “How to Deal With Anger” yang diadakan pada hari Sabtu, 21 Maret 2020, pukul 19.00 WIB. Tak seperti talkshow pada umumnya, talkshow kali ini menggunakan aplikasi Zoom sehingga peserta tidak perlu hadir atau bertatap muka. E-Talkshow kali ini merupakan salah satu rangkaian acara dari Vesakh Festival 2020 yang bertema “Pikiran.”

Topik yang dibawakan pun sesuai dengan kebutuhan masyarakat yaitu bagaimana caranya menghadapi amarah yang ada dalam diri. “ Marah sudah ada dalam diri kita, tinggal bagaimana kita mengelolahnya, memang perlu latihan” kata Bhante Khemadaro selaku salah satu narasumber talkshow kali ini. Selain Bhante Khemadaro, narasumber berikutnya adalah Bhante NyanaBandhu yang turut melengkapi materi ini. “ Kita harus melatih batin menjadi proaktif terhadap rasa marah, bukan reaktif dalam arti kita memiliki keterampilan untuk menyikapi perasaan marah yang ada dalam diri kita,” sambung Bhante Nyanabandhu.

Ia meneruskan, dengan pancaindera yang kita miliki, akan banyak sekali stimulus yang masuk dan diolah oleh pikiran. Berawal dari proses ini, muncul pikiran yang berujung pada emosi atau perasaan suka atau duka. Ketika perasaan menyukai suatu objek maka muncul nafsu kemelekatan atau keinginan untuk memiliki. Tetapi, ketika perasaan tidak menyukai objek maka akan muncul sikap menjauhi atau muncul kemarahan. Kemarahan sendiri didasari oleh adanya Loba (kemelakatan), dosa (kebencian) dan moha (kebodohan batin). Kebanyakan dari kita sendiri masih tidak terampil dalam menjinakkan kemarahan.

Salah satunya jalan untuk menjinakkan kemarahan dalam diri adalah berlatih meditasi. Dengan demikian, ketika ada hal-hal yang membuat kita marah, secara otomatis pikiran akan menyadari emosi atau perasaan “marah” dan saat itu juga kita bisa menentukan bagaimana respon yang baik terhadap hal-hal tersebut. Proses ini dapat disadari dengan berlatih meditasi karena dengan kita berlatih meditasi maka kualitas kesadaran pada diri seseorang akan meningkat. Berlatih meditasi juga meningkatkan kebijaksanaan yang ada dalam diri seseorang karena dengan bermeditasi, kita dapat mengendapkan perasaan marah dan memandang sesuatu dengan jernih.

Sebagai penutup, materi yang dibawakan oleh kedua narasumber menjadi bahan perenungan bagi kita semua. Tanpa disadari, bagaimana kita hidup dan menyikapi nya berawal dari apa yang ada di pikiran kita. Kemarahan yang muncul juga disebabkan oleh adanya persepsi yang dibentuk oleh pikiran. Melihat adanya proses ini mengingatkan kita pada tagline Vesakh Festival 2020 #itsstartfromyourmind. Tantangan virus corona pun tidak bisa kita kendalikan, bukan berarti hal ini menjadi alasan untuk tidak bisa belajar Dhamma. Bisa atau tidak bisa, itu tergantung pikiran dan niat kita.

The post E-Talkshow “How to Deal with Anger” – Corona Bukan Penghalang untuk Belajar Dhamma Bersama appeared first on BuddhaZine.

Wabah Corona; Bhikkhu Sri Pannyavaro Minta Umat Buddha Tetap Di Rumah

$
0
0

Menyikapi mewabahnya corona virus (covid-19) di Indonesia, Bhante Sri Pannyavaro meminta umat Buddha mematuhi anjuran pemerintah. Tetap tinggal di rumah, menjaga kebersihan, berperilaku tidak sembrono, menurut Bhante adalah tindakan bijaksana yang bisa menyelamatkan diri dan orang lain dari pademi virus yang mematikan itu.

“Apabila sekarang anda melakukan karma baik dengan tinggal di rumah saja, menjaga kebersihan dan kesehatan, maka akibatnya karma buruk yang lampau tidak mudah berbuah bagi Anda. Tetapi, apabila Anda sembrono dengan melakukan karma-karma buruk, mengabaikan anjuran pemerintah, tidak menjaga kebersihan dan kesehatan, maka akibat karma buruk akan cepat berbuah. Anda menderita,” tulis Bhante dalam surat edaran, Nasehat Sanghapamoka Sangha Theravada Indonesia.

“Menjaga diri sendiri dari perilaku sembrono, berarti juga melindungi orang lain untuk tidak tertular penyakit dari kita. Ada kemungkinan kita membawa virus yang kita sendiri tidak menyadarinya karena kita tidak merasakan gejala apapun.

“Atau sebaliknya, bila Anda tidak mau tinggal di rumah untuk sementara waktu melainkan berkumpul di kerumunan banyak orang, maka Anda bisa saja tertular virus corona (covid-19). Anda mederita, keluarga anda pun menderita. Kalau kita ingin melindungi orang lain, termasuk anak-anak dan keluarga kita, maka lindungilah diri sendiri dengan baik.”

Terakhir Bhante Pannyavaro menegaskan bahwa Covid-19 bukan virus flu biasa. Sangat berbahaya karena akibatnya bisa mematikan dan mudah menular. “Melindungi diri berarti melindungi orang lain. Ingin melindungi orang lain, lindungilah diri sendiri,” Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera.

Semua kegiatan umat Buddha ditiadakan

Menyikapi mewabahnya covid-19 di Indonesia mendorong para pimpinan umat Buddha mengneluarkan seruan untuk tidak melakukan puja bakti bersama. Berbagai agenda besar seperti peringatan Waisak, puja bakti detik-detik Waisak dan sebulan pendalaman dharma juga harus ditiadakan untuk mengurangi bahaya penyebaran virus corona.

Sangha Agung Indonesia (SAGIN) melalui surat Imbauan Pelaksanaan Peringatan Tri Suci Waisak 2564 BE/2020 Keluarga Buddhayana Indonesia dengan Nomor; 042/DPP SAGIN/III/2020, menyerukan 3 hal, yaitu:

1. Kegiatan peringatan puja bakti detik-detik Waisak 2564 BE/2020 pada Kamis, 07 Mei 2020 (17.44.51 WIB) yang biasanya dilakukan secara bersama-sama di candi dan di wihara binaan Sangha Agung Indonesia DITIADAKAN.

2. Peringatan waisak KBI se-Indonesia dilaksanakan di rumah masing-masing dalam jaringan (online streaming) melalui saluran Youtube Buddhayana TV yang akan di pimpin oleh Pimpinan Sangha Agung Indonesia.

3. Peringatan puja bakti detik-detik waisak di wihara hanya dilakukan oleh Sangha dan/atau Pandita/Pengurus yang tinggal di wihara. Demikian imbauan ini untuk diperhatikan. Semoga dengan kekuatan Triratna wabah pandemik Covid-19 segera berakhir. Semoga dengan kekuatan Triratna para dewa memberkati kita semua.

Seruan pembatalan sejumlah agenda bersekala nasional sampai tingkat akar rumput juga dikeluarkan oleh Keluarga Theravada Indonesia (KBTI). Melalui 3 surat edaran yang ditandatangani langsung oleh Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia (STI), Bhikkhu Subhapannyo menyerukan pembatalan Sebulan Pendalaman Dhamma, Puja Bakti Detik-Detik Waisak dan Himbauan Peringatan Waisak, Umat Buddha binaan Saõgha Theravâda Indonesia untuk memperingati Hari Raya Tri Suci Waisak 2564 B.E. Tahun 2020, sebagai berikut:

1. Tidak melakukan pujabakti dan meditasi detik-detik Waisak bersama di Vihâra atau tempat berkumpul lainnya.

2. Melakukan pujabakti dan meditasi detik-detik Waisak di rumah masing-masing.

3. Membaca dan merenungkan leaflet pesan Waisak tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Saõgha Theravâda Indonesia.

4. Memanfaatkan media sosial, seperti youtube, facebook, Instagram, dan media sosial lainnya yang livestreaming berhubungan dengan Waisak 2564 B.E Tahun 2020.

The post Wabah Corona; Bhikkhu Sri Pannyavaro Minta Umat Buddha Tetap Di Rumah appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 1052 articles
Browse latest View live