Quantcast
Channel: News Berita Budhis Terkini | Buddhazine
Viewing all 1052 articles
Browse latest View live

Menyambut Hari Waisak dengan Buddhanusmrti

$
0
0

Hari Waisak adalah hari Buddha. Oleh karena itu dalam menyambut hari Waisak, Wihara Ekayana Arama dan Wihara Ekayana Serpong mengajak umat Buddha untuk melakukan praktik berkesadaran penuh pada Buddha.

Buddhānusmti (Pali: Buddhānussati) adalah praktik Buddhis yang umum dalam semua tradisi Buddhis. Keyakinan bahwa Buddha telah mencapai Pencerahan Sempurna, dan bahwa Pencerahan Sempurna memberikan manfaat yang tiada batas, akan membangkitkan tekad dan semangat yang pada gilirannya memberi inspirasi kepada kita untuk juga berjuang mencapai Pencerahan Sempurna.

Di zaman Buddha Sakyamuni ada seorang brahmana bernama Piṅgiya yang oleh karena telah lanjut usia, tidak dapat pergi ke tempat Buddha membabarkan Dharma. Namun ia selalu berkesadaran penuh pada Buddha, maka ia selalu berada dekat Buddha. Dan melalui praktik yang dilakukan tersebut, Buddha menyatakan bahwa Piṅgiya akan dapat merealisasi Nirwana.

Untuk mencegah meluasnya wabah korona, saat ini umat Buddha juga tidak dianjurkan pergi ke wihara. Oleh karena itu Wihara Ekayana Arama dan Wihara Ekayana Serpong mengajak umat Buddha untuk merapalkan Mantra Sakyamuni dari rumah masing-masing.

Contoh perapalan Mantra Sakyamuni dapat disimak di :

Umat Buddha diminta melakukan 3 sesi setiap harinya, yaitu di pagi hari setelah bangun pagi, di siang hari setelah makan siang, dan di malam hari menjelang tidur. Untuk setiap sesi diberikan pilihan apakah merapal sebanyak 7 kali, 21 kali, atau 108 kali.

Dengan perapalan (pembacaan berulang-ulang) mantra Buddha, seseorang akan selalu berkesadaran penuh pada Buddha, akan selalu menghadirkan Buddha dekat di hatinya. Pikirannya akan tenang, damai, dan bahagia. Kata “mantra” berarti “apa yang melindungi pikiran”. Mantra sesungguhnya adalah pelindung pikiran kita. Dengan merapal mantra, pikiran kita tidak mengembara. Pikiran kita berada dalam kekinian yang menakjubkan. Mereka yang melakukan praktik ini tentunya akan menjadikan Hari Waisak lebih indah dan penuh berkah.

Wihara Ekayana Arama dan Wihara Ekayana Serpong mengajak umat Buddha untuk juga merapalkan Mantra Bhaisajyaguru sebanyak 7 kali setiap kali setelah merapalkan Mantra Sakyamuni. Lalu mengakhiri perapalan mantra dengan mengucapkan aspirasi: “Semoga semua makhluk sehat, semoga semua makhluk terbebas dari penyakit.” Contoh perapalan Mantra Bhaisajyaguru dapat disimak di :

Praktik perapalan tersebut sudah dapat dimulai sejak umat menerima informasi, dan untuk dilakukan sampai dengan tanggal 6 Mei 2020. Perapalan yang dilakukan umat Buddha di rumah masing-masing ini jika digabungkan paling sedikit tentunya akan dapat berjumlah sejuta mantra. Oleh karena itu Wihara Ekayana Arama dan Wihara Ekayana Serpong menamakannya “Perapalan Sejuta Mantra Menyambut Hari Waisak 2564”.

Umat diminta melakukan pencatatan jumlah mantra yang sudah dirapal dan melaporkannya secara berkala (misalnya seminggu sekali) dengan cara klik link WA berikut ini: https://api.whatsapp.com/send?phone=6281315098135 lalu tuliskan nama, jumlah mantra yang sudah dirapal, dan periode waktu perapalan. Apakah Anda juga tertarik mengikuti?

The post Menyambut Hari Waisak dengan Buddhanusmrti appeared first on BuddhaZine.


Belajar Nilai-Nilai Perdamaian dari Tradisi Nyadran

$
0
0

Selama tiga hari sejak kedatangannya pada tanggal 10 Maret, puluhan peserta dari berbagai latar belakang; mahasiswa, budayawan, pengusaha, pengajar dll, berbaur dalam hiruk pikuknya warga di sebuah dusun kecil di ujung Kabupaten Temanggung. Mereka sengaja datang dari berbagai daerah luar kota untuk mengikuti acara Nyadran Perdamaian 2020 di Dusun Krecek, Getas, Kaloran, Temanggung yang diadakan pada Rabu-Jumat (11-13/03).

Nyadran Perdamaian bertema “Merawat Tradisi Lintas Generasi” yang diselenggarakan oleh BuddhaZine bekerjasama dengan AMAN Indonesia dan warga Dusun Krecek merupakan perhelatan yang kedua kalinya. Para peserta berjumlah kurang lebih 25 orang mengikuti rangkaian acara yang terbagi dalam berbagai kelas. Secara keseluruhan kegiatan lebih banyak mengenalkan pola kehidupan sosial, tradisi serta kebudayaan yang telah lama ada di Dusun Krecek. Para peserta juga ditugaskan untuk menuliskan pengalaman-pengalaman mereka dan dikumpulkan di akhir kegiatan.

Pembukaan kegiatan dilakukan pada hari Selasa malam dengan penjelasan tentang Nyadran yang diakhiri dengan kendurian. Acara dihadiri para perangkat Desa Getas juga perangkat Dusun Glethuk yang dilaksanakan secara outdoor di sepanjang jalan tengah Dusun Krecek. Kegiatan resmi dibuka dengan pemukulan kentongan oleh Kepala Desa Getas.

Pagi hari di hari pertama para peserta mengikuti sesi meditasi pagi yang dibimbing oleh Athasilani Uun, seorang mahasiswi STAB Kertarajasa, Batu, mulai pukul 05.00 WIB di pondok meditasi Dusun Krecek. Meditasi menjadi awal kegiatan peserta untuk melanjutkan sesi kedua yaitu kegiatan harian, di mana para peserta akan turut serta melakukan aktivitas bersama induk semang mereka hingga waktu makan dan istirahat siang.

Selepas rasa lapar dan lelah, para peserta mengikuti sesi Karawitan I di rumah Pak Kadus yang di bimbing oleh seorang dalang lokal Ki Suratno. Kegiatan bersambung dengan sesi latihan kesenian daerah asli Dusun Krecek yaitu Jaran Kepang Kuno yang dibimbing oleh Mbah Suyanto dan kawan-kawan. Selama kurang lebih dua jam mereka mengikuti sesi ini sebagai akhir kegiatan siang di hari pertama.

Malam harinya sehabis mandi dan makan adalah waktunya untuk acara kelas sesaji yang di ampu oleh Mbah Sukoyo, Kadus sekaligus sesepuh dusun yang selama ini menjaga tradisi sesaji di Dusun Krecek. Dari kelas sesaji ini para peserta diberikan  pemahaman yang logis serta pandangan baru yang positif mengenai sesaji.

Kelas Karawitan II kembali dilanjutkan seusai kelas sesaji, mengulang belajar notasi dan cara menabuh yang dipelajari pada sesi karawitan pertama. Keesokan harinya mulai lagi dengan meditasi masih dengan pembimbing yang sama namun lokasi berbeda, yaitu di area Curug Dusun Krecek yang berada kurang lebih 150 m di sebelah utara Dusun Krecek.

Sepulang dari meditasi mereka melakukan bersih diri dan sarapan di rumah masing-masing, untuk kemudian bersiap-siap mengikuti kelas perempuan bercerita yang diisi oleh Maskur Hasan, koordinator AMAN Indonesia. Acara berupa sharing dan diskusi tentang peran sosial perempuan dan kesetaraan gender yang juga diikuti perempuan-perempuan dari dusun lain yang selama ini tergabung dalam Sekolah Perempuan (SP) di bawah binaan AMAN Indonesia.

Setelah jeda istirahat siang peserta melanjutkan kegiatan dalam sesi Karawitan III dengan pembimbing yang berbeda yaitu seorang seniman muda alumni ISI Yogyakarta, Madha Soentoro yang saat ini juga sebagai pengajar seni di beberapa lembaga pendidikan di Yogyakarta. Acara berlanjut dengan latihan Jaran Kepang sesi kedua yang digabung dengan belajar Macapat.

Malam harinya tidak ada kegiatan dalam kelas, semua peserta diberikan waktu untuk  membantu para induk semang masing-masing mempersiapkan segala keperluan nyadran.

Hari Jumat (13/03) merupakan puncak acara Nyadran Perdamaian. Sejak pagi hingga siang hari para peserta mengikuti perayaan Nyadran di makam kemudian pulang sebelum tengah hari untuk istirahat. Sore harinya adalah penutupan kegiatan Nyadran Perdamaian dengan refleksi dan pentas seni. Berbagai pesan dan kesan para peserta diungkapkan satu per satu dalam sesi refleksi. Beberapa peserta bahkan mengaku sangat betah di Krecek dan kapan-kapan akan kembali berkunjung ke Krecek.

Begtu juga dengan tulisan-tulisan yang berhasil dikumpulkan oleh panitia, seperti petikan tulisan dari salah satu peserta asal Muara Jambi, Sumatra. “Dusun Krecek Kabupaten Temanggung adalah kehidupan dimana masyarakatnya ramah, sopan, sapa, senyum mereka menunjukkan budaya sesungguhnya dari Nusantara kita Indonesia. Harapan saya ini dilanjutkan dan menunjukkan kepada masyarakat Indonesia, ini loh kehidupan beragama. Dusun Krecek ini tidak hanya nilai-nilai leluhur saja yang dijaga tetapi kehidupan bersama yang mereka tunjukkan membuat satu pelajaran kepada setiap orang yang datang ke Dusun Krecek Kabupaten Temangung ini,” ungkap Hasym di akhir tulisannya.

Sementara pengalaman-pengalaman menyenangkan lain juga diungkapkan Elma Ayu Suryani, seorang Mahasiswi semester akhir UNNES Semarang yang sedang melakukan penelitian untuk skripsinya. “Saya berdua bersama teman saya Mey Lusi yang juga sangat antusias ketika saya ajak untuk ikut acara Nyadran Perdamaian ini. Rasanya sangat senang sekali ketika masuk Dusun Krecek. Suasananya yang sangat damai dan toleransi antar agama sangat bagus, membuat saya betah di sini. Kebetulan saya kedua kalinya datang ke sini dangan cuara yang cerah, awan yang indah dan Gunung Sindoro yang tegak terlihat jelas. Hari pertama acara ini yakni perkenalan, saya datang ketika peserta lain sudag kumpul, saya merasa malu dan grogi saat disuruh memperkenalkan diri saya tapi seiring berjalannya waktu saya merasakan kenyamanan di sini dan peserta yang lain juga sangat friendly,” ungkap mahasiswi prodi Sastra Jawa dalam tulisannya.

“Setelah selesai mengikuti seluruh rangkaian acara Nyadran Perdamaian, pagi harinya saya dan teman saya pamit pulang, berat rasanya dan ingin berlama-lama di Krecek. Terima kasih Krecek telah memberikan pengalaman baru dan mengasyikkan,” pungkasnya.

Penutup kegiatan secara keseluruhan diakhiri dengan ungkapan terima kasih serta permintaan maaf dari Kepala Dusun Krecek dan pertunjukan karawitan para peserta live in.

The post Belajar Nilai-Nilai Perdamaian dari Tradisi Nyadran appeared first on BuddhaZine.

Seni Mengubah Penderitaan Menjadi Kebahagiaan

Unik, Vending Machine di Kyoto Jual Patung Buddhis

Waisak dan Keajaiban Penderitaan

$
0
0

Tahun ini bulan Waisak akan terasa sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kita berada dalam suasana prihatin oleh karena adanya pandemi Covid-19. Namun bagaimana pun, kita tentu akan tetap merayakan Waisak. Apakah dalam kesunyian, bersama keluarga, ataupun bersama komunitas. Banyak upaya baru dapat dilakukan, apalagi teknologi komunikasi masa kini memungkinkan untuk itu.

Dalam situasi yang dapat membuat orang terguncang seperti saat ini, kita malahan harus meningkatkan perhatian kita kepada Buddha, agar diri kita semakin dekat dengan Buddha, guru agung yang mengajarkan tentang penderitaan (dukkha) dan jalan untuk mengakhirinya.

Berbicara tentang penderitaan, seorang biksu Thailand telah berusaha menjelaskan apa yang menjadi fokus ajaran Buddha tersebut dengan cara masa kini.

Tidak mengherankan jika buku yang ditulisnya itu kemudian menjadi buku best-seller di Thailand, dengan penjualan (lebih) dari 250.000 copy. Biksu tersebut adalah Phramaha Vudhijaya Vajiramedhi, dan judul bukunya adalah The Miracle of Suffering ‘Keajaiban Penderitaan’ – Seni Mengubah Penderitaan Menjadi Kebahagiaan.

Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan tak lama lagi akan diterbitkan oleh Penerbit Karaniya, yaitu di Hari Waisak tahun ini. Dengan adanya pandemi Covid-19 umat Buddha tentunya semakin bisa secara batin melihat penderitaan.

Hikmah dari melihat penderitaan adalah—seperti Pangeran Siddharta—seseorang akan berusaha untuk mengatasi penderitaan.

Mitra Karaniya merupakan gerakan anyar yang bertujuan untuk mendukung Penerbit Karaniya—berusaha agar buku ini dapat cepat tersebar.

Jika hanya di toko buku dan toko online, buku terbitan Karaniya biasanya agak lama baru habis terjual. Itu berarti lama pula baru menjangkau mereka yang potensial untuk membacanya.

Mitra Karaniya berusaha agar buku Dharma bisa cepat berada di tangan para dharmaduta, baik anggota sangha maupun pandita. Juga berusaha agar buku Dharma bisa segera ada di rak perpustakaan-perpustakaan wihara dan kampus, bahkan di rak perpustakaan nasional dan perpustakaan-perpustakaan umum lainnya.

Mitra Karaniya tengah merintis gerakan penghimpunan dana, memberi kesempatan bagi para donatur untuk melakukan kebajikan dalam ikut serta meningkatkan penyebaran Dharma.

Bukankah Buddha mengatakan bahwa pemberian Dharma adalah pemberian tertinggi? Bisa ikut meneruskan pemberian Dharma tersebut, dalam bentuk penyebaran buku Dharma, tentunya kebajikan mulia. Bagi Anda yang tertarik bergabung dengan Mitra Karaniya, Anda sebaiknya langsung berkunjung saja ke www.mitrakaraniya.org

The post Waisak dan Keajaiban Penderitaan appeared first on BuddhaZine.

Aksi Kebajikan di Tengah Covid-19

$
0
0

Pengurus Cabang Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDHI) Kota Tangerang melakukan serangkaian gerakan kebajikan selama tanggal 10-12 April 2020 dalam rangka mengurangi penderitaan akibat Covid-19 maupun tindakan pencegahannya.

Dimulai dari tanggal 10 April 2020 yang bertepatan dengan Wafatnya Isa Almasih, Gereja Katolik Santa Maria beserta Pemuda Katolik Banten (PK) memulai langkah kebajikannya dengan kami dan Keluarga Besar Pelajar Buddhis Tangerang (KBPBT) untuk mengkolaborasikan gerakan sosial berupa penyemprotan desinfektan ke beberapa wilayah RT dan juga rumah ibadah lintas iman.

Selanjutnya di tanggal 11 April 2020 panitia bergerak kembali menyemprotkan disinfektan ke beberapa rumah ibadah yang dilanjutkan dengan membagikan lusinan masker yang dikirim oleh PP HIKMAHBUDHI ke perkampungan tempat tinggal penjual makanan keliling dan membagi tim untuk langsung turun ke jalan-jalan membagikan dan mengedukasi masyarakat sekitar agar selalu menggunakan masker. Sambil berjalan, tim yang lain melakukan pengepakan sembako untuk mereka yang terkena dampak, yang akan didistribusikan keesokan harinya.

Ketua PC HIKMAHBUDHI Kota Tangerang, Hardi menyatakan pihaknya turun ke lingkungan pemukiman warga untuk penyaluran bantuan berupa masker dan paket sembako, penyemprotan disinfektan ke rumah-rumah ibadah dan juga mengedukasi masyarakat untuk melakukan pola hidup yang lebih bersih dan sehat.

Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Banten kembali mempercayakan panitia (HB, PK, KBPBT) untuk ikut serta mendistribusikan 1000 paket bantuan untuk mereka yang terdampak. Eksekusi pendistribusian bantuan sembako berupa paket berisi beras, mie instan, minyak goreng, gula, biskuit dan lainnya dilakukan tanggal 12 April 2020.

Rasa peduli itu ditujukan kepada para penjual makanan keliling, pengemudi becak, ojek online, pemulung serta masyarakat umum lainnya yang terkena dampak. Panitia berbagi kebutuhan pokok dengan berkeliling ke rumah-rumah warga di bantaran Sungai Cisadane yang dilanjutkan ke jalan-jalan protokol di wilayah Kota Tangerang.

“Kami semua berharap semoga wabah Covid-19 ini bisa segera selesai dan aktivitas masyarakat dapat kembali normal, bantuan yang diberikan itu diharapkan bisa meringankan beban hidup masyarakat yang terdampak wabah,” terang Edi Lim Ketua PSMTI Banten yang didampingi Sekretaris Pemuda Katolik Kota Tangerang, Ari Titahelu.

The post Aksi Kebajikan di Tengah Covid-19 appeared first on BuddhaZine.

Bantu Tenaga Medis, Keluarga Buddhayana Serahkan Ribuan APD ke Pemkot Surabaya

$
0
0

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menerima bantuan ribuan alat pelindung diri (APD) dari Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) Jawa Timur, Selasa (28/4/2020). Bantuan yang diterima langsung oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini itu dilakukan di halaman Balai Kota Surabaya.

Ketua Panitia Penyaluran Bantuan, Tosin, mengatakan Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) Jawa Timur menargetkan akan menyalurkan 7.500 APD berupa baju hazmat ke wilayah Jawa Timur. Sedangkan khusus Kota Surabaya, akan disalurkan 5 ribu APD.

“Hari ini kami bawa 1000 baju hazmat ke Balai Kota Surabaya, dan 4 ribu lainnya langsung kami distribusikan ke rumah sakit dan puskesmas di Surabaya yang memang membutuhkan,” kata Tosin seusai memberikan bantuan.

Selain baju hazmat, Tosin mengaku juga memberikan face shield, sarung tangan, disinfektan, googlesafety, rapid tes, hand soap exotic dan anti bakteri, masker N95 dan juga hand sanitizer, serta vitamin, dan juga susu.

Berbagai bantuan ini memang ada yang disalurkan melalui pemkot dan banyak pula yang langsung diserahkan kepada rumah sakit dan puskesmas yang ada di Kota Surabaya.

“Sebelum disalurkan, kami komunikasi dulu dengan pihak dinas, rumah sakit dan juga puskesmas. Apa yang mereka butuhkan, baru kita distribusikan yang dibutuhkan itu. Makanya biasanya campur, ada rumah sakit yang sangat membutuhkan vitamin, ya kita kirim vitamin, ada pula yang butuh susu lalu kita kirim butuh, dan ada yang hanya butuh masker ya kita kirim masker,” kata dia.

Menurut Tosin, di tengah wabah Covid-19 ini, kebutuhan APD ini menjadi sesuatu yang sangat penting. Karenanya, pihaknya berinisiatif untuk membantu APD tersebut. “Kita bergerak mengumpulkan donasi-donasi ini mulai pertengahan Maret lalu. Kami mengajak masyarakat di Jawa Timur khususnya di Kota Surabaya untuk bersatu melawan Covid-19 ini,” ujarnya.

Ia berharap bantuan dari Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) Jawa Timur ini bisa membantu meringankan beban masyarakat, terutama tim medis yang menjadi garda terdepan dalam melawan Covid-19 ini. “Minimal ada stok tambahan dari kami untuk mereka yang berada di garda terdepan melawan wabah ini,” harapnya.

Sementara itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengucapkan banyak terimakasih kepada Keluarga Buddhayana Indonesia (KBI) Jawa Timur yang telah memberikan bantuan tersebut.

Ia mengaku baju hazmat itu memang sangat dibutuhkan oleh tim medis dalam merawat warga yang sudah positif Covid-19. “Terimakasih banyak, semoga Tuhan yang membalasnya,” kata dia.

Setelah menerima bantuan baju hazmat itu, Wali Kota Risma langsung memerintahkan Dinas Kesehatan untuk segera menyalurkannya ke puskesmas-puskesmas yang ada di Kota Surabaya. “Tolong ini segera diberikan ke puskesmas-puskesmas,” pungkasnya. (*)

The post Bantu Tenaga Medis, Keluarga Buddhayana Serahkan Ribuan APD ke Pemkot Surabaya appeared first on BuddhaZine.

Menulis untuk Kemanusiaan

$
0
0

Membatasi aktivitas sosial, tidak bepergian bila tidak ada keperluan mendesak, dan tetap di rumah, menjadi pilihan terbaik untuk menghentikan penyebaran virus korona.

Memang berat, hanya berdiam diri tidak banyak pilihan aktivitas sering kali menimbulkan rasa bosan. Akibatnya tidak sedikit yang mencuri kesempatan jalan-jalan ke mall yang seharusnya tidak diperbolehkan.

Oleh sebab itu BuddhaZine bekerjasama dengan Young Buddhist Association, The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Nalanda Briliant, dan Yayasan Cahaya Guru menyelenggarakan serial pelatihan Menulis Untuk Kemanusiaan.

“Idenya sederhana, mengenai dampak covid-19. Banyak sekali dampak yang timbul, salah satunya tingkat kejenuhan. Oleh sebab itu kami mencoba membuat kelas menulis ini, dan teman-teman di rumah bisa melakukan hal-hal yang positif,”

kata Muhammad Mukhlisin, salah satu inisiator pelatihan ini.

Pelatihan menulis dilakukan secara online melalui aplikasi Zoom. Setidaknya akan dilakukan sebanyak empat kali dengan tema dan narasumber yang berbeda.

Dari ke empat serial itu, dua di antaranya sudah terlaksana. Yaitu, latihan Menulis Cerita di Media Sosial dengan Narasumber Alamsyah M. Dja’far dan Rahasia Menjadi Penulis Produktif dengan Narasumber Ahmad Nurcholish, penulis buku yang sudah menerbitkan 35 buku.

Media sosial sebagai sarana menulis

Media sosial seperti; facebook, instagram, twitter, atau blog pribadi menjadi media yang efektif untuk menulis cerita, kejadian atau pengalaman pribadi yang mungkin dianggap tidak penting tapi berguna, bahkan menginspirasi orang lain.

“Media sosial bisa menjadi medium kita untuk menulis atau menceritakan sesuatu yang mungkin dianggap sederhana, tapi jangan-jangan berdampak dan menginspirasi orang lain,”

kata Alamsyah M. Dja’far, Jumat (24/4).

Mas Alam – begitu ia kerap disapa – adalah peneliti senior di Wahid Foundation. Selain menulis laporan penelitian, buku dan artikel-artikel ilmiah, Mas Alam juga penulis produktif di media sosial. Tulisan-tulisannya di dinding facebook, dan instagram dinilai tajam, informatif, enak dibaca, dan menjadi rujukan banyak orang.

Siapa yang menanyakan bahwa tulisan-tulisan itu dikerjakan dalam perjalanan berangkat atau pulang dari kantor, dalam kereta yang berdesakan, atau dalam waktu-waktu luang. “Bagi saya menulis cerita, terutama di facebook adalah hiburan, dan terapi saya dari kejenuhan menulis laporan-laporan panjang,” tuturnya.

6 tips menulis cerita di media sosial

Menulis kadang-kadang susah-susah gampang. Bagi penulis pemula bagaimana menggali ide dalam gagasan menulis. Bagi penulis yang mulai berkembang, bagaimana membuat cerita yang menarik.

Cerita yang dapat perhatian pembacanya dan itu memang membutuhkan latihan dan terus belajar. Seperti berlatih naik sepeda. “Ada beberapa tips yang mungkin saya bisa share dalam pertemuan ini;

1. Tentukan ide dan ujilah.

Ada beberapa tips untuk menggali ide, pertama, pikirkan apa peristiwa yang paling membahagiakan, menjengkelkan dan menyedihkan. Kedua, ini yang paling gampang, kita bisa meniru saja ide-ide dari penulis yang kita merasa terinspirasi dari mereka. Ketiga, ajukan pertanyaan bagaimana jika….? Bagaimana jika dinosaurus hidup hari ini? Jadilah film Jurassic park. Kita bisa bertanya, kalau mainan itu bisa hidup seperti apa? Jadilah film Toys story.

2. Pikirkan tema tulisan.

Mengapa tema itu penting? Untuk membuat tulisan fokus, teman-teman fokuskan apa yang akan ditulis. Karena kalau tidak, maka akan banyak tema yang masuk dan tersesat pada banyak hal. Misalnya fokus tentang prestasi, capaian, kesedihan, kebersihan dll. Jadi jangan teman-teman memilih banyak tema sehingga pembaca tidak memilih fokus pada tulisan.

Nah tulisan yang baik itu tulisan yang terencana. Terencana itu tidak harus di catatan namun ada juga di pikiran. Jangan menulis tanpa rencana. Itu seperti teman-teman akan datang meneliti pohon di hutan, tapi tidak tahu di mana, rutenya dan pohon apa, dan bagaimana memulai langkah. Karena itu pikirkanlah struktur tulisan sehingga menjadi lebih jelas.

3. Buatlah struktur tiga babak; Permulaan, Pertengahan, dan Akhir

Permulaan – Anak laki-laki bertemu seorang gadis dan jatuh cinta. Ia lantas memutuskan wajib menggaet hatinya atau mencoba bunuh diri.

Pertengahan – Anak laki-laki itu memulai pencariannya dan berjuang menggaet hati si gadis, tetapi ia justru melakukan kekeliruan-kekeliruan yang membuat dirinya kehilangan sang gadis.

Akhir – Cerita berlanjut bahwa anak laki-laki itu menyadari kekurangannya, mengubah caranya dan akhirnya mampu menaklukkan hati gadis pujaannya.

4. Susunlah alur

Cerita yang baik di mana-mana umumnya menggambarkan alur. Pertama, alurnya biasa, kemudian ada konflik dan ada titik klimaks. Setelah itu baru turun dan ada resolusi. Dalam banyak hal, termasuk agama dan kitab suci.

Ceritanya seperti itu. Misalnya cerita tentang Pahlawan awalnya biasa dan ditentang orang lain, kemudian mendapat kekuatan dan keistimewaan, ada konflik dan diakhiri dengan cerita. Itu yang terjadi dalam kasus spiderman misalnya. Kalau kita berhasil membuat seperti ini maka banyak yang suka cerita, kalau tidak maka akan datar saja.

5. Pelajari diksi dan metafora

Selain hal membuat alur dan struktur, tulisan yang baik itu tulisan yang dapat juga menyajikan diksi dan metafora. Bagaimana memilih diksi, karena ini skill dalam menulis. Karena ini menggambarkan daya tersendiri dalam menarik perhatian pembacanya.

Kedua ada disebut metafora, analogi. Apa pentingnya metafora. Ini mengajak pembaca untuk lebih aktif. Misalnya futurolog itu…semacam dukun juga. Kalau hanya Futurolog saja maka pembaca tidak diajak untuk aktif.

Kemampuan menulis diksi dan metafora itu juga skill. Ada juga metafora yang usang. Dulu ada alisnya hitam seperti semut berjejer kalau dipakai sekarang itu usang karena sudah banyak dipakai banyak orang. Dan itu bisa diasah dengan membaca karya orang lain.

6. Menulislah
“Pelatihan ini hanya membantu 20 persen, selebihnya adalah praktik,” tutup Mas Alam.

The post Menulis untuk Kemanusiaan appeared first on BuddhaZine.


Puja Bakti Waisak Vihara Mendut Berstandar Penanganan Covid-19

$
0
0

Pandemi Covid-19 tak menghalangi umat Buddha untuk tetap menjalankan puja bakti detik-detik Waisak. Tahun ini, purnama sempurna sebagai tanda detik-detik Waisak 2564 TB/2020 terjadi pada hari Kamis (7/5), pukul 17.44:51.

Di Vihara Mendut, puja bakti detik-detik Waisak dilaksanakan menggunakan standard pencegahan penularan Covid-19. Puja bakti hanya diikuti oleh 10 orang samana; para bhikkhu, samanera, dan beberapa umat yang mengenakan masker, dan pengaturan jarak duduk.

Berdasarkan pantauan BuddhaZine melalui streaming youtube Buddha Dhamma Indonesia’s broadcast, puja bakti dimulai pada pukul 16.00 WIB. Dari awal sampai akhir tayangan langsung itu paling tidak disaksikan oleh 1.700 orang lebih.

Puja bakti dimulai dengan prosesi. Para bhikkhu diikuti beberapa umat berjalan dari kuti bhikkhu menuju ruang dhammasala, Vihara Mendut.

Dipimpin langsung oleh Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera, para bhikkhu melantunkan paritta-paritta suci yang meneduhkan jiwa. Selain Bhante Pannyavaro, tampak juga beberapa bhikkhu senior hadir dalam puja bakti terbatas itu. Seperti Bhante Jotidhammo, Bhante Santtacitto, dan lain-lain.

Tanpa pemandu acara, usai membacakan paritta-paritta suci Bhante Sri Pannyavaro langsung menyampaikan pesan Waisak.

Bhante Sri Pannyavaro dalam pesan Waisaknya mengajak seluruh umat Buddha untuk meningkatkan kepedulian, dan gotong royong dalam menghadapi pandemi Covid-19.

“Pada tahun ini umat Buddha Indonesia bersama dengan segenap masyarakat Indonesia, juga umat Buddha dunia, bahkan penduduk dunia dalam suasana yang tidak mudah. Suasana yang sulit karena wabah Covid-19. Puluhan ribu saudara-saudara kita meninggal dunia. Berjuta-juta, mungkin ratusan juta penduduk dunia yang tekena dampaknya. Kondisi ini memang menyulitkan, penderitaan bahkan mungkin sangat menderita bagi mereka yang mengalami musibah yang sangat berbahaya ini,” kata bhante mengawali pesannya.

Pada saat pandemik seperti ini, menurut bhante, saling menjaga, saling membantu meringankan penderitaan mereka yang terdampak bukan hanya pilihan. Itu sebuah keniscayaan. “Nenek moyang kita memiliki sesanti, yaitu gotong royong. Sesanti itu saya rasa telah ada jauh sebelum Syailendra, dan Sriwijaya. Gotong royong adalah jati diri bangsa ini,” terang bhante.

“Guru agung kita menunjukkan kepada kita hukum patticasamupada, di alam semesta kita semua saling berhubungan. Kita tidak mungkin hidup sendiri, mencukupi kebutuhan-kebutuhan kita sendiri. oleh karena hidup kita bergantung pada banyak faktor, orang lain, juga alam semesta. Dengan demikian saling mengasihi, saling membantu, peduli kepada mereka yang menderita bukan pilihan, tetapi keniscayaan,” kata bhante menegaskan.

Selesai menyampaikan pesan Waisak, acara dilanjutkan dengan meditasi detik-detik Waisak. Meditasi masih dipimpin oleh Bhante Sri Pannyavaro dengan durasi 15 menit, sampai purnama sempurna.

The post Puja Bakti Waisak Vihara Mendut Berstandar Penanganan Covid-19 appeared first on BuddhaZine.

Waisak Cetiya Dhamma Manggala 2020

$
0
0

Lumbini bergetar takjub, karena terpilih menjadi pijakan langkah pertama Bodhisattwa nan Agung. Hutan Gaya berselimut kebahagiaan menyambut datangnya guru dewa dan manusia, pembimbing agung tiada tara.

Kusinara bertabut keharuan mengantar parinibbana Sammasambuddha. Sujudku dan hormatku kepada-Mu, penemu permata Dhamma nan mulia, yang indah pada awalnya, indah dipertengahan, dan indah pada akhirnya.

Sujud dan hormat kami kepada-Mu, pemimpin persaudaraan Arahat suci, pembimbing semua makhluk. Sujud dan hormat kami kepada-Mu, Bhagava yang sempurna welas asih dan kebijaksanaan-Nya. Selamat Hari Tri suci Waisak 2564 BE. Mari selalu berada di jalan Dhamma, semoga berkah Waisak suci melimpah kepada anda.

Sebait kata-kata puja yang dibacakan menjelang pembabaran Dhamma dalam perayaan Hari Tri Suci Waisak 2564 BE/2020 di Cetiya Dhamma Manggala, Sunter, Jakarta pada Kamis (7/05).

Pemandangan tak seperti biasanya nampak pada perayaan Waisak kali ini. Umat Buddha dunia merayakan hari rayanya di tengah-tengah pandemi Covid-19.

Di Indonesia sendiri para umat melaksanakan perayaan di rumah masing-masing, sedangkan puja bakti detik-detik Waisak di vihara-vihara seluruh Indonesia hanya dilakukan oleh beberapa umat. Salah satunya di Cetiya Dhamma Manggala.

Puja bakti hanya dilakukan oleh empat orang, dua bhikkhu dan dua pandita. Bhante Kamsai Sumano berlaku sebagai pemimpin Puja bakti. Ceramah Dhamma diisi oleh Bhikkhu Dhammasubho Mahathera melalui aplikasi Zoom.

“Saudara-saudara sedhamma, Waisak tahun ini terasa istimewa karena dalam satu bulan ini kita bebarengan dengan perayaan hari besar keagamaan yang lain. Tapi ada yang lebih istimewa yaitu Waisak tahun ini berbarengan dengan menyebarnya virus Corona yang singgah di beberapa negara termasuk Indonesia yang disebut dengan wabah Covid-19. Ini tidak biasasnya.” tutur Bhante mengawali ceramah.

“Saudara-saudara sedhamma, meskipun sementara orang menganggap wabah adalah musibah dan bencana, tetapi bagi mereka yang sudah mengendap jiwanya, melihat sesuatu dengan mata hati, berbicara dengan bahasa rasa. Corona mempunyai makna yang lain. Benar kalaupun corona dianggap musibah, tapi musibah yang membawa hikmah.”

“Saudara-saudara sekalian keadaan atau situasi yang sekarang ini, yaitu Waisak kita adalah mendengar bahasa bisik alam. Yang mana alam semesta yang terdri dari bumi, langit , samudera raya sedang punya gawe, yaitu dandan-dandan, bersih-bersih.”

“Maksudnya, Bopo Angkoso (Bapak Angkasa) sedang merawat jagat, Ibu Bumi sedang merias diri. Dandan-dandan, menyembuhkan, memperbaiki, mengembalikan kepada keharmonisan.“

“Kalau di Hari Tri Suci Waisak memperingati tiga perisitiwa penting dalam kehidupan Buddha Gotama, nah sekarang alam semesta sedang bekerjasama ketiga-tiganya, ibu bumi, bopo angkoso dan samudera raya. Alam semesta ini sedang berbenah diri.”

“Maka dari itu pada saat-saat ini kita dianjurkan untuk membantu alam semesta yang sedang punya gawe. Caranya sesuai dengan istilah jaman sekarang yaitu jaman now, nang omah wae (di rumah saja). Alam semesta sedang mengajak kita untuk tetap di rumah saja dan bersih-bersih diri, demi mencegah penyebaran Corona ini.”

“Bersih diri bukan hanya dilakukan secara fisik namun batin, mental kita juga kita bersihkan. Di hari Waisak ini kita merenungkan sifat-sifat luhur Sang Buddha untuk membersihkan batin kita supaya kita mempunyai kehidupan yang bersih, hidup yang tidak cacat. Baik cacat secara sosial, cacat moral, maupun cacat spiritual.”

“Cacat sosial maksudnya yang berhubungan dengan lingkungan sekitar, hubungan horizontal. Misal minjam barang tidak dikembalikan, hutang tidak membayar, ingkar janji. Yang kedua cacat moral, moral dalam bahasa Buddhis adalah sila. Sila menjadi pagar, angger-angger, wewaler, rambu-rambu. Sila sebagai pelindung dan penjaga yang aman bagi tingkah laku umat manusia supaya tidak menjadi berbahaya dan mengganggu bagi orang lain. Jadi bagi yang melanggar sila atau pagar ini berarti telah cacat moral. “

“Dunia akan selamat oleh orang-orang yang malu berbuat jahat dan takut akan akibatnya. Orang-orang akan selamat bukan dengan pagar kawat berduri tetapi dengan pagar hati, yang membuat seseorang takut pada dirinya sendiri. Mereka yang takut akan dirinya sendiri apabila dia taat sila.”

“Lalu cacat yang ketiga adalah cacat spiritual. Spiritual itu wilayah batin, karena batin sangat berperan penting dalam kehidupan. Dalam isitilah Jawa lahir iku utusaning batin. Wujud cacat batin adalah berupa niat; niat keserakahan, niat kebencian, niat kedunguan. Kedunguan melahirkan sifat tidak peka, tidak peduli, masa bodoh. Dari kedunguan akan menumbuhkan keserakahan dan kebencian. Inilah wujud cacat spiritual.”

“Sang Buddha sendiri telah menjadi manusia yang tanpa cacat ketiga-tiganya dan itulah yang membedakan kualitas seorang Buddha dibandingkan dengan manusia lainnya. Untuk itu marilah di Hari Suci Waisak ini kita bersama merenungkan dan menumbuhkan sifat-sifat luhur dalam diri kita demi hidup yang berkualitas, dan sebagai wujud dukungan kita kepada alam semesta (Bapak Angkasa, Ibu Bumi) yang sedang punya gawe,” pungkas Bhante.

The post Waisak Cetiya Dhamma Manggala 2020 appeared first on BuddhaZine.

Corona dan Perayaan Waisak di Daerah

$
0
0

Suasana di tengah-tengah pandemi Covid-19 seperti saat ini tidak menyurutkan semangat umat Buddha untuk merayakan hari besar agamanya. Tidak ketinggalan umat Buddha yang ada di daerah-daerah, salah satunya umat Buddha Vihara Buddha Metta, Mranggen, Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah.

Perayaan dilakukan meski harus tetap mengikuti anjuran pemerintah dalam rangka melawan penyebaran virus corona, yaitu melakukan social distancing dan selalu mencuci tangan.

Pada perayaan Tri Suci Waisak 2564 BE / 2020 yang jatuh pada tanggal 7 Mei, umat melakukan serangkaian kegiatan yang dimulai sejak malam hari menjelang hari H.

Sesuai dengan arahan Sangha, umat melaksanakan pembacaan paritta di vihara secara bergiliran. Setiap giliran maksimal hanya empat orang dengan tetap menjaga jarak.

Pembacaan paritta di Vihara Buddha Metta sendiri dimulai dari pukul 19.00 WIB hingga selesai pada pukul 05.00 WIB yang terbagi dalam 10 kelompok tugas. Setiap kelompok bertugas membaca paritta selama satu jam.

Puja bakti detik-detik waisak dilaksanakan di rumah masing-masing umat, sedangkan puja bakti di vihara di batasi hanya delapan orang. Begitu juga dengan tradisi sungkeman yang biasanya dilakukan di vihara secara bersama-sama, kali ini dilaksanakan hanya oleh anggota keluarga masing-masing umat saja, di rumah.

Memang ada kesan yang berkurang akibat pandemi ini, di mana kesan yang sangat membahagiakan adalah saat-saat kendurian bersama di vihara. Namun Waisak tahun ini umat harus melakukan kendurian di teras rumah saja dengan anggota keluarga.

Doa kendurian disiarkan melalui pengeras suara di vihara sehingga semua umat bisa mendengar lantunan doa sebelum mulai menyantap makanan.

Namun demikian warga umat Buddha Vihara Buddha Metta tetap menyambut bahagia anjuran pemerintah. Hal ini pun diungkapkan oleh ketua vihara, “Kita akan melaksanakan Waisak ini sesuai dengan anjuran pemerintah juga arahan dari Sangha. Dan kita juga menyadari ini semua demi kebaikan dan keselamatan kita semua. Semoga pandemi ini segera berakhir dan keadaan pun pulih seperti semula,” terang Adi Susanto.

The post Corona dan Perayaan Waisak di Daerah appeared first on BuddhaZine.

Inilah Pesan Waisak dari Wihara Ekayana Arama

$
0
0

Perayaan Waisak di Wihara Ekayana Arama (WEA), Jakarta Barat, dan Wihara Ekayana Serpong (WES) tahun 2020 ini berlangsung secara online. Meski demikian, kesemarakan tetap terasa dalam kesederhanaan. EBRC (Ekayana Buddhist Residence Choir) dan Patrick menyemarakkan acara dengan lagu-lagunya. Acara dihadiri oleh Kepala Wihara Ekayana Arama, Bhante Aryamaitri, dan para anggota Sangha lainnya.

Dalam undangan live stream di laman facebook WEA dan WES ada anjuran yang cukup menarik. Tertulis, “Walaupun mengikuti dari rumah masing-masing, kami menghimbau sahabat terkasih agar dapat berpakaian rapi dan sopan selayaknya Anda sedang mengikuti Perayaan Waisak.”

Live stream perayaan Waisak di WEA berlangsung selama satu jam empat puluh tiga menit. Sesi doa dibimbing oleh Suhu Nyanaprabhasa.

Pesan Waisak disampaikan oleh Bhante Dharmavimala dalam bentuk audio visual yang kemudian diputar ke tayangan live stream. Wakil Kepala Wihara Ekayana Arama mengajak umat Buddha untuk melihat bahwa ada Nirwana, yaitu kebahagiaan tertinggi, yang senantiasa dialami Buddha.

Nirwana dibedakan dengan Parinirwana. Istilah Parinirwana digunakan ketika Buddha mangkat. Adapun Nirwana dialami Buddha semasa hidup. Bhante menegaskan, Nirwana tidak ada kaitannya dengan kematian, tetapi dengan kehidupan.

Jadi Nirwana berbeda dengan Surga, alam para dewa, yang dicapai setelah kematian. Nirwana adalah lenyapnya duka, lenyapnya kondisi yang tidak memuaskan. Sementara Surga walaupun menyenangkan dan berlangsung lama tetapi akan berakhir, tidak kekal.

Perubahan dari Surga ke kondisi kehidupan yang tidak seindah Surga, pasti membuat kita tidak nyaman. Ketidaknyamanan yang disebabkan oleh perubahan, saat ini dialami banyak orang dengan adanya dampak pandemi Covid-19.

Bhante kemudian mengingatkan bahwa kita semua memiliki sifat-dasar Buddha, hanya saja tertutup kotoran batin. Oleh karena itu kita sesungguhnya bisa mengalami Nirwana dalam kehidupan sehari-hari, yaitu ketika kita sadar-penuh, manakala tidak ada “sang aku”. Namun ketika kita lengah, kita tentu kembali mengalami duka. Jika kita bisa sadar-penuh setiap saat, maka kita menjadi Buddha yang penuh kedamaian.

Sadar-penuh menjadi penting karena yang harus dikhawatirkan bukanlah munculnya bentuk-bentuk pikiran tetapi keterlambatan kita dalam menyadari kemunculannya.

Bentuk-bentuk pikiran itu merupakan hasil pengkondisian faktor eksternal, bukan “aku” atau “milik aku”. Namun jika kita melekati, maka akan ada niat jahat yang kemudian menjadi pikiran, ucapan, dan tindakan jahat.

Sadar-penuh membuat kita mawas diri dan mampu bertoleransi sehingga menjaga keharmonisan. Mengetahui adanya pengkondisian, kita dapat introspeksi untuk tidak melanjutkan kebiasaan yang negatif. Mengetahui adanya pengkondisian, kita bisa sabar dan mengerti mengapa orang memiliki kebiasaan negatif yang demikian.

Selanjutnya Bhante menyampaikan akibat pengkondisian yang dapat mengganggu keharmonisan:

“Pengaruh informasi yang beragam dari media sosial misalnya, membuat ada orang yang menjadi antipati terhadap tokoh tertentu. Sebaliknya, orang yang lain malah memiliki simpati yang berlebihan terhadap tokoh tersebut.

“Padahal informasi-informasi itu bukanlah kebenaran mutlak, hanya kebenaran relatif, bahkan ada yang hanyalah pembenaran semata. Tetapi orang-orang itu lalu dengan penuh semangat ikut-ikutan menyebarkannya, mencari korban pengkondisian berikutnya.

“Masyarakat pun terbelah. Tidak ada diskusi yang berkualitas untuk bersama-sama mencari solusi.”

Namun ketika kita mengetahui bahwa mereka adalah korban pengkondisian, kita jadi bisa memaafkan, demikian dikatakan Bhante. Kita jadi bisa mentolerir walaupun katakanlah mereka ikut menyebarkan kebencian atau mereka ikut menyebarkan kebohongan.

Selanjutnya Bhante berpesan, sejauh kita bisa, kita harus membantu agar mereka terbebas dari kebiasaan buruk tersebut. Jika ternyata kita tidak dapat mengubah orang lain, ubahlah diri kita; kitalah yang mengubah sikap kita terhadap orang itu. Ini lebih mudah, karena sangat sulit untuk mengubah orang lain.

The post Inilah Pesan Waisak dari Wihara Ekayana Arama appeared first on BuddhaZine.

Mengikuti Puja Waisak Kekinian via Youtube

$
0
0

Kekinian, teknologi telah berkembang dengan sangat pesat. Apalagi di tengah masa pandemi COVID-19 (virus korona baru) yang membuat kita semua membatasi aktivitas sosial.

Nah, bertepatan dengan Hari Raya Tri Suci Waisak 2564BE/2020 ini, umat Buddha dianjurkan untuk memperingati hari kelahiran, pencerahan dan parinibbana Buddha dari rumah masing-masing. Saatnya kita memanfaatkan teknologi yang ada, salah satunya Youtube.

Melalui channel Buddha Dhamma Indonesia yang dikelola oleh Bhikkhu Santacitto , saya mengikuti puja bakti Waisak yang berlangsung kurang lebih dua jam. Persiapan dimulai sejak pukul 4 sore dimana para bhikkhu dan samanera yang berjumlah sepuluh orang kemudian berjalan keluar dari area kuti menuju stupa yang berdiri di tengah-tengah halaman wihara Mendut. Usai melakukan pembacaan paritta dan pradaksina sebanyak 3 kali mengelilingi stupa, para bhikkhu dan samanera berjalan menuju aula puja bhakti.

Mengelilingi stupa.

Berjalan menuju aula puja.

Puja bakti Waisak di Vihara Mendut

Puja bakti Waisak di Vihara Mendut ini dipimpin oleh YM Bhikkhu Sri Paňňavaro Mahathera.

Pelafalan paritta suci berlangsung selama kurang lebih 40 menit. Kegiatan dilanjutkan dengan ceramah dhamma oleh Bhante Sri Paňňavaro yang mengulang kembali tiga peristiwa penting yang terjadi pada hari Waisak.

Bhante juga menyatakan keprihatinannya terkait wabah COVID-19 yang sedang melanda Indonesia dan dunia. Peristiwa yang tidak mudah ini mengingatkan kita tentang kejadian Pangeran Siddharta keluar istana pertama kali. Pangeran terkejut melihat betapa banyak penderitaan yang beliau saksikan.

Bhante melanjutkan bahwa meskipun kesaksian penderitaan itu merisaukan Pangeran, beliau tidak menjadi pesimis dan justru berusaha mencari jalan untuk membebaskan manusia dari penderitaan.

Bhante kemudian mengutip kalimat dalam Kitab Pali: paradukkhe sati sādhūnaṃ, hadayakampanaṃ karotī’ti, bagian dari Visuddhimagga.

Kutipan ini menyiratkan bahwa pada saat hati seseorang bergetar karena tidak tega melihat penderitaan, itulah pengertian karuna. Pangeran Siddharta membantu dengan totalitas atas welah asihnya kepada semua makhluk.

Pangeran akhirnya mencapai Pencerahan Sempurna dan menyampaikan jalan untuk menyelesaikan penderitaan. Bhante melanjutkan, jalan untuk menyelesaikan penderitaan itu adalah jangan berbuat buruk, banyaklah berbuat baik, dan siap menerima perubahan.

Dhammadesana oleh YM Bhikkhu Sri Paňňavaro Mahathera.

Ceramah dhamma yang berlangsung selama kurang lebih 30 menit dilanjutkan dengan meditasi selama kurang lebih 20 menit. Puja bakti ditutup dengan pembacaan Namakara patha dan para bhikkhu serta samanera meninggalkan aula puja.

Meskipun terkesan sangat sederhana berbeda dengan perayaan Waisak pada tahun-tahun sebelumnya di Vihara Mendut, peringatan Waisak kali ini justru terasa khusyuk dan berlangsung dengan lancar.

Uniknya, kita dapat melihat teladan dari para bhikkhu dan samanera yang juga menerapkan tindakan pencegahan COVID-19 seperti penggunaan masker kain dan menjaga jarak fisik antara satu sama lainnya.

Meditasi bersama-sama

The post Mengikuti Puja Waisak Kekinian via Youtube appeared first on BuddhaZine.

Baksos Keluarga Buddhis Indonesia-Amerika di Kalimantan Barat

$
0
0

Pandemi Covid-19 telah menyebar di lebih dari 200 negara di dunia dan memberikan dampak luar biasa pada berbagai bidang kehidupan baik kesehatan, politik, ekonomi, sosial dan spiritual.

Menurut data Worldometer per 6 Mei 2020 tercatat lebih dari 3,7 juta penduduk bumi terpapar dan lebih dari seperempat juta yang meninggal. Banyak yang beranggapan bahwa Covid-19 terjadi bukan secara alami namun ada unsur kesengajaan sebagai sebuah konspirasi.

Sebagai senjata biologi untuk memenangkan perang dagang, konspirasi industri farmasi hingga konspirasi iluminati. Apapun teorinya semua masih teka-teki yang belum terbukti, namun yang jelas kini Covid-19 adalah masalah global yang harus segera dicarikan solusi.

Salah satu negara yang paling terdampak adalah Amerika, negeri adikuasa namun seolah tak kuasa menghadapi corona. Jumlah penduduk yang terpapar dan meninggal menempati urutan pertama di dunia, jauh di banding dengan negara lainnya.

Tercatat 1,2 juta penduduknya terpapar positif dengan kematian mencapai lebih dari 72.000 kasus. Namun di tengah krisis pandemi yang sedang terjadi, tumbuh benih kepedulian yang terus bersemi. Keluarga Buddhis Indonesia yang berada di Amerika, khususnya di New York City tidak terlepas dari dampak krisis yang terjadi.

Tetapi mereka masih tetap peduli dan memikirkan masyarakat Buddhis di Indonesia yang terdampak krisis Covid-19 secara ekonomi, khususnya masyarakat Buddhis di Kalimantan Barat.

Melalui inisiatif dari Upasaka Jaya Virya, seorang aktivis Buddhis asal Indonesia yang kini berdomisili di New York City, USA. Beliau menggagas penggalangan dana untuk disalurkan kepada masyarakat Buddhis di wilayah Kalimantan Barat.

Bertepatan dengan momen menyambut Waisak 2564 BE/2020 yang jatuh di masa pandemi, mereka menabur berkah di tengah musibah dengan berbagi rejeki dalam bentuk bakti sosial. Kegiatan baksos pembagian paket sembako kepada masyarakat Buddhis yang kurang mampu dan terdampak oleh Covid-19 secara ekonomi.

Kegiatan tersebut dilaksanakan di beberapa wilayah di Kalimantan Barat meliputi Kabupaten Mempawah, Landak, Kuburaya, Ketapang dan Kayong Utara. Total bantuan mencapai 500 paket sembako untuk 500 keluarga umat Buddha.

Jalinan komunikasi dengan organisasi dan tokoh umat Buddha yang ada di Kalimantan Barat menjadi jembatan penghubung dalam pendataan dan penyaluran bantuan kepada umat Buddha yang ada di daerah-daerah sehingga tepat sasaran dan terkontrol dalam pelaksanaannya.

Sambutan baik dari masyarakat Buddhis sangat terasa, ungkapan terimakasih, apresiasi dan doa mengalir dari masyarakat untuk para donatur dan pelaksana kegiatan di lapangan. Seperti yang terjadi di wilayah Kabupaten Kayong Utara yang selama ini seolah kurang tersentuh dan terabaikan kini mereka mendapat perhatian.

Ternyata ada komunitas umat Buddha yang mau membantu mereka, bahkan jauh dari Amerika, begitulah salah satu kesan yang diungkapkan. Selama ini mereka hanya tahu di berita televisi atau media lain bahwa umat Buddha menyumbang dimana-mana ketika ada bencana.

Banyak sekali di media dapat kita saksikan berbagai bantuan mengalir deras dari organisasi-organisasi yang terafiliasi dengan agama Buddha banyak memberikan bantuan ke masyarakat tanpa membedakan suku atau agama apapun, sangat luar biasa dan itu merupakan praktik ajaran Buddha yang universal bahwa dalam berbuat baik seperti berdana selayaknya diberikan kepada mereka yang membutuhkan tanpa membeda-bedakan.

Namun di lain sisi masih banyak juga umat Buddha yang masih terabaikan dan kurang mendapat perhatian, dan inilah yang menjadi salah satu alasan bahwa kegiatan baksos di wilayah Kalimantan Barat lebih difokuskan kepada masyarakat Buddhis.

Ini bukan bentuk sikap egois namun sebagai usaha mengisi celah yang belum terjamah. Ketika masih ada masyarakat Buddhis yang memang benar-benar membutuhkan bantuan dan uluran tangan, kita sebagai saudara dalam Dhamma sudah sewajarnya untuk menunjukkan kepedulian kepada mereka.

Dampaknya pun cukup terasa, banyak umat kita yang selama ini merasa terlupakan kini merasa diperhatikan. Semangat mereka pun kembali tersiram untuk menunjukkan identitas bahwa mereka memang benar beragama Buddha meski minoritas di tengah mayoritas.

Kepercayaan diri mereka pun tumbuh karena tersentuh oleh perhatian dan kepedulian. Harapan besarnya mari kita buka mata dan hati untuk dapat melihat fakta yang ada, ketika kita bisa membantu kepada pihak lain kenapa kita enggan membantu saudara sendiri, bukankah kita satu keluarga dalam Dhamma.

Dan faktanya Kalimantan Barat adalah lumbung umat Buddha terbesar ketiga di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk digarap oleh instansi Buddhis yang peduli dengan agama Buddha di Indonesia. Bila tidak percaya, silahkan datang dan buktikan (ehipassiko). Mari berjuang bersama untuk mewujudkan kembali kejayaan Buddha Dhamma di Nusantara. 

The post Baksos Keluarga Buddhis Indonesia-Amerika di Kalimantan Barat appeared first on BuddhaZine.

Buddhadharma dan Alam Semesta

$
0
0

Jumat (15/5/2020) telah dilaksanakan Seminar Nasional Daring (Online) yang diselenggarakan oleh Indonesian Consortium For Religious Studies (ICRS) dan Badan Restorasi Gambut dengan tema Merawat Alam sebagai Ibadah.

Terdapat empat narasumber dari agama Katholik, Islam, Buddha dan Kristen yang mengulas pengetahuan mengenai kedalaman makna ibadah, makna spiritualitas dari ajaran agama yang dianutnya.

Jo Priastana, dosen senior Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda, Jakarta menjadi salah satu narasumber pada Seminar Nasional Daring tersebut.

Dalam pemaparan materinya, Pak Jo menyampaikan refleksi ajaran Buddha, dan hubungannya dengan kelestarian lingkungan hidup, dalam hal merawat alam.

“Keyakinan umat Buddha berpusat pada Triratna, yang terdiri dari Buddha, Dharma, dan Sangha, yang merupakan manifestasi dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Umat Buddha melakukan puja pada Buddha, yang telah tergugah, menemukan Dharma. Dharma adalah esensi dari alam semesta.

“Alam bekerja melalui hukum-hukumnya, yang terkandung di dalam penemuan Buddha yang dikatakan sebagai Dharma. Dharma berisikan hukum-hukum kesunyataan. Su dapat diartikan sebagai esensi atau yang sesungguhnya dibalik kenyataan ini.

Karena itu Agama Buddha disebut juga Buddha Dharma, artinya ada seorang yang mencapai pencerahan sempurna menjadi Buddha yang artinya sadar, bangkit, bangun, dan dia melihat kesemestaan alam ini yang sesungguhnya, yang disebut dengan Dhamma. Isi hukum kesunyataan itu melihat fenomena kehidupan dalam hal apa saja,” kata Pak Jo.

“Fenomena dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa gradasi atau tingkatan. Ada yang bersifat anorganik, organik, dan ada yang menyangkut perilaku manusia yang didasari oleh insting dan harusnya didasari oleh kesadaran, dan begitu pula dengan peristiwa-peristiwa dalam fenomena-fenomena kehidupan alam ini masih banyak yang belum bisa kita ketemukan secara ilmu pengetahuan.

Meskipun saintifik adalah perpanjangan dari hukum kesunyataan itu sendiri. Di dalam alam ini menurut Buddha segala sesuatu saling berinteraksi, saling berkoneksi bahkan saling penetrasi, saling berhubungan satu sama lain.

Fenomena alam semesta yang tercermin dalam hukum kesunyataan ini memperlihatkan bahwa ajaran Buddha itu tidak lepas dari alam semesta itu sendiri. Semua fenomena adalah cerminan dari dhamma. Karena itu ibadah sebagai Buddha dan siswa buddha mendekati dengan alam, menyatu dengan alam, hidup selaras dengan alam,” kata Pak Jo.

Saat di vihara umat Buddha menyatakan berlindung kepada Tiratana, mereka melakukan sujud dengan lima titik menyentuh lantai yaitu dahi, kedua telapak tangan dan kedua lutut.

Lebih dalam Pak Jo menjelaskan “Ibadah umat Buddha menyatakan perlindung kapada Tiratana Buddha Dharma Sangha. Menyatakan berlindung disini adalah berlindung kepada kesadaran yang sempurna.

Hanya orang yang sadar yang mendapat perlindungan, hanya orang yang mendekat kepada hukum-hukum kesunyataan, dekat kepada alam dan kepada pelaksana-pelaksana sadar yang hidup harmoni yaitu para bhikkhu dan rohaniawan.

Umat Buddha mengucapkan kalimat keyakianan dan kemudian bernamaskara bersujud kepada tiratana, alam, dan kesadaran. Saat bersujud fisiknya menyentuh 5 titik yang menandakan bahwa keyakinan pada Buddha adalah dengan melaksanakan 5 Moralitas Pancasila.

Artinya bersujud terhadap Buddha terhadap alam sama dengan menghindari pembunuhan, menghindari pencurian, menghindari perilaku seksual tidak pantas, menghindari delusi, kebohongan atau manipulasi dan menghindari makanan minuman yang memabukkan” kata Pak Jo.

Unsur- unsur Dharma yang tercermin di alam semesta ini dikatakan ada empat elemen dasar yang mendasari setiap fenomena, yaitu unsur api, air, tanah, udara. Keempat unsur tersebut bekerja terhubung, interkoneksitas dan interpenetrasi.

Seperti halnya nasi yang kita makan setiap hari masuk kedalam tubuh menjadi energi untuk keberlangsungan hidup berasal dari padi dari sawah yang terdapat tanah, air, cahaya. Maka tubuh manusia mencerminkan fenomena alam semesta.

Jadi bagi umat Buddha beribadah adalah mendekatkan diri kepada alam, mematuhi hukum-hukum alam, yang didalam perilaku menjadi hukum moralitas yang mencerminkan keharmonisan hidup manusia dengan alam dan lingkungannya.

The post Buddhadharma dan Alam Semesta appeared first on BuddhaZine.


Gavesaka Sukham Berbagi Bingkisan di Bulan Ramadan

$
0
0

Waisak dan Ramadan di tahun 2020 berbeda seperti tahun sebelumnya, di tengah kondisi pandemi saat ini semua menghadapi masa sulit. Bersabar, tetap tenang, menjaga kesehatan, pikiran terkondisi baik merupakan adaptasi terbaik di tengah kondisi saat ini.

Tak sedikit yang mengalami kesusahan dari segi ekonomi karena pandemi ini. Banyak yang terkena PHK, dirumahkan, hingga harus usahanya tutup. Gotong royong, menjadi hal terpenting untuk saling membantu sesama, terlepas dari apa agama dan sukunya.

Saling membantu, mengulurkan tangan kepada saudara yang membutuhkan hal yang dapat meringankan beban yang terkena dampak pandemi.

Sekumpulan pemuda-pemudi yang peduli, tergabung dalam Gavesaka Sukham (GVS), pada hari Minggu 17 Mei 2020 turut melakukan kegiatan kebaikan, sebagai jembatan para donatur.

Gavesaka Sukham membagikan paket bingkisan lebaran kepada warga, khususnya warga Rusun Tambora, Kelurahan Angke Barat, Kecamatan Tambora, Kota Jakarta Barat. Sekitar 100 paket bingkisan lebaran dibagikkan kepada warga rusun yang sudah terdata, dengan memenuhi kriteria, seperti terkena PHK, dirumahkan, diliburkan, datang usahanya harus tutup.

Sangatlah indah, di bulan Ramadan bisa saling membantu, dan berbagi kasih. Menyapa meski harus tetap menjaga jarak. Sangat merasa bahagia karena dapat berbagi kepada saudara-saudari disana di saat kondisi pandemi Covid-19 masih menyempitkan ruang gerak mereka, terlebih kediaman mereka masuk zona merah waspada Covid-19.

Semoga sedikit perhatian ini dapat membuat mereka semakin semangat menyambut Hari Raya Idul Fitri, dengan tetap mematuhi himbauan pemerintah bekerja, belajar, beribadah di rumah dan tidak mudik.

Diharapkan akan lebih banyak lagi orang yang tergerak, untuk dapat saling membantu saudara yang membutuhkan perhatian. Terima kasih untuk semua donatur, yang telah mendukung kegiatan kami, untuk rekan-rekan tim yang sudah berpartisipasi, untuk RT, RW, pihak keamanan dan pengurus Rusun Tambora yang sudah membantu berjalanya kegiatan.

Semoga pandemi ini cepat berlalu, Semoga semua yang sakit lekas sembuh, Semoga Masyarakat Indonesia berbahagia. Semoga Indonesia Lekas Membaik.

The post Gavesaka Sukham Berbagi Bingkisan di Bulan Ramadan appeared first on BuddhaZine.

Pesan Dalai Lama Terkait Perilaku Rasisme di AS

$
0
0

Selama dua hari, 29-30 Mei 2020, His Holiness Dalai Lama memberikan abhiseka / inisiasi Bodhisattva Avalokiteshvara dari kediamannya di Daramsala, India.

Inisiasi diberikan secara daring kepada para pengikutnya di berbagai negara di dunia lewat akun Youtube, Facebook, dan laman Dalailama.com. Tercatat setidaknya lebih dari 15 ribu pasang mata menyaksikan, dan itu yang tercatat baru dari Facebook Dalai Lama saja.

Di hari pertama, sebelum memberikan blessing, Dalai Lama juga banyak memberikan banyak pesan dan Dharma. Salah satunya, ia menyoroti tentang perilaku rasisme yang terjadi di Amerika Serikat (AS) baru-baru ini.

Dalai Lama mengaku sudah mengetahui dari pemberitaan bahwa di AS ada warga kulit hitam [George Floyd] yang terbunuh karena terkekik oleh lutut polisi. Masalah rasisme menurutnya terjadi karena tidak dimilikinya rasa welas asih oleh pelaku.

“Pada dasarnya, kita sebagai makhluk hidup, hakikat kita adalah welas asih. Bahkan serangga yang kecil,” ujar Dalai Lama dalam bahasa Tibet yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Ia menjelaskan, bila diperhatikan, ibu serangga pun mengasuh anak-anaknya dengan welas asih. Karena itu, kalau manusia bisa tidak menyakiti satu sama lain dan saling menyayangi, akan muncul dunia yang penuh kedamaian dan tanpa ketakutan.

Tanpa welas asih atau karuna, menurutnya kecemburuan, kesombongan, arogansi akan berkembang. Ini akan menghalangi langkah seseorang untuk berbahagia.

“Welas asih itu sangat krusial, sangat krusial untuk kelangsungan hidup kita,” tegasnya.

Dalai Lama meneruskan, semakin seseorang memiliki welas asih, maka ia akan semakin bahagia. Namun semakin banyak seseorang memiliki rasa kompetisi, hidupnya akan semakin jauh dari kebahagiaan.

Karena itu, ia mengajak para pemirsanya untuk mengembangkan Bodhicitta, sikap batin untuk mementingkan makhluk lain, berharap agar makhluk lain bahagia dan mencapai pembebasan.

“Penting untuk memiliki hati yang baik, atau hati yang hangat,” katanya.

Dalai Lama juga mengajak para pengikutnya untuk tidak hanya mengembangkan dan mendasarkan diri pada intelektualitas semata, namun juga mengimbanginya dengan hati yang hangat, hati yang baik.

Dan salah satu metode untuk mengembangkan rasa welas asih menurutnya adalah membaca mantra enam suku kata Avalokiteshvara, yakni OM MA NI PAD ME HUM.

“Tujuan utama dari inisiasi Avalokiteshvara adalah untuk memiliki hati yang baik. Apakah kamu Buddhis atau tidak, itu tidak penting,” tuturnya.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post Pesan Dalai Lama Terkait Perilaku Rasisme di AS appeared first on BuddhaZine.

Melacak Sosok Ki Ajar Windusono, Kolektor Lontar Budo Merapi-Merbabu (Bagian 1)

$
0
0

Mungkin tidak banyak yang familiar dengan nama Ki Ajar Windusono, kecuali orang-orang pegunungan yang tinggal di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Padahal ia adalah tokoh yang sangat penting dan berpengaruh pada zamannya.

Siapa Ki Ajar Windusono? Ia dikenal sebagai pemilik perpustakaan pribadi naskah-naskah kuno Merapi-Merbabu, koleksi naskah yang sebagian besar berisi ajaran spiritual sebelum Islam menjadi kepercayaan mayoritas di Jawa. Informasi mengenai naskah-naskah ini pertama kali tercatat di masa pemerintahan Hindia Belanda.

Penembahan Ki Ajar Windusono menurut teks Belanda dikenal sebagai seorang pendeta Buddha yang diduga berasal dari kawasan Klaten. Saat Islam ekspansi mulai masuk Jawa Tengah, Windusono menyingkir ke lereng Merapi di lereng barat Gunung Merbabu, tepatnya di Desa Kedakan, Residen Kedu, yang sekarang masuk Kabupaten Magelang. Ia membawa serta lebih kurang 1.000 naskah. Namun sejalan dengan perjalanan waktu naskah-naskah itu telah menyusut dan kini hanya tinggal sekitar 400 naskah.

Abad ke-19, sebuah ekspedisi Belanda menyusuri lereng barat Merbabu, dan menemukan perpustakaan pribadi milik Ki Ajar Windusono, yang dikelola keturunannya. Perpustakaan itu berisi koleksi ratusan lontar dari Merapi-Merbabu yang bentuk dan sistem aksaranya memiliki ciri khas tersendiri. Berbeda dengan aksara Sanskerta India, Kawi (Jawa kuno), atau aksara Jawa modern. Ahli waris lontar menyebut aksara itu sebagai aksara “Budo” dan menerangkan bahwa Kiai Windusono dahulu tokoh agama Buddha.

Naskah lontar itu kemudian oleh tim ekspedisi diambil untuk disimpan di perpustakaan Batavia (Jakarta), Bataviaas Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Lontar-lontar Budo itu sebagian kini tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Sebagian lainnya berada di luar negeri, di Bibliotheque Nationale Paris, British Museum, museum di Jerman, dan tentunya di Belanda.

Penelitian Naskah Merapi-Merbabu

Hanya sedikit peneliti yang pernah naskah Merapi-Merbabu, sehingga banyak orang menyebutnya sebagai naskah yang terlupakan. Bahkan mahaguru sastra Jawa kuno, Prof Zoetmulder SJ saja semasa hidupnya tidak pernah menyentuh lontar Budo ini.

Namun ada pastor Jesuit lain yang merupakan anak bangsa yang mendalami naskah Budo, yakni Dr. Ign Kuntara Wiryamartana SJ (1946-2013). Ia mengkaji khusus naskah koleksi Budo yang berjudul Arjunawiwaha, sebuah naskah Hinduistik. Hasil penelitiannya dituangkan ke dalam disertasinya yang lalu diterbitkan menjadi buku setebal 526 halaman di tahun 1990.

Ada lagi peneliti yang mengkaji salah satu naskah Budo, yakni Willem van der Molen. Peneliti asal Belanda kelahiran 1952 ini mengamati secara khusus naskah yang berjudul Kunjarakarna, sebuah naskah Buddhistik. Hasil penelitiannya dilahirkan dalam bentuk disertasinya di Universitas Leiden yang diterbitkan tahun 1983.

Pusat perhatian van der Molen dalam penelitiannya adalah paleografi dan penanggalan naskah. Ia secara khusus mengamati masalah huruf dan penanggalan yang terdapat dalam naskah yang dikajinya. “Kunjarakarna itu teks Buddha tentang perjalanan tapa brata,” kata van der Molen.

Melakukan Perjalanan Pelacakan

Melacak sisa peninggalan Ki Ajar Windusono tidaklah terlalu gampang. BuddhaZine melakukan ekspedisi kecil-kecilan ke salah satu tempat yang menurut teks Belanda merupakan makam beliau.

“Di distrik Ballah dekat desa Kedakan terdapat makam pendeta agung bernama Windoe Sonno, seorang penganut ajaran Budha. Di atas bukit di dekatnya ada pondok bambu tempat penyimpanan kitab-kitab pendeta agung itu dan persembahyangan diadakan,” demikian informasi di laporan Belanda tahun 1822, yang dimasukkan van der Molen ke disertasinya.

Namun sebelum menuju area makam, BuddhaZine berusaha menemui Pak Sumitro, seorang dalang lokal di Desa Kedakan. Ia dikenal sebagai pewaris beberapa lembar lontar Lontar koleksi Ki Ajar Windusono. Iya, sebenarnya masih ada lontar yang tersimpan di tempat asalnya. Sayang, Pak Sumitro sudah meninggal sekitar tiga tahun lalu.

Peringatan 1000 harinya pun baru saja dilangsungkan belum lama ini. Suratmi, sang isteri maupun anak-anaknya juga tidak berani membuka bahkan sekadar menyentuh kropak atau kotak kayu tempat menyimpan lontar. Karena lontar itu dianggap sebagai jimat, dan diyakini harus ada orang khusus yang mendapat perintah gaib yang boleh membuka naskah yang sebenarnya juga susah dibaca/diidentifikasi karena usianya itu.

Tak mendapatkan hasil, perjalanan pun dilanjutkan ke area makam melalui perjalanan kaki yang lumayan menanjak, dengan jarak beberapa ratus meter. Di sini dijumpai beberapa bangunan yang berisi nisan.

Bangunan yang pertama yang bercat biru oleh warga tidak dianggap sebagai makam, namun dianggap sebagai bekas petilasan. Bangunan selanjutnya, yang ditempuh dengan sedikit mendaki diyakini merupakan makam Ki Ajar Doko, rekan spiritual Ki Ajar Windusono.

Baru bangunan di belakangnya, di dalamnya terdapat nisan yang diyakini tempat mengubur abu jenazah Windusono. Di sekitarnya, di area luar ruangan, terdapat empat nisan kecil, yang diyakini sebagai pengikut dua orang tokoh itu. Tidak ada tanda-tanda bekas pondok bambu tempat penyimpanan kitab di sekitarnya.

Penelusuran dari Literatur

Tak banyak informasi yang bisa digali dari kawasan ini. Tidak ada orang yang bertugas sebagai juru kunci. Informasi secuil dan terbatas hanya bisa diperoleh dari beberapa warga setempat, dan itupun berdasar tradisi tutur turun-temurun saja. Namun berdasarkan pelacakan literatur, ditemukan kisah singkat tentang Ki Ajar Windusono dan Ki Ajar Doko.

Dari buku “Selected Studies in Indonesian Archeology” tulisan F.D.K Bosch (2013) disebutkan bahwa suatu hari, dalam perjalanannya di lereng barat Merbabu, Ki Ajar Windusono dan Ki Ajar Doko yang disertai para murid dan pengikut mengalami lelah dan haus. Rombongan lalu beristirahat.

Namun sayang tak ada mata air di sekitar mereka. Ki Ajar Windusono lalu berdoa pada para dewa meminta air dan makanan. Sebelumnya, Windusono meletakkan rokok miliknya, dan lalu menancapkan tongkat miliknya ke tanah. Ia lalu berdoa dengan laku meditasi.

Dewa lalu merespons, namun memberi syarat bersedia membantu jika Windusono mendirikan pertapaan di kawasan itu. Windusono lantas berdiri sambil mencoba mengambil rokoknya, namun ia tidak bisa menemukan. Alih-alih, ia menjumpai ladang jagung di sekitarnya.

Dan ketika Windusono mencabut tongkat miliknya, air jernih muncrat deras ke atas. Ini adalah asal usul sumber air Tuk Pujan di Desa Kedakan yang diyakini mempunyai kekuatan penyembuhan penyakit dan mampu membantu orang yang kesulitan punya anak.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post Melacak Sosok Ki Ajar Windusono, Kolektor Lontar Budo Merapi-Merbabu (Bagian 1) appeared first on BuddhaZine.

Webinar Borobudur Kawedhar Hari Pertama Diikuti Ribuan Orang

$
0
0

Untuk lebih mengerti nilai ajaran Borobudur, Asosiasi Perguruan Tinggi Agama Buddha Indonesia (APTABI) bekerjasama dengan Yayasan Dharmamega Bumi Borobudur menggelar “Webinar Borobudur Kawedhar; Dulu, Kini, dan Akan Datang”. Acara berlangsung selama dua hari, hari ini Sabtu & Minggu (20 – 21/6) dengan narasumber tunggal Salim Lee.

Webinar diselenggarakan melalui zoom webinar dan disiarkan langsung lewat facebook, dan youtube channel Bumi Borobudur. Berdasarkan infomasi dari panitia setidaknya lebih dari 700 orang mendaftar untuk mengikuti acara ini melalui zoom. Sementara itu menurut pengamatan BuddhaZine live streaming youtube Bumi Borobudur disaksikan 300 orang lebih, bahkan beberapa komunitas ada yang mengikuti dengan nonton bersama.

Ketua ABTABI, Bhante Ditthi Sampanno dalam sambutanya menyampaikan bahwa Candi Borobudur adalah kitab terbuka yang mempunyai nilai ajaran lengkap. “Borobudur merupakan sebuah sumber pengetahuan yang lengkap, sebuah tuntutan untuk mencapai potensi spiritual manusia. Di sana kaya dengan ajaran moral melalui cerita-cerita menarik, juga ajaran spiritual yang lengkap,” katanya.

“Karena itu, ABTABI bekerja sama dengan Yayasan Dharmamega Bumi Borobudur menyelenggarakan webinar Borobudur Kawedar. Kami ingin belajar dari Bapak Salim Lee yang telah meneliti secara khusus nilai ajaran yang terdapat di Borobudur. Untuk mengerti ajaran Borobudur yang telah diteliti secara mendalam oleh Tim Yayasan Dharmamega Bumi Borobudur,” lanjut Bhante.

Lahir di Semarang, Jawa Tengah, Salim Lee, narasumber webinar, merupakan praktisi Buddhadharma yang telah puluhan tahun mempelajari teks sutra-sutra Borobudur. Karena kecintaanya terhadap negeri tercinta dan didorong oleh nilai-nilai ajaran leluhur Nusantara, beliau mencurahkan sebagian waktu dan energinya untuk meneliti teks-teks nusantara. Antaranya Candi Borobudur dan Muara Jambi.

Dengan dipandu oleh Kustiani dan Eko Nugroho Raharjo sebagai moderator, Om Salim memberi seminar dari kediamannya di Perth, Australia, tempat tinggal beliau sejak 50 tahun lalu. “Saya mempunyai sedikit target setelah webinar ini berakhir. Minimal pandangan kita tentang Borobudur akan lain, pengertian kita tentang Borobudur akan lain, dan batu-batu Borobudur akan berbicara,” kata Om Salim mengawali penjelasan Borobudur.

“Kita harus memberi apresiasi, dan pernghargaan kepada para arkeolog, peneliti, balai konservasi, dan banyak orang-orang lain yang ikut melestarikan Borobudur. Sehingga hari ini kita masih bisa menikmati karya leluhur nusantara yang membanggakan,” kata Om.

Menurut Om Salim Borobudur merupakan perwujudan agung nusantara yang momot, toleran, cerdas, dan percaya diri. “Momot artinya inklusif dan merangkul. Artinya ajaran Buddha ini datang dari luar, tapi ketika datang ke nusantara ajaran itu tidak diterima gelondongan, tapi diseleksi, disesuaikan kemudian ditampilkan dengan kebudayaan setempat. Misalnya ada kapal itupun kapal lokal, ada ukiran pohon juga pohon loka, jadi kelokalan Borobudur itu patut kita hargai. Pengejawantahannya, pembentukannya adalah otentik lokal,” jelas Om Salim, kagum.

Selain itu, Borobudur adalah bangunan inovatif dan kreativ. Sampai saat ini belum ada bangunan baik dari bangunannya, kontstruksi, pemaparan, disain tidak ada contohnya, Ini berarti kebudayaan kita, kebudayaan yang berani berkreasi. “Betapa beraninya leluhur kita ketika membangun. Dan ini akan nampak lagi bila dibanding dengan candi-candi yang dibangun di tahun yang sama, dan di tempat yang sama.

“Dengan kita mengerti itu semua harusnya membuat kita lebih bangga menjadi orang Indonesia. Bangga sebagai keturunan orang cerdas, dan akan lebih menghargai tinggalan nenek moyang. Tetapi kebanggaan yang dilandasi oleh pengetahuan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, dengan nilai dan ajaran yang bahkan menjadi warisan dunia,” lanjut Om Salim.

Selama dua jam lebih Om Salim memberi penjelasan mengenai Borobudur. Mulai dari awal ditemukannya kembali Candi Borobudur pada masa kolonial, proses pemugaran yang berkali-kali, penjelasan struktur bangunan hingga nilai-nilai ajaran di dalamnya. Semua diikuti dengan antusias oleh pemirsa. Hal ini terlihat dari komentar-komentar di komentar youtube maupun ratusan pertanyaan yang terlotar dari peserta.

Jo Priastana, seorang penulis dan cendekiawan Buddhis Indonesia yang mengikuti acara itu melemparkan pujian atas penjelasan Borobudur Om Salim yang dianggap menyeluruh. “Gambaran Borobudur secara detail yang menyertakan suasana kehidupan semasanya seakan membawa kita berada semasa keberadaan Borobudur dahulu,” tulis Pak Jo kepada BuddhaZine.

Sedangkan menurut Suranto, Ketua STAB Syailendra, mengatakan bahwa pendekatan dari Om Salim Lee tidak hanya dari satu sisi dalam memaknai Borobudur. Dari pendekatan tersebut telah memberikan makna yang mendalam tentang Borobudur. Pendekatan historis, arkelogis, sosiologis, dan spiritualitas dapat memberikan penjelasan dan pemaknaan Borobudur menjadi lengkap.

“Dari penjelasan Om Salim Lee menyadarkan kita bahwa karya dari nenek moyang kita sangat luar biasa. Mengandung pesan moral, sosial, dan juga spiritual dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, Borobudur layak menjadi live monument, bukan lagi died monument. Secara kontestasi kita juga sangat bangga karena karya yang luhur dari budaya nusantara ini Berani bersaing di kancah pameran international di kala itu,” tulis Suranto kepada BuddhaZine.

Sesi kedua Borobudur Khawedar; Dulu, Kini, dan Akan datang digelar hari Minggu (21/6). Tanpa melakukan pendaftaran lewat Zoom Meeting, siapapun bisa mengikuti seminar ini melalui live youtube Bumi Borobudur.

The post Webinar Borobudur Kawedhar Hari Pertama Diikuti Ribuan Orang appeared first on BuddhaZine.

Melacak Sosok Ki Ajar Windusono, Kolektor Lontar Budo Merapi-Merbabu (Bagian 2)

$
0
0

Di atas bukit yang dipenuhi tanaman tomat, ubi, dan kol itu terdapat cungkup yang sederhana. Di dalamnya, tiga buah nisan dengan sisa-sisa pembakaran dupa, sedikit kelopak mawar layu, dan beberapa puntung rokok. Tiap hari Jumat Pahing atau pada bulan Suro, bulan pertama penanggalan Jawa, banyak peziarah berdatangan ke sini. Tak hanya warga setempat yang datang berziarah, namun juga dari luar daerah.

“Ini makam punden kami, Mbah Windusono, Mbah Doko, dan Mbah Gemplo,” kata Muhamad Rasidi, warga Dusun Windusabrang, Wonolelo, Magelang, Jawa Tengah, juru kunci makam tersebut kepada BuddhaZine, Minggu 14 Juni 2020.

Menurutnya, mereka yang datang biasanya punya suatu permintaan. Pasalnya, Mbah atau Ki Ajar Windusono adalah sosok yang dikenal memiliki pengaruh besar di wilayah itu.

Sang tokoh diyakini hidup pada sekitar abad ke-18 dan tinggal di Dusun Windusabrang, yang terletak di lereng barat daya Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Namun ia mengaku tak terlalu paham akan riwayat Ki Ajar. Rasidi sendiri baru 11 tahun menjabat sebagai juru kunci, menggantikan ayahnya yang sudah meninggal.

“Yang datang ke sini boleh berdoa sesuai keyakinan masing-masing. Bisa berdoa sendiri atau lewat saya. Syarat utamanya kalau ada keinginan ya membawa rokok kretek,” jelas Rasidi yang bekerja sebagai petani di sekitar makam, sambil menyebut beberapa merk rokok kretek ndeso.

Rupanya memang ada narasi lain terkait Ki Ajar Windusono, tokoh yang dikenal sebagai pemilik perpustakaan pribadi naskah-naskah kuno Merapi-Merbabu, koleksi naskah yang sebagian besar berisi ajaran spiritual sebelum Islam menjadi kepercayaan mayoritas di Jawa.

Saat Islam ekspansi mulai masuk Jawa Tengah, Windusono menyingkir ke lereng barat Gunung Merbabu bersama seribu naskah, yang lambat lain menyusut menjadi 400 naskah. Tahun 1822, keberadaan koleksi naskah ini ditemukan Belanda, dan sekitar tahun 1852 sudah diboyong ke Batavia.

Menurut warga Dusun Windusabrang, Ki Ajar Windusono dimakamkan di sini. Makam Windusono, atau yang lebih familiar disebut sebagai Makam Ki Ajar berada di atas bukit di barat laut dusun.

Kisah ini berbeda dengan narasi warga Desa Kedakan, Kecamatan Pakis, Magelang, yang meyakini Windusono dimakamkan di sana. Begitu juga dengan perpustakaan pribadinya tempat menyimpan lontar, warga Windusabrang meyakini itu dahulu ada di wilayahnya. Dua wilayah di lereng Merbabu yang terpaut jarak sekitar 21 kilometer memiliki narasi dan situs sejarahnya masing-masing terkait Windusono.

Sayang, hingga kini belum ditemukan catatan sejarah yang akurat dan lengkap tentang sosok Panembahan Ki Ajar Windusono. Naskah Darma-Patanjala koleksi pribadi Schoemann [seorang Jerman yang tinggal di Hindia Belanda dari 1845 sampai 1851] menyebut, bahwa Windusono memang mengungsi ke lereng Merbabu dengan membawa 1000 kitab, karena Islam sudah mendesak agama Brahma dan Buddha di Jawa Tengah. Pada tahun 1851, diperkirakan naskah Budo koleksi Windusono sudah berusia sekitar 400 tahun.

Menurut analisis direksi Bataviaasch Genootschap, disebutkan bahwa penulis naskah-naskah lontar Budo tersebut bukan muslim, karena berisi pengertian-pengertian agama India, hampir sama dengan di Bali.

Bahasanya sangat dekat dengan bahasa karya sastra Kawi di Bali. Semua naskah disusun dalam prosa, dan isinya kebanyakan bersifat keagamaan, terutama agama Brahmana. Namun konsep-konsep Buddhis juga ada di dalamnya.

Mendiang Romo Dr. Ignatius Kuntara Wiryamartana SJ yang pernah melakukan penelitian menyebut bahwa Windusono itu adalah seorang Ki Ajar. Patut diketahui, Ki Ajar adalah cendekiawan dan guru spiritual di Jawa jaman dahulu, yang mampu menularkan ilmunya lewat institusi pendidikan yang ia bentuk sendiri.

Ki Ajar Windusono diyakini Romo Kuntara sebagai seorang spiritualis yang mahir bertani, mengolah tanahnya, dan memelihara lingkungannya. Jadi, bisa dikatakan ia petani sekaligus penulis serat kuno di daun lontar.

Kisah menurut warga Windusabrang

Terkait tokoh ini, masyarakat Dusun Windusabrang memiliki kepercayaan sendiri, meski hanya orang-orang tertentu saja yang paham. Diyakini, Windusono adalah seorang pengembara.

Bersama empat rekan lainnya yakni Doko, Gemplo, Mriyem Saribenik, dan seorang lelaki yang tak dikenal namanya, mereka berkumpul dan menetap di sekitar lereng Merapi-Merbabu, di daerah yang kemudian dikenal sebagai Dusun Windusabrang.

Menurut cerita, empat pengembara laki-laki dan seorang perempuan itu berasal dari daerah berbeda-beda. Windusono berasal dari Nglangonharjo, Klaten, Jawa Tengah. Doko dan Gemplo dari Solo, Jawa Tengah, dan lereng Gunung Kawi, Jawa Timur.

Sementara Mriyem Saribenik datang dari lereng Gunung Tidar, dan laki-laki yang tak diketahui namanya berasal dari lereng Merbabu. Menurut tradisi tutur setempat, dipercayai Windusono, Doko, dan Gemplo memilih hidup melajang.

Mriyem Saribenik akhirnya menikah dengan lelaki yang tak dikenal namanya itu. Makam Mriyem Saribenik dan suaminya berada di makam dusun. Terpisah beberapa ratus meter dari makam Windusono, Doko dan Gemplo, yang lebih sukar dijangkau dan hanya berisi tiga nisan saja.

Harus diakui, sosok Windusono ini menyimpan banyak misteri. Salah satunya terkait dari mana ia memperoleh/mengumpulkan lontar itu. Kolofon-kolofon naskah itu menyebutkan banyak nama desa di wilayah Merapi-Merbabu sebagai tempat penyalinan naskah tersebut. Angka tahun penulisan disebut dalam kolofon yang meliputi rentang tiga abad yakni dari awal abad ke-16 sampai akhir abad ke-18.

Menurut Romo Kuntara, koleksi manuskrip Windusono sangat lengkap. Ada kakawin, primbon, tutur, kretabasa, sampai kidung. Cukup banyak mantra-mantra ruwatnya. Juga ada berbagai rajah atau lambang aneh dan khas yang tidak ada dalam khazanah naskah Jawa lain. Contohnya ikon atau bentuk wayang yang tak bisa diidentifikasi tokohnya.

Tema-tema kidung bervariasi, mulai dari uraian asal-usul manusia, penciptaan jagat raya, sampai perjalanan mencari kesempurnaan hidup seperti Kidung Subrata. Koleksi primbonnya pun lengkap, dari primbon penyakit sampai primbon gempa.

“Ada lontar yang mengisahkan perjalanan roh seperti Tibetan Book of the Dead,” kata Kuntara seperti dilansir Majalah Tempo edisi 23 Mei 2005.

Kaitan dengan Sastra Kraton Surakarta

Pelacakan Romo Kuntara terhadap teks Arjunawiwaha menghasilkan kesimpulan bahwa teks-teks lereng Merapi-Merbabu ini juga diserap oleh kalangan pujangga istana Surakarta. Pada abad ke-18 sampai ke-19 terdapat banyak terjemahan, saduran, dan gubahan Arjunawiwaha di lingkungan Kraton Surakarta.

Kuntara berkesimpulan bahwa serat terkenal Wiwoho Jarwo karya Pakubuwono III yang ditulis tahun 1778 bertolak dari naskah Arjunawiwaha versi Merapi-Merbabu. Romo Kuntara menduga terdapat koneksi antara para ajar di pegunungan di lereng Merapi-Merbabu dengan istana Kartasura, sebelum bergeser ke Surakarta.

“Punika haksara buda hingkang kahangge para hajar-ajar hing redi..” Ini aksara buda yang digunakan oleh para ajar di pegunungan, begitu tulis Ronggowarsito [pujangga Kasunanan Surakarta], seperti pernah dikutip ahli sastra Indonesia kuno, Poerbatjaraka.

Dijadikannya karya-karya lereng Merapi-Merbabu sebagai rujukan istana menandakan bahwa karya “wong ndeso nggunung” itu bukanlah karya sembarangan. “Mayoritas bertema olah batin, perihal tapa brata,” tegas Romo Kuntara.

Naskah yang tersebar

Dalam penelitiannya, Romo Kuntara Wiryamartana menyebutkan berbagai lokasi di lereng Merapi-Merbabu tempat ditemukannya sejumlah salinan naskah.

Di antaranya Ngadoman, Kopeng, Sumogawe, Sokowolu, Suroteleng, Rogobelah, Cangkol, dan Wonoganggu. Bijdragen, sebuah jurnal linguistik dan antropologi berbahasa Belanda, pernah menerbitkan tulisan tentang peta lokasi sebaran naskah kuno lereng Merapi-Merbabu.

Misalnya, dalam jurnal itu disebutkan Dusun Temulor dan Temukidul. Di kedua dusun di lereng utara Gunung Merbabu itu ditemukan salinan naskah yang memuat teks Kakawin Arjunawiwaha. Naskah serupa juga ditemukan di daerah Rabut Pekik, sebuah lokasi di lereng barat Gunung Merbabu.

Namun nama tempat Rabut Pekik dalam kolofon naskah itu belum dapat diidentifikasi. Lantas ada juga salinan naskah berisi teks Wiwaha Kawi. Salinan naskah itu ditemukan di Ketep, sebuah desa di antara Merapi dan Merbabu, yang kini menjadi kawasan wisata kondang.

Jadi, naskah-naskah itu ternyata tak hanya terkumpul di satu tempat saja. Berbagai naskah kuno daun lontar itu juga menyebar di sejumlah tempat di lereng Merapi-Merbabu. Kini, bila kita bertandang ke Dusun Windusabrang, tak tersimpan informasi di mana dahulu koleksi naskah itu berada.

Catatan Belanda menyebut Panembahan Windusono meninggal sebelum tahun 1759. Dan setelah ia tutup usia, tidak ada lagi penambahan naskah lontar Merapi-Merbabu.

Tempat yang diyakini masyarakat setempat sebagai rumah sekaligus perpustakaan Ki Windusono di Windusabrang juga dibiarkan menjadi tegalan atau lahan kering yang ditanami singkong. Hingga kini tak ada yang berani menempati lahan itu, karena diyakini bakal mendapat musibah kematian.

Selubung misteri Ki Ajar Windusono memang tampaknya sukar untuk disibak. Namun kita semua bisa terus menghidupkan semangatnya dengan mencintai dan membaca teks-teks peninggalan Jawa Kuno.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film,
dan spiritualitas tanpa batas.

The post Melacak Sosok Ki Ajar Windusono, Kolektor Lontar Budo Merapi-Merbabu (Bagian 2) appeared first on BuddhaZine.

Viewing all 1052 articles
Browse latest View live